Rabu, 30 Desember 2009

Membuat Skoliosis Lebih Simetris

(TEMPO Interaktif) Punggung Michele tampak tidak simetris. Pinggang kiri dan kanannya tidak sama alias tinggi sebelah. Kondisi ini diketahui ibunya, Tjahyadi, saat gadis 11 tahun itu mengenakan baju renang. Pada April 2008, dokter mendiagnosis Michele menderita skoliosis, yaitu gejala kelainan bentuk tulang belakang.

Saat itu didapati bagian belikat tulang belakangnya menonjol, dan kemiringannya mencapai 40 derajat. Dari beberapa literatur, kurva kemiringan melebihi 40 derajat termasuk kategori berat. Michele bisa terancam mengalami gangguan saraf, irama jantung, hingga kelumpuhan. Ancaman itu akibat dari jarak antara tulang dada dan tulang belakang yang makin mendekat, sehingga ruang paru-paru di antara dua tulang vital itu menjadi menyempit.

Dengan kurva sedemikian miring, tindakan yang harus diambil adalah melakukan operasi. Demikian menurut konsultan ortopedi tulang belakang Rumah Sakit Internasional Bintaro, Dr Luthfi Gatam, SpOT, Spine Surgeon (K). "Jika kurva kurang dari 20 derajat, tidak perlu dioperasi," ujar Luthfi beberapa bulan lalu di RS Internasional Bintaro, Tangerang.

Waktu itu, dokter yang menangani Michele memang tidak mengambil tindakan operasi. Tapi dia mewajibkan Michele memakai baju penopang berupa cetakan berbentuk tubuh. Baju itu terbuat dari plastik, dan dilengkapi dengan tali serta besi. Tujuannya adalah agar kemiringan tubuh si pasien tidak bertambah. Konon, baju ini beratnya mencapai 6 kilogram dan harganya mencapai belasan juta rupiah.

Baju itu tentu membuat Michele tidak nyaman. Dia harus memakai baju penopang yang cukup berat itu saban hari. Apalagi baju khusus itu juga harus dipakai pada waktu tidur. Namun demi kesembuhan, Michele terus bertahan memakai baju penopang tubuh itu.

Dalam perjalanannya, selain diobati secara medis, Michele ditangani oleh seorang yi seng. Yi seng adalah sebutan untuk ahli pengobatan tradisional Cina. Menurut Nelly Suhirman, pemilik Traditional Medicine & Health Centre, Tung Mei Massage, di Jakarta, yi seng ini mempelajari secara akademik setingkat universitas khusus tulang dan saraf di negeri Cina daratan.

Tung Mei Massage sendiri adalah terapi jasmani perpaduan antara gerakan pijat spesifik anmo massage dan sejenis teknik gerakan chiropatic, seperti menekuk, menarik, serta meregangkan tubuh. Terapi ini tetap memakai panduan medis, seperti hasil roentgen dari penderita skoliosis. "Banyak pasien di sini yang mengkombinasikannya," ujar Nelly saat ditemui di Jakarta pekan lalu.

Selanjutnya, pasien diterapi secara manual menggunakan jari atau lengan di titik-titik sumber penyakit selama 50 menit. Yi seng akan mencari titik-titik sumber penyakit dan menekan titik-titik itu. Selama proses pemijatan, pasien memakai baju dan celana longgar.

Menurut Nelly, pasien disarankan menjalani terapi itu hingga sepuluh kali dengan frekuensi dua kali per pekan. Uniknya, setelah menjalani terapi, pasien tidak dibekali obat-obatan. Pasien juga tidak diminta berpantang makanan apa pun. "Sekali terapi, pasien dikenai biaya Rp 300 ribu," Nelly memberi tahu.

Dalam kasus Michele, bagian tulang belikat yang menonjol didapati sudah semakin rendah--saat memasuki terapi yang ketiga. Malah baju penopang dari besi itu sudah sedikit longgar. Di klinik ini, menurut Nelly, kebanyakan pasiennya adalah remaja perempuan. Pada kebanyakan kasus, penyebab dari skoliosis tidak diketahui atau disebut juga idiopathic.

Selain mengatasi skoliosis, Nelly menambahkan, terapi ini bisa mengatasi keluhan nyeri pinggang akibat terjepitnya urat-urat saraf yang melalui tulang belakang--atau dalam istilah medis disebut juga herniated nucleus pulposus.

