Kamis, 29 Mei 2008

Paksa Diri Antum....!

Akhi fillah...
Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Karena memang pada hakikatnya dalam hidup kita ini selalu Allah pertemukan kita dengan pilihan-pilihan. Kita mau beriman atau kafir, itu adalah pilihan. Kita mau berbuat baik atau berbuat buruk, itu pun adalah pilihan. Pun, kita mau jannah-Nya atau neraka-Nya kelak, itu semua adalah juga pilihan-pilihan di depan kita.

Dan jamaknya...
Kita bertemu dengan realita bahwa begitu berat untuk mengambil pilihan-pilihan kebaikan. Sebagaimana Rasulullah sabdakan bahwa syurga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak mengenakkan, sedangkan neraka dikelilingi oleh hal-hal yang enak dan mengasyikkan. Begitupun pilihan baik buruk, untuk sebuah kebaikan sering kita berat untuk melangkahkan kaki ini menuju ke sana. Sementara untuk sebuah keburukan, terkadang tanpa sadar barangkali karena kekurang hati-hatian kita, kita telah berjalan di atasnya.

Ironisnya...
Kita pun banyak menjumpai orang yang begitu memaksa diri mereka untuk bisa berbuat keburukan. Mereka rela mengorbankan apa saja untuk bisa melakukan hal-hal tersebut, meski kadang kala harus menyiksa diri mereka.

Ada orang yang mempelajari berbagai ilmu kesaktian dan rela menjalani berbagai ritual, agar dia bisa menjadi seorang pencopet atau pencuri yang ulung. Ada orang yang rela mengeluarkan uang beratus-ratus juta, bahkan mungkin milyaran, agar dia bisa menduduki sebuah jabatan sehingga dengan jabatan itu dia bisa mengumpulkan kekakayaan yang berlimpah ruah. Dan masih banyak lagi contoh di luar sana.

Pada intinya...
Ada orang untuk berbuat buruk saja mereka mesti memaksakan diri mereka, lalu kenapa kita untuk berbuat baik tidak memaksakan diri?

Paksa diri antum...

Saat sepertiga malam telah menjelang, begitu penat dan letih tubuh kita, begitu berat mata kita terbuka, maka paksa diri antum... paksa diri antum untuk bangun. Karena allah telah menunggu kita...

Saat adzan telah memanggil-manggil, begitu berat kita melangkahkan kaki kita ke masjid untuk bersegera memenuhi panggilan itu, maka paksa diri antum... langkahkan diri kita menuju kemenangan...

Saat banyak peluang-peluang kebaikan terbuka di depan kita, begitu enggan kita untuk meraihnya, begitu berat kita mencoba meraihnya, maka paksa diri antum... barangkali kesempatan itu tidak akan pernah datang lagi ke hadapan kita...

Ya, ada kalanya kita pun harus memaksa diri kita...
Untuk meraih sebuah kebaikan
Fid-dunya wal akhirat

"Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS At-Taubah : 41)

Rabu, 28 Mei 2008

Akhirnya Saya Menyerah

Biasanya, sangat mudah bagi saya untuk memutuskan hal ini. Tapi untuk kali ini, ada nuansa lain yang begitu menggoda. Begitu setidaknya yang menari-nari dalam benak pikiran saya. Barang kali karena aura jihad siyasi yang semakin dekat, ikut membuat ritme dalam jantung saya mulai mengalami akselerasi luar biasa.

Sudah sejak dua minggu yang lalu saya mencoba memantabkan niat, untuk mengikuti kegiatan mukhoyam -acara kepanduan yang berupa camping, out bond, long march, sholat malam dan semacamnya- yang diselenggarakan teman-teman wilayah DKI Jakarta di Bumi Perkemahan Cibubur. Pendeknya, kegiatan ini meliputi olah fisik, intelektual juga ruhaniyah kita.

Hingga keberangkatan ke ibukota ahad kemaren, saya masih optimis bisa memantabkan hati. Kaos, topi dan rompi khusus tak lupa telah saya masukkan dalam tas saya. Kepada teman-teman seperjuangan di kereta api pun saya mencoba meyakinkan mereka bahwa saya akan ikut andil dalam acara tersebut. Itu artinya, saya tidak akan pulang ke Jogja akhir pekan ini! ”Tenane...!” begitu ledek teman satu kost saya.

Tak kurang-kurang, Istri pun ikut mendorong untuk tidak pulang saja dulu dengan alasan agar bisa istirahat. Namun ketika kemaren saya gambarkan kegiatan yang marathon dari kamis malam hingga ahad siang/sore (meski kalaupun saya jadi benar-benar ikut andil, paling mungkin berangkat adalah jumat malam), istri mulai kawatir karena adanya keterbatasan fisik saya. Ah, ini mulai membuat peta kekuatan dalam hati saya, antara tarikan untuk berangkat mukhoyam dan tarikan untuk pulang ke Jogja menjadi makin mendekati seimbang. Sama kuatnya !

”Bi, besok sabtu ahad aku mau persahad” begitu anak sulung saya mengabari saya saat saya telepon kemaren sore. Persahad adalah perkemahan sabtu ahad. ”Ya, tempatnya di mana?”. ”Ndak tahu, mungkin di sekolahan.” begitu jawabnya. Biasanya kalo dia persahad, malam ahadnya saya dan istri suka menjenguk dia ke perkemahannya. Sekedar memastikan bahwa dia memang benar-benar menikmati kegiatan tersebut. Belum lagi laporan istri saya kemudian, ”Tadi Ghifar tetap ndak mau sekolah...” Yah, anak saya yang bungsu itu memang sedang ada ’masalah’ dengan sekolahnya. Sudah dua pekan dia mogok sekolah. Menurut informasi yang dikumpulkan istri saya, guru yang kebetulan mengampu kelas anak saya pendekatannya kurang cocok dengan style anak saya itu. Pendekatan yang sedikit menggunakan bahasa kekerasan, meski sekedar kekerasan verbal atau isyarat. Sedikit banyak, cerita-cerita ini membuat saya semakin termangu-mangu.

