Senin, 14 April 2008

Cerita tentang Silaturahim

Hari Sabtu, lebih dari setahun yang lalu saya mengajak anak saya ammar, silaturahim ke tempat mbahnya di klaten, satu jam dari rumah saya sekarang. Selain memang kangen dengan orang tua, saya ada satu tujuan lain yang sebetulnya sudah lama ingin saya lakukan.

Saat itu, sejak membaca bukunya ibnul qoyyim yang berjudul AR RUUH... saya jadi teringat dengan budhe saya yang meninggal setahun sebelumnya. Hampir semenjak penguburan beliau, saya belum pernah lagi menziarahinya. Kenapa saya mendadak mengingatnya?

Karena pertama, masa kecil saya banyak waktu yang saya luangkan dengan beliau dan nenek, karena saya memang ’ditugaskan’ oleh orang tua saya untuk menemani mereka. Saya masih ingat ketika anak tunggalnya yang baru menginjak SMP meninggal, waktu itu saya masih SD kelas 3. Beliau menangis dengan amat sedihnya, karena itu adalah satu-satunya anak lelakinya dan ditambah dengan status janda beliau.

Kedua, jalinan keluarga yang teramat dekat dengan beliau sehingga saya sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Meski setelah beliau menikah lagi (kemudian sang suami meninggal lbh dulu saat saya SMA), hubungan kami masih dekat. Saat saya mulai kuliah di jakarta, hampir setiap pulang kampung, selalu saja ada bawaan buat saya. Masih saya ingat ketika saya akan menikah beliau berkomentar, ”Nanti kamu melupakan saya gak ya?”

Dan alasan ketiga, praktis setelah beliau meninggal karena leukimia akut, tak ada anak yang bisa diharapkan sebagai pen-do’a-nya. Kecuali keluarga lain (tinggal bapak saya dan satu budhe saya yang lain) yang barangkali akan berdoa untuknya. Tapi tradisi orang desa, ke kuburan biasanya setahun sekali ketika akan lebaran atau saat nyadran.

Berbekal itulah akhirnya sabtu siang itu, sehabis sholat dhuhur di masjid saya mengajak anak saya untuk berziarah ke pusaranya. Persis seperti yang saya duga, rumput tumbuh liar di sana-sini. Sejenak saya menundukkan kepala di depan pusaranya, mencoba untuk menjadi ’anak’nya kembali, semoga menjadikannya ada do’a yang akan meringankan dalam menjalani masa-masa di alam barzakh.

”Allohummaghfirlaha warhamha wa ’afihi wa’fuanha.Allohumma la tahrimna ajroha wa la taftina ba’daha waghfirlana wa laha.....”

Amien...


Jkt, 14/04/2008
Tulisan lama yang kembali terangkat

Selasa, 08 April 2008

Anak saya telah jatuh cinta

Saya benar-benar telah dibuatnya cemburu…

Akhir-akhir ini setiap saya pulang, hampir-hampir perhatiannya yang dulu saya dapatkan darinya telah jauh berkurang. Dulu, setiap kemana pun saya pergi hampir dipastikan dia akan ikut. Sholat ke masjid, mengantar kakaknya sekolah, membuang sampah ke tempat pembuangan sampah di dekat pasar, atau sekedar beli koran ke depan jalan sana dia pasti akan merajuk ikut.

Gadis kecil saya punya teman akrab baru. Dan itu membuat saya benar-benar cemburu…

Dia kini punya keasyikan baru. Hampir tidak ada waktu yang memisahkan dia dengan teman barunya itu. Setiap saya telepon, hampir-hampir selalu dia berteriak marah, “Abiiii, jangan ganggu aku tho.” Ketika saya tanyakan ke kakaknya, “Mas, adik sedang ngapain sih”. “Lagi baca buku, bi.” Begitu selalu jawabannya.

Ya, gadis kecil saya sedang keranjingan membaca. Dan teman barunya itu, buku, telah sedikit membuat jarak antara dia dengan saya.

Memang rumah saya agak kurang rapi pengaturan bukunya. Hampir dimana-mana ada buku. Di meja kamar saya bertumpuk berbagai macam buku. Di meja kamar anak-anak, di samping rak buku pelajaran mereka, bertumpuk buku bacaan mereka dari buku seri Cakrawala Pengetahuan Dasar (yang dulu kami beli dengan cara diangsur) sampai majalah Bobo. Di meja butut bawah televisi ada tumpukan ratusan majalah anak. Di meja bambu ruang tamu pun bertumpuk buku dan koran bekas.