Agar Tak Kembali Bengkok

1. Bila bangun dari posisi berbaring, dianjurkan memiringkan tubuh terlebih dulu, barulah bangkit perlahan.
2. Tidak boleh membungkukkan badan.
3. Jika membungkukkan badan, posisi tubuh harus jongkok--bila ingin mengambil sesuatu.
4. Tidak boleh mengangkat barang atau beban berat selama menjalani terapi, terutama bila masih ada rasa sakit.
5. Saat kondisi sudah membaik, bukan berarti bisa beraktivitas sembarangan.
6. Herniated nucleus pulposus dan skoliosis tidak bisa sembuh total serta ada risiko terulang lagi bila ada faktor pemicunya, seperti jatuh, mengangkat beban terlalu berat, atau salah melakukan gerakan tubuh.

(sumber : koran tempo edisi Rabu, 30 Desember 2009)

Rabu, 16 Desember 2009

SKOLIOSISKU : Jangan Menyerah


Sudah lama aku tidak melanjutkan cerita tentang hal yang satu ini. Mumpung ada pinjeman modem sehingga bisa untuk meng-upload gambar, berikut ini adalah gambaran tulang belakangku. Foto ini adalah gambaran di tahun 2006. Tiga tahun semenjak aku menyadari keskoliosisanku (2003).

Sampai sekarang aku belum melakukan langkah yang dramatis untuk kondisi skoliosiku ini, selain sekedar exercise yang dilakukan kalo pas pengin aja, plus memakai korset dalam kondisi-kondisi tertentu. Acara les renang yang sebenarnya sering aku agendakan belum pernah sekalipun bisa aku jalankan. Sulit mencari waktu yang pas alias sok sibuk (selain alasan karena aktifitas jarak jauh yang selama 3 tahun belakangan ini aku lakukan : Jogja-Jakarta).

Beberapa pekan kemaren (sampai hari ini masih sedikit terasa), sakit itu kambuh lagi. Masih bisa rukuk, tapi tak sempurna. Kaki harus sedikit menekuk. Seperti biasa juga, berawal dari ketidakdislipanku dalam menjaga aktifitasku. Sebuah aktifitas yang terlalu membebani tulang punggungku sering kali aku lakukan, sehingga seakan tulang punggungku melakukan protes kembali, menginganku !

Yup. Semua ini tak akan menghalangi aku untuk selalu berbuat terbaik. Selagi masih ada nafas di dada ini, sakit ini aku jadikana sebagai teman setia yang selalu menemaniku dalam setiap aktifitas keseharianku. InsyaAllah selalu ada hikmah dari setiap kejadian yang kita alami dan rasakan.

Tetap semangat kawan !

at lantai 26 gedung baru kpdjp. 16/12/2009 : 09.37

Selasa, 01 Desember 2009

Perbanyak saat-saat indah dalam kenangan mereka

Selepas Sholat Isya’ di masjid dekat kost, sesampai di kamar kulihat ada 2 panggilan tak terjawab di hp fleksiku. Begitu juga di hp simpatiku. “Ini pasti ada yang penting.” Pikirku. Kutelepon balik nomor itu. Sesaat nada telepon diangkat, segera kuucapkan salam. Seseorang menjawab salamku dengan nada tertahan. Terisak. Otakku langsung bekerja untuk mengidentifikasi pemilik suara ini. “Hallo, siapa ini? Zahra ya?” tanyaku. “Iya..” jawabnya setengah terisak. Ah, gadis kecilku rupanya. Ada apa gerangan dia sampai meneleponku 4 kali? ‘Ada apa sayang? Umi kemana?” aku mulai menelisiknya. “Gak apa-apa. Umi lagi ke masjid, pengajian.” Jawabnya masih dengan suara tertahan.

Aku paling tahu sifat gadis kecilku ini. “Tadi yang nelepon abi sampai 4 kali siapa?” desakku. “Aku.” Jawabnya singkat. “Jadi ada apa sayang? Kok menangis” tanyaku lagi. “Tidak ada apa-apa.” Lagi-lagi dia tidak menjawab. Tapi nada suaranya makin tergugu. Ah, anak kecil ini makin membuatku penasaran. Walau kadang sifat cengengnya ini membuatku sering kali kelabakan, tapi kali ini aku harus menenangkannya.

