Selasa, 23 Desember 2008

SKOLIOSIS : Progresifitas 20 Tahun, Bro!

SKOLIOSISKU : Progresifitas 20 Tahun, Bro!

Esok harinya aku kembali ke RS Dr Sardjito, untuk mengambil hasil rontgenku di bagian radiologi. Siang itu, ba’da sholat dhuhur aku kembali bertemu dengan dr. Agus, karibku, di ruang utama Masjid Mardhiyah.

“Coba saya lihat” katanya. Diambilnya beberapa foto tulang punggungku itu. Sambil sesekali membaca analisa hasil foto yang tertera dalam kertas kecil itu. Kulihat raut mukanya bergidik. Seakan tengah membayangkan sesuatu yang serius tengah mengintai diri saya. Dari helaan nafasnya, aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu yang penting.

“Pak, tulang punggung antum sudah bengkok sekali. Lihat ini” ditunjukkannya kelokan tulang punggungku dalam foto itu. Dari atas lurus, kemudian mulai ruas sepertiga bawah, mulai membelok ke arah kiri kemudian berkelok lagi ke arah kanan. Persis huruf S. “Ini namanya skoliosis” tandasnya.

“Sekarang kita ke Bagian Rehabilitasi Medik saja. Antum diterapi saja dulu di sana, untuk menghilangkan rasa sakit antum”. Kami kemudian berjalan menyusuri bangsal-bangsal yang juga penuh dengan antrian pasien. Saya masih mengeja dalam hati, sebegitu seriuskah yang namanya skoliosis itu? Dari SD dulu, saya telah tahu nama beberapa kelainan tulang punggung, ada skoliosis yaitu pembengkokan tulang punggung ke samping yang menyerupai huruf S. Dan ada Kiposis, pembengkokan tulang punggung ke depan atau belakang.

Kami bertemu dengan dr. Fuad. Dia adalah dokter spesialis syaraf yang menggawangi bagian rehabilitasi medik di RS Dr. Sardjito. ”Oh, dr. Agus. Ada ada dok?” sapanya begitu melihat karibku itu memasuki ruangnya. Setelah berbasa-basi sejenak dengannya, diperkenalkanlah aku dengan dr. Fuad. Dijelaskannya problem yang sedang saya hadapi. Dengan wajah serius, dr. Fuad mulai membuka foto hasil rontgenku. Demi melihat foto-foto itu, wajahnya segera menatapku.

”Coba sini berbaring, biar saya periksa. Buka sedikit baju bagian atasnya, saya ingin melihat punggungnya” Diperiksanya punggungku. ”Dimana yang sakit?”

Aku tunjukkan bagian punggungku yang serasa kelu, nyeri, pegal, sebuah rasa yang susah untuk didefinisikan. Terus begitu setiap saat. Hanya saat tidur aku bisa melupakan rasa itu. Bagian itu adalah bagian bawah tulang punggungku yang menonjol ke sebelah kiri. Kemudian dr. Fuad mengukur panjang kakiku. ”Nah, ini panjang sebelah. Kamu dulu pernah jatuh?”

Aku mencoba mengingat kejadian yang lalu. ”Iya, Dok. Tapi sudah lama. Waktu itu saya kelas 2 SMP. Jatuh waktu main bola tangan di lapangan saat pelajaran olah raga dengan posisi pantat terlebih dulu. Karena saat itu habis hujan, licin, saya terpeleset. Pergelangan tangan kiri saya sampai retak.” Aku ceritakan semua yang aku ingat.

”Kalau begitu saya butuh lebih detil lagi foto rontgennya.” Kemudian dr. Fuad membuat surat pengantar ke bagian radiologi. Diantaranya foto tulang punggung tampak depan dan tampak samping kiri dan kanan. Serta foto tulang pinggul. ”Habis foto langsung ke sini lagi ya, besok kalo sudah jadi langsung bawa kemari lagi. Hari ini kamu terapi dulu untuk menghilangkan sakitnya. Dan nanti sekalian saya buatkan resep”

Sambil berjalan ke bagian radiologi, aku berpisah dengan dr. Agus. Di bagian radiologi kembali aku menjalani difoto, kali ini punggung dari arah depan, samping dan juga pinggul. Setelah itu aku kembali ke bagian Rehabilitasi Medik untuk menjalani fisioterapi. Dari keluhan yang aku sampaikan, dr. Fuad memberiku 2 terapi, aku menyebutnya diathermi dan tens. Diathermi : punggungku dialasi handuk, kemudian dipanasi selama 20 menit. Sedang tens adalah mengalirkan listrik tegangan rendah antara betis dan pahaku, kira-kira 10-15 menit.

***

Setelah foto rontgen yang kedua aku ambil, hari berikutnya aku kembali ke bagian Rehabilitasi Medik. Dr. Fuad segera mengamati foto-foto tersebut. Dari pencitraan foto pinggul, dia menjelasakan : ”Coba kamu lihat ini, pinggulmu asimetris. Tinggi sebelah. Ini barangkali diakibatkan waktu kamu jatuh dulu. Karena proses yang panjang dan lama, punggung menjadi terkoreksi mengikuti kondisi pinggul yang asimetris ini”

Aku mencermati setiap penjelasan dari dr. Fuad. Masuk akal, pikirku. ”Ini... ini tulang kamu kelihatan sudah tidak padat lagi. Lihatlah. Kamu mengalami osteoporosis juga...! pekiknya.

Duh! Osteoporosis? ”Pengeroposan kepadatan tulang. Tulangmu telah keropos. Kekurangan kalsium. Ini pula barangkali yang menyebabnya cepatnya pembengkokan tulang punggungmu. Karena tulang kamu tidak padat lagi. Ini pula yang membuatmu merasa sakit sepanjang waktu.”

”Berapa umur kamu?” tiba-tiba dokter bertanya umur.

”Dua puluh enam tahun, dok”

”Dua puluh enam? Osteoporosis ini biasa menimpa orang umur lima puluhan. Kamu sudah mengalaminya. Kamu mengalami progresifitas 20 tahun.” Dr. Fuad menggelengkan kepala.

Progresifitas 20 tahun! Lihatlah kawan, keren bukan? Pantas saja selama ini, aku kadang merasakan tulang-tulangku ngilu. Pegal. Mendengar penjelasan dokter, aku hanya bisa bersabar. Tentu Allah memberiku kondisi seperti ini ada maksudnya. Tentu kondisi ini yang terbaik bagiku. Dia mengujiku agar aku dikaruniai kesabaran.

***

Senin, 22 Desember 2008

SKOLIOSIS : Aku Tidak Bisa Rukuk !

Waktu itu, kakak iparku hendak melangsungkan pernikahan. Tahun 2003. Aku, istriku yang sedang hamil anak kami ketiga, dan kedua anakku pulang ke Semarang, rumah mertuaku. Kakak iparku –Mas Sugeng- menikah dengan gadis satu kampung. Kisah cinta mereka heroik. Dibumbui ketidaksetujuan ibuku, ibu mertuaku. Bapak sendiri tidak begitu mempermasalahkan. Hanya akhirnya mereka memang harus mengalah dengan kekuatan cinta anaknya. Lebih tepatnya adalah, kenekadan anak laki-laki sulungnya itu.

Pagi itu, aku berinisiatif mengisi bak mandi kami dengan menimba dari air sumur. Manual. Mesin pompa kami sudah rusak, belum sempat untuk diperbaiki. Aktifitas ini biasa aku lakukan waktu SMA dulu. Hampir tiap pagi saya menimba setidaknya 20 ember untuk memenuhi bak kamar mandiku. Sampai luber. Aku memang selalu menghitungnya. Agar aku tahu bahwa aku telah menimba setidaknya 15 ember, maka beberapa ember lagi luberlah bak kamar mandiku.

Pagi itu tidak kurang telah 30 ember air aku timba dari sumur itu. Tapi belum penuh. Volume ember di rumah mertuaku ini memang lebih kecil, sehingga untuk ukuran bak kamar mandi yang sebenarnya hampir sama dengan bak kamar mandi di rumahku dulu, butuh lebih dari 30 ember. Sampai kemudian ibuku, ibu mertuaku, menggantikanku untuk memenuhi bak kamar mandi kami.

Awalnya biasa, tidak ada keluhan dari dalam tubuhku. Hanya kemudian selepas aktifitas seharian hari itu, ketika aku melaksanakan sholat maghrib aku merasakan ada yang salah dalam tubuhku. Aku tidak bisa melakukan gerakan rukuk. Tiap kali punggungku dipaksa untuk membungkuk rukuk, baru gerakan awal saja mendadak tulang-tulang punggungku terasa begitu sakit. Ngilu tak terperikan. Semua gerakan yang melibatkan punggung, tak bisa lagi kulakukan karena ia akan selalu mengakibatkan satu hal yang selalu sama, sakit. Berjalan pun harus tertatih. Duduk berdiri harus perlahan, sambil memegangi pinggang. Persis seperti aki-aki yang telah genap berumur 99 tahun. Renta.

Sekembaliku dan keluargaku ke Jogja, derita itu tetap menemaniku. Walau sedikit berkurang, namun aku tetap tidak sanggup untuk melakukan gerakan rukuk dalam sholat-sholatku. Hanya satu pikiranku : ada yang salah di tulang punggungku. Persisnya, aku tidak tahu.

Aku mengadu kepada seorang sahabatku, seorang dokter yang sedang mengambil spesialis bedah di RS Dr Sardjito. Namanya dr. Agus. Setelah berjanji melalui pesan singkat, kami bertemu selepas sholat jumat di Masjid Mardhiyah –masjid legendaris di kampus UGM yang terletak di selatan RS Dr Sardjito.

”Kenapa? Ada apa? Apa keluhannya?” pertanyaan khas seorang dokter.

Di ruang utama masjid itu, mulai aku ceritakan asal muasal rasa sakit di punggungku itu. Hingga akhirnya dia memintaku, ”Coba berbalik sebentar”. Aku berbalik, duduk membelakanginya. Dari atas bajuku, tangannya mulai meraba tulang punggungku dari mulai tengkuk, terus merambat ke bawah hingga mendekati tulang ekorku.

Terhenyak. ”lho lho lho, kok begini. Ckk.. ckk.. ckk..” seakan tak percaya dengan apa yang baru dirabanya, diulanginya lagi meraba tulang punggungku dari atas ke bawah, kembali lagi ke atas. Sambil terus bergumam. ”Bengkoknya nemen gini, pak”

”Wah, Pak. Sudah lama antum merasakan tulang antum bengkok ini?”tanyanya.

Aku ceritakan bahwa sebenarnya punggungku ini telah aku rasakan bengkok sejak menginjak SMA dulu! Ya, sejak tahun 1991. 12 tahun yang lalu. Tapi bagiku selama ini, itu hanyalah kelainan kecil yang mungkin diakibatkan posisi belajarku yang salah. Tidak lebih dari itu.

”Harus di rontgen, akh. Ayuk, kita ke Sardjito. Kita temui dr. Dayat untuk mengambil gambar tulang punggung antum.”

Berdua kami bergegas menemui dr. Dayat di bagian rontgen. Aku lihat dr. Agus sempat beberapa saat bicara dengan dr. Dayat. Serius. Sambil sesekali mereka berdua melihat ke arahku yang menunggu di luar, di ruang tunggu. Dr. Agus kemudian membuat semacam rekomendasi, sebagai pengantar untuk dilakukan foto rontgen punggungku.

Setelah menyelesaikan masalah administrasi sebentar, aku kemudian diantar ke ruang foto rontgen. ”Besok setelah mengambil hasil fotonya, kita ketemu kembali di Masjid Mardhiyah. Ba’da sholat dhuhur” katanya. Aku iyakan sambil melangkahkan kembali kakiku ke pelataran parkir depan Masjid Mardhiyah. Pulang ke kantor.

***

(bersambung)

Senin, 15 Desember 2008

Keluarlah dari Rutinitas, Sejenak Saja

Kadang kita hanya perlu keluar sejenak dari rutinitas kita. Meski hanya sesaat. Sesaat saja. Agar bunga-bunga yang lama tersemai di hati kita kembali merona. Istrimu, anakmu, adalah bagian kepingan terindah dalam hatimu. Mereka semua menuntut kehadiran hatimu seutuhnya untuk mereka, meski kamu kadang hanya bisa memberinya sesaat.

Jenak-jenak langkah yang terus tertapak, seringkali membuat hati menjadi jenuh. Kebal rasa. Semua menjadi seakan biasa. Semua menjadi seakan hambar. Tidak ada yang istimewa lagi. Jika demikian, maka segera berhentilah sejenak. Engkau perlu menepi sejenak. Untuk sesaat kembali mengeja langkah-langkah yang telah terlewati. Nafas kita perlu diperbaharui, agar langkah kita kembali segar.

Apakah cukup menepi sejenak? Tidak. Sekali lagi perbaharui nafasmu. Nafas hidupmu. Nafas cintamu. Seperti siang yang ketika beranjak sore menampilkan panorama merah saganya. Selepas mentari ke peraduannya di malam hari maka keluarlah parade bermilyar bintang dengan dikomandoi sang bulan. Hingga kembali semburat merah mewarnai hadirnya sang siang di pagi hari itu. Terus begitu. Berselang-seling. Karena hidup ini adalah perputaran.

Meluangkan sekedar berjalan-jalan bersama di pagi hari yang indah, menikmati sejuknya panorama pedesaan, atau hanya sekedar berkumpul bersama di ruang keluarga sambil menikmati teh bersama, akan membuat nafas hidupmu menjadi segar kembali. Dulu saya suka jika tiap akhir pekan mengajak ketiga anak saya berjalan-jalan menyelusuri desa-desa. Kami menyebutnya : petualangan. Jika melewati jalan kecil dan penuh belukar, atau di samping sebuah sungai yang panjang, atau sekedar melewati sebuah jembatan yang tinggi, membuat kami semua bersorak gembira.

Keluargamu adalah permata hatimu. Sudah semestinya tempat teristimewa di hatimu engkau berikan kepada mereka. Saling mengisi, saling memberi, saling memahami, saling menghargai, saling menerima, semestinya menjadi bagian dari semangat yang tersemai di sana. Tapi ingatlah, jangan menunggu engkau diberi, jangan menuntut engkau dipahami lebih dulu. Berusahalah untuk menjadi pihak pertama yang memberi, memahami, dan menghargai. Maka akan kita dapatkan lebih.

