Jumat, 29 Agustus 2008

Hai Nil, Mengalirlah!

dakwatuna.com - Mesir jatuh ke dalam pelukan Islam. Amru bin ‘Ash r.a. ditetapkan Khalifah Umar bin Khaththab sebagai Gubernur di sana. Suatu hari di hari pertama di bulan dalam sistem penanggalan masyarakat setempat, orang-orang datang menemui Amru bin ‘Ash.

Juru bicara mereka berkata, “Wahai Amirul mukminin, Sungai Nil di tempat kami punya kebiasaan tidak mau mengalirkan air kecuali permintaannya dipenuhi.”

“Apa permintaannya?” tanya Amru bin ‘Ash.

“Kalau sudah tanggal 11 bulan ini, kami biasa mencari seorang anak gadis. Setelah kami menjadikan kedua orang tuanya senang dan ridha, maka kami menyuruh gadis itu berdandan dan berhias seelok mungkin. Lalu kami melemparnya ke Sungai Nil sebagai tumbal,” papar mereka.

Amru bin ‘Ash memotong, “perbuatan itu dilarang oleh Islam dan Islam melenyapkan ajaran buruk sebelumnya.”

Karena tidak ada solusi, para penduduk Mesir yang menetap di sekitar Sungai Nil memutuskan untuk menetap sementara seperti biasa. Bila air Sungai Nil tidak mengalir, mereka berencana pindah ke wilayah lain.

Melihat keadaan itu, Amru bin ‘Ash berkirim surat kepada Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah. Amru melaporkan peristiwa yang dihadapinya dan meminta nasihat kepada Umar apa yang mesti ia lakukan.

Umar membalas surat Amru. Dalam suratnya Umar menulis, “Tindakanmu benar. Islam memang menghapus kebiasaan buruk sebelumnya. Aku telah mengirim kertas khusus untuk engkau lempar ke Sungai Nil.”

Surat Umar sampai ke tangan Amru. Amru membaca isi surat khusus yang ditulis Umar untuk Sungai Nil. “Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin untuk Nil penduduk Mesir. Amma ba’du. Jika engkau mengalir karena kemauanmu, janganlah engkau mengalir. Tetapi bila engkau mengalir karena diperintah oleh Allah, maka aku meminta kepada Allah Yang Mahaesa lagi Maha Perkasa agar menjadikanmu mengalir.”

Kertas itu dilempar Amru bin ‘Ash ke Sungai Nil sehari sebelum hari raya Nasrani. Saat itu penduduk Mesir tengah bersiap-siap pindah ke negeri lain karena Sungai Nil yang menjadi sumber penghidupan mereka berhenti mengalirkan air.

Setelah surat Umar dilempar, keesokan harinya, di pagi hari di hari raya Nasrani, air Sungai Nil telah mengalir dengan ketinggian 7 meter lebih hanya dalam waktu semalam. Sejak itu adat buruk masyarakat Mesir melempar tumbal seorang gadis hidup-hidup ke tengah Sungai Nil berhenti.

Peristiwa ini tercatat dalam Tafsir Ibnu Katsir (3/480), Tafsir Al-Qurthubi (13/70-71), Tafsir Fakhrur Razi (21/74-75), Tarikh Al-Khulafa karya Asy-Syuyuti, Thabaqat Asy-Syafi’iyah Al-Kubra karya As-Subkiy, dan kitab-kitab masyhur lainnya.

Oleh: Mochamad Bugi

Rabu, 27 Agustus 2008

Siapa bilang menikah itu…

Siapa bilang menikah itu Mahal…?

Banyak contoh memperlihatkan pernikahan yang meskipun sederhana, menghasilkan keluarga-keluarga yang barokah. Jika ada modal, tidak masalah membuat walimahan sedikit semarak, tapi jika pilihan jatuh kepada walimahan yang sederhana, menurut saya itu jauh lebih baik dan berkah. Biar yang modalnya pas-pasan tidak merasa pesimis, seperti saya dulu… 

Siapa bilang menikah itu Susah…?

Anda tinggal ‘mengadu’ kepada murabbi/yah anda, maka akan ada seribu jalan menuju ke sana. Murabbi/yah anda insyaAllah akan berusaha mencarikan yang terbaik buat anda. Bantulah mereka dengan doa-doa anda, insyaAllah akan diberikan yang terbaik. Belum punya murabbi/yah? Ya segera cari, donk.

Belum juga dapat murabbi/yah? Cape deh… hari gini masih susah dapatin murabbi/yah? Apa kata dunia…

Siapa bilang menikah itu Rumit…?

Tidak. Bagi ikhwan, anda hanya butuh menyiapkan mahar (sesuai kesepakatan) dengan calon pasangan anda, kemudian menghafal beberapa patah kata ijab-kabul, maka tidak sampai hitungan 15detik, anda telah sah menjadi seorang suami.

Bagi akhwat, anda cukup sedikit ’memaksa’ calon pasangan anda untuk bersama membuat ’keputusan gila’ (ini bahasanya Mr. X), maka orang tua anda tidak ada kata lain kecuali harus segera menikahkan anda.

Siapa bilang menikah itu Menakutkan…?

Banyak sudah orang membuktikan bahwa membuat orang menjadi pemberani. Kalo anda masih taku-takut, berarti anda memang penakut. Bahkan saking pemberaninya, ada yang melakukannya bahkan lebih dari sekali. Berarti tidak menakutkan bukan?

Tidak percaya? Coba saja tanya yang barusan menikah, dijamin jawabannya mereka memang menyesal. Menyesal mengapa tidak menikah sedari dulu.

Siapa bilang menikah itu Beban…?

Justru dengan anda tidak segera menikah, setidaknya anda menjadi beban (baca : tanggung jawab) orang tua antum untuk ikut memikirkan jodoh anda. Jika anda bersegera menikah, berarti anda telah ikut meringankan beban tanggung jawab orang tua anda. Tentu juga murabbi/murabbiyah anda.

Dan yakinlah dengan menikah pula, justru ribuan beban yang seakan menghimpit ruang dada anda, akan segera terlepaskan.