“Mas Ammar kemana?” tanyaku. “Ikut umi ke masjid” “Dik Ghifar?” tanyaku lagi. “Ikut umi juga.” “Terus Zahra di rumah sama mbah? Ngapain kok gak ikut umi?” desakku. “Iya. Lagi ngerjain PR.” Hmm.. Jawaban terakhir inilah yang kemudian menjadi kunci bagiku untuk menelisik kenapa gadis kecilku ini menangis. Aku segera tahu, pasti ada persoalan dengan PR nya. Yang aku hafal, jika ada kaitannya dengan pelajaran bahasa arab atau matematika, dia lebih suka bertanya kepadaku.

“Ada kesulitan? Apa yang tidak bisa, coba tanyakan ke abi, sayang.” Bujukku setengah merayu. Setelah itu, suaranya kudengar berangsur tenang. Tak ada lagi isak tertahan. Hingga akhirnya bisa aku dengarkan suaranya benar-benar jernih dan renyah kembali, seperti biasanya. “Jadi 975 dibagi 25 berapa, bi?” tanyanya. “Kamu masih ingat diagramnya tho? Mula-mula 97 dibagi 25 dulu, didapat angka 3. Terus 3 kali 25 ada 75 kan? Nah 97 tadi dikurangin 75, hasilnya 22. Terus angka 5 dari 975 tadi diturunkan, dapat angka 225. 225 dibagi 25 ada 9 tho? 9 kali 25 sama dengan 225. 225 dikurangin 225 sama dengan 0. Selesai deh. Jadi 975 dibagi 25 ada 39.” Aku jelaskan satu soal itu.

Alhamdulillah, Allah karuniai aku anak yang cerdas. Cukup satu itu aku jelaskan dan ingatkan kembali, soal-soal yang lainnya yang senada sudah bisa dia kerjakan sendiri. Dia juga sampaikan satu pertanyaan tentang pelajaran PKn, “Dah bi itu aja, ntar yang lainnya tak tanya mbah aja.” Katanya. Aku rasa dia hanya butuh perhatian. Di saat mengerjakan PR-nya, biasanya dia didampingi uminya. Tapi tadi uminya harus ke masjid karena ada pengajian rutin ibu-ibu. Sehingga sedikit kesulitan tadi telah membuatnya galau. Saat meneleponku berkali-kali dan terus-terusan missed call, makin membuatnya galau dan kemudian menangis.

Ini hanya cerita lain tentang tabiat gadis kecilku itu, di luar kegemarannya dalam membaca. “Dia paling mirip denganmu.” Kata istriku jika mengomentari sifat-sifat dan tabiat yang dia punyai. Ya, ketiga anak kami memang membawa sifat, tabiat dan karakter yang saling berlainan. Masing-masing membutuhkan sentuhan yang berlainan. Ada saatnya sifat-sifat mereka itu saling bertemu, tapi di lain waktu karakter dan tabiat itu seolah tak bisa disatukan. Hingga rumah kami laksana kapal pecah. Benar-benar berantakan.

Dunia anak memang dunia warna-warni. Inilah saat tepat memberikan mereka warna sesuai yang kita inginkan. Ketika kita terlewat dalam memaksimalkan peran kita dalam fase ini, maka bersiap-siaplah untuk menyesal. Fase ini tak mungkin bisa kita ulangi lagi, sebagaimana waktu dan umur kita jika telah berlalu maka dia hanya bisa kita kenang atau kita ratapi. Tak akan pernah bisa kita putar ulang kembali.

“Bi, gendong. Aku ngantuk” pinta si bungsu saat kami selesai dari pengajian idul adha malam itu. ‘Ntar kalo abi makin peyok gimana?” tanyaku. “Tapi aku ngantuk.” Akhirnya aku tak kuasa menolak permintaanya. Kapan lagi aku bisa menggendongnya, saat-saat seperti ini akan cepat berlalu, hingga tahu-tahu dia sudah besar nanti. Dan tentunya, aku makin tak akan mampu menggendongnya. Begitu yang aku pikirkan. Hingga setelah kira-kira setengah perjalanan sampai rumah, dia aku turunkan, “Dah ya, punggung abi dah mulai sakit.”