Bukan. Bukan kami tidak punya rak buku khusus, di samping ruang keluarga kami telah berdiri sebuah rak yang sudah tua, sepuluh tahun rak itu telah menemani kami sejak dari Kota Palembang dulu. Tapi kini dia sudah tidak mampu lagi menampung buku-buku itu. Sehingga bertebaranlah buku-buku kami di segala penjuru rumah.

“Bi, lihatin anak gadismu itu.” Seru istri saya waktu itu. Dia terus menatap buku di hadapannya. Kami yang disampingnya mungkin dianggapnya sebagai pelengkap saja. Kami benar-benar telah dibuatnya penasaran.

Dia hanya mencolek saya kala minta diantar ke kamar mandi, atau saat minta dimandikan, atau saat minta disuapi. Ya, ini salah satu kelemahan dia yang belum bisa kami kuatkan, dia belum sepenuhnya mandiri. Masih manja dan kolokan.

Pernah saya menggodanya saat kemaren kami bersilaturahim ke rumah orang tua saya di Klaten. Sepanjang jalan dihabiskannya dengan membaca. Di rumah mbahnya, dia temukan tumpukan buku-buku pelajaran maupun bacaan yang juga berserakan dimana-mana (kali ini memang di rumah orang tua saya tidak ada rak buku khusus), bekas buku bacaan saya dan adik-adik saya dulu. Seperti menemukan harta karun, dicarinya buku yang diminatinya, kemudian habis waktunya untuk memelototi buku tersebut.

Beberapa saat kemudian, seperti biasa dia minta diantar ke belakang, karena kamar mandi memang terpisah dari rumah beberapa meter. Istri saya bilang, “Tuh, minta diantar ama abi.” Gadis kecil saya hanya melirik saya. Saya pura-pura tidak melihat dan mendengarnya. “Bi, Zahra minta diantar ke belakang tuh.” Kata istri saya kemudian. “Dia gak mau lagi dengan aku kok, mi.” Jawabku sambil pura-pura cuek. Tiba-tiba gadis kecil saya sudah hinggap di punggung saya sambil memukuli saya. “Ayo tho bi” sambil digamitnya tangan saya.

Ya, melihat anak begitu keranjingan membaca memang hal yang menyenangkan, karena yang saya tahu, jendela ilmu pengetahuan adalah dengan membaca. Walau memang kadang kedekatan kita dengannya, mungkin agak berkurang intensitasnya. Harus pandai mencuri perhatian dan waktunya.

“Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurota a’yun waj’alna lil muttaqina imaman”

Postingan terkait : http://www.eramuslim.com/atk/oim/8408144445-anak-saya-telah-jatuh-cinta.htm/

Kamis, 03 April 2008

Proyek Amal Unggulan

By Masker

Beberapa tahun yang lalu, ada seorang aktivis dakwah di kota saya yang meninggal karena terjatuh ketika mengikuti acara mukhoyan di lereng sebuah gunung berapi di kawasan jawa tengah. Berita di koran menyebutkan, ‘Masyarakat di Kotabaru tidak lagi bisa mendengarkan merdunya suara adzan subuh Ffulan, setelah kepergiannya” Kalimat ini secara tidak sadar, terus terpateri dalam fikiran saya sampai sekarang. Seorang yang suaranya selalu terdengar sebagai muadzin sholat subuh.

Tiga tahun yang lalu, salah satu Budhe saya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Saya teringat ketika pertemuan terakhir kami di saat lebaran sebelumnya, beliau bercerita berbagai hal sampai menangis-nangis. Lebih dari dua jam beliau cerita! Sampai-sampai dua anak saya yang saya ajak semua tertidur di kursi.

Tapi bukan soal cerita beliau yang ingin saya sampaikan disini. Menjelang prosesi pemakaman beliu, ketika ada sambutan yang diwakili oleh seorang bapak yang menjadi imam sholat di masjid dekat rumah beliau, sang bapak ini memberikan kesaksian, yang sekali lagi kesaksian ini kemudian melekat kuat dalam memori saya.

“Saya berdoa semoga almarhumah meninggal dengan khusnul khotimah, karena beliau adalah salah satu jamaah saya yang tidak pernah tertinggal sholat subuh berjamaah di masjid.” Begitu kesaksiannya. Tidak pernah tertinggal sholat subuh berjamaah di masjid.

