Rabu, 25 Februari 2009

Ada dan Dekat

Ada dan dekat
selalu membuatmu tenang
Karena keberadaan dan kedekatan
adalah dua hal yang semestinya
selalu bersanding

Ada namun tidak berdekatan
akan membuatmu gelisah
Namun dekat tapi tidak (terasa) ada
juga hanya akan menimbulkan
kegundahanmu

Dirimu dan dirinya
seumpama dua sisi kepingan uang
selalu saling membutuhkan agar bernilai
itu jika memang
hatimu dan hatinya
telah berpaut erat

Seorang pecinta
selalu ingin hadir dengan keberadaannya
agar sang kekasih hati
tak pernah gelisah asanya
dan juga gundah hatinya

Ada dan dekat
selalu akan membuatmu merasa nyaman
dan juga dirinya
karena memang tidak cukup
hanya dengan kedekatan hati saja

raga pun
selalu butuh kedekatan
selalu ingin ada dan dekat
dengan kekasih hatinya

Menara Jamsostek, 25/02/2009

Kamis, 12 Februari 2009

Selalu Mencoba Meringankan Selagi Kita Bisa

Ahad sore kemaren (8/2/2009) menjadi petang yang melelahkan bagi saya. Seakan saya berharap agar waktu berhenti sesaat saja. Karena selain saya harus berburu dengan waktu untuk mengejar kegiatan rutin tiap ahad sore yang telah menjadi ritual selama hampir 2 tahun ini, ada satu fragmen kejadian lagi yang membuat saya nervous bukan kepalang.

Waktu itu jam telah menunjukkan pukul 17.00, kurang lebih. Saya segera mandi. Dalam skedul di benak saya, setelah itu saya harus mempersiapkan tas dan segala sesuatu yang akan saya bawa ke Jakarta. Kemudian setelah menunaikan Sholat Maghrib, segera bersiap menunggu jemputan seorang kawan (sekaligus tetangga baik saya) untuk berangkat ke Stasiun Tugu. Tentu setelah sebelumnya berpamitan dengan anak-anak tersayang, dan juga wanita cantik yang paling saya cintai sedunia : istri saya. Cie cie ...!

Belum juga selesai saya mandi, istri saya mendadak mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi, ”Mas, cepetan. Ada yang minta tolong diantar ke rumah sakit. Si Yuli itu lho, mas”

Buru-buru saya selesaikan mandi saya. Dari ruang tamu yang terbuka, terlihat tetangga saya (Mas Joko) telah menunggu di depan jalan. Oh iya, yang sakit ini adalah keponakannya. Tanpa berpikir waktu dan lain-lain, segera saya mengambil kunci kontak dan menyalakan kendaraan di garasi. ”Handphone dan dompet sudah dibawa?” teriak istri saya. ”Sip!” jawab saya singkat.

Sesampai di rumahnya, segera saya menuju ke ruangan (yang dijadikan kamar tidur) tempat anak yang sakit tadi. Di sana rupanya sudah ada Mas Erwin (tetangga terdekat Mas Joko). Awalnya berdua mereka mencoba memapah anak yang sakit tadi menuju kendaraan. Tapi demi melihat sang anak yang mengeluh lemas dan memang saya lihat mukanya yang pucat, maka saya setengah berteriak, ”Sudah mas, kita angkat aja. Kasihan dia lemah sekali.” akhirnya, bertiga kami bopong anak yang tahun ini akan lulus SMK tersebut.

”Ke Puskesma saja mas.” kata Mas Joko. What? Kondisi anak selemah ini dan suhu badannya yang begitu tinggi mau dibawa ke puskesmas? ”Waduh, bagaimana kalau langsung ke rumah sakit saja ya? Biar segera dapat penanganan.” kata saya.

Dari arah depan saya, ibu anak tadi tergopoh-gopoh datang setelah dijemput adik iparnya. Tampak kepanikan di wajahnya. Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya kami putuskan untuk langsung membawanya ke RSUD terdekat. Setengah ngebut saya pacu kendaraan saya. Saya tak sempat lagi memikirkan keberangkatan saya ke Jakarta nanti. Yang ada dalam pikiran saya bagaimana anak tadi segera sampai di RS dan mendapatkan penanganan di sana.

