Kamis, 18 September 2008

Semoga Hidayah Itu Kekal

Sebut saya namanya Mas Darso. Seorang lelaki sederhana tetangga rumah di kampung saya. Pekerjaan utamanya adalah tukang batu. Orangnya sederhana dan tidak neko-neko. Untuk kegiatan kemasyarakatan hampir selalu dia menjadi kelompok yang terdepan. Di lingkup RW dia cukup berperan, di lingkup RT lebih lagi. Orangnya tidak banyak biocara tapi jika sudah bekerja seperti tidak kenal lelah.

Dua kali saya meminta keahliannya untuk membenahi rumah saya. Pertama kali adalah saat merapikan kamar mandi rumah saya. Dan yang adalah kedua saat membuat garasi di samping rumah. Pekerjaannya halus. Kerjanya rapi. Masalah jam kerja pun bahkan untuk ukuran orang desa, dia layak diacungi jempol. Pagi belum jam 08.00 dia sudah datang. Saat istirahat siang, dia hanya sekedar menggunakan waktu secukupnya untuk pulang makan siang dan istirahat sejenak. dan belum pukul 13.00 sesudahnya dia sudah datang lagi untuk bekerja sampai pukul 16.00 sore. Ketika minggu pertama tahu upah yang sengaja saya berikan di atas rata-rata upah tukang, pekan berikutnya dia menambah jam kerja bahkan sampai pukul 17.00.

Di lingkup tetangga dia dikenal juga sebagai orang yang ringan tangan. Jika ada yang membutuhkan bantuannya maka ia segera menyanggupinya, sepanjang dia mampu. Pernah ketika awal saya pindah di kampung ini, waktu itu jam menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah saya. Di tengah keterkejutan saya, ketika pintu terbuka yang terlihat adalah wajah dia.

”Mohon maaf, Pak. Maaf mengganggu istirahatnya.” katanya sopan, dengan bahasa jawa halus.

”Oh, tidak apa-apa, Mas. Ada apakah gerangan?” tanya saya.

”Begini Pak. Mas Joko malam ini batu ginjalnya kambuh. Harus segera di bawah ke rumah sakit. Minta bantuan Bapak untuk mengantar ke rumah sakit.” jelasnya.

Mas Joko adalah salah satu tetangga kami. Jarak rumah saya dengan rumah Mas Joko di bandingkan dengan jarak rumah Mas Darso ke rumah Mas Joko, hampir sama. Rupanya istri Mas Joko yang meminta tolong ke Mas Darso untuk memintakan tolong ke saya agar bersedia mengantar ke rumah sakit. Dan karena Mas Darso lah, akhirnya saya berkesempatan untuk melakukan amal baik di pagi buta itu.

Mas Darso termasuk orang yang suka melawak. Dari sisi usia mungkin usianya di atas saya 2 atau 3 tahunan. Kalo bicara kadang tidak basa-basi. Apa adanya. Bahkan dengan saya pun semenjak saat itu makin akrab saya. Sering saya diledeknya, misal saat bertemu saya di jalan di suatu malam, ketika saya tidak datang rapat RT karena lebih berat untuk mengisi liqo’. “Mau dicoret dari daftar warga RT 07 apa ya?” ledeknya waktu itu. Saya hanya menanggapinya dengan tertawa.

Dari semua itu, hanya satu hal yang sangat ingin saya saksikan. Yaitu melihat dia sholat. Saya tidak tahu persis di rumah dia sholat atau tidak. Tapi dari sahabat dekatnya, menginformasikan bahwa dia belum menjalankannya. Selama ini bukan dia tidak mau datang ke mesjid yang kebetulan jaraknya 30 meteran dari rumahnya. Bahkan ketika rapat-rapat pembentukan panitia ramadhan, panitia idul qur’ban, atau ketika rapat untuk pembangunan ataupun perbaikan masjid, hampir dia selalu datang dan berpartisipasi. Tapi untuk sholat atau sekedar datang kajian, saya belum pernah melihatnya.

Empat tahun saya tinggal di kampung ini, belum pernah sekalipun saya menjumpainya sholat. Meski sekedar sholat jumat. Atau pun sholat idul raya. Hingga akhirnya, saat sabtu kemaren kami mengadakan buka puasa bersama di masjid kami. Alhamdulillah Allah berikan saya dan istri rejeki sehingga bisa ikut membantu program kegiatan masjid hari itu. Saya tidak tahu bagaimana ucapan panitia ketika mengundang jama’ah untuk hadir pada acara buka puasa itu. Yang pasti, Mas Darso tiba-tiba bersedia hadir di kajian buka puasa sore itu. Hati saya sedikit gerimis. Dari luar beberapa kali saya perhatikan dia tekun memperhatikan tausiyah dari pembicara.

Kejadian itu berlanjut malam harinya. Saat sholat isya’ dan taraweh ternyata saya menemukan wajahnya di antara jama’ah malam itu. Seusai sholat dia sempat mendatangi dan menyalami saya. Dalam hari saya hanya bisa berdoa, semoga apa yang dia awali di ramadhan ini terus dia jaga. Semoga hidayah yang telah dia dia rintis di bulan ini akan terus tersemai di bulan-bulan mendatang.

             •  • 
"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)".

Mengapa Harus Satu Juz Setiap Hari ?

"Hendaklah Anda memiliki wirid harian membaca al-Qur'an
minimal satu juz setiap hari, dan berusahalah sungguh-sungguh agar
jangan sampai mengkhatamkan al-Qur'an melewati satu bulan."
(Hasan al-Banna dalam Majmuatur Rasail –risalah pergerakan- )

Saudaraku, sadarkah kita bahwa al-Qur'an diturunkan oleh Allah kepada manusia agar menjadi sumber tazwid (pembekalan) bagi peningkatan ruhiy (spiritualitas), fikri (pemikiran) serta minhaji (metodologi da'wah) ? Sehingga jika sehari saja kita jauh dari al-Qur'an, berarti terputuslah dalam diri kita proses tazwid tersebut? Sadarkah kita bahwa yang akan terjadi adalah proses tazwid dari selain wahyu Allah; baik itu dari televisi koran, majalah, maupun yang lainnya yang sesungguhnya akan menyebabkan ruh yang ringkih dan keyakinan yang melemah terhadap fikroh dan minhaj ? Padahal tiga unsur ini sesungguhnya menjadi sumber energi untuk berdakwah dan berharokah. Sehingga melemahlah semangat beramal saleh dan hadir dalam halaqoh, padahal halaqoh merupakan pertemuan untuk komitmen beramal saleh.

Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau proses tazwid itu telah terputus sepekan, dua pekan, bahkan berbulan-bulan. Semoga Allah menjaga kita dari sikap menjadikan al-Qur'an sebagai sesuatu yang mahjuran (ditinggalkan).

   •      

Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini suatu yang ditinggalkan ". (Q.S. Al-Furqan ayat 30)

Sesungguhnya ibadah tilawah satu juz ini sudah tertuntut kepada manusia sejak dia menjadi seorang muslim. Oleh karena itu, cukup banyak orang-orang yang tanpa tarbiyah atau halaqoh, namun memiliki komitmen tilawah satu juz setiap hari, sehingga setahun khatam 12 kali (bahkan lebih, karena saat bulan Ramadhan dapat khatam lebih dari sekali).

Lalu, bagaimana dengan kita, ashhabul (aktifis) harokah wad da'wah ? Sudahkah keislaman kita membentuk kesadaran iltizam (komitmen) dengan ibadah ini ? Ketika kita melalaikannya, dapat diyakini bahwa kendalanya adalah dha'ful himmah (lemah dan kurangnya kemauan), bukan karena tidak mampu melafalkan ayat-ayat al-Qur'an seperti anggapan kita selama ini. Yang harus dibentuk dalam hal ini bukanlah hanya sebatas mampu membaca, namun lebih dari itu, bagaimana membentuk kemampuan ini menjadi sebuah moralitas ta'abbud (penghambaan) kepada Allah, sehingga hal ini menjadi sebuah proses tazwid yang berkesinambungan sesuai dengan jauhnya perjalanan da'wah ini !

Dari sini kita menjadi faham, bahwa ternyata tarbiyah adalah sebuah proses perjalanan yang beribu-ribu mil jauhnya. Entah berapa langkah yang sudah kita lakukan. Semoga belum mampunya kita dalam beriltizam dengan ibadah ini adalah karena masih sedikitnya jarak yang kita tempuh. Jadi yakinlah, selama kita komitmen dengan proses tarbiyah, dengan seizin Allah kita akan sampai kepada kemampuan ibadah ini. Dan sekali-kali janganlah kita menutupi ketidak mampuan kita terhadap ibadah ini dengan berlindung di bawah waswas syaithan dengan bahasa sibuk, tidak sempat, acara terlalu padat dan lain sebagainya.

Sadarilah bahwa kesibukan kita pasti akan berlangsung sepanjang hidup kita. Apakah berarti sepanjang hidup kita, kita tidak melakukan ibadah ini hanya karena kesibukan yang tak pernah berakhir ?

Kita harus berfikir serius terhadap tilawah satu juz ini, karena ia merupakan mentalitas 'ubudiyah (penghambaan), disiplin dan menambah tsaqofah. Apalagi ketika kita sudah memiliki kesadaran untuk membangun Islam di muka bumi ini, maka kita harus menjadi batu bata yang kuat dalam bangunan ini. Al Ustadz Asy Syahid Hasan Al-Banna Rahimahullah begitu yakinnya dengan sisi ini, sehingga beliau menjadikan kemampuan membaca al-Qur'an satu juz ini sebagai syarat pertama bagi seseorang yang berkeinginan membangun masyarakat Islam.

Dalam nasihatnya beliau mengatakan, "Wahai saudaraku yang jujur dengan janjinya, sesungguhnya imanmu dengan bai'at (perjanjian) ini mengharuskanmu melaksanakan kewajiban-kewajiban ini agar kamu menjadi batu bata yang kuat, (untuk itu) : "Hendaklah Anda memiliki wirid harian membaca al-Qur'an minimal satu juz setiap hari, dan berusahalah sungguh-sungguh agar jangan sampai mengkhatamkan al-Qur'an melewati satu bulan."

Sebagaimana kita saat melakukan hijrah dari kehidupan Jahiliyyah kepada kehidupan Islamiyah harus banyak menelan pil pahit selama proses tarbiyah, maka jika kita sudah ber'azam (bertekad) untuk meningkat kepada kehidupan yang ta'abbudi (penuh nilai ibadah), maka kita harus kembali menelan banyak pil pahit tersebut. Kita harus sadar bahwa usia dakwah yang semakin dewasa, penyebarannya yang semakin meluas dan tantangannya yang semakin variatif sangat membutuhkan manusia-manusia yang Labinatan Qowiyyatan (laksana batu bata yang kuat). Dan hal tersebut kuncinya terdapat di dalam interaksi dengan al-Qur'an !

Sebuah proses tarbiyah yang semakin matang, dengan indikasi hati dan jiwa yang semakin bersih, secara otomatis akan menjadikan kebutuhan terhadap al-Qur'an mengalami proses peningkatan. Sejarah mencatat bahwa para sahabat dan salafusshalih ketika mendengar Rasulullah SAW bersabda, "bacalah al-Qur'an dalam satu bulan", maka begitu banyak yang menyikapinya sebagai sesuatu yang minimal.

Bayangkan dengan diri kita yang sering menganggap tilawah satu juz itu sebagai sesuatu yang maksimal ! Maka tugas yang sangat minimal inipun sangat sering terkurangi, bahkan tidak teramalkan dengan baik. Bagaimana mungkin kita dapat mengulang kesuksesan para sahabat dalam membangun Islam ini, jika kita tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan (walaupun kita sadar bahwa ibadah satu juz ini bukan satu-satunya usaha di dalam berdakwah) ?

Sebutlah Utsman Ibn Affan, Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi'i Radiyallahu Anhum. Mereka adalah contoh orang-orang yang terbiasa menyelesaikan bacaan al-Qur'annya dalam waktu tiga hari sampai satu pekan. Karena bagi mereka khatam sebulan terlalu lama untuk bertemu dengan ayat-ayat Allah. Jadi, jika seseorang rutin setiap bulan khatam, berarti hanya sekali dalam sebulan ia bertemu dengan surat Maryam, misalnya.