Dari berbagai referensi bacaan yang saya temui, saya hampir selalu menemukan bahwa sesungguhnya para sahabat Rasulullah dan juga orang-orang sholeh pendahulu kita, mereka banyak yang menentukan “spesialisasi amal sholih” tertentu sebagai amal unggulan mereka.

Kita tentu ingat dengan Bilal. Siapaka dia? Kenapa suara terompahnya bahkan sudah terdengar di surga oleh Rasulullah, bahkan ketika dia masih hidup. Ternyata amal unggulan Bilal adalah selalu menjaga wudhunya.

Kita tentu juga ingat seorang sahabat yang ketika datang ke majelis Rasulullah, Rasulullah sebelumnya selalu mengabarkan, “Sebentar lagi akan datang seorang ahli surga ke majelis kita ini.” Dan setelah ditunggu-tunggu selalu sahabat ini yang datang. Hingga kemudian ada yang berinisiatif melakukan investigasi, gerangan amal apakah yang menyebabkan Rasulullah menyebutnya sebagai ahli surga?

“Barangkali karena saya tidak mempunyai rasa kedengkian sedikitpun dalam hati ini kepada semua makhluk di muka bumi ini. Setiap malam menjelang tidur saya, saya selalu mengihklaskan semua kesalahan yang diperbuat orang lain kepada saya hari itu” Begitu kurang lebih jawaban dia, ketika sang investigator tadi tidak menemukan amal istimewa yang dia lakukan.

Sederhana sekali, begitu mungkin kata-kata yang muncul dalam benak kita. Tapi sesungguhnya disitulah letak istimewanya. Sebuah amal yang barangkali sederhana, namun jika ia dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan menjadi sesuatu yang dilakukan terus-menerus, maka insya Alloh ia akan menjadi penyelamat kita dari azab neraka kelak di yaumil qiyamah.

Sudahkah kita mempunyai amalan unggulan yang akan kita persembahkan kepada Alloh Sang Pencipta Kehidupan kelak ketika menghadap-Nya? Kalo belum, mari kita canangkan dari sekarang, sebelum semuanya terlambat.

KADO SPESIAL BUAT SAHABATKU

Tulisan ini saya buat bertahun-tahun yang lalu
Saya ketik ulang dari sebuah ucapan seseorang kepada saya
Sungguh tulisan ini ternyata masih tersimpan dalam folder
di kepingan CD kumpulan data-data pribadi saya

Saya persembahkan dengan sepenuh cinta teruntuk antum
wahai Pengantin Baru



KADO SPESIAL BUAT SAHABATKU

Assalamu’alaikum wr.wb.

Alhamdulillah, wash-sholatu wassalamu ‘ala rasulillah. Semoga Allah Sang Perancang Kehidupan ini mengumpulkan kita semua dalam jamaah orang yang pandai bersyukur kepada-Nya dan senantiasa menjaga lisan, hati dan pendengaran kita dari bermaksiyat kepada-Nya.

Wahai Sahabatku…
Seiring tekad antum berdua untuk memulai langkah bersama membangun keluarga islami, bersama itu pula terbit harapan kami untuk melihat tumbuhnya masyarakat Islami yang tunasnya akan kalian semaikan lewat keluarga muslim yang qur’ani. Harapan inilah yang menggerakkan kami untuk berbagi pengalaman dan sedikit nasehat untuk memperkokoh keluarga kalian nanti.

Wahai Sahabatku…
Sesungguhnya inti kekuatan keluarga Islami itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah dan keikhlasan kita untuk menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya. Karenanya wahai Wahai Sahabatku, pahamilah hal ini. Terlebih kalian telah memilih satu sama lain karena Allah dan bukankah dalam kondisi lapang kalian memutuskan untuk menerima satu sama lain?

Umumnya penyebab timbulnya goncangan dalam rumah tangga para aktivis bersumber dari pemahaman mereka yang keliru tentang wujud keluarga Islami. Gambaran tentang keluarga yang tanpa masalah bukanlah potret keluarga Islam yang benar. Apalagi jika kemudian beranggapan bahwa pendampingnya kini adalah makhluk serba sempurna yang akan membawanya menuju surga, yang hari-harinya senantiasa diisi dengan ibadah dan jihad.

