Kamis, 23 Desember 2010

Taburkan Cinta, Kamu Menuai Cinta (Lanjutan tulisan sebelumnya)

Taburkan Cinta, Kamu Menuai Cinta (Lanjutan tulisan sebelumnya)

Suatu saat Abu Sufyan berkata, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang mencintai seseorang seperti cinta sahabat kepada Muhammad.” Selalu kita saksikan dalam perjalanan dakwah dan hidup Rasulullah, betapa para sahabat begitu sangat mencintai beliau. Jiwa dan raga mereka, bahkan kedua orang tua mereka pun siap dipertaruhkan demi Rasulullah. Kecintaan para sahabat itu tumbuh dan berkembang, karena terlebih dulu Rasulullah menunjukkan kecintaan yang tulus kepada para sahabatnya, kepada umatnya. Tak pernah lelah. Ya, Rasulullah Saw senantiasa mencurahkan cintanya kepada para sahabat dan umatnya, serta kepada seluruh umat manusia.

Begitu cintanya kepada umatnya, hingga suatu hari ketika Jibril turun pada Rasulullah dan mendapati Beliau sedang menangis, Jibril bertanya, “Apa yang kamu tangisi?” Rasulullah menjawab, “Umatku wahai Jibril.” Maka Jibril memberinya kabar gembira dari Allah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang, “Kami meridhaimu, terhadap umatmu dan kami tidak menyedihkanmu.” (HR. Muslim). Cinta Rasululullah Saw. pada umatnya amat besar. Sampai-sampai menempatkannya dalam posisi yang lebih dekat kepada mereka dari pada diri mereka sendiri. Kasih sayang beliau telah terpatri dalam hati mereka. Sehingga anggota badan mereka terbius oleh cintanya dan lidah mereka berucap karena kekuatan cinta beliau.

Inilah dakwah. Inilah tabiat cinta. Alangkah indahnya perkataan yang penuh hikmah berikut, “Tidak ada yang menguatkan cinta kecuali cinta. Setiap kali engkau mencintai seseorang dan memberikannya dengan sepenuh hati, berarti engkau telah menambah darah baru dalam hatinya.” Maka, dakwah itu cinta. Selalu sediakan dan kembangkan energi cinta dalam dirimu. Dakwah itu mentransformasikan semua potensi dan energi cinta itu ke dalam aktifitas-aktifitas perbaikan, dan memformulasikannya dalam bentuk kebaikan-kebaikan.

Pada perjalanan dinas selama sepekan di Surabaya bulan lalu, aku bertemu dengan orang-orang yang penuh cinta. Bahkan sebagian besar dari mereka belum pernah bertemu muka denganku sama sekali. Ya, dakwahlah yang telah mempertemukan kami. Kepada mereka, meski hanya sesaat, aku sempatkan untuk mengunjungi ruangan-ruangan mereka. Dengan diantar oleh seorang ikhwah, yang bahkan harus datang dari kantor lain untuk menyempatkan diri bertemu muka, kami berjaulah dari ruang ke ruang. Aku temukan wajah-wajah cerah itu, wajah-wajah yang penuh optimisme. Ah, dakwah itu memang indah. Hampir di setiap tempat aku mempunyai pengalaman seperti ini.

Kawan, aku yakin kita semua sering mendapatkan pengalaman yang sejenis, dan itu adalah berkah dari dakwah ini. Aku yakin ada cerita-cerita yang jauh lebih heroik dan sangat berkesan di dasar hati kita semua. Sahabat-sahabatku yang pernah atau sedang merasakan penempatan di luar jawa, pasti mempunyai cerita-cerita dakwah yang sulit untuk dilupakan. Ya. Selalu ada warna dalam perjalanan dan pengalaman dakwah kita. Dan karena ini pulalah salah satunya yang membuatku semakin jatuh hati dengan dakwah ini. Bagiku, berpisah dengan dakwah ini laksana pohon yang tak lagi berbuah : hampa. Semoga kita semua selalu di-istiqomah-kan di atas jalan ini. Amin.

Seperti Pohon yang tak lagi Berbuah : Hampa

Dakwah itu cinta. Kalimat pendek dari judul tulisan ustadz yang digelari syaikut tarbiyah ini, sungguh teramat mengesankanku. Suatu saat dalam perenunganku, pernah terbesik dalam keinginanku untuk membuat buku dengan judul singkat itu : Dakwah itu cinta. Ada banyak ekspresi cinta bisa dihubungkan dengan perjalanan bersama dakwah ini. Semua berkelibat penuh dalam kepala ini, tapi sampai sekarang tak pernah tuntas untuk dituangkan ke dalam tulisan. Semua seakan cukup menjadi hiasan indah dalam kepala ini. Tak mengapa.

Dakwah itu cinta. Melalui dakwah inilah aku dikenalkan kepada cinta yang sesungguhnya. Selalu ada banyak warna dalam perjalanan cinta seseorang. Dulu, murabbi pertamaku telah menuntunku dengan penuh cinta, di saat bahkan aku membaca Al Qur’an saja masih sangat terbata-bata. Darinya aku mulai merasa mesra dan dekat dengan Al Qur’an. Mengejanya dan mentadaburinya ayat demi ayat, meski tertatih-tatih, sungguh itu sangat menentramkanku. Aku masih ingat jika giliran tilawah sampai di depanku, aku akan selalu merasa panas dingin. Tapi dia tak pernah mencela bacaanku.

Dakwah ini juga telah menuntun dan mengarahkan orientasi cintaku. Dengan penuh kerelaan. Bukan perkara mudah, ketika kita harus berani memutus sesuatu yang telah lama terjalin di hati kita, kemudian mengarahkan kepada sesuatu yang lebih bersih dan diridhoi. Maka jangan heran ketika kemudian muncul nasyid dengan judul “Langgam kenangan muda” nya Suara Persaudaraan. Secara kebetuan nasyid itu muncul pada masa-masa pengenalan orientasi cintaku. Sampai kini bahkan nasyid itu masih membekas dalam ingatanku. Ah, cinta itu kadang memang aneh bagiku.

