Sahabatku kelas 1 SMA sedari kemarin berkirim sms kepadaku, beberapa kali aku terlambat menjawabnya. Sudah lebih dari 20 tahun kami tidak berjumpa. Bahkan jujur, sampai saat ini aku masih belum terbayang yang mana orangnya. Rupanya ia juga tinggal di Jogja. Di daerah Maguwo tepatnya. Pagi tadi ia bertanya padaku, apakah hari ini aku di rumah. Ia ingin bersilaturahim.
Aku agak keteteran sejak asisten rumah tanggaku mengajukan cuti 3 minggu untuk menikah. Betul aku ditemani bapak mertuaku, namun tetap saja tetek bengek kerumahtanggan harus aku yang handle. Dari kebersihan dan kerapian rumah, mempersiapkan anak-anak sekolah dari membangunkan hingga memastikan sarapannya, dan pernik-pernik kecil lainnya.
Siang selepas menjemput ragilku, aku smptkan membalas sms nya. Aku jelaskan keadaanku bahwa jika hari sabtu, aku disibukkan kegiatan antar jemput anak. Dia maklum. Untuk mengobati rasa bersalahku, maka aku telepon dia. Baru 3 bulan rupanya dia menetap di Jogja. Namanya Hanggoro Cahyo Adi. Setelah sebelumnya sejak tahun 1994 katanya, ia terdampar di Balikpapan.
"Hidup ini seperti aliran air yang akan menuju ke muaranya. Maka jernihkan alirannya..."
Sabtu, 31 Januari 2015
Jumat, 30 Januari 2015
Laki-laki harus Kuat Logikanya
Ketika
SD kelas enam, kami diberi tugas untuk menuliskan karangan tentang cita-cita
kami. Kelompok belajarku yang terdiri 4 orang, aku, Wid, Tri dan Tejo malam
harinya segera menggelar rapat paripurna untuk merumuskan tugas itu. Malam itu
rumahku dipakai rapat sebuah organisasi pemuda di desaku, dimana kakak
perempuan pertamaku sebagai ketua di organisasi itu. Aku dan kelompok
belajarku, belajar di bilik rumahku yang lain. Dengan penerangan seadanya.
Salah
seorang pengurus organisasi itu, sebut saja Mas Gepeng, ikut nimbrung di rapat
paripurna kami. Ia kuliah di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) seingatku. Tanpa
kami minta, maka kemudian ia diktekan untuk kami kalimat demi kalimat.
Cita-citaku, itu judul karangannya. Kalimat pembukanya aku masih ingat, tidak
lazim untuk seusia kami. “Sebagai seorang manusia…” Karena, biasanya anak-anak
ketika membuat karangan, dimulai dengan kalimat, “Pada suatu hari…” Hee..
Kamis, 29 Januari 2015
Bersyukur dengan Cara Sederhana
Dengan sebuah nampan kecil yang telah dilapis beberapa helai
daun pisang, sebongkah nasi putih ditaruh di tengah-tengahnya. Di sekeliling
nasi itu ditata sayur gudangan lengkap dengan bumbunya. Ada sedikit taburan
kedelai yang telah digerus halus. Sebutir atau kadang dua butir telur rebus,
diletakkan di salah satu sisinya. Irisan kecil tempe dan tahu yang telah
digoreng kering serta sambal kentang menjadi pelengkap berikutnya.
Itu adalah nasi bancakan ala ibuku, seorang perempuan
sederhana yang telah melahirkan, membesarkan dan juga mendidikku dengan
cara-caranya yang sederhana. Di sore hari itu, Jumat Pahing, ibuku biasanya
sudah memanggil teman-teman sebayaku. Kami duduk mengitari nampan tersebut. Ibuku
dengan sigap membagi nasi dan gudangan itu ke pincukan-pincukan kecil. Butiran
telur yang ada dibagi sejumlah kami yang datang.
Rabu, 28 Januari 2015
Obsesif Kompulsif
Pernahkah kita mendengar kata obsesif kompulsif? Bagi
penggemar tetralogi Laskar Pelangi, pada sekuel Sang Pemimpi, tentu tidak lupa
dengan satu sosok yang bernama Jimbron. Ia gagap, tapi ulet. Jimbron sangat
menyukai kuda. Diceritakan bahwa dalam sebuah film di televisi balai desa yang
ditonton Jimbron seminggu sebelum ayahnya wafat, tampak seseorang membawa orang
sakit untuk diobati dengan mengendarai kuda secepat angin sehingga orang itu
dapat diselamatkan.