Hingga tadi malam, setidaknya saat bertemu dengan teman-teman di Pancoran, saya masih mencoba untuk optimis bisa berangkat mukhoyam. Apalagi ketika ustadz mengatakan, ”Berangkat dong, wong akh keri lagi tumbuh-tumbuhnya nih” begitu kata beliau ketika ada teman yang mempertanyakan kepastian keberangkatan saya. Pun ketika saya memboncengkan beliau bermotor ria di jalanan dekat Makam Kalibata dan beliau bertanya ”Gimana punggung antum?”. ”Alhamdulillah ustadz, sejauh ini tidak ada masalah lagi” begitu jawab saya. Meyakinkan kalo kegiatan mukhoyam tidak akan memberatkan saya.

Pagi-pagi tadi, menjelang sholat subuh seorang teman saya sms. ”Mau beli tiket ahad senja solo nih, Antum ikut gak? Masih gojag-gajeg mutunya?” Wah, serangan fajar nih, pikir saya. Dan saya masih berani menjawab, ”Ditinggal aja deh, tarikannya agak kuat ke arah ikut.”

Saya memang bukan tipe orang yang bisa berlama-lama jauh dari keluarga. Bagi saya, keluarga adalah tempat yang luar biasa untuk mengekspresikan diri saya. Apalagi bagi saya, sebisa mungkin masa-masa kecil anak jangan sampai terlewatkan. Masa-masa inilah waktu utama untuk membangun kedekatan dengan mereka, sebelum kelak mereka siap menjadi pribadi-pribadi yang mandiri.

Menyusul sms teman saya, sehabis sholat subuh istri saya sms, ”Mas, kalau mukhoyamnya berat gak usah ikut aja...” Hmm, godaan. Sesampai di kantor, sesaat duduk di depan meja kerja, teman yang baru penempatan di ibukota setelah kuliah S2 UGM sms, ”Ente pulang gak?” Duh,.... Belum lagi sepenuhnya bisa berpikir, istri sms lagi, ”Kalo mangu-mangu gak usah ikut aja..” Weleh weleh, betul-betul serangan yang bertubi-tubi.

Akhirnya di tengah-tengah kegamangan itu saya coba mencari kemantaban dengan sms ke teman satu kost yang juga merencanakan akan ikut mukhoyam. ”Jadi ikut MUTU?...” Tapi bersamaan dengan itu saya pun iseng sms ke bos kasubag umum pancoran, ”Mas, bsk jumat jadinya naik apa?” Ternyata respon yang terakhir lebih cepat. ”Rencana naik gajayana, ikut po? Ini aku lagi di lapangan banteng. Kalo iya ntar tak sekalian beli.” Waduh. Gagap saya menjawab teleponnya, mencoba berpikir cepat. Harus ada keputusan segera. ”Yo wis, ikut...” Inilah ending dari ketermangu-manguan saya dua pekan belakangan. Dan akhirnya memang, saya harus menyerah...

Menyerah untuk tidak bisa tidak pulang akhir pekan ini. Adzan dhuhur pun telah terdengar dari masjid di sebelah gedung menara jamsostek ini. Ada pengajian ustadz Arifin Ilham ba’da sholat Dhuhur. Lebih dari cukup untuk membantu menenangkan hati. Alhamdulillah. Ya Allah, ampuni ketidakberdayaan hamba-Mu ini.

Jangan salahkan
Jika aku tidak bisa berlama-lama dari kalian
Karena memang di sini
Di dada ini
Selalu dipenuhi rasa cinta dan rindu

Jakarta, 28/05/08

Bertanya tentang Tata Cara Kerja dan Kinerja

Entah ini sebuah kesalahan saya atau bukan. Setidaknya saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Dan saya juga tidak menuntut untuk bisa terealisasi sesuai jadwal, sebuah proses kenaikan jenjang reguler hak setiap pegawai, bagi yang telah memenuhi berbagai syarat tentunya.


Ceritanya, oktober nanti jika tidak ada aral melintang, golongan kepangkatan saya menjadi III/a. Untuk mencapai ke sana, seorang pegawai harus melalui DUD atau pun UPKP bagi yang mempunyai ijazah sarjana. Dulu sewaktu di KPP (Yogyakarta) ketika ditanyakan akan ikut DUD tidak, saya selalu menjawab untuk tidak diikutkan karena saya sedang kuliah dan memilih untuk UPKP.


Persis selesai kuliah, saya di mutasi ke Jakarta. Sehingga laporan menyelesaikan pendidikan pun saya buat di kantor baru ini, persisnya tahun kemaren. Dan data di kepegawaian kantor pusat pun untuk pendidikan saya lihat sudah tercantum sarjana. Sekali lagi teman di kepegawaian di sini, waktu ada permintaan usulan peserta DUD menanyakan ke saya juga dan saya jawab saya diikutkan UPKP saja.


Awal Mei kemaren ada teman (yang termutasi ke makasar) mengingatkan untuk siap-siap ikut UPKP. Saya berbaik sangka, tentunya saya telah diusulkan bagian kepegawaian saya. Teman saya mencoba mencari informasi nama saya terdaftar di usulan yang ada di pusdiklat perpajakan tidak, ternyata belum ada nama saya. Selidik punya selidik, teman saya di kepegawaian kemudian menginformasikan kalau ternyata memang belum diusulkan dari kanwil, terlewat katanya waktu itu.


Bagi saya ini sebetulnya tidak masalah. Kenaikan pangkat harus mundur setahun lagi pun insyaAllah tidak akan saya permasalahkan. Itu artinya belum rejeki saya. Hanya kemudian ketika saya kebetulan mampir ke bagian kepegawaian tadi, ada yang memanggil saya. Kemudian mempertanyakan ini itu, kenapa dulu waktu ada surat permintaan peserta UPKP tidak mengusulkan untuk ikut UPKP sebagaimana KPP mengirim data usulan ke kanwil tentang usulan peserta UPKP, sehingga akibatnya nama saya tidak ikut diusulkan ke kantor pusat. Intinya saya diposisikan sebagai pihak yang bersalah.