Di RS kami langsung menuju ke Instalasi Rawar Darurat (IRD). Sementara sang ibu mengurus administrasi, saya menemani anak tadi ke ruang periksa di IRD. Perawat di sana cukup sigap menurut saya. Setelah ditanya-tanya mengenai riwayat sakitnya, ia mengukur suhu dan tekanan darah anak tadi. Tak lupa kemudian diambilnya sampel darahnya untuk diperiksa di laboratorium. Beberapa saat kemudian kami diminta menunggu hasil lab untuk mendengarkan diagnosa dokter dan memutuskan apakah anak tadi harus opname atau cukup rawat jalan.

Dari pembicaraan-pembicaraan tadi, dugaan kami semua adalah bahwa anak tadi mungkin sakit thypus. Setidaknya gejala thypus. Tidak ada pikiran bahwa ia akan terkena penyakit selain itu. Sama sekali tak terbayang.

Saya tiba-tiba ingat agenda rutin saya. Ya, jam 18.15 tiap ahad petang biasanya saya telah berangkat dari rumah menuju ke stasiun. Saat itu telah pukul 17.45. Saya mengirim sms ke istri saya akan kemungkinan mundurnya keberangkatan saya. Karena masih harus menunggu diagnosa dan keputusan dari dokter nanti.

”Saya dengar bapak mau tindakan? Kalau memang iya, tidak apa kami ditinggal saja. Nanti biar dijemput saudara yang lain.” kata ibu anak tadi saat dia diberitahu Mas Joko bahwa saya petang itu semestinya harus segera bertolak ke Jakarta.

”Oh, tidak apa-apa bu. Biar saya tunggu saja kepastiannya dulu. Paling sebentar lagi kok hasil lab nya kita dapatkan.” kata saya kepada ibu tadi.

Waktu terus berjalan. Hingga adzan maghrib terdengar berkumandang. Saya sebetulnya resah. Tapi dalam hati saya sudah bertekad, jika memang saya harus terlambat tidak terkejar jadwal kereta yang telah saya beli, saya akan naik kereta yang berikutnya atau berangkat esok paginya. Itu pilihan terburuknya.

Pukul 18.15. Istri saya menelepon. ”Gimana mas? Ada dimana sekarang? Nanti kereta jam berapa?” Duh. Bukankah tadi sudah saya sms masalah ini. Saya jelaskan jika saat ini masih menunggu hasil test lab. Dan tiket kereta yang saya beli adalah keberangkatan jam 19.00. Kami terus berdiskusi bagaimana cara saya bisa berangkat ke stasiun sementara yang di rumah sakit tetap terhandle.

Akhirnya sahabat yang biasa mengantar saya ke stasiun, Mas Samidi, menelepon saya. ”Pak, dimana sekarang? Gimana kalo bapak saya jemput saja sekarang terus langsung saya antar ke stasiun. Tas bapak saya bawakan sekarang sekalian, yang mau dibawa apa saja? Terus nanti biar kendaraan diambilkan Pak Sambas. Nanti saya antar dia ke rumah sakitnya untuk ambil kendaraan.” Yup. Akhirnya saya setujui skenario ini. Saya hanya minta agar membawakan tas saya yang ada di rumah.

Bersamaan dengan itu hasil test telah datang. ”Wah, demam berdarah ini. Lihat saja trombositnya Cuma 81. Harus opname ya.” kata dokter.

”Memang normalnya berapa dok, trombosit itu?” tanya saya.

”Ini, minimal 140.” jawabnya sambil menunjukkan range kadar normal trombosit pada orang yang sehat. Akhirnya kami sepakat dengan saran dokter tersebut. Anak tersebut harus diopname.