Siapa bilang menikah itu membuat anda tidak kreatif…?

Tidak benar. Justru sebaliknya, menikah membuat anda makin kreatif. Jika anda seorang istri, setidaknya anda akan makin kreatif memilih dan membuat menu masakan, kreatif memilih dan memilah baju yang mesti dipakai, kreatif merajuk kepada suami anda, dan lain-lainnya.

Jika anda seorang suami, anda setidaknya akan semakin kreatif untuk memilih dan mengolah kata, menyusun syair atau sedikit puisi, merangkai kata-kata yang kadang dipaksakan untuk terdengar romantis. Setidaknya seperti yang sedang menulis kalimat-kalimat ini, hehehehe

Lebih hebat dari serangan pasukan Ghassan

”Lebih hebat dari serangan pasukan Ghassan...”

Begitulah bahasa seorang sahabat dari kalangan Anshar, ketika hendak mengabarkan kemelut yang sedang terjadi di rumah tangga Rasulullah. Ketika itu tersiar kabar bahwa Rasulullah memarahi para istrinya dengan mendiamkannya. Hal itu terjadi karena adanya kecemburuan di antara istri-istri Beliau.

Di dalam Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, Sayyid Qutb menukil kisah tersebut sebagai bagian dari asbabun nuzul dalam Surat At Tahrim. Ada dua riwayat lain yang juga beliau sampaikan, akan tetapi riwayat ini (lihat HR Muslim : 1428 yang saya kopi paste di bawah ini), terdapat kalimat yang begitu berkesan di benak saya. Kalimat itu merupakan penggambaran yang apik berkaitan dengan ’adanya’ kemelut dalam keluarga Rasulullah.

Digambarkan oleh Umar bahwa saat itu kamu muslimin sedang berjaga-jaga terhadap seorang raja di antara raja-raja Ghassan, yang bermaksud hendak menyerang. Hati dan fikiran kamu muslimin ketika itu sesungguhnya banyak terpusat kepada masalah serangan Bani Ghassan itu. Tiba-tiba mereka mendengar ada ’gonjang-ganjing’ dalam keluarga Rasulullah. Tiba-tiba tersebar kabar bahwa Rasulullah menjauhkan diri dari para isteri beliau. Maka spontan kalimat yang terucap dari mulut sahabat tadi adalah bahwa hal itu ”Lebih hebat dari serangan pasukan Ghassan...”

Memandang dengan kaca mata lain

Ikhwati fillah...
Dalam hal ini Rasulullah adalah profil idaman keluarga dakwah. Posisi beliau sebagai qiyadah dakwah saat itu, tentu menjadi peran sentral dalam dakwah beliau. Semua mata tertuju kepada keharmonisan maupun pernak-pernik kecil keluarga beliau. Inilah bukti nyata bahwa keluarga berada dalam posisi yang strategis dalam pencitraan peran dakwah ini. Kegoncangan yang terjadi dalam keluarga Rasulullah membawa imbas kepada para jundiyahnya, dalam hal ini kepada para sahabat Beliau.

Inilah hakikat itu, kenapa Hasan al Bana memasukkan takwinul baitul muslim (membentuk keluarga muslim) dalam tahapan amal (maratibul ’amal), sebagai salah satu tahapan dari tahapan-tahapan untuk mewujudkan mimpi besar kita semua, yaitu agar Islam ini kembali menjadi ustadziatul alam, guru bagi alam semesta ini.

Ikhwati fillah...
Peran-peran kita selalu bergulir seperti kepingan mata uang. Di sisi lain kita akan berperan sebagai anak dari orang tua kita, tapi di sisi lain kita adalah orang tua dari anak-anak kita. Pun dalam perjalanan dakwah ini, kita harus siap berperan sebagai mutarobbi, sekaligus murabbi di waktu yang lain. Ada kalanya sebagai qiyadah, tapi di lain waktu kita juga sebagai seorang jundiyah.

Maka berkaca dari gambaran sirah di atas, sudah semestinya kita harus selalu berusaha untuk membungkus keluarga kita dengan citra yang baik dan islami. Karena bagaimana pun, kondisi keluarga seorang aktivis dakwah akan selalu menjadi perhatian masyarakat di sekitarnya. Baik buruk dakwah ini bagi mereka akan mereka ukur dari bagaimana kondisi keluarga pendakwahnya, begitu setidaknya.

Kestabilan dari perjalanan dakwah ini, sedikit banyak akan terukur dari seperti apakah kestabilan keluarga para pendakwahnya. Hanya, Rasulullah dan para sahabat dahulu selalu mendapat bimbingan Allah langsung jika ada masalah yang mereka hadapi. Sedang kita? Harus banyak belajar dan mengambil pelajaran dari para pendahulu kita. Sambil terus berdoa agar Allah terus mengokokohkan dakwah ini, salah satunya dengan melalui usaha-usaha kita untuk terus mengokohkan peran-peran strategis keluarga kita. Semoga Allah membimbing dan merahmati kita semua.

Dan inilah hadist yang saya maksud di atas :

HR Muslim (1428)

Dari 'Abdullah bin 'Abbas r.a., katanya: "Telah setahun lamanya aku hendak bertanya kepada 'Umar bin Khaththab tentang makna sebuah ayat, tetapi aku tak berani menanyakan karena hormat ku kepadanya. Setelah musim haji tiba, beliau pergi haji dan aku pun pergi pula bersama-sama dengannya. Ketika kami dalam perjalanan pulang, beliau pernah menyimpang jalan untuk buang hajat dan aku menunggunya hingga beliau selesai.

Kemudian aku berjalan pula kembali bersamanya. Ketika itulah aku bertanya kepada beliau, "Ya, Amirul Mukminan! Siapakah dua orang wanita di antara para isteri Rasulullah saw. yang bekerja sama menentang kebijaksanaan beliau?" Jawab beliau, "Mereka adalah Hafshah dan 'Aisyah." Lalu kata ku, "Demi Allah! Aku bermaksud menanyakan masalah ini kepada anda sejak setahun yang lalu. Tetapi aku tidak berani karena menghormati kehebatan anda." Jawab Umar, "Jangan begitu! Apa yang engkau duga bahwa aku mengetahuinya, tanyalah langsung kepada ku; jika ternyata aku memang mengetahuinya, akan ku jelaskan padamu."