Barangkali Jimbron menganggap nyawa ayahnya dapat tertolong
jika ia membawa ayahnya ke Puskesmas dengan mengendarai kuda. Maka Jimbron
segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Sangat cinta. Tak ada satu pun hal
lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron selain kuda. Apa pun yang
berhubungan dengan kuda, segera menarik perhatiannya. Maka tulis Andrea Hirata,
“Jimbron terobsesi pada kuda, penyakit gila nomor 14, Obsesif Kompulsif.”
Selasa, 27 Januari 2015
Kenangan akan seorang Sahabat sekaligus Guruku
Gtalk 07/04/10
16.12 Ragil Kuncoro: assalamu 'alaikum
16.13 saya: wa'alaikumussalam wrwb. Pripun pak, ada kabar baru? hehe..
16.21 Ragil Kuncoro: apa khabar. kangen sama antum. kangen sama romantisnya. kalau lihat antum pengin segera peluk istri. ha ha ha
Aku tidak ingat persis kapan mengenal beliau. Mungkin di
kisaran tahun 2002. Aku pertama kali mengenalnya melalui forum diskusi di
instansiku, dimana aku menjadi salah satu moderator di sana. Aku tahu beliau sangat
senior di kalangan alumni perguruan tinggi kedinasanku. Meski kami belum pernah
saling bertemu, aku sudah merasa amat dekat dengan beliau. Hingga pada suatu
kesempatan beliau ke Jogja, beliau memintaku bertemu.
Aku ingat waktu itu, kira-kira tahun 2004, aku mengajak 3
atau 4 temanku untuk membersamai beliau, di RM Pring Sewu di Jalan Magelang. Rupanya
beliau juga mengajak temannya, Dr. Catur Sugiyanto (kalo tidak salah nama),
teman beliau waktu kuliah S2 di luar negeri dulu. Itu adalah saat aku pertama
kali berjumpa dengan beliau, setelah sekian lama berinteraksi berbagai
pengalaman di forum dunia maya. Kesan pertamaku, beliau pribadi yang sangat
hangat.
Senin, 26 Januari 2015
Pelupa Tingkat Dewa
Aku hendak ke masjid
untuk dhuha. Di depan lift, seorang anak muda langsung menghampiriku, "Mas
Keri, ya?" langsung dia menyapaku dan menjabat tanganku.
Aku agak tertegun, dia seperti begitu mengenalku. Aku tahu dia pegawai baru di kantor ini. Kira-kira sebulan ini dia mulai di sini.
Aku agak tertegun, dia seperti begitu mengenalku. Aku tahu dia pegawai baru di kantor ini. Kira-kira sebulan ini dia mulai di sini.
Beberapa hari lalu seseorang
teman di kantor mencolekku di line chat kantor kami, “Masker, ada anak baru
tuh? Dari Penampilannya keknya anggota pramuka. Kenal gak?” Aku jawab bahwa aku
tidak mengenalnya, dan aku janjikan nanti aku akan coba berkenalan dengan anak
itu.
Setelah bersalaman aku
tarik ke tempat yang agak lega. “Eh iya, kita pernah bertemu ya? Dimana?” aku
antusias menyambutnya.
“Iya mas, saya dulu
pernah ke rumah Mas Keri?” Gubrak! What?
Rabu, 21 Januari 2015
Kontemplasi Perjalanan
Sabtu dini hari, 16
Mei 2009, sesaat setelah lepas tengah malam.
Mungkin sekitar jam 2.00 an. Aku tidak tahu persis. Semua
penumpang kereta ini dibuai lelap. Tiba-tiba, “Braaaak…..!” Terjadi goncangan
hebat, suara besi beradu dengan besi berdecit hebat tanda telah dilakukan
pengeremen secara keras dan mendadak. Menciptakan aroma hangus. Tiba-tiba
sesaat kemudian udara di gerbong menjadi memutih, seolah asap yang pekat
menutup pandanganku yang masih nanar karena mendadak tergagap dari lelapku.
Gelap.