Kenyataan yang kita dapati lewat lembaran sirah Rasul saw dan para salafus sholih menyimpulkan bahwa keluarga mereka pun tak lepas dari berbagai badai permasalahan. Rasulullah saw pernah diprotes oleh isteri-isterinya yang menghendaki perubahan suasana terutama dalam masalah nafkah (QS. Al Ahzab : 28-29). Pernah suatu ketika, karena tidak kuatnya menahan perlakuan suaminya, Khaulah binti Tsa’labah mengadukan suaminya Aus bin Ash-Shomit kepada Rasulullah saw, pengaduan yang kemudian Allah abadikan pada pembukaan Al Qur’an Surat Mujadalah.

Namun semua itu tak menghanyutkan mereka ra untuk tetap eksis dalam jalan dakwah dan jihad. Rumah tangga mereka tetap kokoh, bahkan mereka mampu me-nyelesaikannya dengan ihsan, tanpa menggoyahkan stabilitas rumah tangga apalagi jama’ah. Perceraian Zaid bin Haritsah dan Zaenab binti Jahsy adalah perkecualian karena Allah hendak me-matahkan tradisi pelarangan menikahi mantan isteri anak angkat yang saat itu berkembang di masyarakat.

Wahai Sahabatku,…
Perbedaan karakter, cara pandang dan kedewasaan masing-masing pihak bisa juga menjadi sumber masalah bagi keluarga muda. Kadang-kadang masalah sepele seperti perbedaan cita rasa dalam makanan dan pakaian bisa berkembang menjadi ketidaksukaan terhadap pasangannya. Kebiasaan lama yang bertolak belakang juga dapat menjadi potensi konflik jika tidak segera diatasi.

Demikian juga dengan pembagian atau penyertaan porsi waktu untuk keluarga, bagi sebagian aktivis yang banyak melewati hari-harinya di luar rumah karena tuntutan tanggung jawab maka praktis porsi waktu untuk keluarga terkadang menjadi prioritas terakhir. Memang pada awalnya hal tersebut bisa dimaklumi, namun jika kondisi ini berjalan terus menerus dan rutin, kemungkinan timbulnya masalah semakin terbuka.
Belum lagi dengan beragam permasalahan eksternal yang siap menghadang, jika benteng iman lemah, tunas-tunas keluarga islami dikawatirkan tak kunjung mekar mewangi. Lalu apa antisipasinya….

Wahai Sahabatku,…
Keluarga Islami adalah keluarga manusia biasa yang sarat dengan terpaan masalah. Dari masalah sepele dan kecil hingga masalah-masalah yang berjkaitan dengan ummat. Faktor pembedanya dengan keluarga awwan adalah pola dan sudut pandang penyelesaian.

Kunci penyelesaiannya terletak pada adanya pemahaman yang benar bahwa hidup berumah tangga juga merupakan bagian perjuangan yang tak lepas dari masalah. Dan kesediaan untuk menerima pasangan hidup apa adanya disertai dengan keyakinan bahwa apa yang ditentukan Allah adalah yang terbaik merupakan benteng yang kokoh. Namun demikian, membina suasana tafahum antar suami isteri harus mendapat porsi yang memadai sehingga permasalahan keluarga dapat diatasi bersama.

Seorang muslim sedapat mungkin harus memberikan porsi pemenuhan hak-hak rumah tangga secara baik. Lihatlah sikap Salman ra ketika menasehati Abu Darda ra yang terlalu sibuk beribadah sehingga melupakan hak-hak rumah tangganya. Salman mengatakan. “Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atas dirimu, begitu pula jiwamu dan kelurgamu. Maka tunaikanlah hak itu atas pemiliknya.”

Kehidupan rumah tangga Islami, memang memerlukan sikap dan perilaku khusus. Pihak isteri seyogyanya tak terlalu menuntut perhatian suami yang memang perhatiannya sudah banyak tersita untuk kemaslahatan ummat, bahkan kalau dapat hal itu justeru didukung. Lihatlah Abu Tholhah dan Ummu Sulaim sebagai contoh. Keduanya mem-punyai persepsi yang sama tentang keharusan menjunjung tinggi dakwah.