Menjadi pahlawan bagi keluarga mungkin terlalu heroik bagi saya. Cukup merasakan bahwa mereka membutuhkan dan mereka merasakan keberartian, sudah merupakan anugerah yang terindah. Masih banyak celah yang harus saya benahi. Masih banyak tanya yang harus saya jawab agar saya menjadi berarti bagi mereka. Apapun, mereka adalah tanggung jawab dan amanah yang harus dijaga. Engkau adalah nakhoda bagi mereka, maka selamatkan bahteramu meski engkau harus mengorbankan jiwamu. Begitu nasehat itu berputar di kepala saya.

Begitulah kelaziman cinta itu berbicara. Karena ia pun ada nafas.

Jumat, 12 Desember 2008

Apakah Anda Orang Yang Romantis?

Apakah Anda Orang Yang Romantis?

Hari itu adalah hari raya kurban. Seperti di masjid-masjid pada umumnya, masjid di kampung kami pun menyembelih hewan kurban. Alhamdulillah, tahun ini (1429 H) masjid ini bisa menyembelih dua ekor sapi dan 2 ekor kambing. Walaupun sempat butuh extra effort untuk menggenapkan menjadi 2 ekor sapi, karena hingga menjelang 2 pekan hari raya idul kurban untuk kelompok sapi baru mendapatkan 12 nama shahibul kurban, akhirnya atas usaha salah seorang panitia bisa digenapkan menjadi 14 nama.

Ini tadi adalah sekilas tentang idul adha di masjid saya di kampung. Tapi saya tidak sedang ingin menceritakan keutamaan kurban ataupun hiruk pikuknya penyembelihan hewan kurban. Ada sebuah fragmen singkat yang ingin saya angkat di cerita saya kalo ini.

Begini ceritanya. (Ehm, tolong disimak ya :D). Setelah semua hewan kurban disembelih dan dikuliti serta ditimbang perolehan dagingnya, tibalah saatnya membaginya dalam paket-paket plastik untuk didistibusikan kepada jama’ah di sekitar masjid kami. Ada yang bertugas memasukkan ke dalam kantong-kantong plastik, ada yang bertugas menimbang, dan ada yang bertugas memotong-motong daging menjadi potongan-potongan kecil agar mudah untuk membaginya.

Di sebuah pojok sempit tempat kami semua mengambil satu peran dari tugas-tugas tadi, saya dan istri berduet, memotong-motong daging menjadi potongan-potongan kecil. Saya yang memegang daging, sementara istri yang memotongnya dengan pisau. Sambil sesekali ngobrol dan berbisik ringan. Sebuah kejadian yang sederhana bukan? Tapi dari awal memang saya menikmatinya.

Kami semua berbaur. Di sekeliling onggokan daging sapi dan kambing kurang lebih 200an kilogram itu, bapak-bapak dan ibu-ibu mengambil peran. Sebagian besar ibu-ibu memang. Di satu sisi mengelompok ibu-ibu mengiris-iris dan memotong daging, di sisi lain beberapa bapak-bapak memisahkan daging dari tulangnya, atau memotong-motong tulang dalam potongan-potongan kecil.

Beberapa saat kemudian, seorang ibu, beliau adalah tetangga seberang rumah saya, berteriak keras sambil berpura-pura pegang kamera, “Wah, yang di pojok itu harusnya di foto nih. Dari tadi saya lihat berdua terus. Romantis tenan.”

Saya dan istri hanya bisa tersenyum. “Biasa saja kok, bu” Jawab saya sekenanya.

“Weh, itu sudah sejak dari tadi malam je. Jam 12 malam tadi pas kami masih takbiran di sini, berduaan naik sepeda kemari. Ndemenakne tenan je.” Tambah Pak Sambas, suami dari ibu tadi, meledek. Suasana makin hangat.

“Iya lho, saya dari tadi juga mengamati. Saya Cuma mbatin, Bu Agus sama Pak Keri ini kok romantis banget.” Seorang ibu yang lain ikut berkomentar. Seorang ibu yang sebenarnya sudah cukup sepuh juga, kira-kira di atas 45 tahun umurnya.

Yah, kami hanya bisa tersenyum-senyum. Bagi kami, apa yang kami lakukan ini sebenarnya biasa-biasa saja. Sangat wajar. Dekat, iya. Bahkan kami pun tak menampilkan kemesraan. Ini belum demonstratif, halah. Maklum, saat jalan berduaan di kampung ini, saya suka menggandeng atau merangkul pundak istri saya. Ini baru demonstratif. Makanya istri kadang sering menolaknya, ”Sssttt, malu. Ini di kampung.”

Bu Beni, seseorang yang pernah menemani kami saat-saat kami belum mendapatkan khadimat dulu, mendekat ke tempat kami. ”Duh, Bu Agus ini dari tadi deketan terus ama Pak Keri. Mesra sekali saya perhatikan dari tadi.”

”Ah, bilang saja pengin. Nanti pulang minta ama Mas Beni.” Kata Bu Panggih menggoda. Riuh. Heboh. Itu yang saya tangkap dari komentar-komentar ibu-ibu tadi. Ada sesuatu yang ’luar biasa’ bagi mereka yang siang itu mereka lihat, walau itu bagi saya dan istri bahkan ’hanya’ suatu kebiasaan yang sungguh-sungguh sangat biasa.

Kawan, saya hidup di tengah kampung. Sebahagian besar penduduk di sini adalah bertani, sambil memelihara berternak. Beberapa memang berprofesi sebagai guru. Tapi sungguh, nuansa hubungan suami-istri di kampung memang seringkali terkadang monoton. Itu setidaknya pengamatan saya. Mungkin salah satunya masih kuatnya feodalisme dan primordialisme, di mana kedudukan suami sungguh-sungguh harus selalu di atas istri, sehingga mengharuskan suami menjaga wibawa di hadapan suami. Demikian pula istri, tidak berani mengekspresikan keinginan-keinginannya di hadapan suami.

Saya ingat ketika malam takbir sebelumnya, sebut saja Mbah War putri, menanyakan kepada suaminya membawa korek api atau tidak, karena dibutuhkan untuk menyalakan api di tungku depan masjid. Ya, ibu-ibu di depan masjid malam itu ada yang bertugas memasak air, merebus kacang dan menggoreng camilan buat peserta takbiran. Mbah kakung menyerahkan korek api tadi dengan dilempar, tanpa ekspresi. Ternyata lemparannya membentur hijab setinggi 60cm. Tidak sampai di hadapan mbah putri yang berdiri di seberang hijab. Sambil beringsut dengan agak kesal, dipungutnya korek tadi. Mbah putri sejatinya ada di hadapannya dengan tangan menengadah. Tapi oleh mbah kakung, korek tadi ternyata tetap dilemparkannya. Korek jatuh di hadapan mbah putri yang kemudian bergegas memungutnya.

Kawan, apakah menurutmu itu hal biasa? Tenanglah, bagi warga di sini, hal seperti itu mungkin jamak. Sangat biasa. Bagi pasangan suami istri di kampung kami ini, kejadian seperti ini tidak berarti apa-apa. Tapi entah bagi saya pribadi, ada sesuatu yang ‘luar biasa’. Aneh. Kurang nyaman. Blas tidak romantis. Kenapakah tidak bisa dengan cara yang lebih nyaman di hati? Begitu kalo saya berpikir.

Saya ingat anak terkecil saya (5th), suka berkomentar jika melihat kami berduaan ngobrol, “Uuhh, abi ama ummi ini sukanya pacaran.” Awalnya saya agak kaget dengan komentar anak kami ini.

“Pacaran itu apa tho dek?” tanya saya.

“Lha itu, suka ngobrol berdua aja.” Jawabnya singkat.

Kawan, pelajaran yang saya dapatkan dari hal-hal sederhana ini adalah bahwa sebenarnya untuk menjadi romantis itu mudah dan murah. Sederhana. Pun tidak neko-neko. Cukup engkau berikan perhatian terhadap istri/suami-mu, luangkan dengan ngobrol atau jalan kaki berdua sambil ke masjid, atau berboncengan sepeda ke warung, itu sudah romantis. Tidak perlu pake bunga. Tidak perlu berbuih-buih dengan ucapan-ucapan yang puistis seperti di sinetron-sinetron.

Mudah bukan? Jadi, engkau siap jadi pasangan yang romantis sekarang, bukan?



Catatan :
Romantis : bersifat seperti dalam cerita roman (percintaan), bersifat mesra, mengasyikkan.

Rabu, 03 Desember 2008

Kepingan Puzle Kehidupan

"Wa inna likulli 'amalin syirah. wa likulli syiratin fatrah. Faman kanat fatratuhu ila sunnati faqad ihtada. Waman kanat fatratuhu ila ghairu dzalika faqad dholla."

.................................................................................

"Setiap amal itu ada masa semangatnya, dan pada setiap masa semangat itu ada masa futur (bosan). Barangsiapa yang ketika futur tetap berpegang kepada sunnahku, maka sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk dan barangsiapa yang ketika futur berpegang kepada selain sunnahku, maka sesungguhnya ia telah tersesat." (HR al-Bazaar).

Perjalanan hidup kita ini seperti sebuah puzle kehidupan. Setiap episode hidup kita adalah kepingan puzle itu. Semakin banyak kita torehkan episode demi episode kehidupan, maka kepingan-kepingan puzle itu pun akan mendekati akhir. Sampai pada kepingan terakhir, itulah saat kita menutup puzle kehidupan itu.

Nanti, akan Allah tunjukkan hasil karya kita itu. Nanti, akan Allah putar kembali episode-episode hidup kita tersebut. Dan nanti pula, Allah akan tunjukkan kepada khalayak manusia, "inilah puzle kehidupan yang telah berhasil diselesaikan si fulan"...

Kita tentu ingin. Kita tentu butuh. Menutup kepingan puzle kehidupan kita itu dengan sesuatu yang indah. Sehingga ketika rangkaian demi rangkaian puzle tadi diperlihatkan ke kita, kita akan tersenyum. Karena di sana kita melihat gambaran yang indah tentang hidup kita.

Segala sesuatu ada saatnya. Segala sesuatu ada masanya. Agar puzle kehidupan kita adalah rangkaian kehidupan yang indah, maka dibutuhkan kekonsistenan kita. Maka diperlukan keistiqomahan kita. Setiap episode adalah merupakan rangkaian yang saling terkait dan tak terpisahkan dari episode sebelumnya. Bisa jadi ada episode yang buruk, manusiawi. Maka harus segera kita tutup dengan episode kebaikan.

Kata Rasulullah, "Wa atbi'is-sayyiatal-hasanah tamkhuha". Dan ikutilah perbuatan buruk dengan kebaikan, maka ia akan menutupinya. Selalu begitu. Dan kita pun banyak menemukan amalan-amalan yang mempunyai semangat (baca: imbalan) menghapus dosa dan menutupi kesalahan yang telah lalu. Itu bukti kasih sayang Allah kepada kita, karena Allah pun ingin kita menutup puzle kehidupan kita dengan kebaikan.

Setiap amal itu ada masa semangatnya. Satu yang harus selalu kita pegang, selalu berada di atas sunnah junjungan kita. Tentu agar kita selalu mendapat petunjuk. Tentu agar kita mendapat bimbingan-Nya dalam meniti dan menorehkan tiap episode demi episode hidup kita ini.

"Qul inkuntum tukhibbunallah, fat-tabi'uni. Yuhbibkumullahu wa yaghfirlakum dzunubakum" : Katakan (Muhammad), jika engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku. Allah akan mencintai engkau dan mengampuni dosa-dosamu. Inilah bukti cinta Allah dan Rasul-Nya. Bahwa Sang Pencipta melalui Sang Utusan itu, ingin agar kita mengikuti jalan yang ditempuh Sang Utusan. Itulah jalan keselamatan.

Karena kita telah menyaksikan puzle kehidupan Sang Utusan yang begitu mempesona. Penuh dengan nilai dan tauladan. Penuh dengan energi cinta dan kebaikan. Tak ada cela. Itulah puzle kehidupan yang kita inginkan. Sempurna.

Jumat, 21 November 2008

Cinta adalah sebuah gagasan

Pada sebagian tabiatnya yang paling murni, cinta menyerupai air. Air adalah sumber kehidupan. Semua mahlukhidup tercipta dari air. Air mempunyai mata dan selalu bergerak dari hulu ke hilir. Ia mengalir tak henti-henti. Ia bergerak tak selesai-selesai. Setiap sungai dan kali mengalir dan bergerak pada jalur-jalurnya. Tapi mereka semua kemudian bertemu pada satu titik, pada sebuah muara besar. Mata air. Mengalir. Bergerak. Tak henti-henti. Tak lelah. Tak selesai-selesai. Menuju muara. Muara besar. Hampir tak terbatas. Jauh sejauh mata memandang. Jauh seperti memandang. Jauh seperti menyentuh kaki langit. Itu sebabnya bumi kita diisi lebih banyak oleh air. Karena Tuhan ingin menyemai kehidupan disini.

Diantara mata air yang kecil kepada muara yang besar ada aliran. Ada gerak. Ada riak. Ada gelombang. Ada gemuruh. Ada debur. Ada percikan. Ada gelora. Ada gairah. Ada dinamika. Selalu begitu. Senantiasa seperti itu. Tak ada penghentian. Tak ada stagnasi. Tak ada diam. Ia membludak jika ditahan. Ia membuncah jika dibendung. Ia membanjir pada puncak dinamikanya. Tapi ia selalu membersihkan semua kotoran yang dilaluinya. Seperti hujan mengusir mendung yang mengotori biru langit.

Begitulah cinta. Ia adalah sebuah gagasan yang murni tentang kehidupan yang lapang. Mata airnya adalah niat baik dari hati murni. Muara adalah kehidupan yang lebih baik. Alirannya adalah gerakan amal dan kerja memberi yang tak henti- henti. Cinta adalah gagasan tentang penciptaan kehidupan setelah kehidupan tercipta. Maka kata Muhammad Iqbal, “Engkau menciptakan hutan belantara. Dan aku menciptakan taman”.