Dakwah ini telah mempertemukanku dengan orang-orang yang lembut dan penuh cinta. Tak pernah ada batasan usia di antara kita untuk saling mengekspresikan cinta. Tak pernah ada dinding status yang membentengi di antara kita untuk saling mengungkapkan rindu. Kelembutan dan cinta itu seakan lekat. Senyum dan sapa mereka selalu khas. Dari sinilah pula aku berlatih tentang ukhuwah dan makna berlapang dada. Semua itu membuatku makin nyaman dengan dakwah ini. Selalu ada kerinduan yang membuncah, ketika lama tidak berinteraksi dengan aktifitas-aktifitas di dalamnya.

Dakwah itu cinta. Dakwah itu mengajak dengan cinta, bukan dengan kebencian dan caci maki. Selalu ada cinta untuk disemai. Seorang dai, ketika melihat kemungkaran, maka energi cintanya akan menuntun untuknya agar sebisa mungkin mencegah kemungkaran tersebut. Apatah lagi untuk mengajak dan memulai kebaikan, ajakan dengan penuh cinta lah yang akan mudah untuk mendapatkan sambutan. Karena ajakan dengan cinta itu adalah ajakan akan ketulusan. Dan ketulusan itu berawal dari hati. Maka ajakan dengan hati, tentulah akan direspon dengan sambutan dari hati juga.

(bersambung - masih dengan dakwah itu cinta)

Kamis, 25 November 2010

POSISI TEMPAT DUDUK TANGGAL २३ & 26 DESEMBER 2010

POSISI TEMPAT DUDUK TANGGAL 23 DESEMBER 2010 (Senja Jogja)……

GERBONG 3….
1 Kumendan G3 5A
2 Kumendan G3 5B
3 Mr. Santos G3 5C
4 Mars G3 5D
5 Ofiq G3 6A
6 Nuno G3 6B
7 Warit G3 6C
8 Farh G3 13B
9 DNiken G3 13C
10 Temen Sug-TNA3 G3 14B

GERBONG 6….
1 Temen Adik-1 G6 1A
2 Temen Adik-2 G6 1B
3 Nady W G6 2A
4 Denn G6 2B
5 Temen Rakh-1 G6 2C
6 Temen Rakh-2 G6 2D
7 Haryn G6 3A
8 Teg G6 3B
9 Temen Farh-1 G6 3C
10 Temen Farh-2 G6 3D
11 Agus G6 4A
12 Hikmah G6 4B
13 Anang G6 4C
14 Sutart G6 4D
15 Supri G6 5A
16 Masker G6 5B
17 Ishary G6 5C
18 Rahmat-Mampang G6 5D
19 Sug TA3 G6 6A
20 Dewi G6 6B
21 Ana G6 6C
22 Temen Mars G6 6D
23 Rakh a G6 7A
24 Tjan G6 7B
25 Kunc G6 7C
26 Budi G6 7D
27 Mansur G6 8A
28 Agung-Sra G6 8B
29 Hadi n G6 8C
30 Erwan G6 8D
31 Joko k G6 9A
32 Aditya G6 9B
33 Didik G6 9C
34 Robi G6 9D
35 Anjar G6 10A
36 Tata G6 10B
37 Ari W G6 10C
38 Herry N G6 10D

catatan : tolong masing-masing ingat pasangannya ya…..soalnya 1 tiket 4 TDD…..

Tanggal 26 Desember :

Senja Solo Gerbong 6
1. Sug 10 A
2. Farh 10 B
3. Agung 10 C
4. Anang 9 A
5. Tarta 9 B
6. Ari 8 A
7. Adit 8 B
8. Supri 8 C
9. Masker 8 D
10.Agush 7 A
11.Nadyan 7 B
12.Deny 7 C
13.Rahmad 7 D
14.Tjan 6 A
15.Maskun 6 B
16.Robbi 6 C
17.Irawan 6 D
18.Teguh 5 A
19.Erwan 5 B
20.Joko 5 C
21.Didik 5 D
22.Mansyur 4 D
23.Tata 4 C
24.HerryN 4 B

Senja Solo Gerbong 5
1. Pak Haji 2 A

Selasa, 19 Oktober 2010

Mendung di Wajah Bidadariku

Ahad sore itu, sepulang dari sebuah kajian tiba-tiba wajah bidadariku begitu mendung. Aku dibuatnya serba salah. Diam atau menyapanya. “Ini pasti ada sesuatu yang salah” pikirku. Ini memang bukan kali pertama. Duluuuu sekali pernah sekali dua kali ini terjadi. Ini biasa dalam sebuah perjalanan rumah tangga. Tapi tetap saja setiap kali hal ini muncul, aku suka salah tingkah.

Aku bertahan untuk tidak terpancing olehnya. Kutemani sebentar si sulung mengerjakan soal-soal try out yang ia dapat dari bimbel primagama, setelah kemudian mendadak penglihatan saya mulai kabur dan tidak fokus. “Uups, alamat migrain nih.” Segera aku ambil minyak kayu putih dan bergegas ke kamar untuk tiduran. Ini adalah jurus ampuhku selama ini dalam menangkal migrain yang kadang mendadak datangnya. Aku lupakan sejenak soal mendung di wajah bidadariku, karena sore itu aku harus ke Jakarta lagi.

Tiba-tiba saja waktu telah menjelang pukul 18.00. Adzan maghrib telah terdengar berkumandang. “Alhamdulillah, migrain kali ini tidak parah, meski sedikit menggangguku.” Bidadariku menghampiriku dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya, untukku. Aku menggeleng pelan, “Sebentar, sholat maghrib dulu saja.” Maka disiapkanlah untukku meja kecil dan tak lupa diseduhkan segelas teh hangat untuk menemani sepiring nasi tadi. Wajahnya tetap dingin. Sapanya tetap datar. “Hmmm…” Pikirku.

Selepas sholat maghrib berjamaah dengan istri dan anak-anak, segera aku benahi tas dan semua perlengkapan yang akan aku bawa nanti di kereta. Dompet beserta isinya, tiket, selimut, koran, obat-obatan, semua telah siap. Selama itu, temu papas kami berdua berlalu begitu saja. “Ini memang tidak seperti biasanya.” Setelah itu segera aku santap hidangan yang telah disiapkannya untukku tadi, plus sebutir paramex. Ia duduk di sebelahku, tapi kami tetap saling diam. Dari sudut sempit mataku, sempat aku lirik dia dalam diamnya. “Hmm..”

