Selasa, 28 Juli 2009

Titip Doa Kepada Anak

Adalah menjadi kebiasaanku untuk mengamati anak-anakku ketika mereka mengerjakan sholat di rumah. Kadang tanpa mereka ketahui, aku berada di belakang mereka mengamati cara mereka berwudhu yang kadang ala kadarnya. “Ayo, diulang lagi mas. Itu mata kakinya masa masih kering begitu.” Kataku ketika mendapati si sulung wudhunya kurang sempurna.

Begitu juga saat mereka mulai mengerjakan sholat, dalam hatiku ikut melafazkan surat Al Fatihah, mencoba mengetes dan meyakinkan bahwa mereka benar-benar telah membaca surat itu dalam sholatnya. Dulu waktu mereka masih belajar sholat, ketika mereka mengerjakannya seperti seorang pesenam aerobik, aku biarkan saja. Bagiku, yang terpenting adalah pembiasaan dulu.

Baru ketika usia mereka sudah menginjak di atas 7 tahun, aku mulai benahi mereka. Aku harus agak keras untuk mengingatkan mereka akan waktu-waktu sholat. Sekarang si sulung sudah berumur 10 tahun, adiknya yang perempuan berumur 8 tahun. Alhamdulillah, sholat mereka telah lebih baik dan tertib. Untuk si bungsu yang baru berumur 5 tahun, aku masih memberinya dispensasi sebagaimana kakak-kakaknya dulu.

Sekarang kebiasaan baruku adalah mengamati kebiasaan mereka selepas sholat. Dulu hampir pasti begitu selesai salam, setelah mencium tangan kananku mereka langsung berkelebat. Ketika aku tanyakan, “Kok tidak dzikir dan doa?” jawabnya singkat, “Sudah kok.” Duh, dasar anak-anak pikirku. Sekarang, jika selesai sholat, dalam beberapa kesempatan sering saya tahan mereka untuk duduk sejenak. Tidak selalu. Saya bisikkan kepada mereka, “Berdoa dulu yak.”

Kemaren saat melihat anak gadisku selesai sholat, terlihat komat-kamit sebentar kemudian bergegas merapikan mukenanya. Saat itu aku pura-pura bertanya, “Sudah berdoa belum, ndhuk?”. “Tadi kan sudah?” jawabnya sambil menaruh mukenanya ke dalam rak di kamar kami.

Istriku yang duduk di sampingku bertanya, “Kamu doa apa tho?”. “Ya, berdoa lah…” jawabnya singkat. ”Lha iya doanya, apa?” tanya istri lagi. “Tanya abiii, itu kan doa pesenannya abi.” Deg. Aku agak terpana dengan jawaban anak gadisku itu. Aku tidak menyangka dia melakukan permintaanku beberapa waktu yang lalu, yang aku lupa kapan persisnya. Tapi mendengar jawabannya tadi, setidaknya membuat mataku tiba-tiba berkaca-kaca.

Yang aku ingat, kebiasaan anak-anak jika aku pulang mereka minta tidurnya ditemani terlebih dahulu. Pada suatu waktu, ketika menjelang tidur mereka aku menceritakan masa-masa kecilku sampai kini. Aku buat bersambung sampai beberapa kali. Ada episode aku waktu masih SD, SMP, SMA kemudian kuliah. Bahkan episode setelah menikah dan kelahiran mereka.

Ada saat kemudian ketika itu aku tanyakan kepada anak-anakku. ”Kalian lebih senang kalo abi Jakarta atau deket dengan kalian?”. “Ya di Jogja lah.” Jawab mereka. “Kalo begitu jangan lupa doakan abi tiap habis sholat kalian ya? Sudah sekarang saatnya tidur.” Aku lihat mereka hanya mengangguk kemudian tidur.

Permintaan itu beberapa kali aku ingatkan kepada mereka saat mereka akan tidur. Aku hanya berpikir bahwa mereka adalah anak-anak yang polos. Barangkali Allah akan mengabulkan permohonan kita justru lewat lisan-lisan anak yang masih polos ini. Dan setidaknya aku ingin menanamkan arti doa bagi mereka.

Suatu saat jika Allah mengabulkan doa-doa mereka, aku akan katakan, ”Alhamdulillah, ini berkat doa-doa kalian.” Dan kalaupun belum dikabulkan, aku ingin katakan kepada mereka, ”Teruslah berdoa dan bersabarlah. Allah tidak akan melewatkan doa-doa kalian.”