Begitu ada niat baik dan ada muara kehidupan yang lapang yang hendak kita ciptakan, maka cinta ciptakan, maka cinta menjadi nyata saat ia mengalir. Saat ia bergerak. Aliran dan gerakan itulah yang melahirkan debur, gemuruh, riak dan ombak. Gairah dan dinamika yan membuatnya ada, nyata dan hidup.

Seperti air yang berhenti mengalir, kehidupan juga akan berhenti bergerak jika ia tidak mengarah pada sebuah muara besar. Air yang tergenang selalu mengalami pembusukan. Begitu juga kehidupan yang tidak bergerak kehilangan dinamika dan serta merta menjadi rusak. Bukan. Bukan Cuma rusak. Tapi bahkan merusak lingkungan disekitarnya.

Begitu juga cinta ketika ia hanya sebuah perasaan. Bukan sebuah gagasan. Sebab perasaan adalah bagian dari aliran. Bukan aliran itu sendiri. Bukan muara. Begitu juga cinta ketika ia hanya sebuah ruh. Bukan sebuah gagasan. Sebab ruh adalah mata air. Bukan muara. Begitu juga cinta ketika ia hanya sebuah raga. Bukan sebuah gagasan. Apalagi raga; ia hanya riak, hanya gelombang, hanya debur, hanya gemuruh. Ia ada karena aliran. Ada gerakan. Perasaanlah yang memberinya rasa dan nuansa; keindahan. Tapi keindahan ini tak pernah berdiri sendiri.

Gagasan. Gagasanlah yang mengubah cinta menjadi sebuah keseluruhan, sesuatu yang utuh, semacam kumpulan kata-kata yang membentuk kalimat dan melahirkan makna. Yaitu gagasan tentang bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik, tentang berapa besar energi yang kita perlukan untuk menyelesaikannya, tentang rincian tindakan yang harus dilakukan dari awal hingga akhir. Dalam gagasan itu jiwa, raga dan ruh menyatu; membuncahkan mata air kebajikan, mengaliri setiap sudut kehidupan menuju muara kebahagiaan yang lapang. Disini jiwa, raga dan ruh menuaikan fungsi-fungsinya. Dan pada penuaian fungsi itu ada pesona yang memercikan keindahan.

Ust. Anis Matta

Selasa, 18 November 2008

Love : The Art of Balancing

Obrolan santai dengan seorang sahabat tadi malam, secara tidak sengaja berbicara tengang makna keseimbangan. Dalam islam kita mengenal konsep tawazun. Dalam dunia yoga ada istilah ying-yang. Dan dalam ilmu managemen maka kita pun mengenal istilah the art of balancing. Maka dalam dunia cinta mencintai, kita menemukan kaidah keselarasan dan keserasian.

Semua berada dalam alur yang sama, bahwa untuk mencapai kondisi yang baik dan ideal maka diperlukan konsep keseimbangan. Segala sesuatu hanya akan berada dalam titik kestabilan manakala terjadi keseimbangan di sana.

Alam semesta yang begitu luas ini dengan gugusan galaksi-galaksinya, yang merupakan pertautan dari berjuta-juta tata surya, terus bergerak dalam kestabilan karena terjadi keseimbangan di sana. Jika kita kembali mengingat tentang ekosistem, maka mata rantai kehidupan di alam ini hanya akan terus eksis manakala terjadi keseimbangan di mata rantai-mata rantai itu. Satu mata rantai saja hilang, maka ekosistem itu akan bergolak, mencari keseimbangan baru.

Dalam hubungan dengan sesama manusia pun, agar kita mendapatkan relasi yang selaras dan serasi, maka perlu ada keseimbangan di sana. Seimbang dalam menerapkan hak dan kewajiban. Seimbang dalam hal memberi dan menerima. Bisa menempatkan diri di hadapan orang sekaligus memandang keberadaan dan keadaan orang lain dengan kaca mata diri kita. Maka dalam ungkapan jawa kita mengenal tepa selira, yang kemudian mengejawantah dalam definisi tenggang rasa.

Untuk mencapai keselarasan, maka segala sesuatu akan bergerak mencari titik keseimbangan. Seperti teori harga, ia akan bertemu pada titik keseimbangan : pertemuan antara permintaan dan penawaran. Ketika kedua hal itu belum bertemu, akan terus terjadi koreksi di kedua pihak. Jika tidak ada yang mau untuk mengoreksi diri, jangan harap akan terjadi keseimbangan di sana. Inilah seni keseimbangan alam semesta.

Jika kamu mencintai seseorang, agar terjadi keselarasan dan keserasian, maka dibutuhkan keseimbangan di sana. Di satu sisi kamu menuntut cintanya maka kamu harus memberikan perhatian kepadanya. Di lain waktu kamu ingin dia memperhatikanmu, maka tunjukkan cinta dan sayangmu padanya. Harus selalu ada keseimbangan, agar serasi dan selaras.

Jiwamu dan jiwanya tak mungkin akan pernah bertemu dalam cinta, mana kala yang kamu tawarkan kepadanya tidak sesuai yang sedang ia butuhkan. Atau dia meminta darimu sesuatu, tapi kamu enggan untuk memberinya. Semua harus bersambut. Seperti tangan yang jika bertepuk maka harus ada tangan satunya. Maka pintanya adalah untuk menyeimbangkan pemberianmu. Maka pemberiannya adalah untuk mencapai titik keseimbangan akan keinginanmu. Harus ada saling mengisi di sana.

Seorang pencinta sejati, maka ia akan rela mengoreksi standar nilai dalam dirinya, agar tercapai keselarasan dan keserasian dengan pasangannya. Menaikkannya atau bahkan menurunkannya sekali pun. Nilai apa pun itu. Bisa selera. Cita rasa. Hobi. Yang ia butuhkan adalah bertemu jiwa dengan kekasihnya dalam titik keseimbangan itu. Tidak ada ego di sini. Semua akan luntur atas nama cinta jiwa. Di sinilah kamu akan mendapatkan makna pengorbanan yang luar biasa. Yang terkadang tidak bisa diurai dalam kata-kata.

To My Love : Love U So Much...

Cerita Mereka tentang Pernikahan

Ini tulisan seorang sahabat saya di forum pekanan. Lucu sekaligus menghibur. Selamat menikmati, dijamin akan tertawa atau setidaknya tersenyum...

TAHTA KERAMAT MAJAPAHIT

(mohon maaf, judul cerita tidak mewakili isi cerita)

Bagian I. Adhimas Mr. X dari Kadipaten Klaten

Nun jauh di negeri antah barantah, hiduplah seorang pemuda desa yang bersahaja. Sebut saja dia Adhimas Mr. X. Setelah menekuni bidang perpajakan di bangku kuliah wilayah Kadipaten Sleman selama setahun dan mendapat gelar Pelaksono Mudo, dia mendapat tugas sebagai abdi negara di Pusat Kerajaan. d'Djakarta Cities Metropolies. Jauh. Jauh sekali dari tanah kelahirannya kadipaten klaten. Setelah beberapa lama hidup di Pusat Kerajaan d'djakarta, Adhimas Mr. X. merasa ada yang hilang dari kehidupannya. apakah itu?

Bagian II. Pertemuan dengan Adimas Meliyanting

Adhimas Mr.X merasa kehidupannya berubah menjadi sepi. Dahulu, diperguruan perpajakan kadipaten Sleman Adhimas Mr.X bisa berinteraksi dengan teman seperguruan yang aneh, lucu tapi kompak. Hari-hari menimba ilmu Adhimas Mr.X dilalui dengan penuh suka ceria. Tapi di d'djakarta kehilangan semua itu. Dia merasa memasuki kehidupan yang sangat individualis dan matrealistis. Kenyamanannya menjalani kehidupan lambat laun terus menurun sampai ke titik jenuh paling nadir. Seolah hidup di d'djakarta saat itu hanyalah untuk sesuap Burger atau Fried Chiken untuk esok hari. Begitu instan dan menjenuhkan. Sampai pada suatu hari Adhimas Mr.X berkenalan dengan seorang punggawa sesama Pelaksono Mudo yang mengabdi di Kasenopatian sebelah bernama Adhimas Meliyanting. Pertemuan dengan Adhimas Meliyanting ini merubah babak-babak baru dalam kehidupan Adhimas Mr.X.....

Bagian III. Padepokan Ki Ageng Tumengung Masker

Karena merasa senasib dan sama-sama terbuang dari Kampung halaman, singkat cerita Adhimas Mr. X dan Meliyanting menjadi sahabat karib (jangan diplesetin jadi kurab ya !). Pada suatu kesempatan di malam purnama yang gundah gulana, Meliyanting hendak beranjak berguru ke Komplek Katumenggungan. Melihat Adhimas Mr. X yang hanya membisu memandangi purnama dengan sayu, Adhimas Meliyanting mengajak Adhimas Mr. X ikut berguru ilmu. Sekedar pacoban, Adhimas Mr. X akhirnya ikut juga. Oleh Adhimas Meliyanting, Adhimas Mr. X diperkenalkan kepada gurunya Ki Ageng Tumengung Masker. Seorang guru sakti yang ternyata juga berasal dari Kadipaten Klaten. Singkat cerita, Adhimas Mr. X akhirnya menjadi adek seperguruan Adhimas Meliyanting di padepokan Ki Ageng Tumengung Masker.

Bagian IV. AJI GARWO KATRESNAN ADHIMAS IRUL KHOIR

Suatu hari, terjadi kehebohan di Padepokan Ki Ageng Tumengung Masker. Di kabarkan seorang murid senior dari Ki Ageng Tumengung Masker yang bernama Adhimas Irul Khoir secara mendadak telah berhasil mendapatkan sebuah pusaka sakti yang disebut Aji Garwo Katresnan. Pusaka tersebut hanya bisa diperoleh oleh orang-orang yang menguasai ilmu Munakahatan. Ternyata selama ini secara diam-diam Adimas Irul Khoir dibantu oleh Ki Ageng Tumengung Masker telah melakukan ritual khusus yang disebut Tangarufan. Pasca Ritual Munakahatan Adhimas irul Khoir sukses, sebagai seorang guru Ki Ageng Tumengung Masker pun memberi testimoni pada Adhimas irul Khoir dan juga motivasi kepada murid-muridnya yang laen agar segera menyusul kakak seperguruan mereka Adhimas irul Khoir. Beliau berkata, memiliki Aji Garwo Katresnan lebih cepat itu lebih baik dan jangan ditunda-tunda.

Dengan Aji Garwo Katresnan ini orang akan terbebas dari penyakit ‘jomblo mrenges’. Yaitu penyakit dengan gejala ngalamun, nglangut, nglindur dan suka mrenges sendiri. Akhirnya, Ki Ageng Tumengung Masker pun memberi wejangan keramat. Bagi murid-muridnya yang ingin segera mendapatkan Aji Garwo Katresnan maka segera persiapakan ubo-rampe berupa niat jejeg, ati mantep, restu karep, nafkah ajeg dan ikhtiaran nulis serat biodata. Wejangan Ki Ageng Tumengung Masker saat itu begitu membekas di hati Adhimas Mr. X. Sejak saat itu, Adhimas Mr. X sedikit demi sedikit mengumpulkan ubo-rampe yang dibutuhkan untuk mempraktekan ilmu Munakahatan agar bias segera terbebas dari penyakit ‘jomblo mrenges’.

MASIH BERSAMBUNG........ (namanya juga cerbung)

Seorang Lelaki dengan Kegundahannya

Malam telah menunjukkan kisaran angka 11.34. Dengan sedikit kedinginan karena hujan yang mengguyurnya sejak berangkat ke sebuah agenda acara rutinnya selepas sholat isya’ tadi sampai pun kepulangannya sekarang, lelaki itu melepas jas hujan yang dikenakannya. Perhatian pertamanya tertuju pada si bungsu, anak ketiganya yang tadi ia tinggalkan belum mau tidur. Si bungsu akhirnya tidur dikeloni mbah kakungnya di ruang tamu, kebetulan istrinya sedang tugas keluar kota.

Rabu 05 April 2006, pukul 00.18. Seorang lelaki di tengah gundahnya meraih hp nya untuk merangkai kata, mengirim sebuah pesan untuk istri tercinta :

”8th bukanlah waktu yg pendek utk bs diungkapkan dlm kata2. Selalu ada galau apakah diri ini tlh mpy arti bgnya. Wkt trs berlalu seiring dg berlalunya tanya itu. Smg ia merasakan apa yg mjd gundah slm ini. Yang, Bi mohon maaf jika selama rentang waktu 05-04-1998 s.d. 05-04-2006 bi banyak berbuat salah ke dek. I love u much.”

10 menit kemudian, jawaban sms dari sang istri datang :

“From the bottot of my heart U mean to me much, i can't happier, Mas, dek tersanjung, bahagia, terharu. Bukalah hati mas seluas cakrawala tuk menerima dek apa adanya, ridhoilah dek agar dek dpt menemui mas di syurga nanti. Forgive me 4 everything, i really love mas.”

(catatan yang berserak)

Interaksi Saya dengan ustadz saya : Ust. ZS

Interaksi Saya dengan ustadz saya : Ust. ZS

Malam itu sejatinya ingin saya telepon beliau, biasanya beliau butuh tumpangan untuk datang ke lokasi mabit. Tapi saya sudah lebih dahulu dihampiri oleh seorang teman, sehingga saya putuskan untuk berangkat berboncengan dengan teman saya tersebut.

Belum sampai di lokasi ada teman lain sms, "Akh, saya sudah di lokasi. Di lantai tiga kan? Kok belum ada yang datang ya?". Dia baru bergabung dengan liqoat kami di Pancoran, setelah sebelumnya aktifitas tarbawinya di daerah Tebet. "Yup, saya sedang menuju ke situ Akh." Akhirnya saya berdua teman tadi menjadi peserta mabit yang ketiga dan keempat sampai di lokasi.

Beberapa saat kemudian, ustadz datang. Agak terengah-engah kelihatannya. "Saya tadi sempat tersesat dulu. Diboncengkan sama Akh ****." Melihat beliau kelihatan kelelahan dan agak kepanasan, sejenak saya berharap ikhwah yang datang belakangan tidak lupa untuk membawa minuman dan snack ala kadarnya. Sesuatu yang lupa saya pikirkan sebelumnya.