Pukul 18.35. Mas Samidi sudah sampai di depan RS. “Pak. Saya di depan gerbang RS.” Katanya di telepon. Setelah saya berpamitan dengan ibu anak tadi dan Mas Joko, dan sekaligus menitipkan kunci kendaraan saya kepada Mas Erwin, saya bergegas berangkat ke stasiun diantar Mas Samidi. “Santai aja mas, tidak usah ngebut. Jika tidak terkejar, nanti saya naik kereta yang berikutnya saja.” pesan saya kepadanya.

Saya kemudian mengirimkan sms kepada teman-teman rombongan saya, jika sampai jam keberangkatan kereta saya belum sampai stasiun maka saya tidak usah dihiraukan saja. Saya katakan saya masih jauh di Jalan Magelang. “Yo dicoba dulu dong.” Begitu jawab salah seorang sahabat saya. Dalam hati saya berdoa jika ini memang kebaikan, saya memohon kepada Allah agar masih bisa sampai tepat waktu di stasiun. Jika pun harus terlambat, saya akan sudah bersiap.

Kami terus melaju di jalanan menuju stasiun tugu. Sahabat saya sempat sms, “Sampai Lempuyangan.” Saya mencoba terus menenangkan hati dan pikiran. Sampai di depan stasiun sayup terdengar pengumunan. Saya tidak yakin apakah itu pengumuman kedatangan kereta ataukah keberangkatan kereta yang akan saya naiki malam ini.

Begitu memasuki halaman stasiun, saya perhatikan belum ada kereta. Dan makin jelas bahwa pengumuman tadi adalah pemberitahuan kedatangan kereta yang saya kejar waktunya ini. ”Alhamdulillah mas, kereta baru akan datang. Tidak terlambat kita.” pekik saya kepada Mas Samidi sembari menyalaminya dan mengucapkan terima kasih. ”Iya pak, sama-sama” jawabnya sambil melepas jaketnya untuk saya pinjam. Ya, istri saya lupa membawakan jaket untuk perjalanan saya malam ini.

Segera saya menemui sahabat-sahabat saya. Beberapa detik kemudian kereta memasuki stasiun tugu. Di dalam kereta setelah saling bersalaman dengan para laskar senja, sebutan rombongan kami, kami kemudian berbagi cerita.

Alhamdulillah. Saya tak henti-hentinya bersyukur atas kehebohan sore hingga malam hari ini. Sejenak ketika kereta mulai bergerak, tiba-tiba istri saya telepon. ”Ini Ghifar mau telepon bi, katanya tadi kok belum salaman dengan adek Ghifar, abi kok sudah berangkat ke Jakarta.” begitu istri saya mengawali pembicaraan sebelum handphone beralih ke anak bungsu saya itu.

Begitulah episode ahad sore yang bermakna tersebut. Saya mendapatkan pelajaran tentang makna berbagi dan saling meringankan. Pun tentang makna kepasrahan yang mendalam ketika kita dalam kondisi yang begitu sempit. Dan satu keyakinan saya yang makin mantap dalam hati saya, bahwa dengan terus mencoba memberi dan meringankan orang lain, sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan kita. Yakin bahwa pertolongan Allah itu amat dekat sekali. InsyaAllah.

Menara Jamsostek, Rabu 11/02/2009.

Jumat, 06 Februari 2009

Udah Gede Seneng Ngompol?

Entah, tiba-tiba saja hari ini kok pengin ngompol. Jangan salah sangka dulu ya, ngompol yang saya maksud di sini adalah ngomongin politik. Yah, harap maklum saja, hajatan pemilu sudah makin dekat saja. Bahkan sebelum pemilu legislatif bulan April nanti, desa saya bulan ini ada pesta pemanasan dengan adanya PILKADES, pemilihan kepala desa.

Membicarakan masalah pergantian kepemimpinan baik dari tingkat desa sampai tingkat negara yaitu presiden, semenjak era reformasi ini kita akan dikenalkan dengan berbagai merk pil. Dari pilkades, pilkadal (disini ada dua jenis pilbup dan pilgub) sampai dengan pilpres. Uniknya, semua memiliki ciri-ciri dan karakter yang hampir-hampir sama, yaitu semuanya membutuhkan biaya yang besar.