Yang ada dalam pikiran para penumpang termasuk aku adalah segera keluar dari
gerbong kereta. Sesuatu telah terjadi. Dan bau gosong itu sangat mirip bau
sesuatu yang terbakar. Dan sesuatu yang gelap pekat itu tentu asap. Maka kami
berebut keluar. Saling mencoba untuk tetap tertib di tengah kepanikan itu. Kereta
telah berhenti. Entah dimana, di luar pun tampak gelap. Dan kami harus meloncat
cukup tajam ketika keluar dari gerbong kami.
Selasa, 20 Januari 2015
Cara Kembali yang Indah
“Pak, masa sih sarang P*S dipakai untuk acara P*B. Hebaaat
sekaliii..” Sekilas aku perhatikan wajahnya di seberang sana tampak masgul. Ia mengirimkan
sms saat rapat yang aku pimpin itu. “Tidak apa-apa, Pak. Sy ingin menunjukkan bahwa
masjid ini terbuka untuk semua golongan.” Aku jawab sms nya, mencoba
menenangkannya. Aku memang sedang merencanakan sebuah kegiatan yang sangat NU,
pengajian akbar dengan mengundang seorang Habaib. Aku tantang anak-anak IKRAM,
organisasi remaja masjid, untuk menghandle acara itu. Dan mereka sanggup.
Ia sosok yang sederhana. Aku panggil ia, Pak Moh. Rambutnya telah
memutih. Di masa mudanya, ia dikenal akrab dengan dunia malam. Tapi yang aku
tahu, ia insyaf di masa tuanya. Aku ingat ketika yayasan kami memutuskan
mendirikan masjid, dan juga sekolah di dekat lingkungan tempat tinggal kami, ia
mengajukan diri agar bisa membantu di sana. Maka kemudian ia menjadi muadzin
sekaligus penjaga sekolah. Sampai kemudian periode ketiga ketakmiran aku pegang,
ia tetap menjadi muadzin setia kami. Suaranya yang lantang dan merdu menggaung
setiap waktu adzan berkumandang.
Jumat, 16 Januari 2015
Ikatlah Dengan Menuliskannya
“Le, aku ninggal bubur karo sayur neng kursi ya.” Dari ruang
tengah, suara seorang ibu-ibu yang sangat aku kenal terdengar dari terasku pagi
tadi. Pagi-pagi sekali. Aku sedang mempersiapkan ragilku untuk mandi. “Nggih,
nuwun nggih, bu.” Saya coba mengejarnya dengan membuka pintu secepatnya, tapi
sosoknya sudah di kejauhan. Maka aku tenteng ke dalam satu bungkusan keresek,
berisi sayur satu plastik dan bubur dua bungkus. Semua masih hangat.
Ini sudah yang kedua kali pemberian di pagi buta itu dalam
beberapa hari terakhir ini, dengan mengantarkannya ke teras rumahku. Pemberian
secara langsung dengan mencegatku sepulang sholat subuh aku bahkan lupa
menghitungnya sudah berapa kali. Kadang buah-buahan, di lain waktu lauk-pauk,
dan tak jarang sekedar jajanan atau makanan kecil. Anak dan menantu beliau
adalah Pembina yayasan tempat aku ikut sedikit berperan di sana dulu.
Dst.. Dst.. Dst.. (memberilah maka engkau akan mendapat
lebih)
Selasa, 13 Januari 2015
Deal With The Pain : A Tribute for Scolioser, Teruslah Semangat Temans…
Bagi para scolioser (dan pemilik kelainan tulang punggung
lainnya), back pain (nyeri punggung, pegal, dan sejenisnya) seakan menjadi menu
keseharian mereka. Jika malam mulai memeluk, biasanya rasa itu semakin datang
terasa. Aktifitas seharian memang tidak bisa selalu dikontrol agar ramah
terhadap kondisi tulang punggung mereka. Di awal-awal rasa sakit itu muncul, sangat
mungkin menimbulkan rasa frustasi. Karena hanya ketika tidurlah rasa itu seolah
hilang.
Aku bersyukur di awal-awal kesadaran adanya kelainan itu,
dan di tengah waktu memaknai dan meresapi rasa sakit itu, aku dipertemukan
dengan teman-teman yang mempunyai keistimewaan yang sama itu. Meskipun hanya di
media maya. Aku memang menganggap itu sebagai kelainan, tapi sekaligus juga
keistimewaan di sisi lain. Karena di tengah keterbatasan fisik dan rasa sakit
yang muncul setiap saat, memunculkan pribadi-pribadi yang istimewa.