"Tolong Akh, dibuka jendelanya. Biar ada angin masuk." pinta beliau kepada saya yang kebetulan berada di dekat jendela. Acara pun kemudian kami mulai berlima dengan beliau, tanpa menunggu anggota yang lain datang. Satu per satu teman-teman kami kemudian berdatangan.

Beberapa saat beliau berbicara, saya makin melihat keterengah-engahan beliau. Ternyata tidak ada yang membawa minuman ataupun snack! Kelihatan sekali bahwa beliau kehausan, tapi tidak diucapkannya. Aduhai, kenapa saya menjadi merasa bersalah begini? Biasanya jika hendak mabit, urusan logistik ini yang saya tahu sudah ada yang menangani. Tapi untuk mabit kali ini
sepertinya kemaren lupa dibicarakan.

Selesai acara rutin, saya langsung berinisiatif mengajak seorang teman untuk mencari minuman dan sedikit snack ke luar. Beliau mendekati saya, "Akh, tidak ada minuman. Kalo tidak ada, antum tanggung jawab mencari minuman ya. Panas begini kalo tidak ada minuman bisa dehidrasi kita." Kata beliau sambil sedikit tertawa. "InsyaAllah ustadz, ini saya lagi mau keluar mencari
minum." jawab saya bergegas.

Mencari toko/warung yang cukup lengkap makanan dan minumannya, yang buka di atas jam 22.00 ternyata bukan pekerjaan yang mudah. Berkeliling kami di sepanjang Jalan Pasar Minggu. Kalo sekedar aqua mudah, tapi yang lain-lain ini yang susah.

Alhamdulillah, akhirnya terhidang aqua gelas satu dus, yakult 10botol, dan martabak telor 2 kotak. Kami santap bersama untuk bekal tidur, biar nyenyak katanya. Hehehehe... "Ustadz, dari Semarang sejak kemaren malam ya?" tanya saya. "Ndak. Barusan saja tadi. Terus langsung ke sini. Saya ke sini ya hanya untuk datang liqo dan mabit malam hari ini. Besok pagi-pagi jam tujuh harus kembali lagi ke Semarang. Pagi ada launching caleg dan sorenya ada acara yang harus diisi." Jawab beliau.

Opss.. jauh-jauh dari Semarang beliau "hanya " untuk datang liqo dan mabit? "Saya kemaren kan sudah berkomitmen, meski masa reses saya akan usahakan dua minggu sekali bisa datang." tandas beliau. Ya, sebenarnya kami semua amat memahami kesibukan beliau. Pun pekan kemaren saat hari senin (beliau muskernas di Makassar), saat saya menemukan miskol beliau di hape saya sampai 8x, saya langsung tanggap ada amanah yang harus saya tunaikan.

Setengah bercanda kembali kembali berucap, "Akh K***, lain kali kalo beli makanan, baiknya ada yang manis dan ada yang asin. Buat jaga-jaga kalo ada yang suka manis atau gak suka asin." Saya hanya tersenyum, "Iya ustadz, tadi rencananya mau beli juga yang manis, tapi karena dua bungkus sudah dirasa banyak dan takut gak kemakan, saya putuskan beli ini aja. Makanya saya beli yakult juga tadz, buat pemanisnya." Hehehee, dasar saya. Selalu saja ada alasan. Tapi memang tadi saya dan teman sudah maju-mundur mau beli makanan yang manis juga, tapi akhirnya kami urungkan.

Pelajaran pertama : Semangat untuk menghadiri halaqoh. Ini setidaknya yang saya coba untuk mengikutinya. Meski dalam kondisi beliau yang bahkan kurang fit sekalipun. Entahlah, yang pasti saya merasakan ketenangan di sana. Semoga saya bisa belajar untuk selalu istqomah di atas jalan dakwah ini. Semoga.

Saat ini saya tidak lagi satu forum dengan beliau. Keputusan struktur membuat kami harus berpisah komunitas. Akan tetapi, saya tiap pekan tetap berkunjung ke rumah kontrakan beliau. Ada satu halaqoh yang harus saya temani setiap pekan, dan rumah beliau menjadi basecamp kami. Terkadang beliau masih sering menitipkan halaqoh yang beliau pegang ke sana. “Waktu antum harus dioptimalkan. Nanti kita carikan halaqoh. Minima dua.” Katanya waktu itu.

Ya, beliau sadar dan tahu bahwa karena keluarga saya ada di daerah, sebagaimana beliau juga, maka waktu-waktu di sini harus dioptimalkan. Maka tiap senin malam, jika beliau sedang di luar kota untuk acara dinas maupun masa reses, beliau hampir selalu menitipkan halaqoh beliau ke saya. “Sebisa mungkin halaqoh yang kita pegang itu rutin berjalan setiap pekan. Meski kita berhalangan, maka usahakan agar ada al akh kita yang menggantikan.” Pesan beliau ketika itu.

Jumat, 31 Oktober 2008

Cinta Aktivis Dakwah

Ini adalah taujih yang ditulis salah satu sahabat saya. Dikutip dari beberapa sumber dengan beberapa modifikasi di sana-sini, begitu pesannya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari tulisan ini. Selamat menikmati.

Cinta Aktivis Dakwah

Akhi… jangan sampai kita menikah… kata seorang ahwat aktivis dakwah disuatu kampus. Terlalu seringnya berinteraksi membuat teman sekampusnya menobatkan mereka jadi Pak Kyai dan Bu Nyai….walau julukan itu sebenarnya hanya ledekan rahasia diantara teman2 mereka dan tanpa disadari oleh keduanya.

Seringnya interaksi dan komunikasi antara dua orang lajang yang berlainan jenis, tentunya reaksi lingkungan akan mengatakan mereka disatukan saja.. mereka dijodohkan saja… namun ketika hal tersebut sulit dihindari karena memang tidak ada orang lain lagi… kemungkinan desiran virus itu mulai merambah dihati sang aktivis…

Bersyukur jika ada rasa tanggung jawab bagi aktifis untuk tetap menjaga kesucian dakwah ini.. agar virus2 tsb tidak perlu berkembang terlalu jauh , menjadi menular pada orang2 lemah disekitarnya.


Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah diundang dan dikehendaki?

Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah Rosullulah saw dan jalan meraih ridho Allah SWT.

Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Jelas, Allah, Rosullah dan jihad fii sabilillah adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah perasaannya, berkahlah cintanya dan berkahlah amal yang terwujud dalam cinta tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenannya jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukan perkara sederhana.

Ketika Ikhwan mulai bergetar hatinya terhadap akhwat dan demikian sebaliknya. Ketika itulah cinta lain muncul dalam dirinya. Cinta inilah yang akan kita bahas disini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yg jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif yang dengan indah dikemukakan oleh ibunda kartini akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada disamping laki-laki yg cakap, lebih banyak kata saya..daripada yang saya usahakan sebagai perempuan yg berdiri sendiri..

Cinta memiliki 2 mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan jaminan kesempurnaan agama dan disisi lainnya adalah gerbang fitnah dan kehidupan yg sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan dan persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada diri sendiri, sudah siapkah jatuh cinta???jangan sampai kita lupa, bahwa segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan, maupun perasaan adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai generasi dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun pentas kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena memuliakan Islam.

Deklarasi Cinta

Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta diatas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa mengusung pembenahan kepribadiaan manusia, maka layaklah kita tempatkan tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku generasi hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang cinta. Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta didewakan dan dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah persaingan, sengketa. Sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja keras dan pengorbanan, serta jembatan jalan kesurga dan kemuliaan Allah, tidak pernah mendapat tempat disana.

Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah terbilang jumlah pengakuan keutamaan kita, sebuah dakwah yang kita gagas, Sudah banyak potret keluarga yg baru dalam masyarakat yg kita tampilkan. Namun berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta masih menjadi topik asing dalam dakwah kita. Wajah, warna, ekspresi dan nuansa cinta kita masih terkesan misteri. Pertanyaan sederhana, Gimana sih, kok kamu bisa nikah sama dia, Emang kamu cinta sama dia?, dapat kita jadikan indikator miskinnya kita mengkampanyekan cinta suci dalam dakwah ini.

Pernyataan ˜Nikah dulu baru pacaran masih menjadi jargon yang menyimpan pertanyaan misteri, Bagaimana caranya, emang bisa?. Sangat sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan, diskusi dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan jargon tersebut.

Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada sang Penguasa. Cinta yang diberkahi karena taat pada sang penguasa. Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan dan perbuatan ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak. Cinta yang berorientasi bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton dan seabrek romantika yang berdiri diatas pengkhianatan terhadap nikmat, rezki, dan amanah yang Allah berikan kepada kita.

Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakan tentang cinta ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan terhadap akhwat, tentang perhatian seorang akhwat pada ikhwan, tentang cinta ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat dan tentang landasan kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih banyak dibuka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut mekanisme yang menyertainya. Paling tidak gambaran besar yang menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga dakwah hari ini.

Setiap kita yang mengaku putra-putri Islam, setiap kita yg berjanji dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna, maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri kepada cita-cita tertinggi, syahid fi sabililah. Inilah perasaan yang istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan Rosullulah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang dakwah kita. Dengan perasaan ini kita naik marhalah dalam dakwah dan pembinaan.

Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini. Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cinta itu juga mereka menghiasi Bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah berkahi nikmat itu dengan lahirnya anak-anak shaleh yang memberatkan Bumi dengan kalimat Laa Illaha Ilallah. Inilah potret cinta yang sakinah, mawaddh, warahmah. jadi sudah berani jatuh cinta??

Mbak Fery Juliatini

Meretas Dakwah Komunitas

Dulu ketika memutuskan untuk membangun sebuah rumah dan hidup di tengah sebuah kampung, ada kesadaran akan konsekuensi pilihan ini. Bahwa menghadapi masyarakat yang majemuk dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang kadang njomplang, tentu dibutuhkan kesabaran yang lebih.

Di kampung, segala sesuatu sering kali diukur dari sisi kontribusi kita di sana. Di kegiatan gotong royong jika kita tidak pernah muncul maka sangat mungkin orang akan membicarakan kita. Di rapat-rapat RT jika jarang kelihatan tentu akan membuat orang memandang kita sebelah mata. Unggah-ungguh dan kesopanan masih di junjung tinggi, kepada yang lebih tua jika tidak bisa menempatkan diri bisa-bisa kita akan dikucilkan di sana.

Tentu ini sangat kontras dengan kondisi jika kita tinggal di perumahan yang memang mendukung gaya hidup individualis, jika kita tidak mewaspadainya. Kesibukan, tingkat pendidikan maupun ekonomi yang biasanya merata membuat satu sama lain sering jarang berinteraksi. Sikap cuek dengan sekitar, sering kali menjadi ciri khas kehidupan di perumahan.

Sekali lagi ini hanya masalah pilihan. Masalah selera. Bagi seorang kader dakwah, di lingkungan manapun yang ia pilih maka begitu dia memutuskan tinggal di lingkungan itu, maka saat itu pula misi dakwah di lingkungan itu juga mulai berjalan. Tidak peduli dia memutuskan tinggal di kampung atau pun perumahan. Kondisi apa pun yang mungkin menghalangi, harus siap dihadapi dan ditaklukkan.

Alhamdulillah saya terlahir hanyalah sebagai orang kampung, juga dengan selera kampung. Maka ketika memimpikan untuk memulai merancang sebuah basis dakwah bagi keluarga saya, saya lebih mantab untuk memulainya di sebuah kampung yang cukup jauh dari perkotaan. Ditambah dengan pengalaman lingkungan perkotaan yang kurang baik dari keluarga istri saya, makin menambah semangat itu.

Kami mengawali semua dari nol. Rumah sederhana itu kami bangun sendiri bersama ayah saya dibantu beberapa tetangga kami. Kami hanyalah pendatang, tidak ada sanak keluarga disana. Tidak ada yang kami kenal di sana kecuali pemilik tanah yang menjual tanah itu kepada kami. Dia seorang kader yang kini menjadi salah satu staf deputi di mempora, beberapa saat setelah kami menempati rumah kami. Praktis kemudian dia pindah dari kampung kami setelah itu. Bahkan mungkin kami di kampung ini pun masih dianggap sebagai anak kemaren sore. Sebuah tantangan.

Selama 4 tahun berinteraksi dan mencoba untuk melakukan penetrasi dakwah dan tarbiyah di sana, ada beberapa pengalaman yang semoga bisa saya bagi di sini. Sebagaimana dulu ketika para nabi dan rasul berdakwah di kaumnya, digambarkan dalam Al Qur’an bahwa sering kali (atau bahkan selalu) yang mereka hadapi dan paling gencar penentangannya kepada dakwah adalah para pemuka kaum. Dalam bahasa Al Qur’an disebut al-mala’.

Maka saya memandang, ketika kita mengusung dakwah di sebuah komunitas - apa pun itu - maka adalah sebuah keniscayaan kita akan berhadapan dengan yang namanya al-mala’ ini. Ciri khas mereka, mereka berpengaruh di masyarakat itu. Biasanya mereka mapan secara ekonomi dan tidak jarang juga pandai. Punya status sosial tinggi. Pendapat mereka hampir selalu diiyakan oleh masyarakat. Apalagi di kampung yang tingkat primordialismenya masih kental.

Dan inilah dakwah. Kita akan bersinggungan dengan Pak RT, Pak RW, Pak Dukuh, Pak Kaum, Ketua Tahlilan, dan jabatan-jabatan informal lainnya. Arus dakwah ini seringkali harus bersinggungan dengan mainstream pakem yang berlaku di masyarakat itu. Sering kali melawan arus utama. Siap tidak siap, kita harus menunjukkan prinsip-prinsip yang kita yakini kebenarannya itu. Dan kadang itu akan berbenturan dengan keyakinan-keyakinan di sana.

Adalah kewajiban kita untuk mendakwahkan semua itu. Dan seni dakwah sya’biyah di sinilah menjadi hal yang harus selalu kita gali dan mainkan. Tidak ada yang baku di sini, karena tiap komunitas tentu membutuhkan pendekatan yang khusus. Boleh jadi satu pendekatan cocok dengan gaya hidup orang kampung, tapi di sisi lain dia tidak pas untuk gaya hidup di komplek perkotaan.