Dapat kita bayangkan seandainya kita berlama-lama dalam mengkhatamkan al-Qur'an. Berarti kita akan sangat jarang bertemu dengan setiap surat dari al-Qur'an !

Kalau saja tarbiyyah qur'aniyyah kita telah matang, kita akan dapat merasakan bahwa sentuhan tarbawi (pendidikan) surat al-Baqarah berbeda dengan surat Ali Imran. Begitu juga beda antara an-Nisaa, al-Maidah dengan surat yang lainnya. Sehingga ketika seseorang sedang membaca an-Nisaa, pasti dia akan merindukan al-Maidah. Inilah suasana tarbiyyah yang belum kita miliki yang harus dengan serius kita bangun dalam diri kita. Kita harus waspada, jangan sampai hidup ini berakhir dengan kondisi kita melalaikan ibadah tilawah satu juz. Sehingga hidup berakhir dengan kenangan penyesalan. Padahal sesungguhnya kita mampu kalau saja kita mau menambah sedikit saja mujahadah (kesungguhan) dalam tarbiyyah ini.

Kiat Mujahadah dalam Bertilawah Satu Juz :
1. Berusahalah melancarkan tilawah jika Anda termasuk orang yang belum lancar bertilawah, karena ukuran normal tilawah satu juz adalah 30 – 40 menit. Jika lebih dari itu, Anda harus lebih giat berusaha melancarkan bacaan. Jika melihat durasi waktu di atas, sangat logis untuk melakukan tilawah satu juz setiap hari dari waktu dua puluh empat jam yang kita miliki. Masalahnya, bagaima kita dapat membangun kemauan untuk 40 menit bersama Allah, sementara kita sudah terbiasa 40 menit atau lebih bersama televisi, ngobrol dengan teman dan lain sebagainya.
2. Aturlah dalam satu halaqah, kesepakatan bersama menciptakan komitmen ibadah satu juz ini. Misalnya, bagi anggota halaqah yang selama sepekan kurang dari tujuh juz, maka saat bubar halaqah ia tidak boleh pulang kecuali telah menyelesaikan sisa juz yang belum terbaca. Kiat ini terbukti lebih baik daripada 'iqob (hukuman) yang terkadang hilang ruh tarbawi nya dan tidak menghasilkan mujahadah yang berarti.
3. Lakukanlah qadha tilawah setiap kali program ini tidak berjalan ! Misalnya, carilah tempat-tempat yang kondusif untuk konsentrasi bertilawah. Misalnya di masjid atau tempat yang bagi diri kita asing. Kondisi ini akan menjadikan kita lebih sejenak untuk hidup dengan diri sendiri membangun tarbiyyah qur'aniyyah di dalam diri kita.
4. Sering-seringlah mengadukan keinginan untuk dapat bertilawah satu juz sehari ini kepada Allah yang memiliki al-Qur'an ini. Pengaduan kita kepada Allah yang sering, insya Allah menunjukkan kesungguhan kita dalam melaksanakan ibadah ini. Disinilah akan datang pertolongan Allah yang akan memudahkan pelaksanaan ibadah ini.
5. Perbanyaklah amal saleh, karena setiap amal saleh akan melahirkan energi baru untuk amal saleh berikutnya. Sebagaimana satu maksiat akan menghasilkan maksiat yang llain jika kita tidak segera bertaubat kepada Allah. Jika kita saat ini sering berbicara tentang ri'ayah maknawiyyah (memperkaya jiwa), maka sesungguhnya pesan Imam Syahid ini adalah cara me- ri'ayah maknawiyyah yang paling efektif dan dapat kita lakukan kapan saja dan dimana saja. Ditinjau dari segi apapun, ibadah ini harus dilakukan. Bagi yang yakin akan pahala Allah, maka tilawah al-Qur'an merupakan sumber pahala yang sangat besar. Bagi yang sedang berjihad, dimana dia membutuhkan tsabat (keteguhan hati), nashrullah (pertolongan Allah), istiqomah, sabar dan lain sebagainya, al-Qur'an tempat meraih semua ini. Kita harus serius melihat kemampuan tarbawi dan ta'abbudi ini, agar kita tergugah untuk bangkit dari kelemahan ini,

Kendala yang Harus Diwaspadai
1. Perasaan menganggap sepele apabila sehari tidak membaca al-Qur'an, sehingga berdampak tidak ada keinginan untuk segera kembali kepada al-Qur'an.
2. Lemahnya pemahaman mengenai keutamaan membaca al-Qur'an. Sehingga tidak termotivasi untuk mujahadah dalam istiqomah membaca al-Qur'an.
3. Tidak memiliki waktu wajib bersama al-Qur'an dan terbiasa membaca al-Qur'an sesempatnya, sehingga ketika merasa tidak sempat ditinggalkannyalah al-Qur'an.
4. Lemahnya keinginan untuk memiliki kemampuan ibadah ini, sehingga tidak pernah memohon kepada Allah agar dimudahkan tilawah al-Qur'an setiap hari. Materi do'a hanya berputar-putar pada kebutuhan keduniaan saja.
5. Terbawa oleh lingkungan di sekelilingnya yang tidak memiliki perhatian terhadap ibadah al-Qur'an ini. Rasulullah bersabda, "Kualitas dien seseorang sangat tergantung pada teman akrabnya."
6. Tidak tertarik dengan majlis-majlis yang menghidupkan al-Qur'an. Padahal menghidupkan majlis-majlis al-Qur'an adalah cara yang direkomendasikan Rasulullah agar orang beriman memiliki gairah berinteraksi dengan al-Qur'an.