Akhirnya keberangkatanku ke Jakarta malam itu sedikit hambar. Aku tatap matanya, aku ucapkan salam dan kami berlalu begitu saja. Padahal baru pekan sebelumnya dia kirim email untukku, “Luv u mas,.......
Semakin ke sini semakin berat melepas mas tiap pekan ke jakarta.” What happened? Aku masih mencoba menebaknya, tapi aku tidak begitu yakin. Tapi setidaknya aku masih terhibur dengan sikap anak-anakku yang melepasku dengan hangat.

Di kereta aku sempatkan mengirimkan sms permintaan maaf dan ucapan terima kasih untuknya. Sempat terbesit kekawatiran dia tidak mau menjawab sms itu. Alhamdulillah, ada jawaban. Begitu juga selanjutnya sms-sms di hari berikutnya. Tidak sesering sms hari-hari sebelumnya memang. Terasa formal, kurang begitu lekat. Ah.. mungkin memang hanya perasaanku saja barangkali. Tapi komunikasi kami tetap jalan seperti biasanya.

Ba’da sholat subuh hari kedua di Jakarta aku coba chat dengan bidadariku. Kebetulan dia terlihat online gtalknya. Katanya ada slide yang harus dia siapkan buat mengajar di sore harinya. Setelah berbasa-basi ini itu, aku tanyakan kepadanya : “Dek, kenapa sih ahad sore kemaren ada mendung di wajahmu?” aku tunggu responnya.

Maka mengalirlah cerita tentang sore itu. Saat kedatangannya yang aku tidak menyambutnya seperti biasanya. Rumah kami kecil. Maka ketika aku atau bidadariku datang dari bepergian, suara motor kami bisa jelas kami dengar dari dalam. Aku jika sedang di rumah, kebiasaanku adalah membukakan pintu untuknya, dan memarkirkan motor untuknya. Sedang jika bidadariku yang di rumah, biasa dia menyambutku di pintu rumah dan dengan sigap menyiapkan minum teh hangat untukku. Atau kadang kami biasa dengan sambutan si bungsu dengan mimik lucunya, bersembunyi di balik pintu untuk kemudian berulah mengejutkan kami.

Ini sudah menjadi tradisi kami. Aku sendiri lupa sejak kapan itu dimulai. Aku pun pernah beberapa kali protes ketika keberangkatanku ahad malam tidak dilepas oleh bidadariku sampai teras depan rumah. Ada yang kurang. Dan inilah mungkin yang dirasakannya sore itu. “Ah.. aku jadi merasa bersalah kepada bidadariku.” Hmm.. Aku sampaikan beberapa alasan kenapa aku ‘lupa’ tidak melakukan itu. Sekaligus permintaan maafku. “Ya udah, lain kali jangan diulangi lagi ya. Miss u.” Tulisnya. Dan binar cintanya kembali menghangatkan hatiku.

Waktu-waktu kebersamaan kami memang terbatas, maka kami dipaksa dan dibiasakan untuk menjaga kualitas waktu kebersamaan kami. Hal itu membuat ambang sensitifitas kami menjadi samakin peka. Sedikit saja ada yang kurang dari biasanya, akan memunculkan reaksi. Dan dialog yang sehat menjadi kunci dalam melewati pernik-pernik kecil itu. Bentuk perhatian kita kepada pasangan memang bisa apa saja. Tergantung daya kreatifitas masing-masing. Tergantung kesepakatan bersama. Dan bagi kami, episode tersebut di atas adalah salah satu contoh bentuk ekspresi saling perhatian kami. Semoga Allah senantiasa mengokohkan ikatan ini. Amin.

Selasa, 31 Agustus 2010

Kekuatan Doa (1)

Dua orang laki-laki bersaudara . Mereka sudah yatim piatu sejak remaja. Mereka hidup rukun , dan sama-sama tekun belajar agama. Mereka berusaha mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Sang kakak berdagang, sedangkan sang adik mewarisi tanah ladang orang tuanya dengan bertani.

Untuk datang ke tempat sang guru, mereka acap kali harus berjalan kaki yang jaraknya cukup jauh dari rumah peninggalan orangtua mereka. Melewati daratan yang luas dan menyusuri hutan belukar.

Suatu ketika sang kakak berdo’a memohon rejeki yang berlimpah agar bisa membeli seekor kuda sehingga dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, usaha dagangnya maju pesat sehingga keuntungannya berlipat-lipat. Maka dia pun bisa membeli seekor kuda.

Lalu sang kakak berdo’a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya.

Kemudian berturut-turut sang kakak berdo’a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, perdagangan yang makin untung, dan lain-lain. Dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do’anya itu.

Sementara itu, sang adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, terus bertani, dan tetap tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji ke rumah guru mereka.

Suatu saat sang kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia teringat bahwa adiknya daya hafalnya tidak sebagus dirinya, sehingga selalu membaca selembar kertas saat dia berdo’a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo’a.

Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo’a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, ” Dik, sesungguh ketidakmampuan kita menghapal quran, hadits dan bacaan doa. bisa jadi karena hati kita kurang bersih.. “

Sang adik mengangguk, hatinya terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do’anya tak pernah terkabul.

Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do’a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do’a untuk guru mereka, do’a selamat dan ada kalimah di akhir do’anya:

“Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan-Mu. Ampunilah aku dan kakakku, kabulkanlah segala do’a kakakku. Jadikan kakakku selalu dalam lindungan dan cinta-Mu. Bersihkanlah hatiku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku didunia dan akhirat.”

Sang kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya. Dia telah salah menilai adiknya. Tak dinyana ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo’a untuk memenuhi nafsu duniawinya. Bahkan adiknya tersebut selama bertahun-tahun dengan ikhlas terus berdoa untuk kebaikan dan kebahagiaan dirinya, dan itu baru dia ketahui sekarang. Hatinya bagai tersayat-sayat oleh sembilu.

ikhwati fiillah, kekayaan, kemiskinan, kebaikan, keburukan dan setiap musibah yang menimpa manusia merupakan ujian dari Allah swt. yang diberikan kepada hamba-Nya. Itu bukan ukuran kemuliaan atau kehinaan seseorang. Janganlah bangga karena kekayaan dan janganlah putus asa karena kemiskinan. Dan selalu yakinlah oleh kekuatan doa. Bahwa doa-doa yang dilakukan di sudut-sudut sepi itu, bisa jadi itulah yang menjadi jalan bagi turunnya kemudahan-kemudahan hidup kita selama ini.