Logika saya sederhana. Saya berkantor di kanwil. Saya sudah pernah ditanya dan saya sampaikan untuk tidak ikut DUD dan diikutkan UPKP. Laporan menyelesaikan pendidikan pun saya laporkan di sini. Bagian kepegawaian tentunya telah tersedia data kepangkatan pegawai dan pendidikannya. Bahkan dalam Surat Edaran nya tertulis jelas, ”... dengan ini diminta Saudara, sekiranya terdapat pegawai di lingkungan kerja Saudara telah menyelesaikan pendidikan di luar kedinasan dan telah memenuhi syarat untuk mengikuti UPKP, agar segera diusulkan ke Bagian Kepegawaian KPDJP...”. Apakah saya dari bidang PKB mesti mengusulkan surat ke bagian kepegawaian? Ditambah dengan tidak setiap saat saya bisa mengamati secara cermat intranet kepegawaian. Terkait dengan permintaan peserta UPKP pun, baru saya baca dan saya cetak beberapa menit yang lalu.


’Ala kulli hal, saya sudah sampaikan kepada bagian kepegawaian tadi, kalaupun saya harus mundur setahun lagi untuk kenaikan pangkatnya pun tidak apa-apa. Dan saya tidak akan menyalahkan karena tidak mengusulkan saya di daftar peserta UPKP. Tapi yang saya tidak bisa terima adalah sikap menyalahkan saya karena tidak ’melaporkan dan mendaftarkan diri’ untuk diikutkan UPKP.


Sebelumnya, terkait hal ini saya sudah mengirim pertanyaan via email ke Bapak Farid Bachtiar (terlampir di bawah ini) yang kemudian beliau forward ke bagian yang lebih sesuai, tapi belum ada jawaban sampai dengan saat ini. Yah, saya hanya merenung, sepertinya untuk masalah kepagawaian ini, di era modernisasi ini sekali pun, masih menyisakan praktek-praktek lama yang sama sekali tidak modern. Setidaknya dalam benak saya misi kepegawaian adalah harus bisa 'ngemong' para pegawainya, karena memang lingkup kerja mereka di wilayah ini, wilayah internal.


Semoga saja masih ada titik cerah di depan sana nanti. Modernisasi bagaimana pun harus terus maju. Meski harus tertatih, itu lebih baik dari pada tumbang di tengah jalan.



Jakarta, 27/05/2008

~ sekedar untuk melegakan dada ~

Jumat, 16 Mei 2008

HAK YANG TAK TERTUNAIKAN SEMPURNA

Pagi-pagi sekali tadi handphone saya berdering, teman satu anggota ronda tiap malam ahad menelepon saya. “Pak, ada sripah. Tetangga dekat njenengan meninggal dunia, karena asma yang mendadak”. Dari nada bicaranya, saya langsung menemukan kesedihan yang bertalu-talu. Beliau tidak sedang sakit. Kejadian itu begitu mendadak.

Hati saya terhenyak dalam sedih. Menangis. Beliau adalah teman sekaligus tetangga terbaik saya. Kami berdua adalah pendatang, menghuni desa ini dalam waktu hampir bersamaan. Batas rumah kami pun menyatu, sesuatu yang tidak lazim di desa. Umur kami pun tak jauh berbeda, hanya berselang dua tahun.

Masih hangat dalam ingatan saya, akhir tahun kemaren selama hampir setengah tahun kami berdua menjadi penglajo Jogja-Jakarta karena perusahaan tempat beliau bekerja sebagai seorang analis programmer mendapat proyek di Jakarta. Hampir tiap pekan bersama-sama menikmati riuhnya kereta senja Jogja-Jakarta. Menjadikan kekeluargaan kami semakin kenthal.

Tiap malam ahad pun kami menjadi satu kelompok ronda. Beberapa bulan yang lalu kelompok ronda kami mencetuskan ide membuat kolam ikan yang dikelola bersama, agar ronda kami tidak hanya sekedar berkumpul, tapi bisa menelorkan sesuatu yang produktif. Beliau termasuk yang semangat memberikan ide-idenya.

Saya bertemu dalam forum ronda terakhir adalah tiga pekan yang lalu, karena dua pekan berikutnya secara bergiliran saya dan beliau yang absen. Waktu itu kebetulan giliran berkumpul di teras rumah saya. Beliau sebetulnya ada acara mabit di masjid kami yang letaknya di luar desa berserta kelompok pengajiannya. Namun selepas perserta lain mulai tidur, beliau malah bergabung di teras rumah saya untuk menunaikan ’kewajiban’ rondanya. Berbincang ringan dan berdiskusi tentang berbagai hal.

*****

”Kata istri beliau, pagi tadi selepas beliau berwudhu hendak sholat subuh, tiba-tiba beliau seperti menahan sakit yang luar biasa. Habis itu ’sudah tidak ada’ lagi” begitu istri saya mengabarkan.

Pekan kemaren ketika sholat ashar di masjid, kami berdua adalah yang terakhir keluar dari masjid. Setelah menutup semua pintu masjid, saya disibukkan oleh anak-anak saya sehingga tidak sempat menyapanya. Namun ketika hendak meninggalkan masjid, sekilas saya masih melihatnya terpaku di atas motornya di depan masjid, menatap kosong masjid kami. Entah apa yang beliau pikirkan. Setidaknya itulah terakhir kali saya melihatnya.

Aduhai sahabatku, saya berharap engkau kembali menghadap-Nya dengan khusnul khatimah. Saya meyakini betapa engkau jauh lebih di sayang Allah. Engkau adalah seorang penyayang keluarga. Beberapa tahun yang lalu engkau rela melepas pekerjaanmu di Jakarta, hanya agar engkau bisa dekat dan lebih banyak waktu dengan keluargamu. Saya pun melihat kedekatan bidadari-bidadari kecilmu kepadamu.