Akibat dari Tidak Serius Menjalankannya
1. Sedikitnya barokah dakwah atau amal jihadi kita, karena hal ini menjadi indikasi lemahnya hubungan seorang jundi pada Allah. Sehingga boleh jadi nampak berbagai macam produktivitas dakwah dan amal jihadi kita, namun dikhawatirkan keberhasilan itu justru berdampak menjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
2. Kemungkinan yang lain, bahkan lebih besar, adalah tertundanya pertolongan Allah SWT dalam amal jihadi ini. Kalau jihad salafusshalih saja tertunda kemenangannya hanya karena meninggalkan sunnah bersiwak (menggosok gigi), apalagi karena meninggalkan suatu amal yang bobotnya jauh lebih besar dari itu ? Oleh karena itu, masalah berinteraksi dengan al-Quran selalu disinggung dengan ayat-ayat jihad, seperti surat al-Anfaal dan al-Qitaal
3. Terjauhkannya sebuah asholah (keaslian/orisinalitas) dakwah. Sejak awal dakwah ini dikumandangkan, semangatnya adalah dakwah bil qur'an. Bagaimana mungkin kita mengumandangkan dakwah bil qur'an kalau interaksi kita dengan al-Qur'an sangat lemah? Bahkan sampai tak mencapai tingkat interaksi yang paling minim, sekedar bertilawah satu juz saja ?
4. Terjauhkannya sebuah dakwah yang memiliki jawwul 'ilmi (nuansa keilmuan). Hakikat dakwah adalah meningkatkan kualitas keilmuan umat yang sumber utamanya dari al-Qur'an. Maka minimnya kita dengan pengetahuan ke –al-Qur'an- an akan sangat berdampak pada lemahnya bobot ilmiyyah diniyyah (keilmuan agama) kita. Dapat dibayangkan kalau saja setiap kader beriltizam dengan manhaj tarbiyyah yang sudah ada. Lebih khusus pada kader senior. Pasti kita akan melihat potret harokah dakwah ini jauh lebih cantik dan lebih ilmiyyah.
5. Terjauhkannya sebuah dakwah yang jauh dari asholatul manhaj. Bacalah semua kitab yang menjelaskan manhaj dakwah ini. Khususnya kitab Majmu'atur rosail (diterjemahkan oleh Ustadz Anis Matta dalam bahasa Indonesia dengan judul "Risalah Pergerakan") ! Anda akan dapatkan begitu kental dakwah ini memberi perhatian terhadap interaksi dengan al-Qur'an. Tidakkah kita malu ber-intima' (menyandarkan diri) pada dakwatul ikhwah, namun kondisi kita jauh dari manhaj-nya ?

Semoga kita tergugah dengan tulisan ini, agar kita lebih serius lagi melaksanakan poin pertama daripada wajibatul akh (kewajiban aktifis muslim) ini.

Al-Ustadz Al-Hafidz Abdul Aziz Abdur Rauf, Lc.

Senin, 08 September 2008

Mengusahakan Takdir Terbaik

Mengusahakan Takdir Terbaik

Sesungguhnya Allah menguji kita pada titik terlemah diri kita. Saya selalu mencoba mendalami kalimat ini. Bukan untuk mencari pembuktian bahwa Allah telah menguji saya pada titik terlemah diri saya. Tapi lebih kepada pencarian dimana titik terlemah diri saya itu, sehingga saya bisa selalu bersiap untuk datangnya ujian-ujian Allah.

Beberapa minggu yang lalu saya dan sahabat-sahabat baik saya saling bercerita dalam sebuah forum. Tepatnya di suatu sore selepas jam kantor, sambil menunggu berhentinya guyuran hujan dari langit yang merupakan pertanda rahmat Allah sedang tercurah sore itu, hingga waktu sholat maghrib menjelang. Semua mengalir dengan begitu saja. Seakan kejadian setahun sebelumnya kembali terpampang di hadapan kami.

Yang pasti, saya dan sahabat-sahabat saya tidak sedang berkeluh kesah. Cerita itu apa adanya. Cerita itu hanya bagian episode yang kebetulan ingin kami tampilkan di awal episode cerita-cerita kami. Saya malam harinya menyelesaikan cerita-cerita mereka, merangkumnya menjadi sebuah alur cerita yang saling terkait. Inilah salah satu saksi bisu kenangan kebersamaan kami.

Cerita itu apa adanya. Semua berawal dari keprihatinan kami. Apa pun, kami juga hanyalah bagian dari manusia yang juga tak pernah lepas dari sisi-sisi kemanusian kami. Ada idealita yang dulu terbayang indah. Tapi realita kemudian membuat sebagian asa kami terhimpit. Asa itu tetap ada, tidak hilang, hanya ia terhimpit oleh paradoks-paradoks yang begitu tampak nyata di hadapan kami.

Kami tidak lagi bisa bersuara. Hanya sudut-sudut hati kami yang saling berbicara. Dan semua itu bertemu pada satu frase kata. Frase kata yang mewakili satu bagian hidup yang terasa berangsur hilang dalam hati kami. Yah, frase itu bernama 'kehangatan keluarga'. Semenjak kami terjauhkan dari keluarga, suasana itu begitu makin terasa asing.

Kami selalu mencoba untuk selalu berarti bagi sekitar kami, karena dakwah nabi kami mengajarkan kami bahwa yang terbaik di antara manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain. Khairukum anfa'uhum linnaas. Dalam sudut-sudut sepi kami di sini pun, kami selalu diajari untuk memikirkan orang lain. Ya, pikiran kami tidak saja terfokus kepada pekerjaan kami dan keluarga kami, tapi juga kepada sesuatu yang lebih luas dan besar dari pada itu. Sehingga terlalu naif jika kami harus berkeluh kesah apalagi menangis di tengah hal-hal seperti itu.

Cerita itu apa adanya. Sekali lagi bukan keluh kesah. Karena saluran untuk menyampaikan aspirasi itu terasa buntu. Kami berpandangan bahwa harus ada yang mengambil cara yang pahit sekalipun, jika memang itu bisa membuat sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Jika pampangan-pampangan kebijakan para pimpinan telah jelas dan terarah, transparan dan konsisten, maka kami pun yakin di tataran bawah ini akan rela untuk melakukan yang terbaik bagi institusi ini.