Inilah juga barangkali yang mengilhami Imam Hasan Al Bana dalam merangkai doa rabithah yang terkenal itu. Beliau menyarankan agar kita membayangkan satu per satu wajah saudara-saudara kita, dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang. Agar kekuatan doa yang kita panjatkan semakin dahsyat, sehingga mampu menggetarkan singgasana Allah. Maka doa mana lagi yang tidak akan Allah kabulkan?

Alhamdulillah Allah memberi kita kesempatan berjumpa dengan bulan yang penuh berkah ini. Mari kita perbanyak doa-doa di hari-hari yang mustajab ini. Melalui doa itulah salah satu interaksi langsung kita dengan Allah. Bahkan Allah sendiri yang menantang kita untuk meminta kepada-Nya, "ud'uni astajib lakum" berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan. Jangan sia-siakan kesempatan berharga ini.

Allahu a’lam bish-shawab.

Selasa, 03 Agustus 2010

Lagi Males Nulis

Entah, sudah beberapa bulan ini kok rasanya malas sekali untuk menulis. Pekan lalu sudah muncul keinginan itu, sayang di saat yang tidak tepat. Menjelang pulang kantor tiba-tiba jari-jari ini ingin mengalirkan tulisan yang selama ini mentok di dalam kepala. Baru satu halaman, terpaksa diputus karena sudah waktunya pulang kantor. Laptop dengan semangat aku masukkan tas untuk aku bawa pulang kost dengan maksud nanti melanjutkan tulisan tersebut di kost. Ternyata sampai kost semuanya buyar, rencana menulis tinggal rencana. Alhasil, sampai hampir sepekan hari ini, tulisan itu tetap berhenti di halaman pertama.

Tadi malam sambil ngutak-atik rubik di kamar (dari pada pikiran idle, dimanfaatkan untuk berimaginasi dengan mainan rubik), kembali terpikir, alangkah kurang bermanfaatnya ketika ide-ide tulisan di kepala ini tidak bisa tertuangkan dalam tulisan. Selama ini, aku selalu merasakan kepuasan tertentu ketika bisa membahasakan ide-ide, kenangan-kenangan, pikiran-pikiran sederhana, atau pun sekedar lintasan konyol yang hinggap di kepala ini. Ahh... aku jadi ingat blog ku yang telah lama tak kutengok. Aku jadi ingat kompasiana, sudah lama pula tidak aku update tulisanku di sana.

Pekan lalu juga, aku membaca tulisan di website kepegawaian kantorku. Membaca paragraf awal, aku langsung ingat gaya tulisan itu. Aku langsung mencoba menerka siapa penulisnya. Segera kursor aku arahkan ke bagian akhirn tulisan itu. Dan benar. Penulisnya adalah kepala seksiku dulu. Aku ingat waktu awal-awal menulis dulu selalu di forwardnya tulisannya ke aku. "Layak di konsumsi publik gak, ker?" tanyanya. "Bagus pak, sangat layak. Kita akan belajar menulis dengan sering menulis kok. Pede aja intinya." kira-kira jawabanku begitu. Dan benar, tulisannya sekarang semakin baik. "Lihat tulisan terbaruku di web kepegawaian." tiba-tiba beliau mengirim pesan via gtalk kemaren. "Hehehe.. sudah aku baca pak." kataku.

Bismillah. Meski ini hanya sedikit keluhan atau apalah, setidaknya dengan ini semoga bisa menjadi langkah awal untuk kembali menulis. "Aku kangen dengan tulisan-tulisan mas lho. Ada banyak kejadian yang bisa ditulis tuh." Kata istriku pekan lalu ketika kami diskusi tentang sekolah anak bungsu kami yang cukup unik, yang memasuki jenjang sekolah dasar tahun ini. Biarlah, beberapa paragraf curhatan ini (halah) menjadi saksi bahwa sesungguhnya aku selalu rindu untuk menulis.

Jadi? Mari mencoba untuk menulis lagi.

Jumat, 07 Mei 2010

Pelajaran dari Seorang Hathib

Suasana di Madinah mendadak mencekam. Kesiagaan terlihat di beberapa sahabat senior. Penjagaan di perbatasan mulai lebih diperketat. Hari itu, syura yang dibimbing oleh wahyu telah memutuskan untuk penaklukan kota Mekkah, segera. Persiapan demi persiapan terus dilakukan. Ini operasi militer terbesar yang akan dilakukan Rasulullah dan para sahabat. Tujuannya satu, membuka kota Mekah al Mukaromah.

Di sebuah sudut kota madinah, seseorang terlihat begitu gundah. Ia adalah Hathib bin Abu Baltha’ah, seorang sahabat senior yang juga ahli badar. Pikirannya terus tertuju kepada sanak saudaranya yang berada di Mekkah. Kekawatiran akan keselamatan mereka membuatnya tidak bisa memejamkan mata barang sejenak. Hatinya bergejolak. Tapi dia juga sadar, operasi militer ini adalah atas perintah Allah melalui nabinya.

Dalam kebuntuannya, dia nekad meminta bantuan seorang wanita bernama Sarrah untuk mengabarkan kepada sanak saudaranya melalui suratnya, tentang rencana Rasulullah memasuki kota Mekkah dengan pasukan yang berjumlah sangat besar. Agar mereka segera bisa menyingkir dari kota Mekkah demi keselamatan mereka, seandainya nanti terjadi pertumpahan darah yang hebat. Maka bergegaslah wanita ini menuju kota Mekkah.

Semua seakan berjalan seperti apa adanya. Kesibukan terjadi di sana sini. Hingga Rasulullah mendapatkan wahyu, agar mengirimkan utusan untuk menghadang dan menangkap seorang wanita dengan ciri-ciri yang spesifik yang akan lewat di sebuah pohon di sebuah lembah bernama Khah. Serta diperintahkanlah untuk merebut surat rahasia yang dia bawa. Maka diutuslah Ali bin Abu Thalib, Zubbair al Awwam dan Abu Murtsid ke lembah itu.

