Selasa, 23 Desember 2008

SKOLIOSIS : Progresifitas 20 Tahun, Bro!

SKOLIOSISKU : Progresifitas 20 Tahun, Bro!

Esok harinya aku kembali ke RS Dr Sardjito, untuk mengambil hasil rontgenku di bagian radiologi. Siang itu, ba’da sholat dhuhur aku kembali bertemu dengan dr. Agus, karibku, di ruang utama Masjid Mardhiyah.

“Coba saya lihat” katanya. Diambilnya beberapa foto tulang punggungku itu. Sambil sesekali membaca analisa hasil foto yang tertera dalam kertas kecil itu. Kulihat raut mukanya bergidik. Seakan tengah membayangkan sesuatu yang serius tengah mengintai diri saya. Dari helaan nafasnya, aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu yang penting.

“Pak, tulang punggung antum sudah bengkok sekali. Lihat ini” ditunjukkannya kelokan tulang punggungku dalam foto itu. Dari atas lurus, kemudian mulai ruas sepertiga bawah, mulai membelok ke arah kiri kemudian berkelok lagi ke arah kanan. Persis huruf S. “Ini namanya skoliosis” tandasnya.

“Sekarang kita ke Bagian Rehabilitasi Medik saja. Antum diterapi saja dulu di sana, untuk menghilangkan rasa sakit antum”. Kami kemudian berjalan menyusuri bangsal-bangsal yang juga penuh dengan antrian pasien. Saya masih mengeja dalam hati, sebegitu seriuskah yang namanya skoliosis itu? Dari SD dulu, saya telah tahu nama beberapa kelainan tulang punggung, ada skoliosis yaitu pembengkokan tulang punggung ke samping yang menyerupai huruf S. Dan ada Kiposis, pembengkokan tulang punggung ke depan atau belakang.

Kami bertemu dengan dr. Fuad. Dia adalah dokter spesialis syaraf yang menggawangi bagian rehabilitasi medik di RS Dr. Sardjito. ”Oh, dr. Agus. Ada ada dok?” sapanya begitu melihat karibku itu memasuki ruangnya. Setelah berbasa-basi sejenak dengannya, diperkenalkanlah aku dengan dr. Fuad. Dijelaskannya problem yang sedang saya hadapi. Dengan wajah serius, dr. Fuad mulai membuka foto hasil rontgenku. Demi melihat foto-foto itu, wajahnya segera menatapku.

”Coba sini berbaring, biar saya periksa. Buka sedikit baju bagian atasnya, saya ingin melihat punggungnya” Diperiksanya punggungku. ”Dimana yang sakit?”

Aku tunjukkan bagian punggungku yang serasa kelu, nyeri, pegal, sebuah rasa yang susah untuk didefinisikan. Terus begitu setiap saat. Hanya saat tidur aku bisa melupakan rasa itu. Bagian itu adalah bagian bawah tulang punggungku yang menonjol ke sebelah kiri. Kemudian dr. Fuad mengukur panjang kakiku. ”Nah, ini panjang sebelah. Kamu dulu pernah jatuh?”

Aku mencoba mengingat kejadian yang lalu. ”Iya, Dok. Tapi sudah lama. Waktu itu saya kelas 2 SMP. Jatuh waktu main bola tangan di lapangan saat pelajaran olah raga dengan posisi pantat terlebih dulu. Karena saat itu habis hujan, licin, saya terpeleset. Pergelangan tangan kiri saya sampai retak.” Aku ceritakan semua yang aku ingat.