Kata 'Umar selanjutnya, "Di masa jahiliyah, kami tidak pernah mengikut sertakan wanita dalam suatu urusan, sehingga tiba waktunya Allah menentukan kedudukan dan peranan mereka, seperti tersebut dalam firmanNya. Maka pada suatu waktu, ketika aku sedang memikirkan suatu urusan, tiba-tiba isteri ku berkata, "Bagaimana kalau anda buat begini dan begitu?" Lalu kata ku kepadanya, "Mana engkau tahu. Engkau tidak usah turut campur dan jangan susah-susah memikirkan urusan ku." Jawabnya, "Anda ini sangat aneh, hai anak Khaththab! Anda tidak mau bertukar fikiran dengan ku, padahal puterimu (Hafshah) selalu bertukar fikiran dengan Rasulullah saw., sehingga pernah sehari semalam dia bermarahan."

Mendengarkan hal itu, lalu ku kenakan pakaian ku, sesudah itu aku pergi ke rumah Hafshah. Sesampai di rumah Hafshah aku berkata kepadanya, "Hai, puteri ku! Betulkah engkau suka membantah Rasulullah saw. sehingga sehari semalam bermarahan?" Jawab Hafshah, "Demi Allah! Kami hanya bertukar fikiran." Lalu kata ku, "Ketahuilah hai anakku! Aku peringatkan kepada mu siksa Allah dan kemarahan Rasul-Nya. Sekali-kali janganlah engkau terpengaruh dengan kebanggaan seseorang karena kecantikannya dan karena cinta Rasulullah kepadanya." Kemudian aku pergi dan singgah di rumah Ummu Salamah, karena Ummu Salamah itu kerabat ku. Kepadanya kuceritakan hal tersebut di atas. Jawab Ummu Salamah, ”Anda keterlaluan hai anak Khaththab! Anda masuki segala urusan, sampai-sampai kepada urusan rumah tangga Rasulullah saw. dengan para isteri beliau." Ucapan Ummu Salamah itu menyinggung perasaanku, sehingga sangat berkesan di hati ku. Karena itu aku pergi meninggalkannya.

Dan aku mempunyai seorang sahabat dari kalangan Ansar, yang selalu saling memberi informasi satu sama lain antara kami berdua. Saat itu kami sedang berjaga-jaga terhadap seorang raja di antara raja-raja Ghassan, yang bermaksud hendak menyerang kami. Hati dan fikiran kami ketika itu sesungguhnya banyak terpusat kepada masalah serangan Bani Ghassan ini. Tiba-tiba sahabat Ansar ku datang mengetuk pintu seraya katanya, "Buka pintu, buka!" Aku bertanya, "Apakah pasukan Bani Ghassan telah datang?" Jawabnya, "Lebih hebat dari serangan pasukan Ghassan. Rasulullah saw. menjauhkan diri dari para isteri beliau." "Celaka si Hafshah dan 'Aisyah," bisik ku.

Kemudian ku kenakan baju ku, lalu aku pergi menemui Rasulullah saw. Kiranya beliau berada di gudang simpanan barang-barang yang dapat dinaiki dengan tangga. Seorang pelayan Nabi saw. berkulit hitam sedang berada di kepala tangga. Aku berkata kepadanya, "Aku ini 'Umar!" Lalu aku diizinkannya masuk, dan ku ceritakan kepada Rasulullah saw. Hal yang baru ku dengar dan ku alami. Ketika aku menceritakan pertemuan ku dengan Ummu Salamah. Rasulullah saw. tersenyum. Beliau tidur di tikar tanpa alas, pakai bantal kulit berisi sabut. Dekat kaki beliau terletak selonggok biji qarazh dan di dekat kepalanya tergantung kulit yang baru disamak. Aku melihat bekas tikar berkesan di punggun beliau. Karena itu aku menangis sambil berkata, "Ya, Rasulullah Kisra Persia dan Kaisar Rumawi bermewah-mewah di istana mereka dengan apa yang dimilikinya. Anda adalah Rasulullah." Sabda Rasulullah saw., "Apakah engkau tidak rela keduanya memiliki dunia, sedangkan engkau memiliki akhirat?"

Kamis, 21 Agustus 2008

Ramadhan Mubarak

Wahai diri...
Sudahkah engkau mempersiapkan diri akan datangnya syahrul mubarak ini
Masih ada waktu tersisa untuk bersiap
Maka, gunakan segera

Lembar Mutaba'ah Harian
Edisi Ramadhan 1429 H
------------------------------------------------------------
No Aktifitas Syiar Yaumiyan Target Harian
------------------------------------------------------------
1 Tilawah Al Qur'an 2 Juz
2 Menghafal Juz 28 3 ayat
3 Sholat Maghrib Berjama'ah di Masjid 1x
4 Sholat Isya' Berjama'ah di Masjid 1x
5 Sholat Subuh Berjama'ah di Masjid 1x
6 Sholat Dhuhur Berjama'ah di Masjid 1x
7 Sholat Ashar Berjama'ah di Masjid 1x
8 Sholat Taraweh 1x
9 Qiyamul Lail 1x
10 Sholat Dhuha 1x
11 I'tikaf
12 Infak dan Shodaqoh
13 Membaca Buku Islami
14 Taklim/Tatsqif/Kajian
15 Mengisi Halaqoh
16 Mengisi taklim/kultum
17 Menghafal Hadist
18 Membaca Dzikir Ma'tsurat 2x
-----------------------------------------------------------

Jadikan Ramadhan kali ini
Yang terindah dalam hidupmu

Ada Sekeping Rindu

Ada sekeping rindu
Terselip di lubuk hati terdalamku
Hanya untukmu
Jika engkau sadari itu

Ada sebongkah resah
Yang terus mendera
dalam langkah-langkah ini
Wahai bidadariku

Jika engkau berkenan
Maka dengarkan detak rindu itu
Terus mengalun
Dalam sudut-sudut sepi
Di segala relung jiwa ini

Hanya kepadamu
Satu...