Benarlah semua informasi wahyu yang disampaikan Rasulullah. Tak berapa lama mereka tiba di lembah itu, lewatlah seorang wanita dengan ciri-ciri persis yang digambarkan Rasulullah, persis di bawah pohon tempat mereka menunggu. Setelah melalui proses interogasi, maka didapatlah surat rahasia itu dan sekaligus nama pengirimnya, yaitu Hathib bin Abu Baltha’ah. Bergegas Ali, Zubbair dan Abu Murtsid kembali ke Madinah menemui Rasulullah.

Mendengar laporan itu, Rasulullah segera meminta agar Hathib bin Abu Baltha’ah untuk dihadapkan kepada Beliau. Setibanya Hathib, Rasulullah dengan lembut menanyakan perihal surat rahasia itu. Hathib terperanjat sejenak. Dia tidak pernah mengira apa yang dia lakukan akan diketahui oleh Rasulullah. Maka Hathib memberikan alasan yang bisa diterima Rasulullah. “Wahai Rasulullah, aku hanya ingin memanfaatkan bantuan Quraisy yang dengannya Allah melindungi keluargaku dan harta bendaku.”

Mendengar pengakuan itu, Umar marah. “Wahai Rasulullah, biar aku penggal lehernya.”

Rasulullah hanya tersenyum, “Tidak umar, tidak engkau tahu bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa ahlul badar?”

Ini adalah kisah yang terekam dalam asbabun nuzul awal Surat Al Mumtahanah. Ini adalah cerita perpaduan antara kekuatan langit dan ikhtiar manusia. Ada banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah di atas. Mari sejenak kita menepi di sini, semoga yang sedikit ini bisa membawa manfaat bagi dakwah ini :

Pelajaran tentang Amniyah

Bahwa tentu ada keputusan-keputusan besar dan strategis dari qiyadah yang masuk dalam kategori amniyah. Tidak boleh sembarang orang mengkonsumsinya. Sebagai bagian dari kalangan yang mendapat informasi itu, tentu sikap yang harus dilakukan adalah tetap menjaga keamniyahan ini. Karena kebocoran atas informasi amniyah itu, akan membawa dampak yang besar dalam proses keberhasilannya.

Lalu bagaimana kalo kita berada pada pihak yang tidak atau belum layak mendapat informasi tersebut? Maka sikap yang perlu kita bangun adalah ketsiqohan. Tapi tsiqah bukankah perlu ilmu? Ya. Tentu selalu ada tanda tanya besar dalam benak kita terkait kebijakan tertentu, maka sikap yang bisa lakukan adalah bertabayun sesuai posisi kita. Penjelasan yang kita dapat dari posisi kita itulah modal kita untuk selalu berada pada posisi tsiqoh.

Pelajaran tentang (perlunya) backup Allah menjadi keberhasilan

Kita bisa melihat kentalnya kekuatan langit berperan dalam menjaga keberhasilan operasi militer Rasulullah ini. Tanpa itu, boleh jadi informasi itu akan bocor sampai ke kota Mekkah dan berantakanllah rencana yang dibangun dengan rapi itu. Apa pun, backup langsung dari Allah sangat kita perlukan. Karenanya menjadi keniscayaan bagi kita untuk selalu menjaga hubungan vertikal kita dengan kekuatan langit, agar aktifitas-aktifitas dakwah kita memberikan daya dobrak yang lebih kuat.

Pelajaran tentang ketaatan kepada qiyadah dan hasil syura

Arti auliya bukan sekedar penolong, dalam bahasa arab ini bisa mengandung arti pemimpin, pemuka, sahabat karib dan orang yang melindungi. Fithrah manusia mencintai kaum kerabatnya..Sayyid Qutb mengatakan inilah sumber kesalahan yang dilakukan oleh seorang Hathib. Meski dia seorang Ahli Badar sekalipun yang kita tahu seperti apa tingkat keimanannya. Dan kesalahan itu bukan bermaksud untuk pembangkangan, tapi karena atas dasar fithrah mahabbah insani. “Aku hanya ingin mendapatkan bantuan Quraisy yang dengannya Allah melindungi keluargaku dan harta bendaku.” Begitu pembelaannya. Kejujuran dan keimanan jelas menghunjam dalam hatinya dari pengakuannya ini.

Tindakannya hampir-hampir saja memporak-porandakan rencana besar itu. Padahal tujuan dia bukan untuk itu. Hanya agar sanak keluarganya tidak menjadi korban. Tapi di sinilah ujian ketaatan itu. Kecintaan kepada Allah, Rasulullah dan jihad di jalan dakwah ini semestinya menempati porsi utama dalam hati kita. Keputusan qiyadah melalui mekanisme syura, itu adalah keputusan tertinggi yang harus menjadi acuan gerak langkah kita dalam dakwah ini selanjutnya.

Pelajaran tentang cara penyelesian terhadap sebuah ‘pembangkangan’

Keindahan dan akhlak Rasulullah tergambar dari bagaimana Rasulullah tidak buru-buru menghukum Hathib walaupun kesalahannya telah begitu jelas. Bahkan beliau memulai dengan bertanya terlebih dulu dengan kasih sayang dan dada yang lapang. Ini harus dicontoh oleh kita sebagai para murobbi, hendaklah kita bertanya terlebih dulu sebelum melakukan konklusi terhadap kesalahan mutarobbbi. Dada yang lapang dan fikiran yang tajam harus selalu kita kedepankan dalam proses ini.

Pelajaran tentang sikap ihtiram terhadap senioritas

Operasi militer Rasulullah ini hanya ada di ring satu. Perintah langsung dari Allah, dan tak boleh ada kebocoran. Maka usaha pembocoran adalah kesalahan besar dan fatal. Boleh jadi kesalahan Hathib ini termasuk pelanggaran kelas berat. Karena akibatnya bisa sangat luar biasa, operasi ini akan gagal !

Tapi Rasulullah bukan pribadi yang tidak bisa menimbang jasa dan pengabdian yang telah diberikan Hathib kepada Islam. Bahkan Allah telah mengampuni dosa para ahli badar, sampai-sampai Rasulullah mengatakan, “I’malu maa syi’tum..” Perbuatlah sesukamu. Karena kalian telah Allah ampuni kalian. Dan tentu para sahabat ahli badar bukan tipe yang dengan jaminan itu kemudian mereka berbuat sesukanya. Tapi justru dengan jaminan itu mereka makin bersyukur dengan semakin memperbanyak amal bagi dakwah islam ini.