”Kalau begitu saya butuh lebih detil lagi foto rontgennya.” Kemudian dr. Fuad membuat surat pengantar ke bagian radiologi. Diantaranya foto tulang punggung tampak depan dan tampak samping kiri dan kanan. Serta foto tulang pinggul. ”Habis foto langsung ke sini lagi ya, besok kalo sudah jadi langsung bawa kemari lagi. Hari ini kamu terapi dulu untuk menghilangkan sakitnya. Dan nanti sekalian saya buatkan resep”

Sambil berjalan ke bagian radiologi, aku berpisah dengan dr. Agus. Di bagian radiologi kembali aku menjalani difoto, kali ini punggung dari arah depan, samping dan juga pinggul. Setelah itu aku kembali ke bagian Rehabilitasi Medik untuk menjalani fisioterapi. Dari keluhan yang aku sampaikan, dr. Fuad memberiku 2 terapi, aku menyebutnya diathermi dan tens. Diathermi : punggungku dialasi handuk, kemudian dipanasi selama 20 menit. Sedang tens adalah mengalirkan listrik tegangan rendah antara betis dan pahaku, kira-kira 10-15 menit.

***

Setelah foto rontgen yang kedua aku ambil, hari berikutnya aku kembali ke bagian Rehabilitasi Medik. Dr. Fuad segera mengamati foto-foto tersebut. Dari pencitraan foto pinggul, dia menjelasakan : ”Coba kamu lihat ini, pinggulmu asimetris. Tinggi sebelah. Ini barangkali diakibatkan waktu kamu jatuh dulu. Karena proses yang panjang dan lama, punggung menjadi terkoreksi mengikuti kondisi pinggul yang asimetris ini”

Aku mencermati setiap penjelasan dari dr. Fuad. Masuk akal, pikirku. ”Ini... ini tulang kamu kelihatan sudah tidak padat lagi. Lihatlah. Kamu mengalami osteoporosis juga...! pekiknya.

Duh! Osteoporosis? ”Pengeroposan kepadatan tulang. Tulangmu telah keropos. Kekurangan kalsium. Ini pula barangkali yang menyebabnya cepatnya pembengkokan tulang punggungmu. Karena tulang kamu tidak padat lagi. Ini pula yang membuatmu merasa sakit sepanjang waktu.”

”Berapa umur kamu?” tiba-tiba dokter bertanya umur.

”Dua puluh enam tahun, dok”

”Dua puluh enam? Osteoporosis ini biasa menimpa orang umur lima puluhan. Kamu sudah mengalaminya. Kamu mengalami progresifitas 20 tahun.” Dr. Fuad menggelengkan kepala.

Progresifitas 20 tahun! Lihatlah kawan, keren bukan? Pantas saja selama ini, aku kadang merasakan tulang-tulangku ngilu. Pegal. Mendengar penjelasan dokter, aku hanya bisa bersabar. Tentu Allah memberiku kondisi seperti ini ada maksudnya. Tentu kondisi ini yang terbaik bagiku. Dia mengujiku agar aku dikaruniai kesabaran.

***

Senin, 22 Desember 2008

SKOLIOSIS : Aku Tidak Bisa Rukuk !

Waktu itu, kakak iparku hendak melangsungkan pernikahan. Tahun 2003. Aku, istriku yang sedang hamil anak kami ketiga, dan kedua anakku pulang ke Semarang, rumah mertuaku. Kakak iparku –Mas Sugeng- menikah dengan gadis satu kampung. Kisah cinta mereka heroik. Dibumbui ketidaksetujuan ibuku, ibu mertuaku. Bapak sendiri tidak begitu mempermasalahkan. Hanya akhirnya mereka memang harus mengalah dengan kekuatan cinta anaknya. Lebih tepatnya adalah, kenekadan anak laki-laki sulungnya itu.

Pagi itu, aku berinisiatif mengisi bak mandi kami dengan menimba dari air sumur. Manual. Mesin pompa kami sudah rusak, belum sempat untuk diperbaiki. Aktifitas ini biasa aku lakukan waktu SMA dulu. Hampir tiap pagi saya menimba setidaknya 20 ember untuk memenuhi bak kamar mandiku. Sampai luber. Aku memang selalu menghitungnya. Agar aku tahu bahwa aku telah menimba setidaknya 15 ember, maka beberapa ember lagi luberlah bak kamar mandiku.