Yang perlu kita perjuangkan pertama kali adalah akseptabilitas kita di masyarakat. Ya, penerimaan mereka terhadap kita. Maka upaya yang harus kita lakukan adalah mendekati mereka, merangkulnya, dan membuat mereka percaya dengan dakwah ini. Bukan malah sebaliknya karena sikap yang kita salah, alih-alih membuat mereka dekat dengan dakwah ini, malah mereka akan lari dan alergi dengan dakwah.

Ada setidaknya 3 (tiga) hal yang harus kita bangun dalam diri kita agar akseptabilitas ini dapat kita wujudkan :

1. Integritas
Sungguh faktor integritas ini sangat mempengaruhi penerimaan masyarakat kepada kita. Rasulullah bahkan sebelum beliau diangkat menjadi rasul, telah dikenal dengan gelar al-amin nya. Tentu kita ingat dengan kemelut yang terjadi saat peletakan hajar aswad ketika renovasi ka’bah. Hampir-hampir terjadi pertumpahan darah. Maka ketika Rasulullah memberikan penyelesaiannya, semua menerima dengan lapang dada.

Memang membangun intregitas bukan perkara yang mudah. Butuh banyak amal dan kerja nyata yang harus dilakukan. Selalu jujur. Dapat dipercaya. Senantiasa membantu kepada yang membutuhkan pertolongan. Ringan tangan. Tidak mengingkari janji. Selalu berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Perhatian dan peduli kepada tetangga. Ikut memakmurkan masjid/mushola. Ini hanya sebagian contoh untuk membangun intregitas kita.

2. Kapabilitas
Masyarakat akan menghargai jika kita mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu yang (mungkin) dibutuhkan masyarakat. Selalu asah kemampuan yang kita punyai. Jangan pernah alergi untuk mencoba mengambil sebuah peran yang akan mengasah kemampuan kita.

Di kampung saya, orang dalam acara-acara resmi biasa memakai bahasa jawa halus. Saya sendiri amat kesulitan dengan bahasa ini walau saya orang kampung dan jawa tulen. Karenanya, dalam kultum atau khutbah jumat saya mencoba untuk membiasakan dengan bahasa jawa. Interaksi dengan masyarakat juga sebisa mungkin memakai bahasa jawa halus. Tapi saya belum berani memakainya dalam forum terbuka dan umum. Sampai akhirnya, pada acara syawalan RW yang dimotori ibu-ibu PKK kemaren ada seorang pengurus RW yang mendatangi saya meminta saya menjadi MC. Prinsip saya, peran apapun akan saya coba selagi itu untuk meningkatkan kapabilitas saya. Walau tetap saja masih juga grothal-grathul. Alhamdulillah. “Matur nuwun nggih pak, sudah dibantu” Kata seorang ibu pengurus PKK waktu itu.

Burn yourself. Begitu judul salah satu buku dari Ustadz Satria Hadi Lubis. Saya memang belum pernah membaca isinya. Tapi setidaknya semangatnya sudah saya dapatkan.

3. Konsistensi
Selalu dibutuhkan nafas panjang dalam setiap etape dakwah ini. Karena dakwah tidak pernah selesai hanya dalam satu atau dua generasi. Karenanya agar dakwah ini menghunjam kuat di masyarakat, dibutuhkan konsistensi.

Konsisten dalam segala aspek. Ucapan. Perilaku. Gerak dakwah. Dalam segala kondisi dan waktu. Tidak musiman. Tidak sesaat. Pun tidak hanya di waktu-waktu tertentu maupun untuk orang-orang tertentu.

Maka setelah kita mengupayakan ketiga hal di atas, dimana pun kita memutuskan untuk meretas sebuah komunitas dan basis dakwah bagi keluarga kita, maka yakinkan kita bahwa kita memang mampu menjadi agen dakwah di sana. Berusaha untuk berguna bagi orang lain. Sebagaimana ucapan Sayyid Qutb rahimahullah : “Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar dan tidak akan pernah mati.”

Allahu a’lam bish-shawab.

Masker/28102008

Senin, 27 Oktober 2008

Lupa yang kedua

Sabtu-ahad kemaren mbak yang biasa bantu di rumah kami pulang kampung. Ada sedikit kejadian menggelikan sekaligus menjengkelkan. Pagi itu, istri ada acara kajian di rumah. Sementara istri sibuk dengan para tamunya, saya mencuci piring dll di belakang. Selesai acara, istri langsung berbenah memasak.

"Mas, tolong masak nasi ya" Kata istri. "Oke. Berapa takar?" Jawab saya. "Tiga aja" Katanya.

Selesai mususi beras langsung saya taruh kembali ke dalam magic com. Waktu itu sekitar pukul 08.00. "Selesai" batin saya. Menjelang pukul 11.30 lauk pauk dan sayur sudah siap. Istri kemudian menengok nasi di magic com. Tiba-tiba dia teriak, "Maasss... tadi masak nasinya gimana? Lupa dipasang tombol cook nya ya?"

Gubrak!! Betul, saya lupa menurunkan tombolnya ke posisi cook rupanya. "Maaf, lupa"

"Gimana sih, ini yang kedua kalinya tahu" Kata istri sedikit sewot. Jadinya siang itu kami makan siang sedikit agak terlambat. "Mi, mau makan" Kata anak gadis saya. "Nasinya belum matang, tuh abimu lupa lagi.." Anak saya kemudian menoleh ke saya. Dan saya hanya bisa tersenyum kecut.

Jumat, 17 Oktober 2008

Tentang Puisi Itu

“Adek sudah baca…” tiba-tiba istri saya mengatakan kalimat itu, sambil menatap saya. “Baca apa, Dek?” Tanya saya tidak mengerti. ”Puisi, yang di blog itu” Jawabnya tanpa melihat ke arah saya. Saya mencoba mengingat, puisi mana yang dimaksud itu. Sengaja. Kadang saya membuat puisi, atau sekedar tulisan tentangnya, di blog maupun di komputer saya. Tidak saya beritahukan. Agar ia menemukan sendiri tulisan-tulisan itu. Seperti saat itu.

”Memang untuk siapa puisi itu?” tanyanya. ”Lah, memang kira-kira untuk siapa” Jawab saya mencoba mencari tatap jujur di matanya. ”Ya, ndak tahu. Wong bukan Dek yang nulis” kata istri saya tidak mau kalah.

Hening. Saya tidak ingin menjawabnya segera. Saya hanya ingin melilhat dia penasaran. Saya tahu, sebenarnya dia telah tahu untuk siapa puisi itu dibuat. Saya yakin, perasaannya telah menemukan kepada siapa tulisan itu sebenarnya dicurahkan. Tapi begitulah dia. Dia selalu ingin penegasan. Dia selalu butuh pengakuan secara verbal dari saya.

”Tentu saja puisi itu ditulis untukmu, sayang” begitu jawab saya. Benar. Dia hanya butuh pengakuan dari mulut saya. Penegasan. ”Terima kasih ya...” Ada binar di matanya. ”Adek juga cinta, Mas” Ucapnya sambil tersenyum ke arah saya. Selalu begitu. Entah berapa puluh atau ratus kali, dia selalu minta penegasan-penegasan tentang perasaan saya. Dulu, lidah saya begitu kelu untuk mengucap kata-kata semacam itu. Dulu, saya bukanlah seorang yang biasa mencurahkan perasaan dengan kata-kata. Biarlah terpendam. Begitulah.

Tapi sekarang, wanita ini banyak mengajarkan saya untuk saling terbuka. Terbuka untuk saling mengungkapkan perasaan kami. Ya. Karena kami sadar, cinta itu harus terus dipupuk dan disirami. Agar terus bersemai dan berbunga.

Ada Sekeping Rindu

Ada sekeping rindu
Terselip di lubuk hati terdalamku
Hanya untukmu
Jika engkau sadari itu

Ada sebongkah resah
Yang terus mendera
dalam langkah-langkah ini
Wahai bidadariku

Jika engkau berkenan
Maka dengarkan detak rindu itu
Terus mengalun
Dalam sudut-sudut sepi
Di segala relung jiwa ini

Hanya kepadamu
Satu...

Jumat, 10 Oktober 2008

Ada Tidak Ada, Sama Saja !

"Ada tidak ada, sama saja. Tidak ada bedanya!" Pagi itu tiba-tiba dari mulut mungil wanita itu keluar ucapan tersebut. Sepertinya dia begitu marah kepada suaminya. Tentu semua itu ada sebabnya. Ada alasannya. Apapun itu. Tapi, merenungkan kalimat tersebut, tetap saja membuat seseorang yang mendengarnya akan berkenyit. Begitukah?

Saya teringat dengan sebuah ungkapan arab, 'wujuduhu ka'adamihi' yang artinya adanya sama dengan tidak adanya. Ungkapan ini sering untuk menggambarkan seseorang yang di komunitasnya tidak membawa nilai lebih apa-apa. Nol. Sehingga digambarkan ada maupun tidak adanya dia, sama saja komunitas tersebut. Gambaran ini untuk memacu kita untuk semestinya menjadi pribadi yang bernilai lebih di komunitas kita, apapun komunitas tersebut. Bukankah Rasulullah mengatakan 'khairukum anfa'uhum linnaas', sebaik-baik kalian adalah yang paling memberi manfaat bagi manusia?

Bagi kita, komunitas yang terkecil kita bernama keluarga. Dan ketika seseorang telah berkeluarga, maka komunitas terkecil kita itu tentu paling tidak terdiri dari dua insan yaitu suami dan istri. Sebaik-baik suami/istri adalah yang paling memberi manfaat kepada keluarga yang dimilikinya, dalam hal ini pasangannya. Tentu juga anak-anaknya. Begitu kira-kira jika hadist tadi diterapkan dalam konteks ini.

Kembali kepada kalimat di awal alinea tadi, adakah sesuatu yang salah? Kenapa wanita tadi berucap seperti itu? Layakkah? Kita tentu ingat dengan sebuah hadist Rasulullah, Diriwayatkan oleh Ibn Abbas (ra):

Nabi (saw) berkata: "Aku melihat surga. Lalu aku memakan setangkai buah-buahannya. Jika kalian mendapatinya, maka kalian akan memakannya selama dunia masih ada. Aku diperlihatkan neraka, maka aku tidak melihat pemandangan yang lebih buruk dari hari itu. Aku melihat kebanyakan penduduknya adalah wanita." Para sahabat bertanya, "Karena apa, wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. menjawab, "Karena kekufurannya." Beliau ditannya, "Apakah mereka kafir terhadap Allah?" Rasulullah saw. menjawab, "Mereka mengingkari suami dan mengingkari kebaikan. Jika kalian berbuat baik kepadanya selama setahun penuh, lalu ia melihat darimu sesuatu (keburukan) satu kali, ia akan berkata, "Aku tidak melihat kebaikanmu sama sekali." (Shahih Bukhari, Kitab Al-Kusuf, Bab Shalat al-Kusuf Jama'atan, juz 1, hlm. 331-332, no. hadits 1.052).

Terdapat hadits lain yang diriwayatkan Abu Sa'id al-khudri, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Wahai sekalian wanita, bersedekahlah, karena aku diperlihatkan bahwa kaum kalian adalah kebanyakan penghuni neraka." Mereka bertanya, "Karena apa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Kalian sering sekali melaknat dan mendurhakai suami. Aku tidak melihat kekurangan akal dan agama yang hilang dari otak pria yang kokoh dari salah seorang kalian." Mereka bertanya, "Dan apakah kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Bukankah kesaksian seorang perempuan setengah dari kesaksian seorang pria?" Mereka menjawab, "Betul." Beliau berkata, "Itulah kekurangan akalnya. Bukankah jika haidh, ia tidak shalat dan puasa?" Mereka menjawab, "Betul." "Itulah kekurangan agamanya." (Shahih Bukhari, Kitab Tarku al-Haidh ash-Shaum, juz 1 hlm. 115, no. hadits 304)

Jelaslah di sini bahwa hadits ini shahih dan tidak perlu diragukan lagi.

Tidak bersyukur seorang hamba kepada Allah, sampai dia bisa bersyukur (berterima kasih) kepada sesama manusia. Begitu Allah memaklumatkan. Paramater syukur seseorang adalah sejauh mana dia bisa berterima kasih kepada sesamanya. Saya jadi teringat salah satu nasehat Aa Gym dalam berinteraksi dengan manusia, 'ingatlah kebaikan-kebaikannya, dan lupakan kesalahan-kesalahannya kepada kita'

Lalu mengapa Rasulullah mengabarkan bahwa penghuni neraka kebanyakan perempuan? Kata Beliau lebih lanjut, "Karena kekufurannya.". "Mereka mengingkari suami dan mengingkari kebaikan. Jika kalian berbuat baik kepadanya selama setahun penuh, lalu ia melihat darimu sesuatu (keburukan) satu kali, ia akan berkata, "Aku tidak melihat kebaikanmu sama sekali." Barangkali memang demikianlah tabiat wanita. Bisa jadi itu bisa dihilangkan. Karenanya Rasulullah menyuruh agar para wanita lebih banyak bersedekah.

Tentu tidak ada suami yang senang dengan mendengarkan ucapan itu. Tapi sekali lagi itu tabiat. Ada baiknya kita belajar dari seorang Umar. Beliaupun pun ada saatnya dimaki-maki oleh istrinya, dan beliau diam saja. Karena beliau tahu, bagaimanapun istrinya telah berbuat kebaikan yang banyak kepada dirinya dengan mengurus kebutuhan dia dan anak-anaknya.

Seandainya pun anda harus mendengar ucapan tersebut, maka tersenyumlah. Bersikaplah sebagaimana seorang Umar bersikap. Dorong istri anda untuk banyak bersedekah sebagaimana wasiat Rasulullah. Masih banyak sisi kebaikan dan kelebihan yang dia punyai untuk selalu anda ingat. Cintai dia dengan sepenuh hati anda.

Semoga Allah mengumpulkan kita dan keluarga kita di Jannah-Nya kelak, bukan sekedar di dunia yang sungguh amat fana ini. Tentu dengan cinta yang lebih abadi. Amin.

Buku harian Mas Bejo : Kisah Si Rubah

Ini kiriman dari sahabat yang lain. Ya, sekedar wacana. Atau mungkin lebih tepatnya sharing yang semoga bisa saling meringankan. Walau solosi mungkin masih jauh panggang dari api.