Tentang Keterdahuluan dan Kebersegeraan

Tentang Keterdahuluan dan Kebersegeraan

Saya tidak tahu dua kosa kata di atas ini sesuai dengan kaidah baku Bahasa Indonesia atau tidak. Akan tetapi, keduanya menghiasi pikiran saya tadi malam setelah sebelumnya saya membaca sebuah taujih dari struktur di wilayah saya.

Dalam generasi Islam, kita mengenal adanya asabiqunal awalun, yaitu generasi pertama yang masuk Islam. Mereka memiliki keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki generasi setelahnya, dan Allah pun memuji mereka dengan sebutan umat terbaik (khairu ummah). Sayyid Qutb pun melabeli mereka dengan sebutan generasi qur�ani yang unik, karena kehidupan mereka seolah-olah seperti pengejawantahan sepenuhnya dari nilai-nilai yang terkandung dalam Al Qur�an. Keunggulan keimanan mereka pun kita tentu tidak perlu menyangsikannya.

Dalam beribadah pun kita dikenalkan nilai-nilai bahwa sholat yang di awal waktu itu lebih utama jika dibanding sholat setelah waktu berikutnya bergulir. Nilai shaf pertama lebih baik dari pada shaf-shaf belakangnya. Pun anjuran-anjuran untuk bersegera dalam melakukan amal-amal kebaikan, banyak kita jumpai dalam Al Qur�an, semisal dalam surat Ali Imran : 133 :

133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

Dalam sebuah hadits Rasulullah juga bersabda, �badiru bi a�mali shalih�� bersegeralah kalian dalam beramal shalih, anjuran sekaligus perintah inipun menegaskan urgensi hal tersebut di atas.

Ikhwati fillah�
Kata kunci yang ingin saya tekankan di sini adalah konsep dua hal di atas tadi, pertama keterdahuluan dan yang kedua adalah kebersegeraan. Dengannya maka akan kita mendapatkan kualitas sesungguhnya dari sesuatu yang kita dahulukan dan kita segerakan tadi.

Kedua hal tadi saling terkait tidak bisa lepas satu sama lain, meski tidak selalu. Untuk menjadi barisan generasi terdahulu, tentu seseorang harus bersegera. Tetapi ada kalanya kita �hanya� perlu bersegera, karena ada barisan generasi yang telah mendahului kita. Tapi kita juga harus ingat bahwa akan generasi berikutnya yang akan mengikutinya sehingga pada saatnya kita juga telah �mendahului� mereka.

Kita tentu bisa melihatnya langsung kepada profil generasi sahabat sebagai generasi terbaik. Mereka generasi pertama dalam dakwah ini, pasti. Respon terhadap seruan-seruan kebaikan dan dakwah pun, mereka selalu berlomba-lomba menjadi yang terdepan memberikan contoh dan tauladan.

Begitulah seharusnya...
Terhadap seruan-seruan dakwah dan kebaikan, hendaklah kita berusaha menjadi yang pertama dan bersegera dalam seruan-seruan itu. Jangan pernah terbesit keraguan, jika itu memang seruan dakwah. Jangan pernah berikan peluang berpikir ulang untuk menunda, jika itu adalah seruan-seruan kebaikan. Sebagaimana ketika adzan berkumandang, maka hendaklah kita bersegera untuk menyambut seruan itu.

Kita tentu tidak ingin seperti kaum yahudi yang dalam Al Qur�an suka menawar-nawar perintah dakwah maupun kebaikan. Bahkan mereka pun terlalu banyak bertanya yang tidak seharusnya sehingga hampir-hampir mereka lupa dan lalai dengan perintah yang sesungguhnya. Dan justru itu kemudian mempersulit diri mereka.

Ikhwati fillah...
Ketika kita memanggil anak kita dan kemudian kita melihat respon anak kita tidak bersegera memenuhi panggilan kita, tentu kita akan kecewa bahkan kadang marah. Kita berpikir bahwa sebagai orang tua yang telah membesarkan mereka, semestinya mereka bersegera merespon dan menghampiri kita begitu kita memanggilnya.

Tentu Allah sebagai Dzat yang telah menciptakan kita dan menguasai hidup dan mati kita, jauh lebih berhak untuk kita dahulukan dan segerakan panggilannya. Seruan-seruan Allah melalui seruan-seruan dakwah, selayaknya kita tempatkan dalam urutan teratas dalam aktifitas hidup kita. Sebagaimana sahabat Handzalah yang bersegera memenuhi seruan jihad yang telah berkumandang, meskipun saat itu dia sedang berbulan madu dengan istrinya. Dia tidak perlu menawar-nawar, dia tidak perlu berpikir ulang, karena itu panggilan dari Allah melalui Rasul-Nya.

Semoga Allah, Dzat yang Maha Pemurah, menganugerahi kita semua dengan hati yang peka dengan seruan-seruan-Nya. Sehingga kita bisa menjadi generasi yang selalu terdahulu dan bersegera dalam seruan-seruan itu.

Allahu �alam..

Kamis, 07 Agustus 2008

Dasar Pelupa…!

Pagi itu kereta sampai di stasiun tugu lebih cepat dari biasanya. Pukul 04.00 kurang. Langsung saya menemui mas pengojek yang menjadi langganan saya. “Kulo kinten nitih gajayana mas, wau kula tenggo kok mboten ketingal-ketingal” sapanya begitu melihat saya. “Nggih mas, lha angsale tiket malem. Dados nggih sak angsale mawon…” jawab saya.

Menyusuri kawasan jalan magelang, biasanya jika saya pulang dengan naik gajayana yang berarti sampai di jogja sekitar jam 02.00, saya selalu akan menjumpai mobil-mobil parkir berderet. Seakan-akan ada yang sedang punya hajatan pernikahan. Tak kalah motor-motor pun juga berderet di tempat tersendiri. Beginilah kehidupan malam di jogja. Ada dua tempat yang menjadi tempat ’pelepas penat’ di sana, bagi orang-orang bermobil tadi. ”Ya begitu itu mas tiap malam, apalagi kalo akhir pekan begini.” katanya mas ojek ketika saya mengomentari keramaian tersebut.