Pagi itu tidak kurang telah 30 ember air aku timba dari sumur itu. Tapi belum penuh. Volume ember di rumah mertuaku ini memang lebih kecil, sehingga untuk ukuran bak kamar mandi yang sebenarnya hampir sama dengan bak kamar mandi di rumahku dulu, butuh lebih dari 30 ember. Sampai kemudian ibuku, ibu mertuaku, menggantikanku untuk memenuhi bak kamar mandi kami.

Awalnya biasa, tidak ada keluhan dari dalam tubuhku. Hanya kemudian selepas aktifitas seharian hari itu, ketika aku melaksanakan sholat maghrib aku merasakan ada yang salah dalam tubuhku. Aku tidak bisa melakukan gerakan rukuk. Tiap kali punggungku dipaksa untuk membungkuk rukuk, baru gerakan awal saja mendadak tulang-tulang punggungku terasa begitu sakit. Ngilu tak terperikan. Semua gerakan yang melibatkan punggung, tak bisa lagi kulakukan karena ia akan selalu mengakibatkan satu hal yang selalu sama, sakit. Berjalan pun harus tertatih. Duduk berdiri harus perlahan, sambil memegangi pinggang. Persis seperti aki-aki yang telah genap berumur 99 tahun. Renta.

Sekembaliku dan keluargaku ke Jogja, derita itu tetap menemaniku. Walau sedikit berkurang, namun aku tetap tidak sanggup untuk melakukan gerakan rukuk dalam sholat-sholatku. Hanya satu pikiranku : ada yang salah di tulang punggungku. Persisnya, aku tidak tahu.

Aku mengadu kepada seorang sahabatku, seorang dokter yang sedang mengambil spesialis bedah di RS Dr Sardjito. Namanya dr. Agus. Setelah berjanji melalui pesan singkat, kami bertemu selepas sholat jumat di Masjid Mardhiyah –masjid legendaris di kampus UGM yang terletak di selatan RS Dr Sardjito.

”Kenapa? Ada apa? Apa keluhannya?” pertanyaan khas seorang dokter.

Di ruang utama masjid itu, mulai aku ceritakan asal muasal rasa sakit di punggungku itu. Hingga akhirnya dia memintaku, ”Coba berbalik sebentar”. Aku berbalik, duduk membelakanginya. Dari atas bajuku, tangannya mulai meraba tulang punggungku dari mulai tengkuk, terus merambat ke bawah hingga mendekati tulang ekorku.

Terhenyak. ”lho lho lho, kok begini. Ckk.. ckk.. ckk..” seakan tak percaya dengan apa yang baru dirabanya, diulanginya lagi meraba tulang punggungku dari atas ke bawah, kembali lagi ke atas. Sambil terus bergumam. ”Bengkoknya nemen gini, pak”

”Wah, Pak. Sudah lama antum merasakan tulang antum bengkok ini?”tanyanya.

Aku ceritakan bahwa sebenarnya punggungku ini telah aku rasakan bengkok sejak menginjak SMA dulu! Ya, sejak tahun 1991. 12 tahun yang lalu. Tapi bagiku selama ini, itu hanyalah kelainan kecil yang mungkin diakibatkan posisi belajarku yang salah. Tidak lebih dari itu.

”Harus di rontgen, akh. Ayuk, kita ke Sardjito. Kita temui dr. Dayat untuk mengambil gambar tulang punggung antum.”

Berdua kami bergegas menemui dr. Dayat di bagian rontgen. Aku lihat dr. Agus sempat beberapa saat bicara dengan dr. Dayat. Serius. Sambil sesekali mereka berdua melihat ke arahku yang menunggu di luar, di ruang tunggu. Dr. Agus kemudian membuat semacam rekomendasi, sebagai pengantar untuk dilakukan foto rontgen punggungku.