Buku harian Mas Bejo : Kisah Si Rubah

(Menabunglah dari uang TC dan Gaji karena sewaktu-waktu mutasi bisa keluar dan harus datang pelantikan)

Sampai saat ini Mas Bejo masih terngiang-ngiang sebuah cerita tentang rubah dan kebun anggur. Cerita itu ada di buku paket bahasa inggris SMP tahun 1980 an.
Suatu hari ada seekor rubah yang kurus dan kelaparan sampai di sebuah perkebunan anggur yang sudah berbuah dan matang-matang. Melihat hal tersebut air liur rubah langsung keluar dan harapan hidupnya kembali tumbuh, kini dia bersemangat untuk menikmati buah anggur yang sudah matang tersebut. Namun sayang kebun anggur tersebut telah dikelilingi pagar yang rapat sehingga si rubah tidak bisa masuk. Si rubah dengan penuh semangat mengelilingi pagar kebun tersebut sambil mencari siapa tahu ada lobang/celah sehingga dia bisa masuk ke kebun anggur. Entah sudah berapa lama dia mengelilingi pagar dan semakin lama semakin lemah bahkan dia hampir perputus asa untuk tidak melanjutkan pencarian. Di saat hampir perputus asa si rubah melihat lobang kecil di ujung pagar.

Semangatnya kembali bangkit dan dengan susah payah si rubah memasuki lobang kecil tersebut. Karena si rubah badannya sangat kurus akhirnya berhasillah dia memasuki kebun. Horeeeee teriak si rubah. Dengan lahapnya si rubah makan anggur. Setelah kekenyangan si rubah tidur. Begitulah kebiasaan si rubah saat ini. Hari-harinya diisi dengan makan enak dan tidur. Tanpa disadari tubuh si rubah telah berubah menjadi bersih dan gemuk. Si rubah sekarang tidak lincah lagi karena jarang berolah raga (OR-nya ya versi rubah) dan kerjanya makan dan tidur. Bobotnya sudah naik 2 kali lipat. Si rubah menyadiri perubahan yang ada pada dirinya, kini dia merindukan keluarganya dan merindukan komunitasnya.

Kini si rubah sedang mencari lobang dimana dulu dia masuk. Setelah dicari kesana dan kemari akhirnya ditemukanlah lobang tersebut. Si rubah berusaha sekuat tenaga untuk keluar melalui lobang tersebut. Tubuhnya yang gemuk kini sudah tidak muat lagi. Akhirnya ……. terserah si rubah. Kalau dia akan keluar maka dia harus puasa lagi agar tubuhnya kembali kurus seperti semula ketika dia dating, tapi kalau tidak keluar dia merindukan keluarganya, komunitasnya. Belum lagi resiko menghadapi pemilik kebun.

Ingat kisah ini Mas Bejo jadi teringat nasibnya, ingat tentang modern, ingat tentang gaji dan tunjangannya yang sudah setingkat manager, tapi juga ingat mutasi yang bisa datang sewaktu-waktu tanpa permisi lebih dulu ditambah ketidak jelasan kemana Mas Bejo dimutasi. Belum lagi efek samping dari mutasi: Mas Bejo harus datang untuk pelantikan dengan membayar transport dari uang pribadi. Mas Bejo harus cari penginapan sementara dengan biaya pribadi juga. Setelah itu Mas Bejo harus berfikir apakah nyari (dan menganggarkan dana) kontrakan rumah atau kos-kosan, anggaran rutin bolak-balik (jika masih bisa dijangkau bisa seminggu sekali, bisa dua minggu sekali, bisa sebulan sekali, bisa tiga bulan sekali bahkan bisa enam bulan sekali), anggaran makan (catering di kantor, warteg dll) dan iuran kantor untuk dirinya sendiri, anggaran sekolah anak-anaknya, anggaran belanja istri dan anak-anaknya, anggaran rutin lainnya.

Nyambung ke kisah di atas, Mas Bejo ibaratnya rubah yang telah gemuk (gaji dan tc sudah tinggi) tapi dia harus mempersiapkan untuk menjadi kurus. Sebab dia harus menabung bukan untuk investasi tapi menabung (sebenarnya tidak tepat istilah menabung, yang tepat mungkin harus mengurangi jatah) untuk jaga-jaga jika sewaktu-waktu ada mutasi lagi, itupun jika saat ini masih ada yang tersisa…..

Suatu kali Mas Bejo mutasi, tetangganya mengucapkan selamat. Mas Bejo hanya mengucapkan terima kasih dengan senyum yang dipaksakan (karena hatinya sedang merasakan kegetiran). Tetangganya pasti berfikir kalau seseorang dimutasi pasti rumah dinas sudah ada, uang transport sudah disiapkan, gaji dan tunjangan naik dan fasilitas lainnya tersedia dan semuanya itu sudah ada yang mengurus. Sebenarnya Mas Bejo mau menjelaskan ke tetangga tersebut bahwa kalau di mutasi kita pakai uang sendiri dulu, nanti sebulan atau dua bulan berikutnya baru dapat uang jalan dan ongkos nginap 3 hari. Itupun harus selalu ada yang “mantau” di keuangan. Gara-gara mikir ini Mas Bejo jadi kreatif sambil iseng, katanya istilah MUTASI tidak tepat, yang tepat adalah AMPUTASI.

Kalau ingat ini Mas Bejo pinginnya ya ditempatkan di daerah di mana dia sudah ada rumah meskipun sederhana, kumpul bersama istri dan anak-anak. Rasa iri Mas Bejo kadang timbul juga (Mas Bejo juga manusia) ketika melihat ibu-bu yang karirnya bagus dan hanya ditempatkan mutar-mutar di satu kota saja. Orang-orang seperti ini kalau lagi ngisi sosialisasi atau penataran atau apalah namanya ngomongnya “renyah” sekali, enak didengar, lantang bak pahlawan. Gimana ngggak “renyah” keluarga ngumpul, gaji tinggi dan fasilitas ada dan nggak pernah merasakan mutasi (adanya promosi).

Mas Bejo jadi meragukan iktikad baik aktifis pembela kesetaraan gender. Mestinya mereka konsekuen juga, mutasi perempuan yaa harus sama dengan yang mutasi laki-laki, bukankah kalau laki-laki di mutasi dia akan meninggalkan perempuan???? Atau setidak-tidaknya ada saluran aspirasi untuk pegawai untuk mengajukan permohonan ke mana saja tempat yang diinginkan mutasi. 18-09-08


Mutasi oh mutasi ……
(Episode: Ternyata pisah keluarga itu nggak enak)

Sapa Laskar Angin kepada Laskar Senja

Ini adalah tulisan salah satu rekan kami, entah siapa. Menamakan diri sebagai laskar angin. Dikirimkan kepada para sahabatnya yang menamakan diri laskar senja.

Assalamu' alaikum

Rekan-rekan Laskar Pelangi dan rekan-rekan senasib....

Beberapa minggu yang lalu saya menerima email dari rekan-rekan yang menyebut dirinya sebagai Laskar Pelangi, Laskar Senja atau PJKA (Pulang Jumat kembali Ahad). Dalam emailnya, para laskar ini menyampaikan rintihan hati (kalo ndak mau disebut keluh kesah). Rekan-rekan ini pun menyebut dirinya sebagai korban modernisasi Direktorat Jenderal Pajak (mungkin sangking kesalnya atau saking beratnya mereka menjalani roda kehidupan mereka setelah mereka dimutasi sebagai AR di Jakarta , padahal tempat tinggal di Jogya). Mereka pun tiap Jum'at (di senja hari) hari berangkat menemui istri dan anak-anak mereka (yang masih kecil) untuk kembali mendapatkan butiran semangat untuk kembali bekerja di seminggu kedepan, bahkan semangat untuk tetap bergabung dengan DJP, karena ada diantara mereka yang sempat berpikir untuk keluar dari DJP. Hari ahad (di senja pula) mereka pun kembali ke tempat kerja. Oleh karena itu pula mungkin mereka menyebut dirinya sebagai laskar senja. Tapi apakah setelah menemui anak dan istri mereka lantas mereka menemukan semangat untuk bekerja? Setahu saya setelah pulang, berat hati ini untuk melangkahkan kaki ini untuk kembali ke tempat kerja. Bahkan kian lama kita jalani rutinitas pulang pergi itu, kian lama kita rasakan kian bertambah capek ya capek fisik dan capek pikiran kita).

Rekan-rekan , saya pun mengalami hal serupa. Kalo rekan-rekan-rekan laskar pelangi bisa pulang tiap minggu, kami kadang harus satu bulan baru pulang (ada temen saya yang lebih dari satu bulan). Oleh karena dari segi jarak kami lebih jauh dan dari segi biaya lebih banyak. Perjalananpun tidak bisa kami tempuh melalui darat dan harus perjalanan udara. Mungkin kalo rekan-rekan menyebut sebagai laskar pelangi, ijinkan kami menyebut kami sebagai laskar angin atau laskar awan (asal jangan disebut laskar topan atau badai ) karena itu merusak. Karena kami tidak ingin merusak semangat DJP yang ingin modern, bahkan saya sangat bersyukur akhirnya DJP bisa memasuki era ini. Hanya kami inginkan bahwa perubahan juga diterapkan pada sistem mutasi kita. Harapan kami agar semua juga merasakan kepedihan yang kita alami. Dengan gaji yang sama, sangat tidak adil apabila kita yang jauh harus berada dikejauhan dan bahkan semakin jauh semakin tidak dilihat. Kita ini juga manusia yang juga punya keinginan hidup layaknya mereka sekarang yang tempat kerjanya dekat dengan rumah. Dengan gaji modern seperti sekarang mereka bisa mengurus pendidikan anak dengan baik, bahkan mereka kemudian bisa men-cicil (bukan mecicil dlm bhs jawa) rumah bagi yang belum punya rumah, merenovasi rumah yang telah mereka beli sekarang, atau bahkan dari fordis yang ada di intranet kita, banyak diantara mereka yang telah memikirkan investasi. Kami pun juga punya planing seperti itu, tapi kenyataannya tidak bisa. Bisa saving sedikit saja untuk sekedar berjaga-jaga apabila keluarga kami sewaktu-waktu sakit, harus kami lakukan dengan rit-ngirit. Untuk ini harus betul-betul kami lakukan. Karena saya tidak ingin belas kasihan apalagi hanya komentar "kasihan" dari temen2 kita bila mendengar kesulitan kita.

Rekan-rekan Laskar Pelangi, sebenarnya sejak kami dimutasi ke luar jawa , waktu itupun kami ingin mengungkapkan segala macam unek2 kami dan berbagai kesulitan kami seperti rekan-rekan. Tapi kami selalu menahannya karena kami pikir kalo saya mengunkapkan kondisi kita, paling yang kita terima hanya komentar "kasihan" atau kalo masih punya nurani mereka hanya bilang "sabar'. Hari pun kami lalui dengan suatu harapan akan ada perbaikan dalam sistem mutasi kita. Untuk membesarkan harapan kami maka kami pun berpikiran positif. Ya mungkin ini suatu penghargaan bagi kita yang lulus test modern , sehingga harus merasakan modernisasi duluan. Karena saya yakin kami yang ikut test betul-betul punya niat untuk modern. Banyak diantara temen-temen pada waktu itu tidak mau ikut test. Ndak usaha ditutup-tutupi lagi, pertimbangan utama mereka adalah apakah gaji setelah modern nanti melebihi dari pendapatan mereka sekarang (terutama mereka yang menguasai seksi teknis). Jelas mereka tidak ingin modern sama sekali, dan kalo sekarang mereka modern, bisakah mereka memegang kode etik? No comment. Saya sering bicara dengan mereka ini. Saya tanya kepada mereka apabila sudah modern, apakah sampean masih masih menerima juga uang dari wajib pajak. Jawabnya; yang penting saya kan ndak minta. Tapi kenyataanya mereka pun akhirnya merasakan modernisasi dalam hal gaji, dengan tempat kerja ya di situ-situ saja (dekat rumah atau bahkan tetap di KPP asal). Inikah Modernisasi yang dibanggakan Direktorat Jenderal Pajak?.

Sekali lagi, unek2 ini sudah lama kami pendam, ya, lama sekali, saat saya di awal Maret 2007 saya di mutasi di luar jawa (bukan promosi tapi di mutasi jadi AR di luar jawa). Kita pun yang dipindah di luar jawa, meski dengan berat kami terima. Ya mungkin setelah modern ini mutasi AR harus nasional. Ok kami terima. Tapi kemudian modernisasi di DJP terus bergulir dengan modernisasi di KPP Pratama di Jawa diikuti dengan penempatan para AR-nya yang notabene tidak ikut test (atau tidak mau modern) dengan tempat di situ-situ aja , bahkan tidak pindah kantor sama sekali.. Inilah biang yang membuat kami merasa kecewa dengan modernisasi di DJP. Setelah itu penempatan para fungsional yang juga 98% disitu-situ juga. Apakah sistem mutasi yang dipakai bagian kepegawai DJP masih seperti sebelum modern? Ndak ada pola yang jelas, sistem up line atau down line (emang DJP perusahaan multi level). Saya ndak berpikir buruk tapi jangan biarkankan orang berpikir begitu dengan membuat sistem yang tidak jelas.

Saya tidak mau asal ngritik, tapi ndak ada penyelesaian. Agar modernisasi bisa dirasakan adil bagi semua pegawai, maka sistem mutasi harus jelas. Bikin pola yang baku. Jadi siapapun yang ada di kepegawaian kalo tidak melaksanakan aturan itu harus dikenakan sanksi, dan bagi pegawai yang seharusnya kena mutasi tapi tidak dimutasi segera dimutasi, pegawai yang yang seharusnya tidak kena mutasi dan kemudian dimutasi harus dikembalikan. Bagi pegawi yang seharusnya mutasi dan dimutasi namun tidak sesuai dengan pola, harus dikembalikan. Lalu polanyanya gimana? Terserah yang penting baku. Agar aturan lebih mengikat seharusnya aturan tsb minimal dalam bentuk Per Men Keu. Bisa saja dibuat per jabatan, pelaksana, AR, eselon IV eselon III atau eselon II. Misal untuk pelaksana hanya regional ya ndak apa2 tapi tetap ada polanya. Kalo regional tsb dalam arti satu kanwil maka mutasi harus meliputi kota2 di wilayah kanwl ybs. Untuk kanwil2 yang ada di DKI bisa saja regional tsb ditentukan tersendiri meliputi DKI , Propinsi Banten, dan Jawa Barat. Jangka waktu maksimal menduduki suatu posisi/kota juga harus ditentukan, misal maksimal 2 th. Jadi ndak ada lagi orang sampe tua disitu-situ aja. Apalagi sekarang gajinya gede.