Baru-baru ini tentu kita masih ingat pilkadal gubernur jatim yang harus melewati 2 putaran plus babak tambahan. Pilkadal itu harus dibiayai dengan uang negara 800 milyar lebih. Itu baru biaya yang keluar dari kas negara, belum dari kantong-kantong calon gubernur, sponsor, kader-kadernya, dll. Tentu kalau kita kalkulasi akan kita temukan jumlah yang bisa-bisa akan membelalakkan mata kita.

Celakanya (ini menurut saya lho), rangkaian hajatan pilkadal dan pilpres itu seperti gerbong kereta yang saling mengantri. Hampir dalam waktu sepanjang 5 tahun. Menjadi semacam hajatan musiman. Kemaren-kemaren kita merasakan hiruk-pikuk pilihan bupati/walikota, di semua daerah saling bergantian. Setelah itu pilihan gubernur, silih berganti di setiap propinsi. Dan gong nya adalah pilihan presiden.

Ketika saya takziyah tetangga saya di klaten yang meninggal beberapa bulan yang lalu, saya sempat berbincang dengan seorang kawan yang aktif di sebuah harokah tertentu (maaf ya, rahasia), dia mengatakan negara ini sudah bobrok. Bagaimana tidak bobrok, kegemarannya adalah berpesta. (Sstt, kalian tahu kan bahwa pemilu adalah pesta demokrasi? hihihi).

”Kamu bisa bayangkan, kalau sebuah keluarga sukanya berpesta melulu, apa tidak hancur lama-lama?” begitu katanya bersemangat. ”Coba pikir, berapa biaya buat pilkadal-pilkadal itu. Kenapa tidak dibuat bareng saja kalo misal diperlukan. Sehingga biaya bisa diminimalisir!”

”Terus misal seorang bupati telah terpilih, belum apa-apa dia sudah harus mempersiapkan adanya pilihan gubernur. Habis itu nanti ada pilihan legislatif. Terus pilihan presiden. Kapan dia akan mikirin pembangunan wilayahnya. Maka lihat saja, jangan heran kalo melihat jalan-jalan rusak terbengkalai tidak segera diperbaiki. Banyak anak putus sekolah karena mahalnya biaya sekolah.” Saya hanya bisa manggut-manggut saja mendengarkan ocehannya.

Istri saya yang biasa memeriksa instansi-instansi pemerintahan, dari ceritanya saya banyak menemukan berbagai cerita penyimpangan anggaran untuk hal-hal yang pribadi maupun kolektif. Beberapa kasus kemudian memang sampai ke pengadilan prosesnya. Maksud saya menceritakan ini, ternyata pemimpin hasil pilihan (yang katanya langsung ini) belum mampu menghasilkan kepemimpinan yang baik dan bersih. Dalam pandangan saya, jika ia masih didukung dana dan jaringan (apapun) yang kuat, bisa dipastikan dia akan terpilih. Meski ia seorang maling sekalipun.

Berarti, apakah semua ini salah? Saya tidak akan mengatakan demikian. Bagi saya, pertama : sebenarnya semua wasilah (alat) demokrasi ini sepanjang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat (rakyat banyak) maka tidak ada yang salah. Yang salah adalah yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Kemudian ia menggunakan segala cara dan daya upaya, meski licik dan menyakitkan sekalipun, agar ia bisa menduduki kursi kepemimpinan tersebut. Dan kemudian paradigma kepemimimpian yang seharusnya melayani itu berubah menjadi (harus) dilayani.

Kedua, perilaku pemilih yang perlu kita sadarkan bahwa memilih kepemimpinan adalah sesuatu penting. Dan semestinya pemimpin yang hendak dipilih adalah seorang yang shalih dan mushlih. Mempunyai kesalehan pribadi sekaligus mempunyai kemampuan mensalehkan orang lain dan lingkungannya. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari sifatnya yang amanah (mempunyai integritas dan bisa dipercaya), shidiq (kejujurannya baik kepada diri sendiri, keluarga, maupun rakyatnya), tabligh (menyampaikan segala sesuatu tanpa dikurangi dan ditambahi) dan fathonah (yaitu cakap, cerdas dan profesional).