Setelah menyelesaikan masalah administrasi sebentar, aku kemudian diantar ke ruang foto rontgen. ”Besok setelah mengambil hasil fotonya, kita ketemu kembali di Masjid Mardhiyah. Ba’da sholat dhuhur” katanya. Aku iyakan sambil melangkahkan kembali kakiku ke pelataran parkir depan Masjid Mardhiyah. Pulang ke kantor.

***

(bersambung)

Senin, 15 Desember 2008

Keluarlah dari Rutinitas, Sejenak Saja

Kadang kita hanya perlu keluar sejenak dari rutinitas kita. Meski hanya sesaat. Sesaat saja. Agar bunga-bunga yang lama tersemai di hati kita kembali merona. Istrimu, anakmu, adalah bagian kepingan terindah dalam hatimu. Mereka semua menuntut kehadiran hatimu seutuhnya untuk mereka, meski kamu kadang hanya bisa memberinya sesaat.

Jenak-jenak langkah yang terus tertapak, seringkali membuat hati menjadi jenuh. Kebal rasa. Semua menjadi seakan biasa. Semua menjadi seakan hambar. Tidak ada yang istimewa lagi. Jika demikian, maka segera berhentilah sejenak. Engkau perlu menepi sejenak. Untuk sesaat kembali mengeja langkah-langkah yang telah terlewati. Nafas kita perlu diperbaharui, agar langkah kita kembali segar.

Apakah cukup menepi sejenak? Tidak. Sekali lagi perbaharui nafasmu. Nafas hidupmu. Nafas cintamu. Seperti siang yang ketika beranjak sore menampilkan panorama merah saganya. Selepas mentari ke peraduannya di malam hari maka keluarlah parade bermilyar bintang dengan dikomandoi sang bulan. Hingga kembali semburat merah mewarnai hadirnya sang siang di pagi hari itu. Terus begitu. Berselang-seling. Karena hidup ini adalah perputaran.

Meluangkan sekedar berjalan-jalan bersama di pagi hari yang indah, menikmati sejuknya panorama pedesaan, atau hanya sekedar berkumpul bersama di ruang keluarga sambil menikmati teh bersama, akan membuat nafas hidupmu menjadi segar kembali. Dulu saya suka jika tiap akhir pekan mengajak ketiga anak saya berjalan-jalan menyelusuri desa-desa. Kami menyebutnya : petualangan. Jika melewati jalan kecil dan penuh belukar, atau di samping sebuah sungai yang panjang, atau sekedar melewati sebuah jembatan yang tinggi, membuat kami semua bersorak gembira.

Keluargamu adalah permata hatimu. Sudah semestinya tempat teristimewa di hatimu engkau berikan kepada mereka. Saling mengisi, saling memberi, saling memahami, saling menghargai, saling menerima, semestinya menjadi bagian dari semangat yang tersemai di sana. Tapi ingatlah, jangan menunggu engkau diberi, jangan menuntut engkau dipahami lebih dulu. Berusahalah untuk menjadi pihak pertama yang memberi, memahami, dan menghargai. Maka akan kita dapatkan lebih.

Menjadi pahlawan bagi keluarga mungkin terlalu heroik bagi saya. Cukup merasakan bahwa mereka membutuhkan dan mereka merasakan keberartian, sudah merupakan anugerah yang terindah. Masih banyak celah yang harus saya benahi. Masih banyak tanya yang harus saya jawab agar saya menjadi berarti bagi mereka. Apapun, mereka adalah tanggung jawab dan amanah yang harus dijaga. Engkau adalah nakhoda bagi mereka, maka selamatkan bahteramu meski engkau harus mengorbankan jiwamu. Begitu nasehat itu berputar di kepala saya.

Begitulah kelaziman cinta itu berbicara. Karena ia pun ada nafas.

