Rabu, 22 April 2009

Ujian Cinta…

Ujian Cinta…

Seiring dengan bertambahnya usia pernikahan, akan selalu ada permasalahan yang datang dalam tiap episodenya. Itulah ujian cinta. Di awal-awal pernikahan barangkali kita akan berkutat pada persoalan bagaimana memadukan selera dan kebiasaan yang sama sekali berbeda. Kemudian ketika buah hati mulai hadir, kita akan disibukkan dengan gaya mendidik dan mengasuh anak yang barangkali juga bertolak belakang. Akan terus seperti itu. Persoalan akan terus berkembang, sesuai dengan kadar hubungan yang kita hadapi.

Di luar itu, ada satu persoalan yang mungkin dia akan bisa muncul kapan saja. Tidak selalu di awal-awal usia pernikahan. Bahkan sangat mungkin ketika usia pernikahan sudah di atas dua digit sekalipun. Persoalan itu bernama cemburu. Saya katakan ini persoalan, karena memang dia butuh jawaban. Dikatakan ’wajar’, memang, tapi ia tetap butuh penyelesaian. Tidak akan berakhir ketika itu hanya didiamkan. Karena jika itu didiamkan, maka ia ibarat bom waktu. Anda harus siap dengan resikonya setelah itu.

Perasaan cemburu adalah anugerah cinta. Tidak ada cinta tanpa rasa cemburu ini. Jika seorang suami tidak mempunyai kecemburuan terhadap istrinya, maka cintanya dipertanyakan. Demikian pula sebaliknya. Karena cemburu ini berhubungan dengan kehormatan. Dia juga berhubungan dengan tanggung jawab cinta, yakni tanggung jawab untuk saling menjaga. Jadi ketika kita sedang ceburu itu bukanlah sikap yang salah. Bukankah Rasulullah telah memaklumatkan diri sebagai sosok yang paling pencemburu?

Ada hal yang harus kita sadari bahwa ketika seseorang dilanda cemburu, sering kali perasaan di atas segala-galanya. Tidak berlaku logika di sana. Tidak akan mempan argumen-argumen sekuat apapun yang engkau berikan untuk meredakannya. Alih-alih reda, mungkin justru omelan dan teriakan yang akan didapat. Yang dapat engkau lakukan adalah diam. Tunggulah saat yang tepat untuk menjelaskan semua itu. Yakinkan dirimu bahwa itu merupakan bentuk ekspresi cintanya untukmu. Engkau begitu dicintanya, tidakkah ini membuat engkau tersanjung? Ini ketika kita di pihak yang dicemburui.

Lain lagi tentunya ketika kita di pihak yang cemburu, meski ini ekspresi cinta yang wajar, sebisa mungkin kita menempatkan kecemburuan ini pada porsinya. Jika kita masih meyakini cintanya, tentu tidak bijaksana ketika dengan dalih cemburu, kemudian segala gerak-gerik pasangan selalu kita monitor. Bahkan dalam beberapa kasus justru hal ini makin memperuncing hubungan keduanya. Bukan titik temu yang mereka dapatkan, tetapi akhirnya justru persoalan terus berkembang dan ahirnya terjadi budaya saling mencurigai.

Tentu tidak enak hidup dengan saling mencurigai, saling tidak mempercayai. Sekuat apapun komitmen yang dibangun di awal pernikahan, manakala sudah tidak ada iklim saling mempercayai maka tentu perjalanan bahtera keluarga ke depan semakin tidak nyaman. Bahkan terancam goyah.

Bantu aku menjaga hati...

Satu hal yang semestinya kita lakukan ketika kita mencemburui pasangan kita adalah bantulah dia untuk menjaga hatinya. Sikapmu yang berlebihan justru terkadang akan membuatnya semakin kalut. Jangan engkau diamkan dia. Jangan engkau luapkan kemarahanmu berlebihan. Barangkali awalnya dia tidak berlaku seperti yang engkau persepsikan, tapi manakala persepsimu begitu kuat dan didukung dengan ekspresi dan tindakanmu yang berlebih, mulai tumbuh pikiran-pikiran dalam benaknya, menyesuaikan dengan persepsi yang telah engkau bangun.

Sentuhlah jemarinya. Genggamlah tangannya. Perhatian dan kepercayaanmu kepadanya akan mengalihkan perhatiannya dari sosok yang engkau kawatirkan selama ini. Senyum ikhlasmu akan memulihkan hatinya. Bahkan, jika perlu semestinya engkau berikan perhatian untuknya dalam kadar yang lebih dari kadar yang telah engkau berikan selama ini. Dan kunci penyelesaian persoalan ini adalah komunikasi. Ya, komunikasi yang sehat. Bicarakan empat mata, hati boleh panas tapi kepala harus tetap dingin.