Yang ketiga (setidaknya ini mimpi saya), bagaimana menciptakan hajatan pemilu dengan biaya semurah dan seminimal mungkin. Entah dengan merubah aturan bahwa suara terbanyak sekaligus adalah pemenangnya (tidak harus melewati batas minimal persentase 30 persen) sehingga tidak harus melewati beberapa putaran (seperti dalam pilkades, jika si jagung adalah peraih suara terbanyak maka otomatis dia yang berhak menjadi kadesnya). Atau rangkaian pilbup dan pilgub di berbagai daerah itu dibuat dalam satu waktu, sekalian repot, begitu istilah saya.

Sudah ya, itu tadi hanya ocehan saya yang tidak berdasar. Hanya lamunan sekaligus impian yang mungkin butuh keajaiban untuk bisa terealisasi. Terakhir, sebagai warga negara yang baik, hanya dengan menggunakan hak pilih kita secara bijak dan bertanggungjawablah yang bisa kita lakukan. Pilihlah calon pemimpin yang memang bisa kita pertanggungjawabkan di dunia dan akherat. Selanjutnya hasilnya kita serahkan kepada Yang Di Atas sana.

Menara Jamsostek, Jumat 06/02/2009

Senin, 02 Februari 2009

Mudah Marah, Memangnya Enak ?

Pertengahan bulan ini, istri saya mendapatkan tugas dari kantornya untuk mengikuti pendidikan dan latihan audit investigasi selama tiga minggu. Lokasi diklat kebetulan dekat dengan kantor saya, daerah seputar perempatan kuningan, tepatnya di gedung diklat bulog. Seperti biasa, bapak mertua saya akhirnya yang menemani anak-anak di Jogja, bersama dengan adik dan seorang khadimat saya.

Pada minggu pertama diklat, akhir pekan saya berdua istri pulang ke Jogja. Ada tanggal merah di hari senin. Sebetulnya untuk urusan pertiketan, saya biasa mempersiapkannya (baca : memesannya) sebulan atau beberapa minggu sebelumnya, apalagi ada tanggal merah di hari seninnya. Alamat kereta akan ramai! Sehingga untuk tanggal itu pun sejatinya saya sudah pegang tiket jauh-jauh hari sebelum ada agenda istri diklat di Jakarta. Tiket dua tempat duduk bersama sahabat saya.

Alhasil, saya harus mengusahakan lagi tiket satu tempat duduk lagi, untuk istri saya. Lewat pemesanan melalui call center saya dapatkan informasi bahwa tiket pada hari pemberangkatan tersebut telah habis. Kawan, berdasarkan pengalaman dan hampir-hampir ini sudah menjadi sebuah rahasia umum, di tangan ‘agen gelap’ tiket yang beroperasi di sekitar stasiun, kamu masih bisa mendapatkan tiket yang katanya ‘telah habis dipesan’ tersebut.

Saya sebenarnya sangat menghindari usaha ini. Jika saya melakukannya, berarti saya mendukung dan menumbuhsuburkan praktek-praktek yang tidak sehat ini. Percaloan. Akan tetapi, ada hal lain yang juga harus saya pastikan bahwa istri saya harus juga mendapatkan tiket. Akhirnya saya menyerah. Ini adalah kali kedua saya harus ‘meminta bantuan’ pada para agen gelap ini.

Singkat cerita, saya akhirnya mendapatkan satu tiket untuk satu tempat duduk dari seorang agen. Tentu saja dengan harga yang melambung. Jika harga resmi yang tertera di tiket adalah 350 ribu, maka dari tangannya saya harus merogoh uang lebih dari 400 ribu. Pengin marah? Pasti. Tapi saya hanya bisa mengutuk dalam hati saya.