Kembalimu sungguh mengagetkanku, sekaligus mengesankanku. Karena Rasulullah mengabarkan bahwa di antara tanda khusnul khatimahnya seseorang adalah meninggal di hari jumat. Engkau mendapatkannya. Ketika engkau beranjak hendak sholat subuh di pagi jumat yang dingin tadi, Allah berkenan memanggilmu. Semoga Allah merahmatimu, wahai sahabatku.

*****

Satu hal yang membuat kesedihan saya semakin bertalu-talu, saya tidak dapat dan tidak mampu mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Karena saya di sini, ratusan kilometer dari desa kami. Ditambah sulitnya mendapat tiket dadakan, apalagi ini menjelang liburan akhir pekan. Sungguh hak beliau yang harus saya tunaikan ini tak mampu tertunaikan sempurna.

”Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu...”

Sungguh kematian itu begitu dekat dengan kita. Dia tidak pernah memandang usia muda atau tua. Dia tidak melihat fisik kita sehat atau sakit. Dan dia akan datang menjemput sewaktu-waktu, tak ada alasan untuk memajukannya atau pun memundurkannya. Karena itu, tak semestinya kita melewatkan waktu-waktu kita tanpa amal yang bermanfaat sebagai bekal kematian.

”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS 89 : 27-30)


Jakarta, 16/05/08
Teruntuk sahabatku yang mendahuluiku :
Semoga Allah memberikan maghfirah-Nya. Dan merahmatimu di alam kubur sana.

Rabu, 14 Mei 2008

Disorientasi

Ini adalah tanggapan saya atas tulisan seorang teman saya di email siang tadi, sekedar untuk menuntaskan perasaan yang masih tersisa tentang modernisasi di instansi tercinta.

Disorientasi

“Maaf Pak, lagi malas” Ini jawaban spontan saya ketika kepala seksi meminta saya untuk segera memberi keputusan sebuah permohonan keberatan, agar target KPI kantor kami tetap tinggi.

Ini bukan malas yang tanpa sebab, setidaknya begitu bagi saya. Dan ini bukan bentuk pembangkanagan saya, tapi sekedar ’protes’ yang saya yakin tidak akan ada yang mau mendengarnya, dan memang solusinya pun masih gelap. Setelah menjawab permintaan beliau itu, saya segera kirimkan email susulan tentang uneg-uneg seputar perkembangan modernisasi.

Ya, saya katakan kepada beliau bahwa saya sedang mengalami disorientasi. Eforia modernisasi yang dulu begitu gempitanya, seakan lenyap dengan laju perkembangan modernisasi belakangan ini.

Kenapa terjadi disorientasi? Setidaknya saya mempunyai dua jawaban. Pertama, harapan yang tidak sebagai mana realita yang ada. Harapan yang terlanjur membumbung, ternyata dihadapkan kepada kenyataan bahwa masih ada budaya-budaya yang tidak mendukung modernisasi. Bisa jadi berupa budaya paternalistik yang masih kental. Budaya-budaya dasar semisal disiplin, keterbukaan, kerja sama, pun masih jauh panggang dari api.

Yang kedua, adanya kebijakan yang sifatnya paradoks di era modernisasi ini. Contoh yang paling terang adalah masalah pengangkatan dan mutasi. Dulu untuk berperan serta dalam modernisasi ini harus melalui seleksi yang bagi saya luar biasa. Tapi justru ketika modernisasi mulai melaju dengan cepat, orang-orang yang menyambut seruan modernisasi ini dengan semangat dan ikhlas, seakan malah mendapatkan ’hukuman’. Sementara yang tidak mau bergeming, justru mendapatkan keleluasaan.

Belum lagi kalau melihat beban kerja dan resiko di kantor baru yang harus mereka pikul. Sementara reward yang mereka dapatkan tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang mendapatkan keleluasaan tadi. Bahkan sebagian saya yakin, justru lebih rendah. Tentu bukan sekedar itu yang ingin saya munculkan. Seorang sahabat saya yang telah 2 tahun lebih dulu menjalani kehidupan jarak jauh, mengatakan ”Bosan cak, begini terus. Apa sih yang kita cari. Piye carane tha aku ben isok pindah saka kene?”

Saya pernah mengobrol dengan mantan kepala seksi saya dalam sebuah perjalanan ke Jakarta, ”Sebetulnya, menurut saya hal seperti itu tidak sehat. Mengangkat dan mengukuhkan orang lama di tempat yang sama, baik itu sebagai kasi maupun AR” begitu kata beliau. ”Tapi begitulah yang terjadi, Pak” jawab saya waktu itu.

Dulu ketika saya mengabarkan modernisasi yang dibarengi dengan remunerasi akan segera dipercepat dan meluas ke MA dan BPK, istri saya hanya berkomentar singkat, ”Ben, bangkrut negarane” Kenapa? Karena merasa tidak layak mendapatkan gaji sebesar itu, sementara pekerjaan dan budaya kerja masih tidak seperti yang diharapkan.

Ya, apapun. Modernisasi memang harus terus bergulir. Dan ongkos yang dibayar memang begitu mahal. Setidaknya itu berlaku bagi para pelaku modernisasi yang belum mendapatkan kebijakan yang ramah dengannya.

”Kamu harus tetap semangat” begitu kepala seksi menanggapi kegundahan saya di emailnya. Kalimat yang sama, yang juga saya dapatkan dari seorang penggagas modernisasi dulu saat saya mengajukan protes saya kepadanya.

Selalu ada sisi positif

Dalam kepasrahan saya, saya selalu mencoba untuk mengais hikmah dan pelajaran. Ada jeda dan rentang waktu yang harus selalu kita isi dengan karya dan amal. Pun dalam sudut-sudut sepi kita.