Yang ingin aku lakukan adalah pembiasaan. Bukankah anak-anak yang sholih/sholihah yang mendoakan orang tuanya adalah salah satu dari 3 hal yang tidak terputus dari kita meski kita telah meninggal nanti? Karena itulah aku ingin agar anak-anakku terbiasa mendoakan orang tuanya. Doa apa pun itu asalkan bernilai kebaikan.

Sampai di sini, anak-anakku telah mengajariku juga agar aku pun belajar mendoakan orang tuaku. Orang tua kandungku, dan juga orang tua dari orang terdekat di hatiku, istriku. Semoga kita semua dikumpulkan kembali di jannah-Nya kelak. Amin.

Jamsostek : 28/07/09. 17.10

Gundah

Dia hanya mengirimkan satu kata untukku kemaren. Gundahku. Tidak ada kata-kata lain yang menjelaskan makna itu. Tidak ada rentetan kalimat lain yang menjelaskan apa dan kenapanya. Tapi kata-kata gundahku itu, sungguh telah membuatku gundah.

Aku gundah mengapa dia merasa gundah. Aku selalu gundah jika telah membuat seseorang merasa gundah. Apalagi yang aku buat gundah adalah orang yang terdekat di hatiku. Aku gundah karena tidak mengerti lagi apa yang telah membuatnya gundah.

Sapaanku hari ini masih dibalasnya sekedarnya. Aku tahu, dia masih merasa gundah. Aku selalu merasa akulah yang telah membuatnya gundah. Tapi kegundahannya kali ini membuatku semakin gundah bertalu-talu. Gundah yang tak terperikan.

Mungkin episode kemaren dan ini adalah korelasinya. Aku hanya menduganya karena hanya itu yang bisa kulakukan. Dia masih tetap bergeming dalam diamnya. Seakan memberiku kesempatan untuk merenung dan berpikir. Aku mencoba untuk tetap mengerti.

Inilah di Antara Amalan Ahli Syurga

Oleh. Ustaz Abu Jibriel

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i, Anas bin Malik menceritakan sebuah kejadian yang dialaminya pada sebuah majelis bersama Rusulullah Saw.

Anas bercerita, “Pada suatu hari kamu duduk bersama Rasulullah Saw., kemudian beliau bersabda, “Sebentar lagi akan muncul dihadapan kalian seorang laki-laki penghuni surga.” Tiba-tiba muncullah laki-laki Anshar yang janggutnya basah dengan air wudhunya. Dia mengikat kedua sandalnya pada tangan sebelah kiri.” Esok harinya, Rasulullah Saw. berkata begitu juga, “Akan datang seorang lelaki penghuni surga.” Dan munculah laki-laki yang sama. Begitulah Nabi mengulang sampai tiga kali.

Ketika majelis Rasulullah selesai, Abdullah bin Amr bin Al-Ash Ra. mencoba mengikuti seorang lelaki yang disebut oleh Nabi sebagai penghuni surga itu. Kemudian beliau berkata kepadanya : “Saya ini bertengkar dengan ayah saya, dan saya berjanji kepada ayah saya bahwa selama tiga hari saya tidak akan menemuinya. Maukah kamu memberi tempat pondokan buat saya selama hari-hari itu ?” kata Abdullah bin Amr bin Al-Ash.

Abdullah mengikuti orang itu ke rumahnya, dan tidurlah Abdullah di rumah orang itu selama tiga malam. Selama itu Abdullah ingin menyaksikan ibadah apa gerangan yang dilakukan oleh orang itu yang disebut oleh Rasulullah sebagai penghuni surga. Tetapi selama itu pula dia tidak menyaksikan sesuatu yang istimewa di dalam ibadahnya.

Kata Abdullah, “Setelah lewat tiga hari aku tidak melihat amalannya sampai-sampai aku hampir-hampir meremehkan amalannya, lalu aku berkata: “Hai hamba Allah, sebenarnya aku tidak bertengkar dengan ayahku, dan tidak juga aku menjauhinya. Tetapi aku mendengar Rasulullah Saw. berkata tentang dirimu sampai tiga kali, “Akan datang seorang darimu sebagai penghuni surga.” Aku ingin memperhatikan amalanmu supaya aku dapat menirunya. Mudah-mudahan dengan amal yang sama aku mencapai kedudukanmu.”

“Yang aku amalkan tidak lebih daripada apa yang engkau saksikan.” Kata orang tersbut. Ketika aku mau berpaling, kata Abdullah, dia memanggil lagi, kemudian berkata, “Demi Allah, amalku tidak lebih daripada apa yang engkau saksikan itu. Hanya saja aku tidak pernah menyimpan pada diriku niat yang buruk terhadap kaum Muslim, dan aku tidak pernah menyimpan rasa dengki kepada mereka atas kebaikan yang diberikan Allah kepada mereka.”