Ya, titik itu bernama keluarga. Saya merasa bahwa di titik inilah salah satu titik terlemah diri saya, dari titik-titik lemah yang lain. Entah bagi sahabat-sahabat terbaik saya. Tetapi setidaknya, kami bisa saling beresonansi dalam tulisan-tulisan kami tersebut. Karena dalam keyakinan kami, visi kami dalam berkeluarga adalah sebagaimana termaktub dalam salah satu ayat qur'an. Quu anfusakum wa ahlikum naara. Yaitu menjaga diri kami dan keluarga kami dari api neraka. Sehingga, bagaimana kami bisa optimal melakukan tugas itu, jika keberadaan kami saling berjauhan?

Kami yakin, Dzat yang Maha Tahu tentu telah punya skenario untuk itu semua. Tetapi mengusahakan takdir yang terbaik buat diri dan keluarga adalah diperintahkan. Dibalik rasa syukur dan sabar kami, kami mencoba untuk membuat sebuah ikhtiar meraih takdir terbaik untuk kami dan keluarga kami terebut. Semoga Allah yang Maha Mendengar, merahmati dan meridhoi usaha kami. Dan kami akan selalu ikhlas menerima segala ketentuan-Nya.

Ishbir ya akhi... Wa Allahu ma'akum ainama kuntum...

Senin, 01 September 2008

Laskar Senja : Apakah harapan itu masih ada?

Laskar Senja : Apakah harapan itu masih ada?

1 bulan, 2 bulan, 3 bulan.. kami masih semangat. Bahkan kami sempat membuat motto, “from java with spirit from batavia with love”. Tapi menginjak beberapa bulan kemudian kami merasa kerja kami semakin berkurang konsentrasinya, kadang sakit-sakitan. Istri di rumah juga kadang sakit-sakitan karena kecapekan. Bahkan ada di antara kami yang terkena sakit thypus. Pernah dia terjatuh dari motor sampai 2 kali. ”Mungkin karena melamun memikirkan anak-istri” begitu jawabnya saat kami tanyakan.

Sementara teman kami yang lain, istrinya sering kambuh sakit batu empedunya. Ketika konsultasi kepada dokter disarankan untuk jangan terlalu capek dan jangan banyak bawa beban berat. Bagaimana mau tidak capek, wong sehari-hari harus antar jemput anak sendirian, bekerja di kantor, mengurus bayi yang masih kecil, belum lagi menyelesaikan segala macam permasalahan di rumah, mulai dari masalah pembantu yang sering membuat masalah, sampai masalah anak yang terkadang rewel.. Dia bercerita, pernah suatu malam di rumahnya kemasukan ular, akhirnya malam-malam istrinya harus mengetuk pintu tetangga untuk minta tolong mengeluarkan ular dari rumah. Mendengar cerita tersebut, tentu saja perasaan bersalah dan kebingungan harus berkata apa, karena memang ia tidak bisa berbuat banyak untuk meringankan beban istrinya.

Belum lagi godaan di kantor: ditawarin uang, dikasih voucer elektronik, HP dan lain-lain. Sudah 1,5 tahun kami sudah menjalani PP jakarta jogja. Hati kami masih mencoba yakin ini hanya sebentar.

Ada di antara kami yang mempunyai kelainan berupa pembengkokkan tulang punggung. Kondisi yang cukup memberatkan ketika perjalanan-perjalanan panjang selalu dia lakukan tiap pekannya demi anak-anak dan keluarganya. Belum lagi tambahan osteoporosis yang juga telah dialaminya. Terapi-terapi untuk mengurangi progresifitas pembengkokan tulang punggungnya semestinya dia lakukan secara rutin. Akan tetapi, jauhnya dari keluarga membuat hal itu tak lagi bisa dilakukan dengan teratur.

Apalagi kemudian kenyataan kami melihat teman-teman kami yang dulu menghindar dari modernisasi ini justru diangkat dan ditempatkan di daerah kami, makin membuat hati kami berkeping-keping. Kami merasa terdzalimi. Kami telah berpeluh lelah meretas jalan ini dengan melalui test yang panjang dan melelahkan, justru akhirnya harus terjauhkan dari keluarga dan tempat tinggal kami.

Mungkin ada yang menyarankan : ”udah diajak aja anak istri ke Jakarta”. Tapi kami (masih) memilih untuk meninggalkan keluarga di sana. Kami tentu mempunyai alasan masing-masing. Di antara kami ada yang istrinya adalah PNS daerah, ada yang istrinya sudah nyaman di daerah asal dan banyak kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan, ada yang orang tuanya sudah sering sakit-sakitan sementara dia anak bungsu yang diharapkan bisa merawatnya. Tapi salah satu alasan yang utama adalah untuk perkembangan anak-anak kami. Rata-rata anak-anak kami berjumlah 3, ada yang baru satu tapi bahkan ada yang sudah 4. Hampir semua sudah usia sekolah. Jika harus memindahkan sekolah mereka, tentulah membutuhkan biasa yang besar. Belum untuk biaya tempat tinggal. Mencari lingkungan tempat tinggal yang baik. Memproses perpindahan istri, bagi yang istrinya juga bekerja. Ah, memikirkannya saja sudah memberatkan.

Akhirnya, di hati terdalam kami... kami masih berharap bisa kembali ke daerah kami. Agar kami kembali bisa bekerja dalam kondisi yang tenang dan fokus. Agar kontribusi kami ke negara ini menjadi lebih optimal’. Dan teman-teman eks jogja, tolong doakan kami kuat & segera bisa pulang.

Bahkan tidak hanya kepada teman-teman kami minta dido'akan. Kepada ustadz yang mengisi acara masjid kantor pun, kami tak lupa minta didoakan agar segera bisa kembali. Termasuk kadang minta do'a ke WP (mudah-mudahan yang ini tidak termasuk gratifikasi).

Kepada anakku...

Maafkan aku, ya nak. Tidak bisa menemani hari-hari kecilmu, masa-masa indahmu. Nak, bukan maksud Ayah lari dari tanggung jawab mendidik, membersamai, mengayomimu. Sungguh anakku, Ayah di sini sangat tersiksa, selalu kangen dan rindu kepadamu. Ayah ingin sekali membantumu mengerjakan PR. Ingin sekali menidurkanmu, menyelimutimu. Sungguh anakku, ayah menjadi cengeng sekarang nak. Sedikit-sedikit menangis, ketika mengingat kamu. Jangan marahi Ayah, ya Nak...