Jumat, 12 Desember 2008

Apakah Anda Orang Yang Romantis?

Apakah Anda Orang Yang Romantis?

Hari itu adalah hari raya kurban. Seperti di masjid-masjid pada umumnya, masjid di kampung kami pun menyembelih hewan kurban. Alhamdulillah, tahun ini (1429 H) masjid ini bisa menyembelih dua ekor sapi dan 2 ekor kambing. Walaupun sempat butuh extra effort untuk menggenapkan menjadi 2 ekor sapi, karena hingga menjelang 2 pekan hari raya idul kurban untuk kelompok sapi baru mendapatkan 12 nama shahibul kurban, akhirnya atas usaha salah seorang panitia bisa digenapkan menjadi 14 nama.

Ini tadi adalah sekilas tentang idul adha di masjid saya di kampung. Tapi saya tidak sedang ingin menceritakan keutamaan kurban ataupun hiruk pikuknya penyembelihan hewan kurban. Ada sebuah fragmen singkat yang ingin saya angkat di cerita saya kalo ini.

Begini ceritanya. (Ehm, tolong disimak ya :D). Setelah semua hewan kurban disembelih dan dikuliti serta ditimbang perolehan dagingnya, tibalah saatnya membaginya dalam paket-paket plastik untuk didistibusikan kepada jama’ah di sekitar masjid kami. Ada yang bertugas memasukkan ke dalam kantong-kantong plastik, ada yang bertugas menimbang, dan ada yang bertugas memotong-motong daging menjadi potongan-potongan kecil agar mudah untuk membaginya.

Di sebuah pojok sempit tempat kami semua mengambil satu peran dari tugas-tugas tadi, saya dan istri berduet, memotong-motong daging menjadi potongan-potongan kecil. Saya yang memegang daging, sementara istri yang memotongnya dengan pisau. Sambil sesekali ngobrol dan berbisik ringan. Sebuah kejadian yang sederhana bukan? Tapi dari awal memang saya menikmatinya.

Kami semua berbaur. Di sekeliling onggokan daging sapi dan kambing kurang lebih 200an kilogram itu, bapak-bapak dan ibu-ibu mengambil peran. Sebagian besar ibu-ibu memang. Di satu sisi mengelompok ibu-ibu mengiris-iris dan memotong daging, di sisi lain beberapa bapak-bapak memisahkan daging dari tulangnya, atau memotong-motong tulang dalam potongan-potongan kecil.

Beberapa saat kemudian, seorang ibu, beliau adalah tetangga seberang rumah saya, berteriak keras sambil berpura-pura pegang kamera, “Wah, yang di pojok itu harusnya di foto nih. Dari tadi saya lihat berdua terus. Romantis tenan.”

Saya dan istri hanya bisa tersenyum. “Biasa saja kok, bu” Jawab saya sekenanya.

“Weh, itu sudah sejak dari tadi malam je. Jam 12 malam tadi pas kami masih takbiran di sini, berduaan naik sepeda kemari. Ndemenakne tenan je.” Tambah Pak Sambas, suami dari ibu tadi, meledek. Suasana makin hangat.

“Iya lho, saya dari tadi juga mengamati. Saya Cuma mbatin, Bu Agus sama Pak Keri ini kok romantis banget.” Seorang ibu yang lain ikut berkomentar. Seorang ibu yang sebenarnya sudah cukup sepuh juga, kira-kira di atas 45 tahun umurnya.

Yah, kami hanya bisa tersenyum-senyum. Bagi kami, apa yang kami lakukan ini sebenarnya biasa-biasa saja. Sangat wajar. Dekat, iya. Bahkan kami pun tak menampilkan kemesraan. Ini belum demonstratif, halah. Maklum, saat jalan berduaan di kampung ini, saya suka menggandeng atau merangkul pundak istri saya. Ini baru demonstratif. Makanya istri kadang sering menolaknya, ”Sssttt, malu. Ini di kampung.”