Sebuah kerja dan amal akan sempurna hanya jika disertai dengan pengorbanan dan keikhlasan. Saya menjadi terinspirasi dengan amal seekor kuda. Dengan kaca mata yang menghalangi dia melihat kiri dan kanan, dia akan berlari dan berlari terus mengikuti perintah tuannya. Kaca mata itu bagi saya adalah kaca mata ikhlas. Dan terus berlarinya dia adalah bentuk pengorbanan kita kepada Rabb kita.

Semoga Dia yang Maha Mendengar dan Menatap, mengampuni dan merahmati langkah-langkah kita semua. Sertakan selalu saya dalam doa-doa kalian.

Masker

Berikut ini adalah tulisan teman saya :

Saat saya mengikuti diklat SAM (atau diklat Pra-Modernisasi, saya lupa) jargon yang diusung para trainer adalah “lebih baik kita segera berubah sekarang daripada nanti di-ubah orang lain” (tentu kata originalnya lebih baik).

Paradox of change

Ini yang perlu kita takutkan, pada saat perubahan harus dilakukan, kita merasa tidak ada kebutuhan sama sekali, tetapi pada saat ada tuntutan untuk berubah, tenaga kita telah habis, kita sudah tidak mampu berbuat apa-apa, ironis. Sekarang kita tanya pada diri kita, apakah kita mau berubah atau tidak mau berubah? kalau jawabannya mau berubah, apakah spirit-nya karena merasa harus berubah ataukan karena ada tuntutan untuk berubah ?.

Sebelum melihat didalam, saya ajak anda untuk melihat keluar sana-tetapi tetap di Republik ini-, betapa setiap kerumunan mampu memporak porandakan sistem yang sebenarnya sudah kita buat dan sepakati untuk dijalankan bersama, sebut saja contoh : korban meninggal semifinal liga Indonesia, korban kepanitiaan konser beberapa grup musik, kasus BLBI dan aliran dana BI (lembaga superbody yang makin gagah dengan kekuatan Undang – undang No.3 Tahun 2004), banjir dan longsor diberbagai daerah (yang memang karna ulah tangan-kerumunan-manusia).

Sekarang mari kita lihat kedalam, apakah institusi yang terdiri dari berbagai kerumunan ini masih memiliki idealisme kuat dan utuh sehingga kita bisa melihat alur dan gerak sistem yang membawa kita pada perubahan-sebagai pertanda kehidupan kita-secara jelas ? sebenarnya perlu penelaahan lebih dalam untuk mengukur idealisme yang ada di mindset penghuni institusi ini, tapi untuk mempermudah pengukuran tersebut kita lihat saja dari beberapa opsi jawaban atas pertanyaan tentang “Apakah saudara melihat dengan jelas perubahan yang ada di tubuh Departemen Cq. Direktorat ini ?” :
Jawaban 1 : ya, saya melihatnya dengan jelas dan utuh karena saya tahu apa yang harus dan tidak harus saya kerjakan, saya tahu persis apa konsekwensi-nya bila saya hanya mengakali sistem ini, saya tahu apa yang akan saya dapat sebagai imbalan atas apa yang saya perbuat dan saya juga tahu apa yang akan saya terima karena saya tidak mengerjakan sesuatu. Ini jawaban mudah untuk mengawinkan antara Modernisasi, Kode Etik dan remunerasi.
Jawaban 2 : tidak, apa yang saya lihat masih buram, saya belum jelas kemana saya harus bergerak tapi saya yakin saya akan di bawa ke arah yang lebih baik.
Jawaban 3 : blank, saya tidak tahu apa-apa, saya hanya ikut saja.
Jawaban 4 : saya tidak perduli..
Jawaban 5 : saya pesimis, apakah kita bisa..
Jawaban 6 : paling ujung – ujungnya sama aja kayak dulu…

Salah persepsi ataukah salah orientasi
Saya yakin banyak dari teman – teman kita yang sudah lama merindukan perubahan ini sama seperti saya meyakini bahwa banyak dari rekan kita yang sudah merasa nyaman dengan keadaan sebelumnya dan merasa terusik dengan perubahan ini, ada segudang teori untuk keyakinan ini, tapi yang saya fahami adalah bahwa keyakinan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar ….

Hidup ini bukanlah saklar yang hanya ada tombol ‘ON’ dan ‘OF’, terang dan gelap dapat terasa seketika, orang akan tidak terasa sudah berjalan ditempat gelap dalam kurun sekian tahun padahal tadinya dia orang ‘suci’ dan bermoral, begitu sebaliknya, (walau konon lebih sulit) bila kita hati-hati dengan langkah kita maka idealisme akan tetap terjaga.

Persepsi yang terbangun dikepala saya dengan gerakan perubahan ini bisa saja utuh diawalnya, tapi jelas yang tampak dimata saya sekarang adalah kita mulai merasa melangkah menjadi ‘kapitalis yang sopan’, kata-kata modernisasi dan remunerasi cenderung dijadikan kunci untuk membuka brankas keuangan Negara yang sebenarnya masih dipertanyakan kemandiriannya.Dan kode etik dijadikan landasan mengkebiri moral yang memang sudah lama hilang.

Pernahkah anda seperti saya yang bersemangat sekali saat menyambut modernisasi namun kehilangan power di tengah jalan dan sama sekali tidak bisa bergerak lagi ? itu karna ‘protol’nya persepsi yang sudah terbangun

Eman Mulyatman

Jumat, 09 Mei 2008

Ada apa dengan keluarga kita?

Saya tergelitik dengan judul ini setelah beberapa malam yang lalu membacanya dari tabloid Depok Post, dalam sebuah rubrik yang dikelola Ustadszah T. Farida Rachmayanti (Koordinator Rumah Cinta Keluarga FADEC).

Tapi, judul itu hanyalah puncak dari kegundahan saya setelah pekan kemaren saya berkesempatan untuk mengobrol ringan dengan saudara-saudara saya di Dapur Sunda dalam acara rihlah wada’. Ditambah lagi perjumpaan dan perbincangan saya dengan seorang teman lama di sela acara milad di alun-alun utara jogja ahad kemaren.