Ketika hari pemberangkatan, saya dapati tempat duduk yang saya tempati ternyata pengatur sandaran kursinya sudah tidak berfungsi dengan baik (kawan, baca saja : rusak). Bahkan tombol pengaturnya sudah jebol. Alhasil sandaran tempat duduk tidak bisa diatur dengan sempurna. Padahal saya sudah (rela) bayar mahal bukan? Ah, sudahlah. Saya berusaha merasa nyaman saja. Saya lanjutkan ceritanya ya, masih panjang kok.

Awalnya kereta berangkat tepat waktu dari stasiun gambir, pukul 20.00. Satu hal yang menggembirakan tentunya. Tapi kira-kira baru sekitar daerah cikampek atau lewat sedikit, tiba-tiba kereta berhenti. Cukup lama. Saya sudah berpikir, pasti ada masalah. Ternyata dugaan saya benar, lokomotif mengalami kerusakan. Bukan kali ini saja saya mendapati pengumuman seperti ini, mengingat hampir tiap pekan selama 2 tahun ini saya berkereta Jakarta-Jogja pulang pergi. Lagi-lagi mau marah? Saya hanya bisa menghela nafas sambil mencoba mengeluarkan senyum.

Setibanya di Jogja saya dan istri mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Istri ada kajian, mengisi kajian, syura jama’i di darush-shalihat dan juga spreading. Saya sendiri antar jemput anak kami yang pertama, mencukur rambut, kerja bakti membersihkan masjid, dan selebihnya di rumah menemani anak-anak. Baru ahad siang kami bisa mengadakan acara bersama, family gathering dengan beberapa keluarga teman kantor istri di jambon resto, sebuah rumah makan sederhana yang jaraknya kurang lebih 3 km dari rumah kami. Akhir pekan yang menyenangkan sekaligus melelahkan.

Ahad malamnya kembali kami harus ke Jakarta. Dari sore cuaca terus-terusan hujan, kami akhirnya meminta bantuan seorang teman sekaligus tetangga kami untuk mengantar ke stasiun. Anak-anak semua ikut mengantar. Juga bapak (mertua) saya. Sampai stasiun ternyata kereta telah tersedia di jalur selatan stasiun tugu. Saya dan istripun setelah sempat membeli sebungkus nasi, bergegas masuk ke gerbong dan mencari tempat duduk kami. Tepat pukul 20.00 kereta berangkat dari stasiun tugu.

Biasanya, kereta yang saya tumpangi ini sampai di Stasiun Jatinegara sebelum pukul 05.00 pagi. Bahkan jam kedatangan yang tertera di tiket adalah pukul 04.16, itu pun sudah sampai stasiun gambir. Berarti tiba di stasiun jatinegara mestinya di kisaran pukul 04-an. Tapi pagi itu kereta baru masuk stasiun jatinegara pukul 05.45, hari sudah terang. Mau marah? Entahlah, tidak ada yang harus disalahkan. Di luar, guyuran hujan masih menyisakan gerimis.

Bergegas kami mencari taksi, ternyata sudah jarang. Pasti penumpang tiga kereta di depan saya yang menghabiskan, begitu pikir saya. Ya, sesuai jadwal, di depan kereta yang saya tumpangi, secara berurutan senja jogja – senja solo – argo lawu, telah lebih dulu tiba di stasiun ini. Dalam benak saya saat itu, yang terpikir adalah bahwa saya harus segera sampai kost, kemudian mandi dan selanjutnya berangkat ke kantor. Jangan sampai kami terjebak kemacetan lalu lintas. Benar-benar pagi yang crowded. Fyuuuh…

Akhirnya ada sebuah taksi yang kosong. Saya dan istri bergegas naik. Saya berikan kepada sopir uang untuk parkir (baca : punguntan liar) yang dilakukan oleh ‘penguasa’ di stasiun jatinegara. Ternyata sopir taksi tidak mau memakai argo. Sambil berjalan saya bernegosiasi tarif. Sempat terkaget ketika sopir taksi mengatakan tarif yang diminta, tiba-tiba kemarahan saya tersentak. Saya katakan tarif yang biasa saya dapat di tiap pekannya kepadanya, bahkan saya kemudian sempat berteriak agar menurunkan kami saja jika dia tidak sepakat.