Untuk AR bisa aturan itu dibuat menyesuaikan, kalo harus nasional, maka bisa saja ditentukan 2 tahun diluar pulau , 2 tahun di daerah domisili. Begitu juga untuk eselon IV. Untuk promosi bisa dibuat aturan tersendiri. Untuk eselon III dan II juga bisa dibuat aturan tersendiri. Yang penting harus ada aturan jelas dan aturan harus ditaati kalo tidak yang yang membuat mutasi dikenakan sanksi dan yang dimutasi harus dikemblikan sesuai aturannya. Jadi ndak ada lagi pegawai dengan tempat kerja jauh dari domisili (di luar pulau) lebih dari 3 th. Otomatis begitu 2 th kembali ke domisili dan begitu seterusnya. Ndak ada lagi pegawai yang mengajukan surat permohonan pindah tempat kerja di daerah domisili (yang menurut orang kepegwaian sendiri surat macam gini sekarang numpuk)

Pola aturan mutasi yang jelas tsb diatas diperlukan agar :
1. Mutasi lebih adil. Sehubungan dengan setelah modern (asumsi) gaji dimana mana sama.
2. Menghindari dari KKN. Mutasi tidak lagi memperhitungkan faktor kenal-mengenal ( up line dan down line) tidak ada patokan harga lagi (pokoknya faktor KKN juga dapat dihindari)
3. Bagi pegawai yang ada dikepegawaian juga bisa terhindar dari fitnah yang bisa menyebabkan dosa. Ingat jabatan adalah amanah termasuk sampean2 yang ada dikepegawaian. Tatkala sampean harus me-mutasi orang lain dengan dasar yang tidak obyektif (tidak menurut aturan ) sampean sudah berbuat dzolim bagi pegawai yang sampean mutasi, Bukan itu saja sampean juga sudah berbuta dzolim kepada anak dan isteri pegawai yang sampean mutasi.

Rekan-rekan laskar pelangi, untuk point yang ke-3 tsb, pada awalnya kami tidak merasa didzolimi, tapi kemudian melihat pola mutasi setelah kita (KPP Pratama) yang demikian itu, maka kamipun punya rasa seperti itu, tapi kami kita harus tetap menerima bahwa semua ini tetap atas kehendak Alloh. Namun sesuai Al Qur'an Surat Asy Syura Ayat 39-43 disebutkan bahwa :

- ayat 39 artinya : Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim mereka membela diri
- ayat 40 artinya : Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Alloh Sesuangguhnya Dia tidak menyukai orang2 yang dzalim
- ayat 41 artinya : Dan sesungguhnya orang2 yang membela diri sesudah teraniaya tidak ada satu dosapun atas mereka.
- ayat 42 artinya : Sesungguhnya dosa itu atas orang2 yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.
- ayat 43 artinya : Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal2 yang diutamakan.

Dari ayat tsb kita seharusnya tidak bisa tinggal diam melihat sistem mutasi yang sudah banyak mendzolimi orang lain. Tapi kita pun juga harus memaafkan mereka agar mereka tehindar dari azab yang pedih. Masalahnya apa yang perlu dimaafkan, wong mereka tidak merasa bersalah.

Kamis, 18 September 2008

Semoga Hidayah Itu Kekal

Sebut saya namanya Mas Darso. Seorang lelaki sederhana tetangga rumah di kampung saya. Pekerjaan utamanya adalah tukang batu. Orangnya sederhana dan tidak neko-neko. Untuk kegiatan kemasyarakatan hampir selalu dia menjadi kelompok yang terdepan. Di lingkup RW dia cukup berperan, di lingkup RT lebih lagi. Orangnya tidak banyak biocara tapi jika sudah bekerja seperti tidak kenal lelah.

Dua kali saya meminta keahliannya untuk membenahi rumah saya. Pertama kali adalah saat merapikan kamar mandi rumah saya. Dan yang adalah kedua saat membuat garasi di samping rumah. Pekerjaannya halus. Kerjanya rapi. Masalah jam kerja pun bahkan untuk ukuran orang desa, dia layak diacungi jempol. Pagi belum jam 08.00 dia sudah datang. Saat istirahat siang, dia hanya sekedar menggunakan waktu secukupnya untuk pulang makan siang dan istirahat sejenak. dan belum pukul 13.00 sesudahnya dia sudah datang lagi untuk bekerja sampai pukul 16.00 sore. Ketika minggu pertama tahu upah yang sengaja saya berikan di atas rata-rata upah tukang, pekan berikutnya dia menambah jam kerja bahkan sampai pukul 17.00.

Di lingkup tetangga dia dikenal juga sebagai orang yang ringan tangan. Jika ada yang membutuhkan bantuannya maka ia segera menyanggupinya, sepanjang dia mampu. Pernah ketika awal saya pindah di kampung ini, waktu itu jam menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah saya. Di tengah keterkejutan saya, ketika pintu terbuka yang terlihat adalah wajah dia.

”Mohon maaf, Pak. Maaf mengganggu istirahatnya.” katanya sopan, dengan bahasa jawa halus.

”Oh, tidak apa-apa, Mas. Ada apakah gerangan?” tanya saya.

”Begini Pak. Mas Joko malam ini batu ginjalnya kambuh. Harus segera di bawah ke rumah sakit. Minta bantuan Bapak untuk mengantar ke rumah sakit.” jelasnya.

Mas Joko adalah salah satu tetangga kami. Jarak rumah saya dengan rumah Mas Joko di bandingkan dengan jarak rumah Mas Darso ke rumah Mas Joko, hampir sama. Rupanya istri Mas Joko yang meminta tolong ke Mas Darso untuk memintakan tolong ke saya agar bersedia mengantar ke rumah sakit. Dan karena Mas Darso lah, akhirnya saya berkesempatan untuk melakukan amal baik di pagi buta itu.

Mas Darso termasuk orang yang suka melawak. Dari sisi usia mungkin usianya di atas saya 2 atau 3 tahunan. Kalo bicara kadang tidak basa-basi. Apa adanya. Bahkan dengan saya pun semenjak saat itu makin akrab saya. Sering saya diledeknya, misal saat bertemu saya di jalan di suatu malam, ketika saya tidak datang rapat RT karena lebih berat untuk mengisi liqo’. “Mau dicoret dari daftar warga RT 07 apa ya?” ledeknya waktu itu. Saya hanya menanggapinya dengan tertawa.

Dari semua itu, hanya satu hal yang sangat ingin saya saksikan. Yaitu melihat dia sholat. Saya tidak tahu persis di rumah dia sholat atau tidak. Tapi dari sahabat dekatnya, menginformasikan bahwa dia belum menjalankannya. Selama ini bukan dia tidak mau datang ke mesjid yang kebetulan jaraknya 30 meteran dari rumahnya. Bahkan ketika rapat-rapat pembentukan panitia ramadhan, panitia idul qur’ban, atau ketika rapat untuk pembangunan ataupun perbaikan masjid, hampir dia selalu datang dan berpartisipasi. Tapi untuk sholat atau sekedar datang kajian, saya belum pernah melihatnya.

Empat tahun saya tinggal di kampung ini, belum pernah sekalipun saya menjumpainya sholat. Meski sekedar sholat jumat. Atau pun sholat idul raya. Hingga akhirnya, saat sabtu kemaren kami mengadakan buka puasa bersama di masjid kami. Alhamdulillah Allah berikan saya dan istri rejeki sehingga bisa ikut membantu program kegiatan masjid hari itu. Saya tidak tahu bagaimana ucapan panitia ketika mengundang jama’ah untuk hadir pada acara buka puasa itu. Yang pasti, Mas Darso tiba-tiba bersedia hadir di kajian buka puasa sore itu. Hati saya sedikit gerimis. Dari luar beberapa kali saya perhatikan dia tekun memperhatikan tausiyah dari pembicara.

Kejadian itu berlanjut malam harinya. Saat sholat isya’ dan taraweh ternyata saya menemukan wajahnya di antara jama’ah malam itu. Seusai sholat dia sempat mendatangi dan menyalami saya. Dalam hari saya hanya bisa berdoa, semoga apa yang dia awali di ramadhan ini terus dia jaga. Semoga hidayah yang telah dia dia rintis di bulan ini akan terus tersemai di bulan-bulan mendatang.

             •  • 
"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)".

Mengapa Harus Satu Juz Setiap Hari ?

"Hendaklah Anda memiliki wirid harian membaca al-Qur'an
minimal satu juz setiap hari, dan berusahalah sungguh-sungguh agar
jangan sampai mengkhatamkan al-Qur'an melewati satu bulan."
(Hasan al-Banna dalam Majmuatur Rasail –risalah pergerakan- )

Saudaraku, sadarkah kita bahwa al-Qur'an diturunkan oleh Allah kepada manusia agar menjadi sumber tazwid (pembekalan) bagi peningkatan ruhiy (spiritualitas), fikri (pemikiran) serta minhaji (metodologi da'wah) ? Sehingga jika sehari saja kita jauh dari al-Qur'an, berarti terputuslah dalam diri kita proses tazwid tersebut? Sadarkah kita bahwa yang akan terjadi adalah proses tazwid dari selain wahyu Allah; baik itu dari televisi koran, majalah, maupun yang lainnya yang sesungguhnya akan menyebabkan ruh yang ringkih dan keyakinan yang melemah terhadap fikroh dan minhaj ? Padahal tiga unsur ini sesungguhnya menjadi sumber energi untuk berdakwah dan berharokah. Sehingga melemahlah semangat beramal saleh dan hadir dalam halaqoh, padahal halaqoh merupakan pertemuan untuk komitmen beramal saleh.

Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau proses tazwid itu telah terputus sepekan, dua pekan, bahkan berbulan-bulan. Semoga Allah menjaga kita dari sikap menjadikan al-Qur'an sebagai sesuatu yang mahjuran (ditinggalkan).

   •      

Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini suatu yang ditinggalkan ". (Q.S. Al-Furqan ayat 30)

Sesungguhnya ibadah tilawah satu juz ini sudah tertuntut kepada manusia sejak dia menjadi seorang muslim. Oleh karena itu, cukup banyak orang-orang yang tanpa tarbiyah atau halaqoh, namun memiliki komitmen tilawah satu juz setiap hari, sehingga setahun khatam 12 kali (bahkan lebih, karena saat bulan Ramadhan dapat khatam lebih dari sekali).

Lalu, bagaimana dengan kita, ashhabul (aktifis) harokah wad da'wah ? Sudahkah keislaman kita membentuk kesadaran iltizam (komitmen) dengan ibadah ini ? Ketika kita melalaikannya, dapat diyakini bahwa kendalanya adalah dha'ful himmah (lemah dan kurangnya kemauan), bukan karena tidak mampu melafalkan ayat-ayat al-Qur'an seperti anggapan kita selama ini. Yang harus dibentuk dalam hal ini bukanlah hanya sebatas mampu membaca, namun lebih dari itu, bagaimana membentuk kemampuan ini menjadi sebuah moralitas ta'abbud (penghambaan) kepada Allah, sehingga hal ini menjadi sebuah proses tazwid yang berkesinambungan sesuai dengan jauhnya perjalanan da'wah ini !

Dari sini kita menjadi faham, bahwa ternyata tarbiyah adalah sebuah proses perjalanan yang beribu-ribu mil jauhnya. Entah berapa langkah yang sudah kita lakukan. Semoga belum mampunya kita dalam beriltizam dengan ibadah ini adalah karena masih sedikitnya jarak yang kita tempuh. Jadi yakinlah, selama kita komitmen dengan proses tarbiyah, dengan seizin Allah kita akan sampai kepada kemampuan ibadah ini. Dan sekali-kali janganlah kita menutupi ketidak mampuan kita terhadap ibadah ini dengan berlindung di bawah waswas syaithan dengan bahasa sibuk, tidak sempat, acara terlalu padat dan lain sebagainya.

Sadarilah bahwa kesibukan kita pasti akan berlangsung sepanjang hidup kita. Apakah berarti sepanjang hidup kita, kita tidak melakukan ibadah ini hanya karena kesibukan yang tak pernah berakhir ?

Kita harus berfikir serius terhadap tilawah satu juz ini, karena ia merupakan mentalitas 'ubudiyah (penghambaan), disiplin dan menambah tsaqofah. Apalagi ketika kita sudah memiliki kesadaran untuk membangun Islam di muka bumi ini, maka kita harus menjadi batu bata yang kuat dalam bangunan ini. Al Ustadz Asy Syahid Hasan Al-Banna Rahimahullah begitu yakinnya dengan sisi ini, sehingga beliau menjadikan kemampuan membaca al-Qur'an satu juz ini sebagai syarat pertama bagi seseorang yang berkeinginan membangun masyarakat Islam.

Dalam nasihatnya beliau mengatakan, "Wahai saudaraku yang jujur dengan janjinya, sesungguhnya imanmu dengan bai'at (perjanjian) ini mengharuskanmu melaksanakan kewajiban-kewajiban ini agar kamu menjadi batu bata yang kuat, (untuk itu) : "Hendaklah Anda memiliki wirid harian membaca al-Qur'an minimal satu juz setiap hari, dan berusahalah sungguh-sungguh agar jangan sampai mengkhatamkan al-Qur'an melewati satu bulan."

Sebagaimana kita saat melakukan hijrah dari kehidupan Jahiliyyah kepada kehidupan Islamiyah harus banyak menelan pil pahit selama proses tarbiyah, maka jika kita sudah ber'azam (bertekad) untuk meningkat kepada kehidupan yang ta'abbudi (penuh nilai ibadah), maka kita harus kembali menelan banyak pil pahit tersebut. Kita harus sadar bahwa usia dakwah yang semakin dewasa, penyebarannya yang semakin meluas dan tantangannya yang semakin variatif sangat membutuhkan manusia-manusia yang Labinatan Qowiyyatan (laksana batu bata yang kuat). Dan hal tersebut kuncinya terdapat di dalam interaksi dengan al-Qur'an !