*****

”Akhi, antum boleh percaya atau tidak. Di kota kita sana, ada beberapa anak dari ikhwah kita yang kuliah di sana yang bermasalah. Ada yang sangat benci dengan orang tuanya karena dari kecil dia di pesantrenkan dan tidak mendapat sentuhan kasih sayang memadai dari orang tuanya. Ada yang karena ayahnya menikah lagi. Sampai mereka bilang, mereka tidak ingin bertemu dengan orang tuanya lagi.” Ujar salah seorang dari kami malam itu di dapur sunda.

”Sebetulnya semua itu kuncinya komunikasi dengan hati.” kata ustadz. ”Saya yakin, kalo orang tuanya mau mendengar, mendekatinya dan dialog dari hati ke hati. Masalah itu bisa selesai. Apalagi mereka sudah besar, kuliah.”

”Makanya saya sering wanti-wanti ke antum semua. Perhatikan keluarga kita. Istri dan anak-anak kita. Jangan bedakan perlakuan antum terhadap anak-anak antum, meski anak antum ada yang sudah besar. Kalau menyapa, sapalah semua meski hanya sekedar menanyakan kabar.” tambah beliau.

”Makanya kita tiap pekan pulang kampung ustadz, dalam rangka memberi perhatian kepada keluarga.” salah satu teman semangat, disambut tawa ringan kami semua.

Pelajaran pertama yang saya peroleh adalah sudah seberapa efektif komunikasi kita dalam keluarga dan seberapa ’adil’ kita memberi telah perhatian kepada mereka semua.

*****

”Lah, antum belum tahu tho kabarnya?” teman lama saya bertanya memastikan. Dia telah lama diamanahi ikut menggawangi sebuah lajnah munakahat di kota saya. “Ya belum lah” jawab saya. Maka mengalirlah cerita tentang dinamika a’iliyah yang layak untuk mendapat perhatian yang serius dari kita semua, di tengah terik matahari di alun-alun siang itu.

Cerita tentang binaanya yang terbelit fitnah terbesar dari triple fitnah (harta tahta dan wanita). Cerita tentang sebuah ta’adud yang meninggalkan duka, atau ‘sekedar’ meninggalkan cerita yang kurang sedap di luar sana. Cerita tentang ’budaya’ kasus virus merah jambu yang tengah marak terjadi di kalangan aktivis dakwah kampus. Bahkan bukan sekedar merah jambu lagi, mungkin telah menjadi merah darah.

Ah, saya tidak sedang menyalahkan siapa-siapa. Tidak ingin membeberkan aib. Akan tetapi hanya tersentak kembali kepada sisi kemanusiaan kita. Bahwa fitnah lawan jenis ini bagi siapapun akan menjadi fitnah yang terbesar. Baik ia seorang kader dakwah ataupun bukan, bahkan baik ia telah menikah maupun belum menikah.

Pelajaran kedua siang itu adalah hati-hati berinteraksi dengan lawan jenis, meski anda sudah menikah sekalipun. Karena hati ini begitu mudah berbolak-balik.

*****

Ikhwati fillah...
Seorang muasis dakwah ini jauh-jauh hari telah mengingatkan kepada kita tentang 3 modal utama bagi kuatnya sebuah bangunan dakwah yaitu matanatul jama’ah (kekokohan jama’ah), hayawiyatul harakah (dinamika pergerakan) dan intajiyatul amal’ (amal yang produktif).

Untuk mencapai matanatul jama’ah, ia merupakan mata rantai dari istiqrarun-nafsi, istiqrarul-a’iliy, istiqrarusy-sya’bi, istiqrarut-tandzimi, baru istiqrarul-jama’ah. Dengan bahasa yang mudah, agar jama’ah ini menjadi jamaah yang kokoh, maka ia harus dibangun melalui pribadi-pribadi yang istiqrar (mapan), maka ia menjadi keluarga istiqrar, masyarakat yang istiqrar, organisasi yang istiqrar dan pada gilirannya akan menghasilkan jama’ah yang istiqrar pula.

Lihatlah, sebuah jamaah yang kokoh hanya akan terbentuk dari pribadi-pribadi yang mapan, stabil, dan tidak bermasalah. Pribadi-pribadi inilah diharapkan akan membentuk keluarga-keluarga yang mapan, stabil, dan tidak bermasalah.

Ikhwati fillah...
Karenanya, marilah berhenti sejenak untuk menengok kembali jejak-jejak langkah diri dan keluarga kita. Kita bukan pribadi yang sempurna, itu jelas. Kita banyak meninggalkan kesalahan dan kegundahan di belakang sana, itu mungkin. Yang pasti, kita masih mempunyai mimpi besar yang harus kita realisasikan. Peradaban yang islami. Mimpi itu akan terasa lebih indah menjadi kenyataan, jika tangan-tangan kita ikut andil di dalamnya.

Mengutip apa yang ditulis Ustadszah T. Farida Rachmayanti, jangan bermimpi tentang bangsa yang hebat sebelum kita bisa mencetak keluarga-keluarga yang hebat. Dan jangan pula berkhayal tentang bangsa yang kuat sebelum kita mampu membangun keluarga-keluarga yang kuat.

Maka tengoklah sebentar, ada apa dengan keluarga kita?


Jakarta, 09/05/08

Kamis, 08 Mei 2008

Jika engkau bertanya kepadaku

Pagi ini saya sedang rindu dengannya. Ada sedikit kegalauan ketika akhir pekan kemaren saya meninggalkan dia dan anak-anak. Kutuliskan bait-bait puisi ini khusus untuknya. Sebagai penawar kerinduan dalam dada ini.