Perbanyak saat-saat indah dalam hidup mereka, anak-anak kita. Penuhi memori mereka dengan kenangan-kenangan indah, itu akan sangat membantunya saat mereka besar nanti. Aku yakin itu. “Mi, tadi malam abi nggendong ghifar.” Anak gadisku mengadukanku tentang kejadian itu. Istriku hanya bisa memandangku tak mengerti, seperti biasa ia tahu, aku selalu melanggar pantangan itu. “Lha dia ngantuk. Kasihan. Mumpung masih kecil.” Begitu pembelaanku.

Suatu saat, punggungku kambuh. Akhir pekanku bersama keluarga tidak maksimal. Biasanya hari sabtu aku antar jemput anak sekolah, dan ahadnya mengantar mereka les renang. Tapi itu tidak bisa aku lakukan. Hampir 2 hari itu aku hanya istirahat di rumah. Menjelang keberangkatanku kembali ke ibukota, saat kami makan bersama, istriku berpesan : “Baik-baik ya, jaga kesehatan.” “Iya, abi gak boleh sakit. Nanti gak bisa main sama anak-anak kalo sakit.” Sambung sulungku sambil makan. Deg! Aku dan istriku saling menatap. Haru.

Begitulah. Yang aku yakini, masa-masa kecil mereka sebentar lagi akan berlalu. Mereka akan cepat menjelma menjadi manusia dewasa. Oleh karena itu, aku tak boleh melewatkan saat-saat ini. Inilah masa-masa mereka masih sangat membutuhkan kami, orang tuanya. Bukan berarti setelah dewasa mereka tidak akan membutuhkan kami. Tapi aku yakin masa-masa itu akan menjadi masa yang rumit bagi mereka. Justru mereka akan makin membutuhkan kami. padahal dekat tidaknya mereka nanti dengan kami, harus kami bangun sedari mereka kecil inilah.

Kawan, semoga jauhnya jarak kita dengan anak-anak kita tak membuat mereka merasa jauh dari kita, orang tuanya. Semoga sedikit dan terbatasnya kedekatan fisik kita dengan mereka, justru membangun dan makin mempererat kedekatan psikis kita dengan mereka. Hanya kepada Allah lah, Sang Penjaga Hidup kita, kita memohon bimbingan dan arahannya agar bisa membesarkan dan mendidik anak-anak kita dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah senantisa memudahkan dan menyederhanakan segala urusan kita.

Pancoran, 30/11/2009 23.40

Ukhuwah yang Serasa Hilang

Sekilas, aku melihat cairan bening menggenang di sudut mata beliau. Dengan sedikit tercekat beliau berkata, “Akhi, saya akan bicara jujur kepada kalian. Tidak akan saya tutupi.” Kami mengira apa yang akan beliau katakan adalah bagian taushiyah untuk kami. Ya, kami malam itu sedang melakukan program silaturahim tokoh. Kami silaturahim ke salah seorang guru kami di sana. Program ini bahkan telah kami rancang sejak dua pekan sebelumnya.

Beliau melanjutkan, “Tadi siang adalah hari yang unik. Dan saya yakin ini atas skenario Allah juga, antum malam ini datang ke rumah kami. Padahal siang tadi saya dan istri merencanakan bepergian. Saya bilang ke umminya, ‘Mi, ayo kita pergi. Kemana enaknya menurutmu?’ Istri saya menjawab, ‘Silaturahim’. Saya tanya lagi, jawabnya tetap sama, ‘Silaturahim. Pokoknya silaturahim.’”

Kami belum bisa menebak ke arah mana beliau akan bercerita. Karena sebelumnya kami membahas tentang makanan ahli surga. Tentang kehidupan para ahli surga. Beliau tadi menjelaskan tafsir lain beliau tentang sifat dan makanan ahli surga. Tentang penafsiran mengapa ahli surga nanti bisa melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Ah, sesuatu yang baru, yang sangat mencerahkan pemahaman kami tentunya.

“Padahal awalnya maksud saya hendak mengajak istri makan di luar.” Beliau menghela nafas sejenak. “Mendengar jawaban istri saya itu, lalu saya katakan, ‘Mi, kita tak punya saudara lagi di kota ini. Ikhwah ini, dia bukan saudara kita lagi. Ikhwah itu, ah dia juga bukan saudara kita lagi. Atau ikhwah yang di sana, rasanya dia bukan saudara kita juga. Rasanya, tak ada ikhwah lagi yang mau menjadi saudara kita di kota ini.’ Suara beliau sedikit bergetar. Kami pun tak kalah bergetar. Kami semua tersentak mendengar penuturan ustadz tadi.