Memang persoalan ini kadang kasuistik. Mungkin tidak berlaku pada tiap orang, tapi ini sangat mungkin terjadi.

Kepercayaanmu membuatku nyaman, namun kecurigaanmu justru mendorongku untuk berpikiran lebih...

Menyadari bahwa hati kita tidak seteguh hati para nabi, maka saling menjaga hati kita dengan pasangan kita adalah hal yang mutlak harus kita lakukan. Menumbuhkan sikap saling memahami dan saling mempercayai yang dibangun dalam suasana komunikatif, akan membantu kita melewati episode ujian cinta yang satu ini.

Sekali lagi tidak semua orang akan melewati ujian yang sama. Ujian akan selalu muncul pada titik terlemah diri kita. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi tiap ujian itu sebagai bagian dari karunia Allah untuk mengangkat derajat kita. Dengan membangun sikap ini, maka kita tidak akan pernah meremehkan datangnya ujian itu. Karena ujian itu kadang berupa sesuatu yang Mengenakkan dan melenakan. Semoga kita menjadi pribadi yang semakin baik dan semakin baik, dengan bertambahnya waktu.

Jumat, 03 April 2009

Ulang Tahun Cinta

Ulang Tahun Cinta

Ahad ini nanti, 11 tahun sudah kami merajut asa bersama. Banyak pernak-pernik telah kami lalui. Dia bukan wanita sempurna, apa lagi saya. Tapi kami mempunyai mimpi-mimpi yang tinggi. Bukan. Bukan kami tidak realistis. Tapi itulah obsesi kami. Meski kami juga yakin, kaki-kaki kami harus tetap menapak di bumi ini. Agar kami tidak tertipu.

Yang kami lakukan hanya hal-hal yang sederhana. Cinta bagi kami bukan sesuatu yang rumit. Ia sesuatu yang sederhana. Ya, cinta bagi kami sesuatu yang sederhana. Kami rasakan bersama. Kami hayati bersama. Kami nikmati bersama. Kami rawat bersama.

"Abi akhir-akhir ini berbeda deh sikapnya kepadaku" Tiba-tiba dia mengatakan itu kepada saya. Ah, 11 tahun berlalu ternyata belum cukup meyakinkan dia bahwa dia begitu berarti di hatiku? Saya hanya tersenyum. "Kenapa? Coba sikap mana sih yang lain itu, Yang?" tanya saya kepadanya. Dia pun kemudian menyampaikan ini dan itu. Dan selesai. Cukup dengan saling pengertian, dengan sedikit penjelasan, maka episode cinta kami itu kembali merekah.

Cinta kami memang sederhana. Kami tidak ingin ia rumit.

Hampir-hampir saya kehilangan banyak waktu untuk menatap wajahnya. Setidaknya 2 tahun ini. Hanya kesempatan tiap akhir pekan saya itu bisa saya lakukan. Dulu, ketika kami baru saja menikah, saya sering tatap wajahnya. Dan dia pun sering salah tingkah jika saya sudah berlaku demikian. Itulah awal cinta kami.

Menggandeng tangannya. Meremas jemarinya. Mengantarnya berbelanja ke pasar. Memijit kedua kakinya. Ini menu-menu sederhana kami. Tapi kami menikmatinya. Meluangkan waktu berdua, ya berdua saja meski itu hanya sekedar mengobrol. Sekedar mengantarnya memeriksakan gigi. Sekedar mengikutinya sambil menenteng belanjaan dari penjual yang satu ke penjual yang lain saat kami belanja di pasar. Itu semua adalah pupuk cinta kami.

Cinta kami memang sederhana. Kami tidak ingin ia rumit dan mahal.

Saya mengingat pernikahan kami dalam dua kalender. Hijriyah dan masehi. Milad pernikahan dalam tahun hijriyah telah jatuh di bulan dzulhijah tahun 1429 kemaren. Tepatnya dua hari menjelang hari raya. Saya ingat, waktu itu saya telah mempersiapkan sebuah kado yang murah tapi menurut saya istimewa. Saya mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah saya tulis, saya cetak, saya memberinya judul ”Anugerah Terindahku (Sebuah Kompilasi Perjalanan)”. Ternyata sampai 92 halaman.

Berkeliling di kota jakarta ini, hendak mencari tempat menjilid yang spesial, ternyata sulit bagi saya. Hingga akhirnya, saya berikan cetakan itu kepadanya. Apa adanya. Tidak ada bungkus yang merona merah. Tidak ada seremonial khusus untuknya. ”Ingat 8 Dzulhijah 11 tahun yang lalu? Ini hanya tulisan-tulisan yang kucoba untuk kukumpulkan. Untukmu” begitu ucap saya kepadanya. Tidak lebih. Semua begitu murah. Dan saya merasakan cintanya begitu bergelora.

Cinta kami memang sederhana. Kami ingin ia selalu mudah dan tidak rumit.