Jika engkau bertanya kepadaku

Jika engkau bertanya kepadaku tentang cinta
Aku ingin mengajakmu melihat lilin dan api
Aku rela menjadi lilin itu
Agar api cintamu
terus hangat dan menerangi

Jika engkau bertanya kepadaku tentang cinta
Aku ingin mengajakmu menatap bintang
Aku rela menjadi bintangmu
Yang selalu setia
menemani sang bulan
Dalam malam-malam sepinya

Jika engkau bertanya kepadaku tentang cinta
Aku ingin mengajakmu kepada pelangi
Jangan paksa aku memberimu satu warna
Karena warna-warni pelangi itulah
Yang membuatnya indah

Jika engkau bertanya kepadaku tentang cinta
Aku ingin menggandeng tanganmu untuk melihat mentari pagi
Aku akan menjadi mentari pagimu
Yang terus setia menyapa sang embun pagi
Di setiap paginya


Jakarta Pancoran, 08/05/2008

Balada Ai Lav Yu

by masker

“Opssss!” Tiba-tiba saja saya mengernyitkan dahi saya ketika sore itu saya melakukan kebiasaan rutin saya, memeriksa buku catatan sekolah Ammar, anak sulung saya yang duduk di bangku kelas satu sekolah dasar.

Bukan karena Ammar mendapat nilai buruk dalam pelajarannya, bukan pula karena ada pesan tertulis dari Bu Guru, yang memang biasanya dituliskan di baris akhir pekerjaan sekolah anak-anak didiknya, sebagai penyemangat atau koreksi pelajaran.

Di sampul buku belakang bagian dalam, kebetulan beberapa lembar lagi buku tulis tersebut hampir habis terpakai, saya menemukan gambar corat-coret kas anak kecil kemudian dalam sebuah kotak tertulis, “Kholis (gambar hati) Haya”. Agak di bawah juga ditulis lagi “Kholis (gambar hati) Arifa”. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa kira-kira yang ada di benak anak saya yang belum genap umur 7 tahun itu ketika dia menulisnya.

Malamnya tidak sabar saya sampaikan hal itu ke istri saya, sebagai bahan diskusi. Setelah melihat sebentar, istri saya komentar, “Dulu waktu ummi kelas 6 SD saja ummi belum tahu lho lambang kayak begitu, apalagi maksudnya.”

“Itu dulu Mi, sekarang kan jaman dah lain.” Jawab saya. “Coba ntar kita tanya langsung ke Ammar apa jawabnya. Tapi kita pura-pura gak tahu aja.” Begitu kesepakatan kami malam itu.

Mula-mula istri saya pura-pura membuka buku catatan tersebut di depan anak saya yang sedang bermain-main. “Mas Ammar, kok ini ada gambar bagus ya, ada tulisannya lagi, kho-lis terus gambar hati ha-ya, apasih Mas artinya?” Begitu melihat tulisan tersebut, kelihatan Ammar senyum-senyum malu, “Ya gitu itu maksudnya Mi” jawabnya. “Gitu itu gimana, apa artinya Kholis temennya Haya gitu?” tanya istri lebih lanjut. “Bukan, ya pokoknya gitu.” Jawabnya agak ogah-ogahan.

“Oh iya, mungkin ai-av-yu ya, kayak bantal ai-lav-yu nya Dik Zahra yang warna pink yang Ummi belikan dulu itu?” Istri saya memancing. Saya lihat anak saya cuma mengangguk sambil terus bermain.

“Mas Ammar boleh kok nulis kayak gitu, tapi sebelumnya ditulis juga misalnya Ammar (gambar hati) Alloh, Ammar (gambar hati) Rosulullah, Ammar (gambar hati) Ummi dan Abi, Ammar (gambar hati) Adik, Ammar (gambar hati) Kholis, dan seterusnya gitu.” Mendengar istri saya mengatakan “Ammar (gambar hati) Kholis” anak saya protes, “Kholis kan laki-laki.”

“Lah, kan Rosul juga laki-laki, Abi juga laki-laki, Dik Ghifar juga laki-laki. Kan tanda hati itu maksudnya tanda sayang, jadi artinya mas Ammar sayang ama Kholis, karena Kholis teman bermain di sekolahan, begitu.” Jawab Istri saya. “Iya deh, iya” begitu kata Ammar.

Saya berfikir, sungguh perkembangan informasi sekarang ini sangat masif sekali. Kita sebagai orang tua harus terus memantau perkembangan anak-anak kita, bukankah anak-anak kita itu amanah dari Alloh yang harus kita jaga dengan penuh tanggung jawab? Miris hati saya kalo melihat di teve berita-berita tentang perilaku pelajar sekarang yang telah terlalu jauh menyimpang, seperti yang terjadi di cianjur, bandung dan jakarta apalagi.

Ya Alloh, bantulah kami mendidik dan menjaga anak-anak kami, amanah yang telah engkau titipkan kepada kami ini.

(Tulisan 2 tahunan yang lalu, sekitar tahun 2005/2006)

Energi = m.g.h

By masker

Masih ingat rumus fisika ini waktu kita di bangku sekolah dulu? Energi adalah hasil dari perkalian massa (m) dan grafitasi (g) dengan faktor ketinggian (h). Biasanya massa dan grafitasi diasumsikan tetap atau konstan sehingga di sini berlaku bahwa energi (E) suatu obyek akan tergantung dan berbanding lurus dengan faktor ketinggian obyek tersebut.

Saya tidak hendak menguji kemampuan fisika anda karena barangkali itu sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan yang anda jalani sekarang. Saya juga tidak sedang bernostalgia dengan nilai fisika saya yang sangat bagus kala di kelas satu dan buruk di dua tingkat berikutnya, waktu saya sma dulu.

Saya hanya ingin sedikit mengajak anda untuk membaca rumus ini dengan kacamata yang lain. Energi (E) di sini saya baca sebagai energi kebaikan yang bersemayam dalam diri kita, yaitu energi dakwah dan energi keshalihan kita. Faktor berikutnya adalah m (maknawiyah), g (ghiroh), serta h (rentang waktu kita beraktifitas dakwah).