Bu Beni, seseorang yang pernah menemani kami saat-saat kami belum mendapatkan khadimat dulu, mendekat ke tempat kami. ”Duh, Bu Agus ini dari tadi deketan terus ama Pak Keri. Mesra sekali saya perhatikan dari tadi.”

”Ah, bilang saja pengin. Nanti pulang minta ama Mas Beni.” Kata Bu Panggih menggoda. Riuh. Heboh. Itu yang saya tangkap dari komentar-komentar ibu-ibu tadi. Ada sesuatu yang ’luar biasa’ bagi mereka yang siang itu mereka lihat, walau itu bagi saya dan istri bahkan ’hanya’ suatu kebiasaan yang sungguh-sungguh sangat biasa.

Kawan, saya hidup di tengah kampung. Sebahagian besar penduduk di sini adalah bertani, sambil memelihara berternak. Beberapa memang berprofesi sebagai guru. Tapi sungguh, nuansa hubungan suami-istri di kampung memang seringkali terkadang monoton. Itu setidaknya pengamatan saya. Mungkin salah satunya masih kuatnya feodalisme dan primordialisme, di mana kedudukan suami sungguh-sungguh harus selalu di atas istri, sehingga mengharuskan suami menjaga wibawa di hadapan suami. Demikian pula istri, tidak berani mengekspresikan keinginan-keinginannya di hadapan suami.

Saya ingat ketika malam takbir sebelumnya, sebut saja Mbah War putri, menanyakan kepada suaminya membawa korek api atau tidak, karena dibutuhkan untuk menyalakan api di tungku depan masjid. Ya, ibu-ibu di depan masjid malam itu ada yang bertugas memasak air, merebus kacang dan menggoreng camilan buat peserta takbiran. Mbah kakung menyerahkan korek api tadi dengan dilempar, tanpa ekspresi. Ternyata lemparannya membentur hijab setinggi 60cm. Tidak sampai di hadapan mbah putri yang berdiri di seberang hijab. Sambil beringsut dengan agak kesal, dipungutnya korek tadi. Mbah putri sejatinya ada di hadapannya dengan tangan menengadah. Tapi oleh mbah kakung, korek tadi ternyata tetap dilemparkannya. Korek jatuh di hadapan mbah putri yang kemudian bergegas memungutnya.

Kawan, apakah menurutmu itu hal biasa? Tenanglah, bagi warga di sini, hal seperti itu mungkin jamak. Sangat biasa. Bagi pasangan suami istri di kampung kami ini, kejadian seperti ini tidak berarti apa-apa. Tapi entah bagi saya pribadi, ada sesuatu yang ‘luar biasa’. Aneh. Kurang nyaman. Blas tidak romantis. Kenapakah tidak bisa dengan cara yang lebih nyaman di hati? Begitu kalo saya berpikir.

Saya ingat anak terkecil saya (5th), suka berkomentar jika melihat kami berduaan ngobrol, “Uuhh, abi ama ummi ini sukanya pacaran.” Awalnya saya agak kaget dengan komentar anak kami ini.

“Pacaran itu apa tho dek?” tanya saya.

“Lha itu, suka ngobrol berdua aja.” Jawabnya singkat.

Kawan, pelajaran yang saya dapatkan dari hal-hal sederhana ini adalah bahwa sebenarnya untuk menjadi romantis itu mudah dan murah. Sederhana. Pun tidak neko-neko. Cukup engkau berikan perhatian terhadap istri/suami-mu, luangkan dengan ngobrol atau jalan kaki berdua sambil ke masjid, atau berboncengan sepeda ke warung, itu sudah romantis. Tidak perlu pake bunga. Tidak perlu berbuih-buih dengan ucapan-ucapan yang puistis seperti di sinetron-sinetron.

Mudah bukan? Jadi, engkau siap jadi pasangan yang romantis sekarang, bukan?