Kepada Istriku...

Maafkan aku, istriku. Aku tidak bisa lagi bersamamu sepanjang waktu, seperti dulu. Istriku, sungguh bukan maksudku untuk menjadi suami yang tak berperasaan meninggalkanmu sendiri menjalankan roda keluarga kita. Sungguh bukan demikian. Sungguh istriku, aku merasa bersalah meninggalkanmu, aku merasa kasihan padamu. Tentunya engkau capek & lelah mengurus anak-anak & rumah kita. Terima kasih atas semuanya. doaku untukmu. Semoga engkau diberi ketabahan.

Kepada DJP ku...

Maafkan kami, bukan maksud kami untuk bekerja setengah-setengah. Tapi memang kami pun mempunyai hati. Ada kepingan-kepingan hati kami yang tertinggal di kota nun jauh di sana. Rindu, sayang, cinta kami ada di sana. Dan sering perasaan itu mendominasi diri kami. Bukan maksud kami mengelak dari tanggung jawab kalo kami kadang-kadang pulang lebih awal. Tapi semata-mata kami ingin segera bertemu dengan mereka. Kami mohon maaf, kami tidak bisa optimal kerja seperti ini. Sering kami tidak fokus dalam pekerjaan kami. Mungkin banyak pula potensi kami yang tidak bisa kami kembangkan dalam suasana hati kami seperti ini. Kami mohon maaf sekali lagi, sering kami merasa capek, lelah menjalani ini semua. Kadang terpikir oleh kami untuk resign saja, demi anak & keluarga kami. Kami terus berharap semoga kami bisa kembali seperti dulu lagi.

Ya Allah........kumpulkan kami kembali dengan keluarga kami.
Ya Allah...kami tahu bahwa semua ini adalah bagian dari takdir-Mu, yang harus kami terima dengan penuh keikhlasan.
Tapi kami pun tahu Ya Rabb...hanya Engkaulah yang Maha Berkuasa, Maha Menerima permohonan dari hamba-hamba-Mu yang dhoif ini.
Ya Allah...kami berharap Engkau akan mengabulkan permohonan kami, melalui kebijakan dan kebijaksanaan para pimpinan kami di DJP ini.
Ya Allah...kabulkanlah permohonan kami. Amin.

**********************

LASKAR PELANGI
LASKAR SENJA
MERETAS MIMPI
BERALAS TIKAR DI SENJA

**********************

Cerita ini mengalir dari jari jemari
Insan-insan yang sedang di mabuk rindu
Mengalir di sela deras hujan di sore itu
Dari tempat-tempat yang berserak di jantung ibu kota

Dikompilasikan di malam yang sepi
Persembahan untuk orang-orang terkasih

Kru Roker Joglo alias PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad)

Laskar Senja : Gerbong-gerbong penuh "penderitaan"

Laskar Senja : Gerbong-gerbong penuh "penderitaan"

Setiap ahad sore kami pun akhirnya harus senantiasa mengunjungi stasiun agar esok hari bisa bekerja. Betapa kecut hati kami, tak kuasa berbuat apa-apa. Tak terbayangkan sebelumnya harus menjadi anggota roker joglo (rombongan kereta jogja-solo), bukan rombongan G-15 (Gerombolan 15rb) atau pun para sniper gelap. Bawaan seorang roker adalah tas ransel. Jangan dibayangkan isinya macam-macam, di sana hanya berisi koran bekas yang berubah fungsi menjadi alas tidur, bantal tiup unttuk ganjal kepala, sebotol aqua unttuk sedikit menghapus dahaga, sisanya unttuk "bersuci".

Kadang di kereta api pun, meski telah kami pasang "password" (baca : trik-trik) agar wilayah kami tidak direbut gerombolan G-15/Sniper, ternyata mereka memang telah terlatih. Menunggu kelengahan kami, sehingga mereka bisa melonjorkan kaki, sedangkan kami akhirnya mesti menekuk kaki sampai pegal-pegal rasanya pagi harinya.

Pernah sekali waktu ketika ada liburan akhir pekan yang panjang di antara kami mengalami kejadian yang menyebalkan. Kereta amat sangat penuh. Semua gang penuh dengan orang yang duduk di bawah. Jatah kursi kereta teman kami yang seharusnya untuk 4 orang (berhadapan) terpaksa diisi 10 orang : 2 orang di bawah, 7 orang di atas, 1 orang di sandaran tangan tempat duduk. Dan bahkan seorang di antara kami ada yang harus duduk berdesakan dengan wanita yang bukan muhrim, kanan-kiri, depan, semuanya wanita. Begitulah suka duka di kereta.

Belum perjuangan mencari tiket yang kadang harus mengantri berjam-jam berdiri di depan loket. Kadang sudah begitu pun, kami masih tidak memperoleh tiket yang bertempat duduk sehingga harus naik kereta tanpa tempat duduk. Dan memang pada akhirnya kami harus selalu memperhatikan kalender, jika ada liburan panjang maka paling tidak sebulan sebelumnya kami harus sudah mengantri tiket. Agar aktifitas pekanan kami tidak makin melelahkan.

Aktifitas pekanan pulang pergi jakarta selalu membawa pernik-pernik cerita sendiri. Teman kami bercerita, ”ketika aku pamit mau kembali ke jakarta, anak yang paling besar bilang ayah gak usah ke jakarta lagi. Aku mau yang ngantar sekolah ayah. Seperti teman-teman. Aku pun hanya bisa menahan tangis mendengarnya. Ya, Insya Allah. Doakan ayah agar bisa kembali bersama-sama ya.”

Sementara yang lainnya, ”Kalo aku setiap telpon anak, dia bilang ’abah nakal’. Bahkan sekarang gak mau lagi di telpon.”

Setiap telpon anak seringkali bertanya: ayah lagi di stasiun ya, padahal baru sekitar 3 hari kami datang dari jogja. Buka dan sahur ketika puasa pun kami lakukan dalam kereta. Air buat sekedar membasuh muka ketika sahur pun sering kali belum tentu ada.