Lalu Abdullah bin Amr berkata, “Beginilah bersihnya hatimu dari perasaan jelek dari kaum Muslim, dan bersihnya hatimu dari perasaan dengki. Inilah tampaknya yang menyebabkan engkau sampai ke tempat yang terpuji itu. Inilah justru yang tidak pernah bisa kami lakukan.

Memberikan hati yang bersih, tidak menyimpan prasangka yang jelek terhadap kaum Muslim kelihatannya sederhana tetapi justru amal itulah yang seringkali sulit kita lakukan. Mungkin kita mampu berdiri di malam hari, sujud dan rukuk di hadapan Allah Swt., akan tetapi amat sulit bagi kita menghilangkan kedengkian kepada sesama kaum Muslim, hanya karena kita pahamnya berbeda dengan kita. Hanya karena kita pikir bahwa dia berasal dari golongan yang berbeda dengan kita. Atau hanya karena dia memperoleh kelebihan yang diberikan Allah, dan kelebihan itu tidak kita miliki. “Inilah justru yang tidak mampu kita lakukan.” kata Abdullah bin Amr. (Hayat Al-Shahabah, II, 520-521)

Wallahu’alam bish showab…

(http://www.abujibriel.com/)

Kamis, 16 Juli 2009

And The Star is Me !

Bintang memang identik dengan prestasi. Maka kita akan menemukan istilah bintang kelas, yaitu mereka yang berprestasi di kelasnya. Atau bagi yang suka sepak bola, di sana ada yang namanya bintang lapangan. Bintang juga identik dengan sesuatu yang bernilai lebih, maka lihatlah dalam pengkategorian jenis hotel misal. Kita akan menemukan bahwa hotel berbintang itu mempunyai nilai lebih jika dibandingkan yang tidak berbintang. Dan bintang pun juga berhubungan tingkatan kedudukan. Lihatlah seorang jenderal, ada berapa bintang yang berjejer di pundaknya?

Bintang, dalam makna-makna konotatif selalu berhubungan dengan kesempurnaan dan kecemerlangan. Karena memang bintang itu ditakdirkan berada di atas sana dan bersinar. Bahkan saat jatuhnya pun, orang menganggapnya sebagai pertanda akan datangnya kebaikan.

Jika anak kita dapat nilai bintang dalam buku sekolahnya, itu berarti pertanda baik baginya. Jika anda adalah pelaku bisnis di MLM, maka bertambahnya tanda bintang anda, itu pertanda makin tingginya level keanggotaan anda. Semakin banyak bintang, semakin sukses anda. Itulah bintang. Ia menjadi perlambang kebaikan dalam keseharian kita.

Dalam perjalanan dari masjid pagi ini, aku sempatkan memandang bintang di atas sana. Aku teringat dengan perbincangan kawan-kawanku tentang bintang kemaren. Menjelang kehadiran sang surya, aku masih menemukan satu bintang yang bersinar terang. “Mungkin dia yang dijuluki Bintang Timur” gumamku dalam hati. Tapi semakin aku tajamkan pandanganku, maka seakan bintang-bintang lain berlomba bermunculan. Ada banyak bintang di atas sana.

Faktanya, bintang-bintang di langit jumlahnya bermilyar-milyar. Mereka semua berada di atas sana dan bersinar. Entah dia besar atau kecil, jauh atau dekat, tapi mereka tetaplah bersinar. Mereka semua adalah bintang. Ketika satu bintang terlihat besar dan dominan di atas sana, sejatinya itu karena andil dari adanya bintang-bintang kecil di sekelilingnya. Sementara besar dan kecilnya bintang itu sendiri adalah sesuatu yang terkadang relatif. Bisa jadi memang ukurannya yang kecil, atau sebenarnya dia juga bintang besar, hanya karena jarak pandang kita sehingga bintang itu terlihat kecil oleh kita.

Intinya, bintang itu selalu bersinar. Bintang mengeluarkan sinar dari dalam dirinya, bukan sekedar memantulkan sinar sebagaimana sang bulan. Tabiat bintang itu menyinari, bukan disinari. Tabiat bintang itu menumbuhkan, bukan mendominasi.

Dalam konteks dakwah, kita mungkin tidak pernah meminta untuk menjadi bintang, Tapi kita sejatinya telah ditakdirkan menjadi bintang. Ya, kita semua adalah bintang. Dan Allah telah tetapkan itu. Bukankah Allah telah katakan : Kalian adalah bintangnya umat (khairu ummah) yang dilahirkan untuk manusia! Ya, ini adalah penetapan dari Allah. Adakah dari kita yang hendak mengelak?