Saya memang tidak bisa membayangkan, kesenangan macam apa yang orang-orang peroleh di dalam sana. Hanya dalam persepsi saya, setidaknya kehidupan malam di dalam sana biasanya identik dengan musik, minuman keras dan wanita. Ah, semoga saja saya salah. Persepsi itu timbul karena memang saya hanya melihatnya dari tayangan-tayangan di televisi saja.

Tak terasa perjalanan telah sampai di depan rumah saya. Memakan waktu hampir 20 menit. Setelah saya membayar ongkos ojek, langsung saya mengetuk pintu. ”Dek... assalamu’alaikum.” Pelan saya ketok pintu depan rumah saya. ”Wa’alaikumussalam.” sahut istri saya sambil membukakan pintu. Ya, istri saya sudah bangun dan menunggu kedatangan saya. Tadi sewaktu menjelang stasiun tugu, saya sempat ber-sms-an dulu dengannya.

Satu pelukan dan kecupan di keningnya saya persembahkan untuknya. Menu rutin akhir pekan jika saya pulang. Ehmm... sambil mengambilkan segelas air teh hangat, istri saya bertanya, ”Bawa apa Mas...?” ”Ya, paling susu kotak buat anak-anak to.” jawab saya santai. ”Lupa ya..?” lanjutnya. ”Lupa? Memang ada apa? Dek gak ada pesan apa-apa kan kemaren?” saya jadi bertanya-tanya.

Sejenak saya lihat dia memperhatikan tanggal di kalender. Sekali lagi dia berucap, ”Lupa ya..?” sambil tersenyum. Saya masih belum menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Dalam kepala saya berputar tiga kata : pulang, lupa, dan kalender. Butuh beberapa saat bagi saya untuk mencari keterkaitkan tiga kata tersebut dengan sikap istri saya. ”Hari ini tanggal berapa?” pancingnya.

Deg. Ternyata saya baru ingat, hari ini adalah milad istri saya. Padahal baru kemaren sore saya menulis perbedaan tanggal lahir saya dan istri yang terbilang mudah di ingat karena tinggal membalikkan saja. Bulan lahir kami pun apalagi sama. ”Memang orang-orang sedunia pada lupa kayaknya...” lanjutnya sambil tersenyum.

Sejenak kembali saya rengkuh dia dalam pelukan saya. ”Afwan ya dek, kelupaan. Selamat milad ya. Semoga di umur yang tersisa semakin membawa berkah. Abi bawa coklat di tas.” kata saya. ”Tapi niatnya buat anak-anak kan?” tanyanya. ”Iya juga sih...” jawab saya sambil tertawa. Istri pun ikut tertawa. Mafhum...

Dari masjid dekat rumah kami, adzan subuh telah berkumandang. Alhamdulillah ya Allah. Kau berikan untukku seorang istri yang menerimaku apa adanya. Karena dalam beberapa hal, saya memang pelupa !

Terima kasih Cinta !

Selasa, 05 Agustus 2008

Belajar Ikhlas

Hari Selasa pekan yang lalu, kajian di kantor saya diisi oleh Ust. Sukeri Abdillah. Wajah beliau sudah saya kenali sedari beliau menjadi presenter acara kajian pagi di salah satu stasiun televisi swasta, beberapa tahun yang lalu. Di Jakarta pun, saya pernah sekali sholat Juma’at dengan khatib beliau.

Hari sebelumnya teman-teman sudah senyum-senyum jika bertemu dengan saya, “Ustadz, besok mau mengisi kajian ya?” ledek mereka. Hanya karena nama saya mempunyai kesamaan dengannya. Bahkan pagi menjelang acara dimulai, ada yang iseng menjemput ke meja saya. “Ustadz, acara sudah hendak dimulai. Ustadz dimohon segera ke mushola.” Dan saya pun tidak kalah menggoda, “Oh iya? Kalo begitu kita harus segera ke sana.”

Mushola kami berada di lantai 7. Untuk menuju ke sana kami harus melalui lift, atau kalau mau olah raga sedikit bisa lewat tangga darurat. Ketika memasuki lift, masih saja teman-teman bercanda, ”Ayo, ustadz buruan.” Tiba-tiba pandangan saya tertuju kepada sosok di hadapan saya yang langsung saya kenali. ”Lha ini ustadznya sudah ada. Maaf ustadz, ini temen-temen pada bercanda.” langsung saya salami beliau. ”Oh iya, memang kenapa?” tanyanya langsung nyambung. ”Ini, kebetulan nama kita ada kesamaannya. Cuma kalo saya gak pakai abdillah.” jawab saya. ”Oh, begitu.”

Teman-teman mendadak menjadi kikuk. Mungkin merasa tidak enak saja. Perjalanan menuju mushola kami hanya sempet ngobrol beberapa kata. ”Memang antum dari mana asalnya?” tanya beliau. ”Klaten ustadz.” Jawab saya. ”Oh, kalo saya dari Tegal.” Kata beliau. Hmm...

Pengajian siang hari itu kemudian segera dimulai. Beliau memaparkan tentang makna keikhlasan dalam bekerja. Untuk mencapai keikhlasan, maka ada beberapa hal yang harus kita persiapkan :
1. quwwatul ghoyah wal istiqomah (kekuatan orientasi dan konsistensi)
2. al afwu (meringankan kesalahan orang lain)
3. itsarul amal (mendahulukan kepentingan orang lain)
4. al mujahadah (bersungguh-sungguh)

Saya tidak ingin menguraikan satu per satu poin-poin di atas. Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa ikhlash merupakan sesuatu yang mudah diucapkan, tapi berat dan susah dalam pengamalannya. Ustadz Mujab Mahalli, seorang kyai di bilangan Krapyak Yogyakarta, dalam sebuah bukunya menceritakan tentang contoh sebuah keikhlasan.