Dalam perjalanan dakwah ini, tentu ada orang-orang yang telah lebih dulu bergabung dengan dakwah ini. Mereka bahkan hidup dan beraktifitas di saat-saat dakwah ini belum berkembang dengan pesat seperti sekarang ini. Bahkan di saat-saat tekanan dan keterbatasan terjadi di sana-sini. Mereka juga manusia, bukan malaikat. Mereka pasti sesekali tergelincir dalam sebuah kesalahan. Tapi itu tidak seharusnya hal ini kemudian menjadikan ihtiram kita kepada mereka menjadi hilang.

Sikap hormat harus selalu kita kedepankan, tanpa kemudian menafikan proses hukum atas kesalahan-kesalahan mereka. Bisa jadi kesalahan itu berupa kesalahan yang sifatnya organisatoris. Biarkan prosesnya dijalankan oleh lembaga yang berwenang mengadilinya. Dan boleh jadi kesalahan itu berupa kesalahan seorang hamba kepada Rabbnya, menurut kita. Maka biarlah Allah yang mengadili. Tidak ada hisab yang sifatnya kolektif di akherat sana. Semua akan dimintai pertanggungjawaban secara personal. Dan tak akan ada yang terlewat. Tugas kita hanyalah beramal dan teruslah beramal untuk dakwah ini. Sampai Allah berkenan memanggil kita suatu saat nanti.

Allahu a’lam bish-shawab.

(Gedung utama KPDJP, hari terakhir di lantai 26. 07/05/2010. 11.01)

Senin, 05 April 2010

Menjadi Karder Yang Diparkir?

Saya ini kader yang diparkir !!

Entah mengapa kali ini saya ingin berbicara lain dari biasanya. Biasanya saya paling enjoy menulis tentang kehidupan keluarga, anal-anak, atau hal-hal ringan dalam seputar harmonisasi keluarga. Tapi hari ini saya agak galau. Hari ini saya ingin menasehati diri saya sendiri secara khusus. Ada banyak momentum dan rentetan kejadian belakangan ini yang terus-menerus menggerus nalar sekaligus maknawiyah kita semua.

Dalam perbincangan dengan beberapa ikhwah selepas kami bersilaturahim ke seorang ustadz kami, ada satu istilah yang kemudian menjadi bahan renungan saya berikutnya. “Ana ini sekarang menjadi kader yang diparkir” begitu ucapan ikhwah yang dikutip salah seorang di antara kami. Kosa kata “Kader yang Diparkir” ini beberapa kali menjadi bahan diskusi kami. Menarik karena ini sangat berkaitan dengan kami.

Ini adalah cerita tentang seorang yang “tak lagi dipakai” di dalam struktur sebuah organisasi formal karena tuntutan pengkaderan dan keniscayaan konsep “nudawiluha”, dipergilirkannya suatu amanah kepada kader-kader lain dalam rangka proses pembelajaran. Dahulu dia selalu “dipakai” untuk menduduki suatu pos dalam organisasi itu. Seiring dengan berjalannya waktu, tiba saatnya dia harus digantikan oleh generasi berikutnya untuk keperluan dua hal tadi di atas.

Biasanya, akan ada pos lain di wajihah atau organisasi lain yang bisa menampung kapasitas dan kapabilitas dia. Bisa saja dinaikkan ke tingkat struktur yang lebih tinggi. Atau di wajihah lain yang bisa jadi sama sekali tidak berhubungan secara struktur sebelumnya. Tapi ini tidak selalu. Ada saatnya dia benar-benar free dari jabatan yang sifatnya formal tersebut. Karena itulah muncul istilah ungkapan tadi, “Ana ini sekarang menjadi kader yang diparkir.”

Belajar dari burung hud-hud

Suatu waktu, dalam pertemuan majelisnya Nabi Sulaiman merasa kehilangan salah satu anggotanya : “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir?” tanyanya kepada anggota yang hadir. Bahkan dia pun kemudian mempersiapkan hukuman bagi hud-hud jika kehadirannya bukan karena alasan yang jelas dan kuat. Semua yang hadir serasa kecut, kawatir hukuman apa yang akan diterima burung hud-hud nantinya.

Maka sesaat kemudian setelah hud-hud datang, seakan semua menjadi hening. Senyap. Menunggu apa yang akan dilakukan Sulaman. Tidak menunggu waktu, hud-hud segera menyampaikan alasan keterlambatannya. "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ suatu berita penting yang diyakini.” Begitu pembelaan hud-hud. Maka Sulaiman yang awalnya hendak marah pun melunak. Mulailah dialog dakwah itu, yang kemudian disusunlah skenario untuk membuat beriman negeri Saba’ itu.

Ini cerita tentang hud-hud. Yang dalam perjalanannya menuju majelis Sulaiman, dia menemukan aktifitas satu kaum yang menggelitik nalurinya sebagi jundi Sulaiman. Dia merasa ini bagian dari hal yang harus dia lakukan. Mungkin Sulaiman tidak pernah menerjemahkan secara detail standar operasional sebagai jundi. Tapi dengan naluri jundinya itu, hud-hud telah melakukan kerja besar yang kemudian diabadikannya Al Qur’an. Bahkan kemudian Negeri Saba’ pun menjadi negeri yang penduduknya beriman dan tunduk kepada dakwah Sulaiman.

Dinamis, kreatif dan inovatif

Salah satu muwashofat profil kader yang pernah dilaunching beberapa tahun lalu, adalah kader yang mempunyai sifat dinamis, kreatif dan inovatif. Terjemah singkat dari profil ini adalah bahwa dakwah ini diharapkan bisa mempersiapkan dan memunculkan kader-kader yang senantiasa mempunyai sikap yakin dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru yang lebih baik untuk mengerjakan apa saja demi kepentingan dakwah ini.