Wahai Sahabatku,…
Kami yakin Antum berdua telah begitu memahami apa yang kami tulis di atas, namun tentu tak ada salahnya kalau hal tersebut perlu kita kaji kembali sebagai bekal Antum berdua dalam menjalani roda dakwah dan kehidupan yang telah membentang di depan mata. Kehidupan suami isteri hendaknya bisa saling me-nguatkan satu sama lain. Di saat sang suami sedang dalam kondisi kejenuhan beramal maka tugas isteri adalah untuk kembali mengingatkannya agar senantiasa di jalan Allah, dan demikian pula sebaliknya.

Wahai Sahabatku,…
Sebagai Akhir dari harapan kami, marilah bersama kita luruskan kembali niat kita, karena sesunguhnya Allah menilai amalan anak adam ini dari niatnya. Kenalilah bahwa kita menikah adalah semata-mata untuk menggapai ridho-Nya. Menikah adalah sebagai salah satu wasilah untuk menggapai cinta tertinggi kita yaitu cinta kita kepada-Nya, cinta yang tidak akan menimbulkan rasa penyesalan, cinta yang tidak akan mengecewakan kita bagaimanapun kondisi kita.

Kemudian marilah kita ingat kembali nasehat Rasulullah ketika membekali seorang sahabat yang akan dikirim ke daerah lain, “Bertaqwallah kamu bagai-manapun kondisimu (dimanapun kamu berada), ikutilah perbuatan buruk (ketika kamu terlanjur melakukan) dengan perbuatan baik….dst.” taqwa adalah sebaik-baik bekal kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini.

Ingat pula janji Allah, “ Barang siapa ber-taqwa kepada Allah, maka akan dijadikan baginya jalan keluar (dari berbagai masalah yang dihadapinya), dan akan diberikan rejeki dari arah yang tiada disangkanya.” (QS. Ath-tholaq : 2-3)

Semoga Allah yang Menguasai hati-hati kita berkenan mewujudkan elegi yang lama terpendam dalam impian kaum muslimin, untuk kembali meraih izzahnya dan mewarnai kehidupan bumi ini dengan indahnya panorama Islam.

Kita baru melangkah, mari mantapkan kembali langkah kita di jalan dakwah ini.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Best Regards

Abu dan Ummu :
- Ammar
- Zahra
- Ghifar

Meraih Sukses (dakwah) Tanpa Batas….

Meraih Sukses (dakwah) Tanpa Batas

Melakukan sebuah aktivitas kemudian aktivitas tadi menjadi sebuah monumen kesuksesan yang tanpa batas, tentu menjadi impian banyak orang. Kesuksesan selalu berbanding lurus dengan usaha-usaha yang kita lakukan, semakin keras kita melakukan usaha untuk mencapai kesuksesan tersebut, maka akan semakin terbuka peluang kita untuk menggapai kesuksesan itu.

Dalam dakwah juga begitu. Siapa yang tidak ingin agar aktivitas dakwah yang kita tekuni, yang merupakan warisan tugas kenabian, bisa sukses tanpa batas? Sehingga ia akan menjadi sumber pahala yang mengalir terus tiada henti, mengalir melebihi usia biologis kita. Itulah sesungguhnya kesuksesan tanpa batas yang saya maksud di sini.

Ada hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam diri para kader dakwah, terkait dengan usaha kita untuk menjadikan aktivitas dakwah ini agar terus ada, ditengah konstelasi peperangan antara pendukung al haq dengan al bathil yang semakin terbuka dan meruncing dewasa ini. Hal-hal tersebut adalah :

1. An nauiyah al jayyidah (kualitas yang bagus)

Dibutuhkan kader dakwah yang mempunyai kualitas yang bagus, baik itu sisi maknawiyah, fikriyah maupun jasadiyahnya. Dakwah Rasulullah dan para sahabat menunjukkan hal ini. Mereka adalah contoh generasi yang mampu menyeimbangkan kekuatan maknawiyah, fikriyah dan jasadiyahnya. Tentang kualitas keimanan mereka tidak kita ragukan, mereka adalah generasi pertama yang ditempa langsung oleh Rasulullah bersamaan dengan bimbingan wahyu Alloh yang juga turun di masa mereka. Mereka juga dianugerahi keilmuan yang mengagumkan. Kemampuan menghapal yang dipunyainya, mampu mereka padukan dengan sumber ilmu yang langsung datang dari Alloh yaitu Al Qur’an. Dan perlu diingat, fisik mereka teramat tangguh, terbukti dengan peperangan-peperangan yang terjadi di masa mereka. Selama di Madinah saja setidaknya jihad qital terjadi 85 kali, jika dirata-rata maka kurang lebih tiap 1,5 bulan ada peperangan! Prestasi yang amat mencengangkan.