Catatan :
Romantis : bersifat seperti dalam cerita roman (percintaan), bersifat mesra, mengasyikkan.

Rabu, 03 Desember 2008

Kepingan Puzle Kehidupan

"Wa inna likulli 'amalin syirah. wa likulli syiratin fatrah. Faman kanat fatratuhu ila sunnati faqad ihtada. Waman kanat fatratuhu ila ghairu dzalika faqad dholla."

.................................................................................

"Setiap amal itu ada masa semangatnya, dan pada setiap masa semangat itu ada masa futur (bosan). Barangsiapa yang ketika futur tetap berpegang kepada sunnahku, maka sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk dan barangsiapa yang ketika futur berpegang kepada selain sunnahku, maka sesungguhnya ia telah tersesat." (HR al-Bazaar).

Perjalanan hidup kita ini seperti sebuah puzle kehidupan. Setiap episode hidup kita adalah kepingan puzle itu. Semakin banyak kita torehkan episode demi episode kehidupan, maka kepingan-kepingan puzle itu pun akan mendekati akhir. Sampai pada kepingan terakhir, itulah saat kita menutup puzle kehidupan itu.

Nanti, akan Allah tunjukkan hasil karya kita itu. Nanti, akan Allah putar kembali episode-episode hidup kita tersebut. Dan nanti pula, Allah akan tunjukkan kepada khalayak manusia, "inilah puzle kehidupan yang telah berhasil diselesaikan si fulan"...

Kita tentu ingin. Kita tentu butuh. Menutup kepingan puzle kehidupan kita itu dengan sesuatu yang indah. Sehingga ketika rangkaian demi rangkaian puzle tadi diperlihatkan ke kita, kita akan tersenyum. Karena di sana kita melihat gambaran yang indah tentang hidup kita.

Segala sesuatu ada saatnya. Segala sesuatu ada masanya. Agar puzle kehidupan kita adalah rangkaian kehidupan yang indah, maka dibutuhkan kekonsistenan kita. Maka diperlukan keistiqomahan kita. Setiap episode adalah merupakan rangkaian yang saling terkait dan tak terpisahkan dari episode sebelumnya. Bisa jadi ada episode yang buruk, manusiawi. Maka harus segera kita tutup dengan episode kebaikan.

Kata Rasulullah, "Wa atbi'is-sayyiatal-hasanah tamkhuha". Dan ikutilah perbuatan buruk dengan kebaikan, maka ia akan menutupinya. Selalu begitu. Dan kita pun banyak menemukan amalan-amalan yang mempunyai semangat (baca: imbalan) menghapus dosa dan menutupi kesalahan yang telah lalu. Itu bukti kasih sayang Allah kepada kita, karena Allah pun ingin kita menutup puzle kehidupan kita dengan kebaikan.

Setiap amal itu ada masa semangatnya. Satu yang harus selalu kita pegang, selalu berada di atas sunnah junjungan kita. Tentu agar kita selalu mendapat petunjuk. Tentu agar kita mendapat bimbingan-Nya dalam meniti dan menorehkan tiap episode demi episode hidup kita ini.

"Qul inkuntum tukhibbunallah, fat-tabi'uni. Yuhbibkumullahu wa yaghfirlakum dzunubakum" : Katakan (Muhammad), jika engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku. Allah akan mencintai engkau dan mengampuni dosa-dosamu. Inilah bukti cinta Allah dan Rasul-Nya. Bahwa Sang Pencipta melalui Sang Utusan itu, ingin agar kita mengikuti jalan yang ditempuh Sang Utusan. Itulah jalan keselamatan.

Karena kita telah menyaksikan puzle kehidupan Sang Utusan yang begitu mempesona. Penuh dengan nilai dan tauladan. Penuh dengan energi cinta dan kebaikan. Tak ada cela. Itulah puzle kehidupan yang kita inginkan. Sempurna.