Kita bisa belajar dari seekor burung yang bernama hud-hud itu. Kreatifitasnya, telah menuntunnnya untuk berhenti sejenak di negeri Saba’ dalam perjalannya menuju majelis Sulaiman. Berhentinya dia adalah untuk mendalami dan mempelajari perilaku negeri itu. Dia tidak takut akan dihukum oleh Sulaiman yang dikenal tegas. Dia mungkin tak pernah berpikir kelelahan yang menusuk tubuhnya dalam panjang perjalanan itu.

Diparkir atau di Parkiran?

Diparkir atau di parkiran? Ini dua kata yang berbeda. Diparkir, adalah kata kerja pasif. Sedangkan di Parkiran, ini kata yang menunjukkan tempat atau lokasi. Tapi setidaknya akar katanya sama, parkir. Parkir itu artinya berhenti, tidak bergerak, dan tidak dinamis dalam waktu yang relatif lama. Sesuatu yang diparkir berarti identik dengan sesuatu yang “dibuat” tidak bergerak dalam waktu yang tidak tertentu. Sebagai catatan ini, berasal dari obyek yang pasif. Obyek yang diparkir tadi untuk bisa bergerak lagi, sangat tergantung dari yang sesuatu yang memarkirnya.

Sedang kata “di parkiran” menunjukkan sebuah obyek yang berada di lokasi parkir. Tidak selalu dia berupa obyek yang pasif. Bisa jadi dia memang sengaja menempatkan dirinya di lokasi parkir. Barangkali ia sedang ingin pasif. Mugkin dia sedang tidak ingin bergerak. Atau bisa juga dia obyek yang sedang ingin istirahat sejenak saja. Ada banyak kemungkinan di sana.

Saatnya kita memilih bukan?

Jika memang kita disuruh memilih, semestinya kita kebih memilih menjadi kader yang dinamis. Teruslah bergerak dan berhentilah hanya secukupnya dalam rangka mengisi bahan bakar dan mengatur kembali langkah-langkah kita. Berhenti sesaat diperlukan, tapi jika kita sengaja memarkir diri, tidak tahu kapan kita akan bergerak lagi, maka tunggulah mesin ruhani di jiwa akan ikut melemah mendingin.

Apatah lagi menjadi kader yang diparkir. Daya kreatifitas dan innovatifitas kita harus senantiasa terasah. Tak ada alasan untuk menjadi kader yang diparkir. Ada banyak lahan dakwah yang menunggu sentuhan kita. Ada banyak peluang dakwah yang dapat kita ciptakan tanpa harus kita menduduki posisi-posisi yang prestisius di mata kader. Banyak ikhwah yang berdakwah di sudut-sudut sepi, yang jauh dari hiruk-pikuk popularitas, yang juga menopang dakwah ini.

Maka jika ditawarkan : Mau jadi kader yang diparkir atau di parkiran? Katakanlah : No Way!! Bismillah..


Dinamis, kreatif dan innovatif :

a. Aspek kecerdasan emosional :

1. Hasrat; untuk mengubah hal-hal di sekelilingnya menjadi lebih baik
2. Kepekaan; bersikap terbuka dan tanggap terhadap sesuatu
3. Minat; untuk menggali lebih dalam dari yang tampak di permukaan
4. Rasa ingin tahu; semangat yang tak pernah berhenti untuk mempertanyakan
5. Mendalam dalam berpikir; sikap yang mengarahkan untuk pemahaman lebih mendalam
6. Konsentrasi; mampu menekuni suatu permasalahan hingga menguasai seluruh bagiannya
7. Optimisme; memiliki rasa antusias (kegairahan) ketika memecahkan suatu masalah
8. Tertantang oleh kemajemukan; tertarik pada situasi dan masalah yang rumit dan kompleks
9. Bersifat menghargai; menghargai kritik, bimbingan orang lain, juga menghargai kemampuan dan bakat sendiri
10. Tidak mudah puas; selalu ingin menguji jawaban dan alternatif yang telah dibuat, selalu ingin mencari yang baru dan yang lebih baik, ingin selalu mencari terobosan untuk efektivitas dan efisiensi
11. Siap mencoba dan melaksanakan; bersedia mencurahkan waktu dan tenaga untuk mencari dan mengembangkan suatu metode
12. Kesabaran; ketahanan mental dalam memecahkan masalah
13. Mampu bekerjasama; sanggup berpikir secara produktif bersama orang lain
14. Menghargai humor; mempunya “a good sense of humor”

b. Aspek kecerdasan intelektual :

1. Berpikir lancar; mengajukan banyak pertanyaan, jawaban dan gagasan
2. Berpikir luwes; menghasilkan gagasan, jawaban atau pertanyaan yang berangkat dari fleksibilitas konsep dan sudut pandang yang berbeda
3. Berpikir orisinal; mampu melahirkan ungkapan, gagasan baru yang unik, yang tidak lazim dipikirkan orang
4. Mengevaluasi; kemampuan membuat patokan penilaian dan mampu mengambil keputusan pada situasi yang ada
5. Kritis; kemampuan untuk mempertanyakan berbagai hal dari sudut pandang
6. Imajinatif; membayangkan berbagai hal yang belum pernah terjadi atau belum terpikirkan sebelumnya.
7. Mendeteksi; mempelajari serta merasakan berbagai kejanggalan yang terjadi
8. Melakukan verifikasi atau pengelompokan; memilah-milah kejanggalan-kejanggalan berdasarkan jenisnya.
9. Melakukan analisis; menguraikan sebab-sebab atau segala sesuatu yang berkenaan dengan kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan
10. Melakukan sintesis; kemampuan menghubungkan berbagai hal atau kemungkinan sebahgai langkah lanjut dari analisis

Kamis, 04 Maret 2010

Mengapa Tidak Secerdik Siput

Suatu ketika ada seekor siput yang mencoba naik ke atas pohon. Niatnya mau mengambil buah atau sekadar melihat keindahan bunga. Sepintas tentu kita berpikir tidak ada yang aneh dengan perilaku siput ini.

Namun, masalahnya kali ini siput itu naik menuju puncak saat pohon itu belum berbuah dan belum berbunga karena saat itu sedang musim gugur. Maka sangatlah wajar kalau siput ini mendapat cemoohan dari binatang-binatang lain yang ada di sekitarnya.