Masih dengan nada sedikit parau beliau berkata, “Maka istri saya kemudian menangis. Saya pun menangis. Begitulah, siang tadi akhirnya kami menangis berdua. Rupanya Allah hendak menjawab galau kami dengan kedatangan antum semua. Allah ingin menunjukkan bahwa masih ada saudara kami di kota ini. Jazakumullah atas kehadiran antum semua malam ini.” Suasana hening dan haru tiba-tiba menyeruak di dada-dada kami. Kami semua tertunduk, terpekur, merenungkan sebuah kata yang bagi kami kini serasa di awang-awang. Kata itu adalah ukhuwah.

Kawan, ini memang hanya cerita kecil tentang sebuah episode di desa agak terpencil, di daerah dekat kaki gunung merapi sana. Episode sepi. Di tempat yang sungguh-sungguh sepi. Tentang seorang yang merasa kesepian di saat dakwah ini justru tengah memasuki hingar bingar keramaian. Sebuah paradoks yang menyentuh hati kami. Dalam perjalanan pulang dari rumah beliau, kami berenam saling introspeksi. Dua dari tiga nama yang beliau sebutkan, ada di antara kami.

Muara kami bertemu pada satu kata tadi, ukhuwah. Entahlah, barangkali salah satu wasilah menjaga ukhuwah yang asasi yang sering kita tinggalkan itu adalah bernama silaturahim. Lidah kita fasih mengucapkannya. Tangan kita lancar menuliskan keutamaan-keutamaannya. Tapi seringkali langkah kita tertahan oleh kesibukan, kepenatan, kesempitan waktu atau pun dalih-dalih yang lain.

Siapa yang pernah menyangka, seorang ustadz seperti beliau sampai pada kesimpulan seperti itu : tak ada lagi saudara kami di kota ini! Kesibukan beliau memang praktis agak menurun sejak tidak menjadi aleg. Pesantren yang dulu beliau kelola sebelumnya dan cukup dikenal di daerahnya kini tidak berkembang. Kini fisik beliau pun diuji dengan penyakit gula dan jantung. Aduhai, pertemuan-pertemuan kami selama ini memang hanya saat-saat formal saja, di tempat-tempat kajian, di jalan, di kantor dakwah, atau di tempat dan even yang senada. Dan kawan, itu tidak cukup. Untuk memaknai sebuah ukhuwah, semua itu tidak cukup!

Karenanya, salah satu syiar yaumiyan yang ada dalam panduan aktifitas harian kita ada yang namanya aktifitas silaturahim. Benar-benar silaturahim. Benar-benar kunjungan atas nama silaturahim. Bukan karena ada kewajiban kita mengembalikan buku yang pernah kita pinjam misal. Bukan pula karena keterpaksaan kita karena hendak meminta suatu pertolongan. Atau kepentingan-kepentingan yang lain. Karena dengan berkunjung, dengan silaturahim, kita bisa menguak hal-hal yang seringkali tidak tersampaikan dalam saat-saat formal tadi.

Banyak keutamaan dari silaturahim ini. Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda: “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menyambung silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi)

Ternyata, silaturrahim membawa keberkahan dalam rezeki dan umur seseorang yang suka menyambungnya. Ibnu Umar r.a berkata: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturrahim, akan dipanjangkan umurnya, diperluas rezekinya, dan dicintai oleh keluarganya.” (H.R. Bukhari)

Orang yang suka menyambung silaturrahim akan mendapatkan keberkahan dalam rezeki dan bertambah umurnya. Rahmat Allah akan senantiasa tercurah kepadanya di dunia dan di akhirat. Ia akan dicintai oleh manusia dan dihormati. Sebaliknya, orang yang suka memutuskan tali silaturrahim akan mendapatkan kesengsaraan, bencana, dan kebencian dari Allah dan manusia. Di akhirat nanti, ia akan dijauhkan dari surga.

Cukuplah bagi orang yang memutuskan tali silaturrahim merasakan kesengsaraan dan bencana apabila mendengar sabda Rasulullah Saw: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi).

Semoga kita dimudahkan untuk memperbanyak silaturahim, sehingga cerita-cerita haru seperti episode di awal tulisan ini tak banyak terjadi di sekitar kita. Di komunitas yang sangat-sangat menjaga makna ukhuwah ini.

Finished at menara jamsostek, 24/11/2009 14:40