Satu-satunya hiburan kami di stasiun adalah ketika kami berkumpul di depan warung mie langganan kami. Biasanya kami memesan mie rebus/nasi goreng di situ. Tetapi meskipun hanya mie rebus, bagi kami rasanya mak nyos, mungkin perasaan kami yang sumringah karena besok bertemu anak-istri. Mengobrol bersama teman-teman senasib sependeritaan, cukup menghibur hati. Bahkan seringkali kami tidak sempat mandi sore di hari jum'at, karena dari kantor langsung menuju stasiun.

Suara yang paling kami tunggu ketika kami sedang tidur di kereta adalah suara "wer ewer kluwer...lay-lay lay lay lay lay panggil aku si jablay". Ya, itulah suara para waria yang sedang mengamen. Itu tandanya Jogja sudah dekat. Itu menandakan kalau Jogja tinggal sebentar lagi. ”Lanting-lanting..... sebentar lagi yogya”. Tentu bukan dia yang kami liat.. Tapi sekali lagi, itulah saatnya kami akan sebentar lagi bertemu keluarga. Itu berarti bahwa kami sudah sampai stasiun Wates, sekitar 25 menit lagi kami sampai stasiun "pelabuh rindu" stasiun Tugu Jogjakarta.

Sampai di stasiun Tugu, ada di antara kami yang masih harus melanjutkan perjalanannya ke timur kota jogja. ”Wah, mesti ngojek atau taksi argo rombongan nih..’ begitu katanya.

(bersambung)

Laskar Senja : Mengejar Mimpi

Laskar Senja : Mengejar Mimpi
(Modernisasi oh Modernisasi)


Tahun 2005 kami begitu antusias membaca pengumuman di intranet, tepatnya di website kepegawaian waktu itu. Ada semangat yang sejak dulu kami simpan dan terapkan dalam setiap aktivitas kerja kami di kantor. Semangat kami ternyata beresonansi dengan semangat DJP untuk berubah menjadi lebih baik. Sudah lama kami ingin menjadi "modern" dalam artian yang sesungguhnya. “Modern” dalam bekerja dan “modern” dalam berpenghasilan.

Saat kami membaca pengumuman itu, kami sadar ada yang harus kami perjuangan. Pertama ujiannya, kedua tentunya adalah saat nanti kami sudah masuk ke dunia kerja modern, segala aturan dan prosedur sebisa mungkin harus kami lakukan dengan 'modern'. Dan memang, pengumuman itu tampak begitu membujuk dan membuai kami.

Tentu, bukan sekedar ucapan manis di bibir saja. Ketika itu, hati kami begitu bergetar, pikiran menerawang menatap masa depan "DJP" yang lebih “bersih” dan lebih baik. Ya, saat itu adalah saat kami membaca pengumuman test modernisasi itu.

Hati kami pada akhirnya semakin mantab untuk mengikuti peluang emas ini. Pertama, imbalan kerja yang tentunya begitu menarik. Kami bermimpi tentang itu. Kedua, tentu saja ”kebebasan” dan ”ketenangan” dalam bekerja. Kapan lagi kami bisa bekerja dengan tenang, tanpa adanya "tekanan" dari kanan, kiri, atas, dan bawah. Sejuta keinginan berputar-putar di benak kami. Kapan kami bisa memperoleh itu semua dengan hati nyaman dan ikhlas. Ikut test ke Jakarta dengan biaya sendiri pun siap kami jalani demi sebuah perubahan dan idealisme itu.

Ketiga, sungguh kami terbuai dengan pilihan penempatan yang begitu menggiurkan. Kami diberi 3 pilihan penempatan bila lulus nanti. Tentu kami semua membayangkan, akan bisa bekerja dengan lebih tenang dan lebih baik apabila tetap dekat dengan keluarga. Kami pun kemudian memilih pilihan penempatan di kanwil kami sendiri dan kanwil-kanwil terdekat. Dalam benak kami, selain kami bisa tetap dengan keluarga, dekat dengan orang tua (beberapa teman kami orang tuanya sudah sering sakit-sakitan dan mereka merupakan anak terakhir yang diharapkan bisa merawat orangtua di hari tuanya), kami tentu saja ingin tetap bisa mengabdi untuk negara ini di daerah (home base) kami. Siapa lagi kalo bukan kami.

Di sisi lain, ternyata banyak teman-teman kami yang ternyata sama sekali tidak tertarik untuk mendaftarkan diri. Ah, biarlah... Mungkin mereka punya alasan masing-masing atas kepasifannya. Mungkin tidak siap dengan biaya sendiri yang harus dikeluarkan untuk mengikuti tes, atau mungkin tidak siap dengan “resiko” modernisasi. Astaghfirullah...barangkali kemungkinan kedua hanyalah pikiran buruk (su’udzan) kami saja. Setidaknya dalam benak kami saat itu, terbayang bahwa kami ingin dan akan menjadi pioneer perubahan DJP di tempat/kantor pilihan kami, dan kami merasa sangat siap untuk mengemban amanah itu.

Selanjutnya kami isi formulir & kelengkapannya dengan semangat juang bak para pahlawan. Untuk menghadapi tes pun, kami berusaha melakukan persiapan yang matang. Membeli dan meminjam buku-buku psikotes dan TPA.

Mandi di stasiun pun akhirnya kami jalani demi psikotest di KPDJP waktu itu. Ketika tes di Jakarta, melihat teman-teman sesama peserta tes, kami temukan wajah-wajah cerah menyongsong perubahan DJP. Ya, kami semua ingin menjadi pegawai yang baik, yang siap menjemput dan menyambut ajakan "yang berwenang memindahkan kami" ke kantor yang lebih baik sistemnya nanti tentunya.

Singkat cerita kami pun lulus ujian tertulis. Alhamdulillah. Kami sangat bersyukur, karena banyak dari teman-teman kami yang tidak lulus. Pun ketika kami lulus ujian wawancara yang sangat menegangkan, kembali rasa syukur kami lafadzkan dari lisan-lisan kami.