"Mau apa kamu hari gini naik ke atas pohon? Apa kamu sudah hilang akal?" Celetukan kelinci tersebut memang beralasan karena pada musim gugur, seluruh pohon dalam keadaan gundul. Jangankan buah atau bunga, daun-daunnya pun berguguran. Yang tertinggal hanyalah dahan-dahan pohon yang meranggas.

“Aku tahu, hari ini pohon belum menghasilkan buah atau bunga setangkai pun. Namun, aku yakin ketika aku sampai di atas, pohon sudah menghasilkan banyak buah dan bunga," jawab siput dengan tenangnya. Kemudian siput itu kembali merayap meneruskan perjalanan panjangnya menuju puncak pohon.

Ibrah yang bisa diambil

Mungkin bagi sebagian orang, cerita ini hanya rekaan saja. Tidak ada nilainya apa-apa. Tapi kawan, mari kita sejenak merenungkannya dan mari kita coba gali, hikmah seperti apa yang bisa saja terkandung dari cerita rekaan di atas.

Siput, kita tahu adalah binatang yang bergerak lambat. Apalagi bagi kita yang terbiasa berkendaraan di atas 60 KM/jam, maka itu menjadi sangat lambat sekali tentunya. Untuk jarak 10 M saja dia mungkin butuh waktu lebih dari 10 menit. Hampir pasti setiap kita mendengar kata siput, maka yang ada di benak kita pertama kali adalah bahwa ia binatang yang lamban.

Kawan, orang terkadang tidak sabar ketika berhadapan dengan orang yang lambat. Seperti siput itu, meski dicekik sekalipun, tidak tidak akan mungkin bisa bergerak secepat kucing apalagi panther. Tapi siput dalam kisah di atas menunjukkan kecerdikannya dan kesungguhannya.

Dia tahu dan sadar betul apa kelebihan dan kekurangannya. Dia juga mengetahui bagaimana cara menutupi kekurangannya. Ketika dia paham bahwa ia "dikarunia" gerak yang lambat, maka itu berarti dia harus "mencuri start" dalam bertindak. Tidak mungkin dia bisa bersaing dengan binatang-binatang lain dalam hal kecepatan gerak, jika dia memulai bersama mereka.

Kesadaran dan penerimaan diri

Pertama, ini adalah kisah tentang kesadaran dan penerimaan diri. Setiap orang punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Maka yang diperlukan pertama kali adalah kesadaran akan dirinya tersebut sekaligus penerimaan. Jangan pernah kita merasa rendah dengan kemampuan tertentu yang tidak kita punyai, karena kita masih bisa menggali kemampuan yang lain yang ada dalam diri kita.

Boleh jadi kita tidak pandai merangkai kata dalam berpidato atau berceramah, tapi tidak mustahil kita justru mempunyai kemampuan lebih dalam hal menulis. Boleh jadi kita lemah dalam sisi matematis tapi sangat mungkin kita bisa menemukan kehalusan sentuhan kita dalam hal seni. Intinya adalah, jangan pernah kita merasa lelah untuk menggali potensi diri kita.

Kesabaran dan kecerdikan

Yang kedua, ini juga cerita tentang kesabaran dan kecerdikan membaca peluang. Siput memiliki kesabaran dalam menerima kondisinya. Di sisi lain dia bisa mengakali keadaanya dengan kecerdikannya. Dia telah berhitung bahwa dengan dia mencuri start terlebih dahulu di saat binatang lain bahkan belum sempat memikirkannya, maka dia bisa sampai di puncak pohon di saat pohon sudah berbuah dan musim telah berganti menjadi semi.

Begitulah, dengan kesabaran dalam menerima kondisi yang dimiliki dan kecerdasan yang dimiliki itulah, seseorang akan bisa menuju puncak di saat yang tepat. Kelebihan dan kelemahan manusia tidak akan pernah sama. Selalu berbeda-beda. Maka usaha yang ditempuh untuk mencapai puncak kehidupan pun bisa berbeda-beda.

Peluang dan kemampuan

Kata kuncinya ada pada kata "PELUANG" dan "KEMAMPUAN". Sejauh mana seseorang bisa mempertemukan sekaligus memadukan antara peluang yang ada di hadapannya dengan kemampuan yang dipunyainya, maka yakinlah ia akan bisa mencapai puncak kehidupannya dengan selamat.

Dalam kaitannya dengan dunia dakwah, korelasi dengan bahasan di atas maka kita bisa memulainya dengan menggali semangat dari Qur’an Surat Al Anfal ayat ke-60 :

  •         •  •                     

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Di sini secara terang dan jelas Allah telah memerintahkan kita untuk senantiasa mempersiapkan kekuatan apa saja yang kita sanggupi dan kita punyai, untuk menggetarkan musuh-musuh Allah. Yang Allah sebut adalah “Maa istatho’tum min quwwah”, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Dengan kata lain, potensi dan kemampuan apapun yang kamu punyai, maka persiapkanlah untuk dakwah ini. Untuk menggetarkan musuh-musuh dakwah ini.

Oleh karena itu, semestinya bagi seorang ikhwah tidak ada lagi istilah bahwa ia tidak mampu untuk memulai dakwah ‘hanya’ karena ia merasa tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Bahwa ia merasa mempunyai banyak keterbatasan-keterbatasan di sana. Mari mengingat kembali kisah siput di atas, kelemahan dan keterbatasan yang ia punyai mampu ia tuntaskan dengan kecerdikannya membaca peluang, bukan?

Nahnu du’at qabla kulli syai’in

Nahnu du’at qabla kulli syai’in. Kita adalah da’i sebelum segala status yang melekat dalam diri kita. Status da’i kita, melekat dalam diri kita sebelum status-status yang lain kita sematkan dalam diri kita. Maka sebagai seorang PNS, kita adalah da’i yang PNS. Potensi apa pun yang kita punyai, kesanggupan apa pun yang kita miliki, maka sudah semestinya kita gunakan dan kita arahkan untuk menopang dakwah ini.

Ketika kita bernafas, maka mari kita bernafas bersama dakwah ini. Saat kita berjalan, mari kita tetap berjalan bersama dakwah ini. Saat kita berlari, maka teruslah berlari bersama dakwah ini. Sampai saatnya kita harus berhenti pun, maka berhentilah dalam rangka membela dakwah ini.

Allahu a’lam bish-shawab.

Finished @ pancoran : 03/03/2010:21.50. Great thank for Fita