Tersebutlah seorang kyai yang mempunyai dua orang santri yang telah lulus dari pondoknya. Kebetulan keduanya bersaudara dan tinggal berdekatan. Sebut saja namanya Karyo dan Kardi. Setelah sekian bulan lamanya mereka tidak bertemu kyai mereka, ada kerinduan dalam diri mereka.

Karyo mengutarakan hal itu kepada istrinya, ”Aku kok kangen sama pak kyai ya, Bune. Bagaimana kalo kita sowan beliau?” ”Ya bagus tho Pakne, saya setuju itu.” jawab istrinya. ”Kita bawa oleh-oleh ya buat beliau, kita punya apa?” tanya Karyo. Mereka hanya seorang petani desa dengan ladang yang tidak begitu luas. ”Ya, cuma ketela di belakang rumah itu, Pakne.” kata istrinya. ”Ya sudah, tujuan kita kan silaturahmi. InsyaAllah beliau berkenan.” kata Karyo mantab.

Singkat cerita, mereka berdua akhirnya sampai di rumah kyai mereka. Kyai dan santri itu banyak berbincang sambil melepas kerinduan mereka. Ketika hari menjelang sore, Karyo dan istrinya berpamitan. ”Tunggu sebentar ya.” kata sang kyai sambil ke ruang dalam mengajak istrinya. ”Nyai, apa yang kita punyai untuk oleh-oleh si Karyo?” tanya kyai kepada istrinya. ”Cuma seekor kambing di belakang itu, kyai.” jawabnya. ”Yo wis, kita bawakan untuk si karyo ya.” kata kyai. Karyo pulang ke desanya sambil menuntun seekor kambing, pemberian sang kyai.

Sampai di rumah, demi melihat Karyo menuntun seekor kambing, Kardi bertanya kepadanya, ”Lah, dari mana kamu yo? Kok pulang-pulang membawa seekor kambing?” ”Dari rumah kyai.” jawab karyo singkat. ”Memang kamu bawa oleh-oleh apa tadi?” tanya kardi penasaran. ”Cuma bawa ketela pohon saja.” kata Karyo.

Tiba-tiba pikiran Kardi berhitung matematis. Jika Karyo saja sowan kyai membawa ketela diberi seekor kambing, kalo bawa seekor kambing pasti dapatnya paling tidak seekor sapi.Begitu pikiran dalam benaknya.

Hari berikutnya, segera Kardi mengajak istrinya sowan ke sang kyai. Tidak lupa dia menuntun seekor kambing buat oleh-oleh gurunya itu. Sesampai di rumah kyai, mereka disambut gembira sang kyai. Sama seperti Karyo, mereka berbincang banyak hal sambil melepas kerinduan mereka. Ketika hari beranjak sore, Kardi berpamitan. ”Tunggu sebentar ya.” kata sang kyai. Kyai dan nyai kemudian masuk ke ruang dalam. ”Nyai, kita punya apa buat oleh-oleh si Kardi?” tanya kyai. ”Tinggal ketela yang di dapur itu, kyai. Pemberian Karyo kemaren.” jawab nyai. ”Ya sudah, bawakan buat si Kardi ya.” kata kyai. Akhirnya Kardi pulang dengan hati dongkol karena hanya memperoleh sekarung ketela. Ia tidak mendapatkan oleh-oleh seperti yang dia bayangkan sebelumnya.

Inilah gambaran sederhana dari makna ikhlash. Bahwa keikhlasan itu adalah manakala dalam beramal maupun beraktifitas, tidak ada pamrih lain yang mengotori niat awal kita.

Apalagi kemudian ketika kita kaitkan dengan hidup kita. Bahwa sesungguhnya misi utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya. (lihat QS Adz-Dzariyat : 56). Ini mengandung arti bahwa semestinya semua akfitas keseharian kita ghoyahnya (orientasinya) adalah ’hanya’ untuk beribadah kepada-Nya. Ini dahulu yang perlu diluruskan. Sehingga kemudian dalam perjalanannya, pamrih-pamrih dan kepentingan-kepentingan manusiawi kita semestinya tidaklah yang menjadi orientasi hidup kita.

Ketika orientasi telah benar-benar untuk mengabdi kepada-Nya, dan kita bisa konsisten di sana, maka kembangan-kembangan tadi – kepentingan-kepentingan manusiawi kita baik berupa jabatan, harta, penghargaan, dll – itu adalah pekerjaan-Nya. Dia yang akan mencukupkan kita, sejauh yang menjadi hak kita. Dan manakala Dia telah mencukupkan kita, banyak sedikit rejeki atau hasil yang kita dapat dari-Nya tidaklah penting. Yang terpenting adalah ketika semua itu menjadi berkah bagi hidup kita.

Terus, kesimpulannya ikhlash itu seperti apa? Silakan disimpulkan masing-masing. Saya tidak ingin menyempitkan pandangan kita tentang ikhlash. Yang terpenting adalah bagaimana kita mencoba terus belajar ikhlash, ikhlash, dan ikhlash. Termasuk ikhlash terhadap ketentuan-ketentuan (baik qadha maupun qadar) yang Allah tetapkan atas hidup kita. Dengan terus berkarya dengan sesuatu yang terbaik. Sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.

Allahu a’lam bish-shawab.

Jumat, 01 Agustus 2008

Berawal dari kemudahan-kemudahan…

“Akh, bagaimana kalo calon antum umurnya lebih tua dari antum?” Tanya Mas Sam, salah satu personel group nasyid Najmuddin. Murabbi saya yang waktu itu belum menikah, mengamanahkan proses perjodohan saya kepada Mas Sam ini. Saya tahu, banyak akhwat kakak kelas yang masih menunggu ikhwan datang melamarnya. Cerita ini sudah sering saya dengar. “InsyaAllah, saya siap dan tsiqoh.” Jawab saya mantab.