Sebuah proses tarbiyah yang semakin matang, dengan indikasi hati dan jiwa yang semakin bersih, secara otomatis akan menjadikan kebutuhan terhadap al-Qur'an mengalami proses peningkatan. Sejarah mencatat bahwa para sahabat dan salafusshalih ketika mendengar Rasulullah SAW bersabda, "bacalah al-Qur'an dalam satu bulan", maka begitu banyak yang menyikapinya sebagai sesuatu yang minimal.

Bayangkan dengan diri kita yang sering menganggap tilawah satu juz itu sebagai sesuatu yang maksimal ! Maka tugas yang sangat minimal inipun sangat sering terkurangi, bahkan tidak teramalkan dengan baik. Bagaimana mungkin kita dapat mengulang kesuksesan para sahabat dalam membangun Islam ini, jika kita tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan (walaupun kita sadar bahwa ibadah satu juz ini bukan satu-satunya usaha di dalam berdakwah) ?

Sebutlah Utsman Ibn Affan, Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi'i Radiyallahu Anhum. Mereka adalah contoh orang-orang yang terbiasa menyelesaikan bacaan al-Qur'annya dalam waktu tiga hari sampai satu pekan. Karena bagi mereka khatam sebulan terlalu lama untuk bertemu dengan ayat-ayat Allah. Jadi, jika seseorang rutin setiap bulan khatam, berarti hanya sekali dalam sebulan ia bertemu dengan surat Maryam, misalnya.

Dapat kita bayangkan seandainya kita berlama-lama dalam mengkhatamkan al-Qur'an. Berarti kita akan sangat jarang bertemu dengan setiap surat dari al-Qur'an !

Kalau saja tarbiyyah qur'aniyyah kita telah matang, kita akan dapat merasakan bahwa sentuhan tarbawi (pendidikan) surat al-Baqarah berbeda dengan surat Ali Imran. Begitu juga beda antara an-Nisaa, al-Maidah dengan surat yang lainnya. Sehingga ketika seseorang sedang membaca an-Nisaa, pasti dia akan merindukan al-Maidah. Inilah suasana tarbiyyah yang belum kita miliki yang harus dengan serius kita bangun dalam diri kita. Kita harus waspada, jangan sampai hidup ini berakhir dengan kondisi kita melalaikan ibadah tilawah satu juz. Sehingga hidup berakhir dengan kenangan penyesalan. Padahal sesungguhnya kita mampu kalau saja kita mau menambah sedikit saja mujahadah (kesungguhan) dalam tarbiyyah ini.

Kiat Mujahadah dalam Bertilawah Satu Juz :
1. Berusahalah melancarkan tilawah jika Anda termasuk orang yang belum lancar bertilawah, karena ukuran normal tilawah satu juz adalah 30 – 40 menit. Jika lebih dari itu, Anda harus lebih giat berusaha melancarkan bacaan. Jika melihat durasi waktu di atas, sangat logis untuk melakukan tilawah satu juz setiap hari dari waktu dua puluh empat jam yang kita miliki. Masalahnya, bagaima kita dapat membangun kemauan untuk 40 menit bersama Allah, sementara kita sudah terbiasa 40 menit atau lebih bersama televisi, ngobrol dengan teman dan lain sebagainya.
2. Aturlah dalam satu halaqah, kesepakatan bersama menciptakan komitmen ibadah satu juz ini. Misalnya, bagi anggota halaqah yang selama sepekan kurang dari tujuh juz, maka saat bubar halaqah ia tidak boleh pulang kecuali telah menyelesaikan sisa juz yang belum terbaca. Kiat ini terbukti lebih baik daripada 'iqob (hukuman) yang terkadang hilang ruh tarbawi nya dan tidak menghasilkan mujahadah yang berarti.
3. Lakukanlah qadha tilawah setiap kali program ini tidak berjalan ! Misalnya, carilah tempat-tempat yang kondusif untuk konsentrasi bertilawah. Misalnya di masjid atau tempat yang bagi diri kita asing. Kondisi ini akan menjadikan kita lebih sejenak untuk hidup dengan diri sendiri membangun tarbiyyah qur'aniyyah di dalam diri kita.
4. Sering-seringlah mengadukan keinginan untuk dapat bertilawah satu juz sehari ini kepada Allah yang memiliki al-Qur'an ini. Pengaduan kita kepada Allah yang sering, insya Allah menunjukkan kesungguhan kita dalam melaksanakan ibadah ini. Disinilah akan datang pertolongan Allah yang akan memudahkan pelaksanaan ibadah ini.
5. Perbanyaklah amal saleh, karena setiap amal saleh akan melahirkan energi baru untuk amal saleh berikutnya. Sebagaimana satu maksiat akan menghasilkan maksiat yang llain jika kita tidak segera bertaubat kepada Allah. Jika kita saat ini sering berbicara tentang ri'ayah maknawiyyah (memperkaya jiwa), maka sesungguhnya pesan Imam Syahid ini adalah cara me- ri'ayah maknawiyyah yang paling efektif dan dapat kita lakukan kapan saja dan dimana saja. Ditinjau dari segi apapun, ibadah ini harus dilakukan. Bagi yang yakin akan pahala Allah, maka tilawah al-Qur'an merupakan sumber pahala yang sangat besar. Bagi yang sedang berjihad, dimana dia membutuhkan tsabat (keteguhan hati), nashrullah (pertolongan Allah), istiqomah, sabar dan lain sebagainya, al-Qur'an tempat meraih semua ini. Kita harus serius melihat kemampuan tarbawi dan ta'abbudi ini, agar kita tergugah untuk bangkit dari kelemahan ini,

Kendala yang Harus Diwaspadai
1. Perasaan menganggap sepele apabila sehari tidak membaca al-Qur'an, sehingga berdampak tidak ada keinginan untuk segera kembali kepada al-Qur'an.
2. Lemahnya pemahaman mengenai keutamaan membaca al-Qur'an. Sehingga tidak termotivasi untuk mujahadah dalam istiqomah membaca al-Qur'an.
3. Tidak memiliki waktu wajib bersama al-Qur'an dan terbiasa membaca al-Qur'an sesempatnya, sehingga ketika merasa tidak sempat ditinggalkannyalah al-Qur'an.
4. Lemahnya keinginan untuk memiliki kemampuan ibadah ini, sehingga tidak pernah memohon kepada Allah agar dimudahkan tilawah al-Qur'an setiap hari. Materi do'a hanya berputar-putar pada kebutuhan keduniaan saja.
5. Terbawa oleh lingkungan di sekelilingnya yang tidak memiliki perhatian terhadap ibadah al-Qur'an ini. Rasulullah bersabda, "Kualitas dien seseorang sangat tergantung pada teman akrabnya."
6. Tidak tertarik dengan majlis-majlis yang menghidupkan al-Qur'an. Padahal menghidupkan majlis-majlis al-Qur'an adalah cara yang direkomendasikan Rasulullah agar orang beriman memiliki gairah berinteraksi dengan al-Qur'an.

Akibat dari Tidak Serius Menjalankannya
1. Sedikitnya barokah dakwah atau amal jihadi kita, karena hal ini menjadi indikasi lemahnya hubungan seorang jundi pada Allah. Sehingga boleh jadi nampak berbagai macam produktivitas dakwah dan amal jihadi kita, namun dikhawatirkan keberhasilan itu justru berdampak menjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
2. Kemungkinan yang lain, bahkan lebih besar, adalah tertundanya pertolongan Allah SWT dalam amal jihadi ini. Kalau jihad salafusshalih saja tertunda kemenangannya hanya karena meninggalkan sunnah bersiwak (menggosok gigi), apalagi karena meninggalkan suatu amal yang bobotnya jauh lebih besar dari itu ? Oleh karena itu, masalah berinteraksi dengan al-Quran selalu disinggung dengan ayat-ayat jihad, seperti surat al-Anfaal dan al-Qitaal
3. Terjauhkannya sebuah asholah (keaslian/orisinalitas) dakwah. Sejak awal dakwah ini dikumandangkan, semangatnya adalah dakwah bil qur'an. Bagaimana mungkin kita mengumandangkan dakwah bil qur'an kalau interaksi kita dengan al-Qur'an sangat lemah? Bahkan sampai tak mencapai tingkat interaksi yang paling minim, sekedar bertilawah satu juz saja ?
4. Terjauhkannya sebuah dakwah yang memiliki jawwul 'ilmi (nuansa keilmuan). Hakikat dakwah adalah meningkatkan kualitas keilmuan umat yang sumber utamanya dari al-Qur'an. Maka minimnya kita dengan pengetahuan ke –al-Qur'an- an akan sangat berdampak pada lemahnya bobot ilmiyyah diniyyah (keilmuan agama) kita. Dapat dibayangkan kalau saja setiap kader beriltizam dengan manhaj tarbiyyah yang sudah ada. Lebih khusus pada kader senior. Pasti kita akan melihat potret harokah dakwah ini jauh lebih cantik dan lebih ilmiyyah.
5. Terjauhkannya sebuah dakwah yang jauh dari asholatul manhaj. Bacalah semua kitab yang menjelaskan manhaj dakwah ini. Khususnya kitab Majmu'atur rosail (diterjemahkan oleh Ustadz Anis Matta dalam bahasa Indonesia dengan judul "Risalah Pergerakan") ! Anda akan dapatkan begitu kental dakwah ini memberi perhatian terhadap interaksi dengan al-Qur'an. Tidakkah kita malu ber-intima' (menyandarkan diri) pada dakwatul ikhwah, namun kondisi kita jauh dari manhaj-nya ?

Semoga kita tergugah dengan tulisan ini, agar kita lebih serius lagi melaksanakan poin pertama daripada wajibatul akh (kewajiban aktifis muslim) ini.

Al-Ustadz Al-Hafidz Abdul Aziz Abdur Rauf, Lc.

Senin, 08 September 2008

Mengusahakan Takdir Terbaik

Mengusahakan Takdir Terbaik

Sesungguhnya Allah menguji kita pada titik terlemah diri kita. Saya selalu mencoba mendalami kalimat ini. Bukan untuk mencari pembuktian bahwa Allah telah menguji saya pada titik terlemah diri saya. Tapi lebih kepada pencarian dimana titik terlemah diri saya itu, sehingga saya bisa selalu bersiap untuk datangnya ujian-ujian Allah.

Beberapa minggu yang lalu saya dan sahabat-sahabat baik saya saling bercerita dalam sebuah forum. Tepatnya di suatu sore selepas jam kantor, sambil menunggu berhentinya guyuran hujan dari langit yang merupakan pertanda rahmat Allah sedang tercurah sore itu, hingga waktu sholat maghrib menjelang. Semua mengalir dengan begitu saja. Seakan kejadian setahun sebelumnya kembali terpampang di hadapan kami.

Yang pasti, saya dan sahabat-sahabat saya tidak sedang berkeluh kesah. Cerita itu apa adanya. Cerita itu hanya bagian episode yang kebetulan ingin kami tampilkan di awal episode cerita-cerita kami. Saya malam harinya menyelesaikan cerita-cerita mereka, merangkumnya menjadi sebuah alur cerita yang saling terkait. Inilah salah satu saksi bisu kenangan kebersamaan kami.

Cerita itu apa adanya. Semua berawal dari keprihatinan kami. Apa pun, kami juga hanyalah bagian dari manusia yang juga tak pernah lepas dari sisi-sisi kemanusian kami. Ada idealita yang dulu terbayang indah. Tapi realita kemudian membuat sebagian asa kami terhimpit. Asa itu tetap ada, tidak hilang, hanya ia terhimpit oleh paradoks-paradoks yang begitu tampak nyata di hadapan kami.

Kami tidak lagi bisa bersuara. Hanya sudut-sudut hati kami yang saling berbicara. Dan semua itu bertemu pada satu frase kata. Frase kata yang mewakili satu bagian hidup yang terasa berangsur hilang dalam hati kami. Yah, frase itu bernama 'kehangatan keluarga'. Semenjak kami terjauhkan dari keluarga, suasana itu begitu makin terasa asing.

Kami selalu mencoba untuk selalu berarti bagi sekitar kami, karena dakwah nabi kami mengajarkan kami bahwa yang terbaik di antara manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain. Khairukum anfa'uhum linnaas. Dalam sudut-sudut sepi kami di sini pun, kami selalu diajari untuk memikirkan orang lain. Ya, pikiran kami tidak saja terfokus kepada pekerjaan kami dan keluarga kami, tapi juga kepada sesuatu yang lebih luas dan besar dari pada itu. Sehingga terlalu naif jika kami harus berkeluh kesah apalagi menangis di tengah hal-hal seperti itu.

Cerita itu apa adanya. Sekali lagi bukan keluh kesah. Karena saluran untuk menyampaikan aspirasi itu terasa buntu. Kami berpandangan bahwa harus ada yang mengambil cara yang pahit sekalipun, jika memang itu bisa membuat sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Jika pampangan-pampangan kebijakan para pimpinan telah jelas dan terarah, transparan dan konsisten, maka kami pun yakin di tataran bawah ini akan rela untuk melakukan yang terbaik bagi institusi ini.

Ya, titik itu bernama keluarga. Saya merasa bahwa di titik inilah salah satu titik terlemah diri saya, dari titik-titik lemah yang lain. Entah bagi sahabat-sahabat terbaik saya. Tetapi setidaknya, kami bisa saling beresonansi dalam tulisan-tulisan kami tersebut. Karena dalam keyakinan kami, visi kami dalam berkeluarga adalah sebagaimana termaktub dalam salah satu ayat qur'an. Quu anfusakum wa ahlikum naara. Yaitu menjaga diri kami dan keluarga kami dari api neraka. Sehingga, bagaimana kami bisa optimal melakukan tugas itu, jika keberadaan kami saling berjauhan?

Kami yakin, Dzat yang Maha Tahu tentu telah punya skenario untuk itu semua. Tetapi mengusahakan takdir yang terbaik buat diri dan keluarga adalah diperintahkan. Dibalik rasa syukur dan sabar kami, kami mencoba untuk membuat sebuah ikhtiar meraih takdir terbaik untuk kami dan keluarga kami terebut. Semoga Allah yang Maha Mendengar, merahmati dan meridhoi usaha kami. Dan kami akan selalu ikhlas menerima segala ketentuan-Nya.

Ishbir ya akhi... Wa Allahu ma'akum ainama kuntum...