Rabu, 28 Oktober 2009

Sungguh, dekapan itu menenangkannya..

Tergopoh-gopoh laki-laki mulia itu melangkah ke rumahnya. Ada kecemasan dan ketakutan yang amat sangat tergambar jelas di wajahnya. Dia baru saja mengalami kejadian luar biasa, yang kelak ini merupakan titik awal dimulainya perjuangan risalah Beliau. “Ada apa gerangan, kakanda. Mengapa badanmu menggigil sedemikian rupa?” Sambut sang istri, sang legenda wanita agung ini, dengan penuh ketenangan. Diselimutilah tubuh beliau. Direngkuhnya laki-laki mulia itu ke dalam dekapannya.

Maka mengalirlah cerita kegundahan dan kecemasan dari lisan laki-laki mulia ini. Kejadian yang baru saja dialaminya di tempatnya menepi dan melakukan perenungan, benar-benar telah menggoncangkan sendi-sendi jiwanya. “Sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku sendiri.” Kata laki-laki itu. Wanita agung itu menjawab, “Tidak! Bergembiralah Kakanda! Demi Allah, Allah sama sekali tidak akan membuat Kakanda kecewa. Kakanda seorang yang bersikap baik kepada kaum kerabat, selalu berbicara benar, membantu yang lemah, menolong yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.” Mendengar ucapan itu, maka perlahan, berangsur hati laki-laki mulia itu menjadi lebih tenang. Beban berat yang seakan terbebankan di pundaknya, perlahan menjadi meringan kapas, seolah tak lagi ada tersisa di sana.

Ini adalah potongan salah satu episode romantis perjalanan laki-laki mulia itu, Muhammad saw. Kehidupan beliau dan istri beliau ini, Khadijah ra, begitu melegenda. Bahkan kecintaan beliau kepadanya, tak pernah lekang dimakan zaman. Sepeninggalnya, laki-laki mulia ini selalu mengingat akan semua ketulusan dan kebaikannya, juga ketegarannya dalam mendampingi perjuangan risalah yang diembannya.

Kisah ini selalu membuat kita terpesona setiap kali membacanya. Inilah romantika yang sebenarnya. Romantisme itu semestinya menguatkan, bukan malah membuat kita rapuh. Bukankah saat itu umur beliau adalah 40 tahun dan khadijah 55 tahun? Bukankah mereka telah 15 tahun menjalani kehidupan rumah tangga itu? Dan justru mulai umur itulah, kemudian kita mengetahui bahwa ujian-ujian yang jauh lebih berat mulai mendatangi kehidupan beliau.

Selalu begitu. Perjalanan cinta boleh jadi mengalami pasang surut. Bukan karena cinta itu menipis. Bukan pula karena cinta itu tak lagi membiru. Tapi justru karena adanya ujian yang makin mendera dari luar sana. Apa pun bentuk ujian itu, bisa jadi mempengaruhi gairah cinta itu. Rutinitas yang padat, sempitnya waktu, kepenatan yang mendera, jarak yang tiba-tiba terbentang memisahkan, ataupun berbagai bentuk kesempitan lainnya, ia bisa hadir dalam perjalanan rumah tangga kita.

Oleh karena itu, romantisme harus selalu dihadirkan dalam perjalanan epsiode cinta kita. Romantisme tentu bukan monopoli pasangan yang baru menikah.Seiring berjalannya usia pernikahan, justru dia harus senantiasa dipupuk. Romantisme itu hanya masalah persepsi, jika kita bersepakat dengan pasangan kita bahwa sebuah aktifitas itu kita anggap romantis, maka romantislah dia. Jangan hiraukan dunia akan mengatakan apa.

Suatu saat, di sebuah sudut jalan di Jogja, seorang lelaki setengah baya menarik gerobak berisi sampah. Di sebelahnya berjalan sang istri. Penampilan mereka bagi orang mungkin jauh dari kesan keren. Sesekali di jalanan yang sepi, mereka bergandengan tangan. Bercanda. Beberapa pengguna jalan terlihat risi melihat mereka. Menyebalkan, bikin jalan macet aja, begitu pikir mereka barangkali. Tapi bagiku itu luar biasa. Romantisme bukan hanya monopoli mereka yang berpunya, bukan?

Romantisme sekali lagi, hanya masalah kesepakatan. Hanya terletak pada bagaimana kita mempersepsikannya. Tidak selalu harus mahal dan formal. Tidak selalu harus dramatis dan rumit. Tidak harus selalu diskenariokan sebagaimana sebuah drama. Tadi pagi sempat membaca tulisan seorang senior, umurnya telah di atas 40 tahun. Kata beliau, merasakan belaian tangan istri baginya merupakan hal yang membuatnya tentram. Sederhana bukan?

Romantisme kadang memang harus diciptakan. Mungkin sedikit dipaksakan. Tak mengapa. Yang terpenting kemudian adalah adanya kesepakatan dan kerelaan di antara kedua belah pihak. Saya terkadang meminta istri untuk sekedar mencari uban di kepala saya. Bukan apa-apa, saya memang menikmati kepala saya diacak-acak olehnya. Bagiku itu sangat menentramkan. Semua itu, bagiku cukup untuk memupuk rasa di hati ini agar selalu berkembang tunasnya.

Begitulah, energi romantisme ini akan mempengaruhi daya juang kita kemudian. Setiap kita mampu untuk melakukannya. Yang ada tinggal tekad untuk mewujudkannya. Bahkan dalam setiap saat, sesungguhnya bisa dijadikan momen untuk membuat romantika episode hidup kita kembali merona. Sekali lagi, tinggal kita mau atau tidak.

Pancoran, finished at menara jamsostek 28/10/09