Gambaran keterkaitan antara kualitas kader dakwah dengan ”daya gedor” nya dalam aktivitas dakwah dapat kita lihat dalam QS Al Anfal : 65-66 yang artinya :

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti[623]. (QS Al Anfal : 65)

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al Anfal : 66)

[623]. Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah. Mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya

2. Al kamiyah al kafiyah (jumlah yang memadai)
Selain dukungan kualitas kader dakwah yang mumpuni, dibutuhkan juga sisi kuantitas kader. Tidak dipungkiri, kemaksiyatan dan kejahatan dewasa ini tumbuh semakin merajalela, bak cendawan di musim hujan. Karenanya, dibutuhkan juga pertumbuhan kader dakwah yang berlipat-lipat.

Tengoklah betapa beratnya meng-golkan sebuah UU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sedang terjadi saat ini. Ternyata kemaksiyatan masih mendapat dukungan yang teramat masif. Pun kalau kita korelasikan dengan kandungan ayat di atas tadi, maka rasio kader dakwah terhadap musuh dakwah yang berbilang 1:10 dalam kondisi kualitas kader dakwah yang baik atau 1:2 dalam kondisi lemah, harus selalu menjadi pertimbangan kita.
Rasulullah sendiri menyiratkan dalam sabdanya, “Perbanyaklah keturunan. Aku lebih menyukai banyaknya jumlah kalian.”

3. Al mitsaliah ats tsabitah (idealisme yang kokoh)
Kalo kita melihat bagaimana para musuh dakwah ini terlihat amat ’militan’ memperjuangkan misi-misi mereka padahal kita yakin mereka di atas al bathil, maka sudah semestinya kita harus lebih militan dari mereka karena kita yang kita perjuangkan ada di atas al haq.

Alloh berfirman dalam Surat Yusuf : 108 :

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik."

4. Al waqi’iyah al mahsubah (realitas yang diperhitungkan)
Ketika Rasulullah memulai dakwah di bumi arab, beliau memulai dengan menempa generasi pertama para mujahid dakwah di darr al arqom. Dari tempat inilah beliau melakukan penempaan dengan intensif kepada mereka sehingga mereka yang lulus dari ’madrasah’ inilah yang kemudian kita saksikan menjadi pembawa bendera islam sepeninggal beliau.

Ketika bumi Mekah di rasa tidak kondusif terhadap perkembangan Islam, maka turunlah perintah hijrah sehingga kemudian kita lihat Islam berkembang pesat di madinah.

Ketika Rasulullah hendak menunaikan haji pada tahun ke 6 H kemudian dicegat oleh delegasi kaum kafir quraisy agar Rasul tidak berhaji tahun itu dan kemudian mereka menawarkan perjanjian yang kemudian dikenal dengan perjanjian hudaibiyah, Rasulullah menerima tawaran itu. Bahkan kemudian seorang Umar bin Khothob protes dengan keputusan tsb, datang kepada Rasulullah dan berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, bukankah engkau utusan Allah?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya betul’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Bukankah kita kaum muslimin?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya betul’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Bukankah mereka orang-orang musyrikin?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya betul’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Kalau begitu, kenapa kita menerima kehinaan untuk agama kita?’ Rasulullah bersabda, ‘Aku hamba Allah dan RasulNya. Aku tidak menentang perintah Allah dan Dia tidak akan menelantarkanku’

Barulah dua tahun kemudian Alloh membukakan rahasia di balik keputusan Rasul tersebut, yaitu peristiwa fathu Makkah, dimana penaklukan Makkah itu terjadi tak lain asebab di awali dengan gerbang perjanjian hudaibiyah ini.

Ada kondisi-kondisi kekinian dan realitas yang harus selalu kita perhitungkan agar keberlangsungan dakwah ini tidak terganjal.

Inilah hal-hal yang mesti kita perhatikan jika kita ingin menjadikan dakwah yang kita tekuni ini menjadi sebuah amal yang bisa menghasilkan kesuksesan tanpa batas tadi, kesuksesan yang akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan fiddunya wal akhiroh.

By Masker, 24032006 at Yogya. Adopsi dari berbagai sumber.