Selasa, 19 Oktober 2010

Mendung di Wajah Bidadariku

Ahad sore itu, sepulang dari sebuah kajian tiba-tiba wajah bidadariku begitu mendung. Aku dibuatnya serba salah. Diam atau menyapanya. “Ini pasti ada sesuatu yang salah” pikirku. Ini memang bukan kali pertama. Duluuuu sekali pernah sekali dua kali ini terjadi. Ini biasa dalam sebuah perjalanan rumah tangga. Tapi tetap saja setiap kali hal ini muncul, aku suka salah tingkah.

Aku bertahan untuk tidak terpancing olehnya. Kutemani sebentar si sulung mengerjakan soal-soal try out yang ia dapat dari bimbel primagama, setelah kemudian mendadak penglihatan saya mulai kabur dan tidak fokus. “Uups, alamat migrain nih.” Segera aku ambil minyak kayu putih dan bergegas ke kamar untuk tiduran. Ini adalah jurus ampuhku selama ini dalam menangkal migrain yang kadang mendadak datangnya. Aku lupakan sejenak soal mendung di wajah bidadariku, karena sore itu aku harus ke Jakarta lagi.

Tiba-tiba saja waktu telah menjelang pukul 18.00. Adzan maghrib telah terdengar berkumandang. “Alhamdulillah, migrain kali ini tidak parah, meski sedikit menggangguku.” Bidadariku menghampiriku dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya, untukku. Aku menggeleng pelan, “Sebentar, sholat maghrib dulu saja.” Maka disiapkanlah untukku meja kecil dan tak lupa diseduhkan segelas teh hangat untuk menemani sepiring nasi tadi. Wajahnya tetap dingin. Sapanya tetap datar. “Hmmm…” Pikirku.

Selepas sholat maghrib berjamaah dengan istri dan anak-anak, segera aku benahi tas dan semua perlengkapan yang akan aku bawa nanti di kereta. Dompet beserta isinya, tiket, selimut, koran, obat-obatan, semua telah siap. Selama itu, temu papas kami berdua berlalu begitu saja. “Ini memang tidak seperti biasanya.” Setelah itu segera aku santap hidangan yang telah disiapkannya untukku tadi, plus sebutir paramex. Ia duduk di sebelahku, tapi kami tetap saling diam. Dari sudut sempit mataku, sempat aku lirik dia dalam diamnya. “Hmm..”

Akhirnya keberangkatanku ke Jakarta malam itu sedikit hambar. Aku tatap matanya, aku ucapkan salam dan kami berlalu begitu saja. Padahal baru pekan sebelumnya dia kirim email untukku, “Luv u mas,.......
Semakin ke sini semakin berat melepas mas tiap pekan ke jakarta.” What happened? Aku masih mencoba menebaknya, tapi aku tidak begitu yakin. Tapi setidaknya aku masih terhibur dengan sikap anak-anakku yang melepasku dengan hangat.

Di kereta aku sempatkan mengirimkan sms permintaan maaf dan ucapan terima kasih untuknya. Sempat terbesit kekawatiran dia tidak mau menjawab sms itu. Alhamdulillah, ada jawaban. Begitu juga selanjutnya sms-sms di hari berikutnya. Tidak sesering sms hari-hari sebelumnya memang. Terasa formal, kurang begitu lekat. Ah.. mungkin memang hanya perasaanku saja barangkali. Tapi komunikasi kami tetap jalan seperti biasanya.

Ba’da sholat subuh hari kedua di Jakarta aku coba chat dengan bidadariku. Kebetulan dia terlihat online gtalknya. Katanya ada slide yang harus dia siapkan buat mengajar di sore harinya. Setelah berbasa-basi ini itu, aku tanyakan kepadanya : “Dek, kenapa sih ahad sore kemaren ada mendung di wajahmu?” aku tunggu responnya.

Maka mengalirlah cerita tentang sore itu. Saat kedatangannya yang aku tidak menyambutnya seperti biasanya. Rumah kami kecil. Maka ketika aku atau bidadariku datang dari bepergian, suara motor kami bisa jelas kami dengar dari dalam. Aku jika sedang di rumah, kebiasaanku adalah membukakan pintu untuknya, dan memarkirkan motor untuknya. Sedang jika bidadariku yang di rumah, biasa dia menyambutku di pintu rumah dan dengan sigap menyiapkan minum teh hangat untukku. Atau kadang kami biasa dengan sambutan si bungsu dengan mimik lucunya, bersembunyi di balik pintu untuk kemudian berulah mengejutkan kami.

Ini sudah menjadi tradisi kami. Aku sendiri lupa sejak kapan itu dimulai. Aku pun pernah beberapa kali protes ketika keberangkatanku ahad malam tidak dilepas oleh bidadariku sampai teras depan rumah. Ada yang kurang. Dan inilah mungkin yang dirasakannya sore itu. “Ah.. aku jadi merasa bersalah kepada bidadariku.” Hmm.. Aku sampaikan beberapa alasan kenapa aku ‘lupa’ tidak melakukan itu. Sekaligus permintaan maafku. “Ya udah, lain kali jangan diulangi lagi ya. Miss u.” Tulisnya. Dan binar cintanya kembali menghangatkan hatiku.

Waktu-waktu kebersamaan kami memang terbatas, maka kami dipaksa dan dibiasakan untuk menjaga kualitas waktu kebersamaan kami. Hal itu membuat ambang sensitifitas kami menjadi samakin peka. Sedikit saja ada yang kurang dari biasanya, akan memunculkan reaksi. Dan dialog yang sehat menjadi kunci dalam melewati pernik-pernik kecil itu. Bentuk perhatian kita kepada pasangan memang bisa apa saja. Tergantung daya kreatifitas masing-masing. Tergantung kesepakatan bersama. Dan bagi kami, episode tersebut di atas adalah salah satu contoh bentuk ekspresi saling perhatian kami. Semoga Allah senantiasa mengokohkan ikatan ini. Amin.