Senin, 12 Januari 2015
Lampu Hijau Kehidupan
Di perempatan Condongcatur dari jauh, dari jarak sekitar 300 meter, aku melihat lampu itu menyala hijau. Aku hafal jalan ini. Setiap hari aku melewatinya. Maka segera aku naikkan kecepatan kendaraanku. Aku yakin dengan kekuatan dan kecepatan lari motor ini. Aku yakin aku cukup waktu untuk sampai dan melewati lampu itu. Jalanan tidak cukup padat pagi ini. Beberapa pengendara lain telah aku dahului. Di bawah tiang lampu itu sekilas aku liat argo hitungan mundurnya. Di angka 1 menjelang nol. Dan aku berhasil melewatinya.
Aku suka menikmati setiap jenak perjalanan yang aku lakukan. Ada banyak pelajaran dan hikmah selalu aku temukan dalam rentang waktu ini. Ada pelajaran tentang kehati-hatian dan kecerobohan. Ada pelajaran tentang kesabaran dan ketergesaan. Dan pelajaran tentang kedisiplinan, keruwetan, toleransi, kebesaran hati, kearoganan, keegoisan pun lengkap tersaji di jalanan. Tadi aku mendapatkan satu pelajaran penting. Memaknai kesempatan.
Aku suka menikmati setiap jenak perjalanan yang aku lakukan. Ada banyak pelajaran dan hikmah selalu aku temukan dalam rentang waktu ini. Ada pelajaran tentang kehati-hatian dan kecerobohan. Ada pelajaran tentang kesabaran dan ketergesaan. Dan pelajaran tentang kedisiplinan, keruwetan, toleransi, kebesaran hati, kearoganan, keegoisan pun lengkap tersaji di jalanan. Tadi aku mendapatkan satu pelajaran penting. Memaknai kesempatan.
Selasa, 06 Januari 2015
Kepingan-kepingan Memori yang Mengundang Makna
Persis seperti hari kemarin aku menjejakkan diri di kantor
ini. 07.30. Sepanjang perjalanan tadi memoriku berputar. Seperti kaset yang memutar
kembali, mengalirkan cerita-cerita lama yang tiba-tiba bermunculan seperti
tunas-tunas yang tumbuh di musim hujan.
Aku masih ingat. Aku masih ingat betul dialog dua anak kecil
yang sangat-sangat naïf dan lucu, kira-kira 33th yang lalu. “Kamu ikut sakit
gak kalau aku tertusuk duri?” tanyanya. Aku (kecil) menjawab singkat, “Iya.”
“Aku juga ikut sakit kalau kamu tertusuk duri.” Lanjutnya. Di depan rumahku dulu
ada pohon jeruk yang menjulang tinggi. Rindang. Oleh orang tuaku, di bagian
pangkal cabang batang yang kokoh diikatkannya tali menjuntai, yang difungsikan
sebagai mainan ayunan bagi anak-anak kecil seusia kami waktu itu.
Senin, 05 Januari 2015
Kacamata: Tentang Makna Keberadaan dan Keberartian
Untuk ke sekian kalinya malam ini benar-benar aku hanya bisa
memejamkan mata kurang lebih satu jam. Tiba-tiba saja alarm sudah berbunyi
memanggil-manggil. Pukul 03.30. Setengah gontai aku bergegas keluar kamar. Ternyata
sulungku sudah terbangun menonton tayangan sepak bola tim kesayangannya, Barcelona.
Kali ini lawannya adalah Real Sociedad. Sekilas aku lirik skornya, 1-0 untuk
Real Sociedad. Yes! Barca kalah. Terus terang Real Madrid adalah tim yang aku
dukung. El Barca adalah musuh bebuyutan El Real. Fyuuuh.. J
Kuambil sepiring nasi merah. Di meja makan kulihat masih ada
potongan kecil daging ayam goreng sisa semalam. Alhamdulillah. Segelas air
putih dan botol madu pun ikut bersanding menemani. Aku ingat, Real Madrid
bukankah telah bertanding lebih dulu tadi malam melawan Valencia? Berapa
skornya? Ah.. lupakan sementara. Aku harus segera melahap menu pagi ini dan
memanfaatkan sepertiga waktu yang tinggal sedikit lagi. Tiga butir obat ikut
mengalir ke perutku. Dua semprotan Nasal Spray pun menyapa hidungku. Bismillah..
semoga menjadi hari yang ringan.
Langganan:
Postingan (Atom)