Ikhwah sekalian, sebagaimana rumus asalnya, saya berasumsi bahwa anda semua adalah orang-orang yang bisa menjaga kestabilan maknawiyah dan ghiroh keislaman anda. Jika ini benar, maka sesungguhnya semakin jauh dan semakin lama anda menapaki jalan dakwah ini maka seharusnya ia akan melahirkan energi dakwah yang semakin besar pula dalam diri anda. Energi ini adalah energi untuk selalu melahirkan kebaikan di lingkungan kita. Energi yang akan mendorong kita untuk tetap tegar di jalan dakwah para nabi ini, walau mungkin berbagai caci maki dan fitnah datang menghadang.

Saya hanya kembali terbayang dengan para sahabat nabi yang ketika usia mereka yang semakin tua sehingga kekuatan mereka pun tidak seperti di kala mudanya, namun tetap mempunyai energi dan semangat untuk selalu berdakwah dan berjihad di jalan ALLOH. Ingat sebuah kisah ketika ada mobilisasi jihad di masa kekhalifahan, seorang bapak yang sudah uzur usianya sampai harus berdebat dengan anak-anaknya hanya untuk menentukan siapa yang layak berangkat? Masing-masing ngotot ingin berangkat berperang, sehingga akhirnya dengan berat hati anak-anaknya tersebut merelakan sang bapak yang berangkat.

Atau pun para salafus shalih, ulama-ulama terdahulu dan juga ulama-ulama mujahid yang datang kemudian, yang saya banyak menemukan pribadi-pribadi yang sampai masa senjanya mereka selalu bisa menjaga energi keshalihannya. Seiring dengan semakin bertambahnya usia identik dengan semakin bertambahnya pengalaman seseorang dalam bergelut dengan asam garam perjuangan. Sehingga ketika hal ini ditopang dengan kondisi maknawiyah yang kokoh dan terjaga, sekaligus dipupuk dengan ghiroh yang senantiasa menyala dalam dada, inilah kiranya rahasia para mujahid tersebut dalam memelihara energi kebaikannya.

Jika semakin usia kita bertambah ternyata energi kebaikan dan keshalihan kita ternyata tak kunjung meningkat atau bahkan malah semakin surut, maka waspadalah. Waspadalah. Waspadalah. Boleh jadi kekonsistenan anda dalam menjaga kestabilan faktor m dan g dalam diri anda masih kurang. Mari kita berbenah kembali.

(dieja lagi saat langkah-langkah sedang memberat)

Selasa, 06 Mei 2008

Kelelahan Jiwa

Kelelahan Jiwa

Jika hati lelah
Maka sempatkan untuk memandang
bintang gemintang yang bertaburan
di atas sana

maka yakinlah
akan kau dapatkan
secercah lapang dalam hatimu

luasnya hamparan yang terbentang
di hadapanmu
seakan membuka kembali
mata hatimu
bahwa
betapa agung dan luas kekuasaan-Nya

Jiwaku
Keletihan yang kini kau rasa
Tak sebanding dengan
Kemurahan yang telah kau dapat
Dari-Nya

Lelahku
Biarlah engkau menjadi saksi
Bahwa
Perjalanan ini memang harus dilewati
Bukan untuk dihindari

Lelah
Jiwa
Pandanglah bintang
Di atas sana

Jakarta, 16:30 06/05/2008

Menulislah…

Menulislah…

Ya, menulislah kawan. Karena dengan menulis, sungguh engkau akan merasa hidup terus. Tulisan mewakili apa yang berputar dalam pikiran dan hati kita. Dengan menulis, maka ia seakan menjadi prasasti yang siap membawa pikiran dan hati kita ke dimensi waktu yang akan datang.

Bukan perkara yang sulit. Tapi juga bukan perkara yang enteng. Yang dibutuhkan adalah kemauan. Karena memang, untuk menuangkan sebuah ide menjadi tulisan dibutuhkan keseriusan tersendiri dengan ditambahi sedikit mood.

Dengan menulis, semua yang terpendam dalam benak pikiran dan tersimpan jauh dalam relung hati kita terdalam, dapat mengalir tanpa harus ada ganjalan. Selalu ada perasaan tersendiri ketika semua yang tidak bisa terucap dengan lisan, bisa kita tuangkan dalam bentuk tulisan.

Dengan menulis, orang pun akan paham dengan pola pikir kita. Dengan karakter kita. Bahkan mungkin sifat dan kecenderungan kita pun akan terbaca dari tulisan-tulisan kita. Ibaratnya, tulisan kita mencerminkan ruh yang bersemayam dalam raga kita.

Anda bisa melihat, orang-orang hebat bisa terlihat dari apa yang mereka tulis. Karena itulah gagasan-gagasan mereka. Karena itulah pikiran dan ide-ide mereka. Karena itulah letupan-letupan semangat dan asa yang ada dalam jiwa mereka.

Dengan menulis, pun kita bisa berlatih mengontrol dan mengevaluasi kepribadian kita. Karena tulisan-tulisan yang terdokumentasi, akan menjadi bukti otentik cerminan keadaan jiwa kita saat itu. Sehingga bisa kita evaluasi kembali.

Dan ingat pula, dengan menulis anda punya kesempatan untuk memberi pencerahan kepada banyak orang dan lebih banyak orang. Bahkan bisa jadi lintas generasi. Lihatlah para ulama yang telah meninggalkan warisan dalam bentuk ilmu-ilmu melalui kitab-kitab karangan mereka. Betapa mencengangkan kalo kita membayangkan pahala yang akan mereka peroleh karena amal berupa ilmu yang bermanfaat itu.

Karena itu, jangan ragu menulis. Tuangkan ide-ide, gagasan-gagasan, mimpi-mimpi, keinginan-keinginan anda segera. Karena boleh jadi, kesuksesan kita di masa datang sedang kita rancang dan bangun melalui kerangka-kerangka sederhana ini.

Mari mencoba.