Potongan dialog ini terjadi di sebuah pagi di awal bulan ramadhan, di sebuah rumah kontrakan di dalam kawasan PJMI. Itu adalah awal skenario bertemunya saya dan calon istri. Setelah calon istri saya menerima bio data saya dan tidak ada keberatan, beberapa hari berikutnya saya menerima biodata dia. Sebuah pesan menggantung di sekretariat masjid MBM, ”To Pak Keri : Segera ke rumah saya. Saya tunggu. Sam” Begitu bunyi pesannya.

Harap maklum, komunikasi waktu itu hanya via telepon. Atau catatan-catatan seperti itu. Sehingga kemungkinan infonya akan kadaluarsa amat besar. Tidak seperti sekarang, komunikasi begitu lancarnya baik via hp maupun email.

Pesan itu adalah pesan untuk mengambil bio data. Berjalan kaki, dengan semangat ’45 saya susuri jalanan dari MBM ke PJMI, melewati gang-gang di Pondok Jengkol yang jika musim hujan beceknya minta ampun. Jika melewatinya waktu ba’da Maghrib, maka di sela-sela deretan kamar-kamar kost anak STAN itu, akan kita dengarkan alunan ayat-ayat Al Qur’an dari mereka. Menyejukkan hati.

Dari rumah Mas Sam setelah mengambil bio data, saya kembali ke MBM. Seusai sholat Dhuhur, tidak sabar saya kembali ke kost dulu agar bisa kosentrasi membuka bio data tersebut. Saya belum berani membuka fotonya. Dari bio datanya, saya tahu dia lebih tua dari saya 3 tahun. Kami lahir di bulan yang sama, hanya tanggal yang sedikit dibalik. Jika saya lahir tanggal 20, maka dia dilahirkan tanggal 02. Setelah membaca semuanya akhirnya saya beranikan melihat fotonya dari dalam amplop. Hmmm...

Malam itu, jadwal saya i’tikaf di Masjid Al Hikmah. Saya memang membagi waktu iktikaf beberapa malam di MBM dan beberapa malam berikutnya Al Hikmah. Tak lupa saya bawa amplop tersebut dalam tas saya. Alhamdulillah, Allah makin berikan kemantapan dalam hati untuk menikahinya. Beberapa hari hari kemudian saya kabarkan kemantapan itu kepada Mas Sam, untuk kemudian disampaikan ke calon istri saya.

Itulah kemudian menjadi bagian dari awal-awal kemudahan kami berikutnya. Sampai kemudian akad nikah kami pun bisa berjalan dengan lancar. Semoga Allah senantiasa menyederhanakan dan memudahkan urusan kita.

Sekedar Menapaktilasi Perjalanan

Februari 1998

Akhir ramadhan pada 1418 H kalau tidak salah, atau sekitar bulan Februari 1998, 10 tahun yang lalu. Saya masih ingat di salah satu ruangan Masjid Baitul Mal kampus kami, saya sedang tiduran di tengah aktifitas i’tikaf waktu itu. Ada dua hal yang begitu menggelayuti pikiran saya. Pertama, penempatan kerja yang masih menjadi teka-teki saya. Entah, sepertinya saya merasa yakin akan mendapatkan penempatan di pulau Jawa. Yang kedua, saya sedang menunggu jawaban dari seorang gadis. Ehhmm...

Tiba-tiba salah seorang sahabat saya membangunkan saya. ”Ente penempatan di Palembang. Bareng ama Muji n Tenang.” Oops, Palembang? Padahal si dia kan instansinya bepeka. Palembang sepertinya belum ada bepeka. Begitu pikir saya. Ah, insyaAllah nanti akan ada jalan keluar.

Malam harinya ada telepon buat saya. Ternyata dari murabbiyah gadis tadi. Setelah mengabarkan seperlunya, beliau menanyakan kesiapan saya. “Oke, insyaAllah saya siap ta’aruf mbak. Tolong nanti dikabarkan waktu dan tempatnya.” Begitu jawab saya. Sempat saya sampaikan juga bahwa saya penempatan di Palembang. Persisnya di Kanwil III DJP Sumbagsel. Sebagai bahan pemberitahuan kepada sang gadis juga.

Alhamdulillah, semua dimudahkan. Ternyata di Palembang telah dibuka Bepeka Sub unit Perwakilan Palembang. Proses ta’aruf pun yang sedianya dilakukan di Jakarta akhirnya disepakati langsung di rumah sang gadis, di Semarang. Karena dia sudah terlanjur pulang untuk berlebaran. Tiga hari pasca idul fitri tahun itu saya ta’aruf dengannya sekaligus dengan orang tuanya. Itulah momen pertama kali saya melihat calon istri saya.

Sepekan dari hari itu, saya datang dengan orang tua saya untuk meminang gadis tersebut. Forum yang sederhana, orang tua saya bertemu dengan orang tua dia. Kami akhirnya menetukan hari h pernikahan kami, satu setengah bulan setelah hari itu.

Maret 1998

Awal maret ini, merupakan kali pertama saya menginjakkan kaki di bumi swarnadwipa. Palembang. Dengan menumpang bis Putera Remaja kelas super eksekutif (waktu itu masih Rp. 60.000), merupakan pengalaman tersendiri bagi kami.

05 April 1998

Ini adalah hari pernikahan saya. Awal bulan dzulhijah, seingat saya 2 hari menjelang hari raya idul adha. Ada banyak cerita di momen bersejarah ini, yang menurut saya harus diceritakan dalam cerita tersendiri. Saya langsung dari Palembang menuju Jakarta, berombongan dengan teman-teman berangkat dari arah Jakarta. Sementara sahabat-sahabat dari klaten dan keluarga berangkat dalam dua rombongan.

Saya harus berterima kasih kepada sahabat-sahabat saya yang berkenan menemani saya pada hari pernikahan saya tersebut. Semoga Allah membalas kebaikan antum antunna semua dengan balasan yang jauh lebih baik. Dan semoga Allah senantiasa memberkahi antum dan keluarga.

Jakarta - Palembang

Praktis sepekan setelah akad nikah, saya harus kembali ke Palembang. Istri kemudian mulai proses mengurus kepindahan dari Jakarta ke Palembang. Jeda sampai dengan keluarnya SK kepindahan istri ke Palembang, kami menjalani kehidupan jarak jauh. Sebulan sekali saya berkunjung ke Jakarta. Transportasi yang bisa kami jangkau hanyalah bis. Inilah periode pertama perpisahan saya dan istri.