Sempat ragu sejenak, akhirnya sopir taksi mengalah. Saya baru menyadari beberapa saat kemudian bahwa tarif yang saya ajukan itu adalah sebenarnya tarif berdasar argo (plus pungutan liar tadi). Biasanya jika bertiga dengan teman-teman saya satu kost, kami akan langsung sepakat dengan tarif yang kedua yang diajukan oleh sopir taksi tadi.

Istri saya cemberut luar biasa. Di sisi lain tidak enak dengan sopir taksi tadi. Di sisi lain (mungkin) shock dengan sikap saya barusan. Hehehehe… saya sendiri tak habis merenung, kenapa tiba-tiba saya bisa sekonyol itu? Kenapa tiba-tiba akumulasi kemarahan itu seakan mendapatkan pintu keluarnya. Ah, sebenarnya saya ingin minta maaf kepada sopir taksi tadi, tapi pagi itu sulit sekali terucap.

Satu hal yang kemudian bisa saya lakukan, meski sopir tadi akhirnya sepakat dengan tarif yang saya minta, saya membayarnya dengan tarif yang ia tawarkan. Sambil tak lupa saya ucapkan terima kasih dengan suara selembut mungkin. Benar-benar pagi yang melelahkan.

Kawan, sungguh, saya merasakan bahwa kemarahan (yang tidak pada tempatnya) itu akan membuat suasana tidak nyaman. Tidak saja bagi diri orang lain, tapi bahkan bagi diri yang sedang meluapkan amarahnya itu sendiri. Dengan kamu marah apakah kemudian akan terasa lega hatimu? Sejenak mungkin iya. Tapi setelah itu, yakinlah pasti akan muncul penyesalan yang begitu menyesakkan dadamu.

Terkadang kita memang terlalu murah untuk mengobral amarah. Ya, terlalu murah. Hal-hal kecil dan sepele sering membangkitkan amarah kita. Terkadang atas nama ego. Di kali lain atas nama pembenaran sikap-sikap kita. Entah itu kemarahan kepada pasangan kita, kepada anak-anak kita, kepada saudara atau bahkan kepada orang tua kita.

Orang yang murah untuk marah, dia akan kesulitan untuk bisa ramah. Kemarahan dan keramahan memang sesuatu yang bertolak belakang. Pernahkah kamu melihat orang yang marah bisa bersikap ramah? Tentu tidak. Oleh karena itu, inilah yang menunjukkan betapa mahal nilai sebuah kesabaran.

Bahkan Allah menyuruh kita untuk bersabar, sekaligus meneguhkan kesabaran itu, “Ya ayyuhalladzina aamanu ishbiru washabiru warabithu wattaqullaha la’alakum tuflikhun. Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkan kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah maka kalian akan beruntung. Begitu kata Allah.

Dan ingatlah pula bahwa kesabaran itu akan membimbing kita kepada pertolongan. Dalam firman Allah yang lain Allah telah memaklumatkan : “Wasta’inu bish-shabri wash-sholat.” Dan mohon pertolonganlah dengan cara sabar dan sholat. Dengan kata lain, orang yang sabar – orang yang tidak murah untuk marah – maka ia akan dekat dengan pertolongan-pertolongan.

Pun, salah satu kriteria hamba yang akan diberikan imbalan ampunan dan surga adalah : “wal kadzimiinal ghaidza wal ‘aafiina ‘aninnas” yaitu bagi hambanya yang bisa menahan amarahnya dan senantiasa memaafkan manusia (QS Ali Imran : 133-136). Kawan, semoga Allah mengaruniakan kesabaran kepada kita semua, sehingga kita tidak diperbudak oleh kemarahan-kemarahan kita yang tidak pada tempatnya.

Allahu a’lam bish-shawab.

Pancoran, 31/01/2009