Hingga, tibalah saatnya diklat SAM harus kami jalani dengan semangat. Kami dipanggil ikut diklat SAM di hotel Santika, hotel yang megah (begitu teman kami menyebutnya, maklum sebagai “wong ndeso” baru kali ini kami “belajar” dan makan di hotel). Niat baik kami, dalam benak kami, tentu akan berbalas dengan sangat indah. Sungguh nasib memang tidak bisa dielak. Tetapi sebagai manusia biasa kami punya hati yang juga berharap. Hari-hari diklat kami lalui dengan penuh kebahagiaan karena mendapatkan banyak wawasan baru.

Ya, hingga kemudian datang hari itu, sehari menjelang diklat berakhir, ketika diklat belum selesai kami dikejutkan dengan pengumuman penempatan di kantor modern yang belum terbayangkan oleh kami sebelumnya. Beberapa dari kami ditempatkan di Jakarta, ada yang ke Sidoarjo, Medan dan bahkan hingga Makassar dan Balikpapan. Hari terakhir diklat kami sudah tidak bisa konsentrasi lagi. Hati ini bergetar, lisan seakan terkunci, kami bingung harus berkata apa.

Seorang teman kami menceritakan, ”Hari itu, jam 10 malam saya mendapat telpon dari Mas X kalau ada pengumuman penempatan AR. Saya sempat bertanya, ‘Mas ada isyu mutasi AR ya?’ Beliau menjawab, ‘bukan isyu lagi tapi sudah penempatan.’ Hati ini deg-degan juga mendengar hal itu, karena terus terang saya belum siap mental dan dana kalau harus mutasi jauh-jauh. Dan ternyata saya ‘terlempar’ ke Jakarta. Tapi, alhamdulillah saya masih penempatan di Jakarta. Kasihan juga teman-teman yang terlempar ke luar pulau.”

Sementara seorang teman yang lain bercerita ”Aku lihat mendung hitam menggelayut di wajah teman-temanku. Sampai rumah tak kuasa bibir ini untuk mengatakan kepada istri. Hanya air mata yang membuat istri bingung, ada apa gerangan? Antara sedih, kecewa, "harus" ikhlas menerima kenyataan, "harus" siap berkorban, dan entah perasaan apa lagi yang ada dalam dada ini.”

Teman satu lagi berkata ” Saya memang pernah penampatan jauh di Pontianak, tetapi untuk saat ini saya belum siap kalau harus jauh dari keluarga dan anak-anak yang masih kecil, serta orang tua yang sudah sering sakit-sakitan”

Kami semua memang masih terpana dengan penempatan tersebut. ”Sabar ya..” Beberapa SMS yang kami terima bernada demikian. Dan beberapa hari selanjutnya adalah hari-hari pengkondisian keluarga kami yaitu anak-anak dan istri. Di antara teman-teman kami ada yang baru merintis membuat rumah atau pun baru mulai mencicil rumah. Bahkan ada yang baru mendapat anugerah bayi kecil beberapa hari umurnya.

“Keluargaku belum siap menerima kenyataan ini. Kulihat wajah ketiga anakku yang masih kecil-kecil dan butuh perhatian penuh dari ayah dan ibunya. Ketika tidur tak bosan-bosannya kupandangi wajah mereka. Selama beberapa hari terakhir di kantor yang akan kami tinggalkan, kerja tidak konsentrasi, di rumah pun makan tidak enak, tidur pun tidak nyenyak.” Ah, begitulah teman kami yang lain menimpali.

”Aku juga tak tega melihat wajah istriku berlama-lama, membayangkan beban berat yang harus dia tanggung. Tiap pekan harus berdesak-desakan ria memesan tiket kereta api untuk perjalanan pulang pekan depannya. Apalagi istriku belum cukup mahir naik motor, harus kerja naik apa nanti. Mengasuh ketiga "malaikat kecil" ku sendirian, antar jemput sekolah, menemani belajar. Anak yang seharusnya sudah sekolah pun akhirnya harus ditunda dulu karena belum ada yang mengantar.” lanjutnya.

Begitulah kegundahan demi kegundahan menghiasi hari-hari kami waktu itu. Kadang terbesit pikiran nakal dalam benak kami, kenapa dulu kami harus ikut test modernisasi jika akhirnya harus begini. Aduhai, mungkin inilah ujian yang harus kami jalani. Bahkan saat itu, ada teman kami yang rumahnya yang dia tempati hendak digusur, sehingga mau tidak mau harus segera mencari kontrakan baru.

Apapun, Akhirnya kami tetap harus berangkat ke Jakarta juga. Episode berikutnya adalah perjuangan kami serombongan, untuk mengais asa modern di Jakarta. Tidak pernah terbayang dalam benak kami sebelumnya, stasiun-stasiun ini akan kami kunjungi setiap pekannya.

Kali pertama meninggalkan keluarga kami adalah momen yang begitu berat bagi kami. Kalau bukan karena semangat hendak melaksanakan tugas negara, mungkin kami memutuskan lebih baik tidak berangkat. Tapi kami terus mencoba memunculkan pikiran-pikiran positif kami, bahwa mimpi-mimpi yang kami pancangkan dulu mungkin memang sekaranglah saatnya harus kami buktikan.

Teman kami menggambarkan perpisahannya dengan keluarganya, ”Menjelang hari keberangkatanku ke Jakarta, aku dan istriku pergi ke dealer motor, membeli motor dengan cara kredit. Saat keluarga mengantar untuk melepas kepergian ke Jakarta, tak kuasa air mata ini menetes. Kulihat wajah istri dan anak-anak yang sembab. Linangan air mata keluar dari kedua pelupuk mata istriku, dan tentu saja mataku. ’Sayang, jaga anak kita baik-baik ya. Maafkan aku, nggak bisa banyak membantu lagi. Anak-anakku, kalian harus sholih ya, sayang sama ummi. harus bisa bantu ibu(ummi). Ayah harus pergi jauh. Maafkan ayah ya bila ada salah. Sayang maafkan aku ya.’"

Sore itu menjadi sore yang menyedihkan dalam hidup kami. Anak-anak kami mendekap kami dengan sangat erat, seolah kami akan berpisah dalam waktu yang lama. Mungkin karena selama ini kami bisa membersamai mereka dalam kesehariannya. Belajar, bermain.. tapi kini telah berakhir. Hanya sabtu minggu. Dua hari satu malam, kami bisa bersama mereka.

(bersambung)