Sebagaimana tabiat bintang yang menyinari, maka Allah pun mensyaratkan agar kita juga bersinar. Agar kita bisa menyinari sekitar kita. Apa parameternya? Yaitu (1) menyuruh kepada yang ma'ruf, (2) mencegah dari yang munkar, dan (3) beriman kepada Allah. Cukup tiga hal Allah syaratkan, agar kita menjadi bintang.

Hanya itulah syarat menjadi bintang. Dan kita memang ditakdirkan menjadi bintang. Kita ditakdirkan untuk menyinari. Jika kita adalah pribadi yang menyuruh kepada yang ma’ruf maka kita adalah bintang. Jika kita adalah pribadi yang mencegah dari yang munkar, maka kita adalah bintang. Jika kita adalah pribadi yang beriman kepada Allah, maka kita adalah bintang. Dan jika ketiga aktifitas di atas terhimpun dalam diri kita, maka kita adalah bintangnya umat.

Jadi, apakah anda yang disebut bintang itu?

Pancoran : Pagi menjelang dan setelah sholat subuh, 16/07/2009.

Selasa, 07 Juli 2009

Aku Hanya Ingin Memberi

Aku Hanya Ingin Memberi

Yang bisa kulakukan hanyalah memberimu dengan apa yang aku mampu. Jika engkau tetap tak mempercayainya, tetap hanya itu yang aku mampu. Selebihnya, semoga Dia yang akan membuat kita kembali saling mengerti. Bahwa aku sesungguhnya hanya laki-laki biasa, dengan sesuatu yang sangat biasa, yang jauh dari keluarbiasaan.

Can, engkau adalah anugerah terindahku. Entah sudah berapa kali tiba-tiba hatiku terasa terkoyak, ketika aku mendapatimu sangat-sangat tidak berkenan dengan sikapku. Aku bahkan tak pernah membayangkan engkau akan seperti itu. Aku bahkan tak pernah terpikirkan untuk berbuat seperti yang engkau bayangkan. Sungguh, aku hanyalah laki-laki biasa dengan pikiran yang sangat biasa, tidak pernah ada kerumitan dalam pikiran-pikiranku. Semoga engkau mengerti.

Tetapi itulah sejatinya makna pembelajaran itu. Aku terus belajar untuk mengerti bahwa sungguh penerimaan kita kepada pasangan kita itu tidaklah cukup hanya dengan memberi apa-apa yang dia butuhkan. Kita sering lupa bahwa ada sisi lain yang harus kita perhatikan juga, yaitu penerimaan dalam bentuk penghargaan. Ya, penghargaan. Penghargaan terhadap semua jerih payah pasangan kita. Sekecil apapun itu bentuknya.

Can, sering kita baru tersadar akan kejerihpayahan pasangan kita, saat dia tidak ada. Saat dia tak lagi di samping kita. Sering kita baru tersentak akan keberartian pasangan kita, saat dia jauh dari sisi kita. Itulah ujian tentang makna penghargaan dan keberartian ini. Kita memang tak bisa menghargai karena kita belum bisa merasakan keberartiannya. Bukan dia tidak berarti bagi kita, tapi kita belum bisa merasakannya. Atau bisa jadi, keberartiannya kadang tertutupi oleh sesuatu yang tampak tidak luar biasa.

Ya, sesuatu yang biasa, yang tidak luar biasa, sering menipu kita. Padahal sesungguhnya, dengan itulah dia selama ini mengguyur kita dengan cintanya. Bahwa pemberian yang biasa, yang sering kita terima, yang mungkin nominalnya tidak seberapa, itulah sesungguhnya yang membuat dia menjadi luar biasa. Jika kita mampu menghargainya.

Can, aku sedang belajar menghargai. Lebih menghargai tentang kejerihpayahanmu. Sekecil apapun itu. Bahkan seandainya itu memang kewajiban yang harus engkau tunaikan yang tidak ada hubungannya denganku pun, maka aku akan berusaha menghargainya. Karena engkau adalah anugerah terindahku. Aku ingin terus tumbuh bersamamu. Aku ingin kita terus bersama menyemai taman-taman cinta di hati kita.

Can, maafkan aku akan ketidakluarbiasaanku. Maafkan aku yang lebih menikmati sudut-sudut sepi, yang tak bisa mengimbangimu kecuali dengan bahasa-bahasa hati. InsyaAllah, Dia akan memudahkan usaha kita ke arah yang lebih baik. I Love You.

Jogja, 07072009:01.00