Dramatis. Barangkali bisa dikatakan demikian. Banyak momen besar terjadi dalam periode ini. Puncak krisis ekonomi di Indonesia. Demo besar-besaran reformasi. Hingga lengsernya Pak harto dari kursi kepresidenan.

Ketika kerusuhan Mei 1998, ketika penjarahan dan pembakaran terjadi di jalanan-jalanan ibu kota. Ketika korban mulai berjatuhan di semanggi dan trisakti. Palembang pun bergolak. Demo, perusakan, dan pembakaran terjadi di beberapa ruas jalan. Sore itu saya harus berangkat ke Jakarta. Bis yang saya naiki harus berputar-putar untuk menghindari kerumunan-kerumunan massa. Kru bis memimpin doa, agar perjalanan sampai Jakarta selamat. Sesuatu yang tidak biasa.

Pagi sesampai di Jakarta, sepanjang jalanan dari atas bis saya hanya bisa melihat bekas-bekas kerusuhan. Puing-puing berserakan di sana-sini. Benar-benar kerusuhan yang luar biasa, hanya itu yang bisa saya bayangkan.

Pagi 20 Mei itu, saya berdua istri hendak berangkat ke monas. Kami tidak tahu jika acara peringatan kebangkitan nasional besar-besaran yang dimotori Pak Amin Rais di monas itu dibatalkan. Yang kami tahu kemudian hanyalah kenyataan bahwa semua akses jalan ke arah monas diblokade. Tentara dan mobil panser ada di mana-mana, hampir di tiap perempatan besar. Akhirnya kami berangkat ke senayan, bergabung dengan para mahasiswa yang telah lebih dulu menduduki senayan. Ah, benar-benar hari yang penuh kenangan.

Inilah bagian dari kenangan-kenangan periode Jakarta-Palembang. Kurang lebih 5 bulan saya harus menjalaninya. Hingga akhirnya istri bisa pindah Palembang pada bulan Juli atau Agustus berikutnya.

Palembang

Menempati sebuah rumah petak di daerah dekat sport hall, yang kami sewa Rp. 900rb satu tahun, kami mengawali hidup di Palembang. Di sini pulalah kemudian lahir anak kami yang pertama. Malam itu jam 23.00 istri saya sudah mulai merasa sering kontraksi. Sempat sedikit panik karena saya belum punya kendaraan. Mencari angkutan/taksi adalah hal yang susah di malam seperti ini. Saya mengetuk pintu seorang ikhwah telkom (Pak Hendra Noviar) yang kontrakannya di blok belakang kami. Yang saya tahu dia mempunyai mobil. Ternyata dia mengabarkan bahwa mobilnya telah dia jual.

Saya ingat dengan sahabat lain yang tinggal di komplek PUSRI, namanya M Luthfi. Ya, orang tuanya punya mobil. Dengan pinjaman telepon ikhwah telkom tadi, saya mengontak dia. Alhamdulillah, dia bersedia. Kurang lebih pukul 23.45 mobil datang. Kami segera berangkat ke rumah sakit bersalin. Pukul 00.05 kami telah sampai di rumah sakit. Alhamdulillah, Allah memudahkan semuanya. Kurang lebih 20 menit kemudian anak pertama kami lahir. Hari itu, 16 April 1999, satu tahun sejak pernikahan kami.

September tahun 1999, istri akhirnya harus kuliah S2 di Yogyakarta. Sejatinya dulu ketika awal pernikahan persiapan yang dilakukannya adalah untuk S2 luar negeri, tapi saya tidak mengijinkannya. Jadilah istri dengan anak saya berangkat lebih dulu ke Yogyakarta. Waktu mengantar ke sana, akhirnya kami dapatkan kost di sebuah rumah yang dikontrak bersama beberapa akhwat di sana. Nama kostnya TSABITA.

Palembang – Yogyakarta

Ini periode kedua perpisahan saya dengan istri dan anak. Sebulan sekali saya pulang ke Jogjakarta. Jalur darat dengan bis kurang lebih menempuh waktu 36-40 jam. Perjalanan yang melelahkan. Kesendirian di Palembang cukup menguras pikiran saya. Lebih terasa ketika bulan puasa mulai menjelang. Beruntung ada 2 sahabat saya dari BPKP yang kontrak di sebelah kontarakan saya. Lumayan untuk menemani hari-hari sepi saya.

Menginjak awal tahun 2000 saya menyampaikan kondisi saya ke atasan dan akhirnya mengajukan permohonan pindah ke Yogyakarta pada awal Februari tersebut. Setelah kurang lebih 6 bulan berpisah, akhir Maret keluar SK kepindahan saya ke Yogyakarta. Alhamdulillah Allah mudahkan.

Yogyakarta (1)

Di Yogyakarta kami mengontrak sebuah rumah sederhana, 1,4 juta satu tahun. Sebuah rumah semi permanen. Dinding luar tembok, sekat-sekat di dalam memakai triplek. Sengaja kami mencari lokasi dekat dengan kampus, agar memudahkan istri jika hendak kuliah.

Alhamdulillah, kuliah istri berjalan lancar. Bahkan saat menyusun tesis adalah saat-saat dia mengandung anak kami yang kedua, dia dapat menyelesaikannya dengan baik. Hingga akhirnya istri melahirkan anak kami pada 04 januari 2001. Seorang bayi perempuan. Lengkap sudah kebahagiaan kami dengan dikaruniakannya kepada kami sepasang anak laki-laki dan perempuan.

Sekitar bulan Maret 2001 istri wisuda. Persoalan berikutnya datang, selesai kuliah istri harus kembali ke Palembang. Dan periode ketiga perpisahan saya dengan istri dan anak-anak harus saya jalani.

Yogyakarta – Palembang

Pada awal-awal kembalinya istri ke Palembang, sempat kami berbagi anak. Yang sulung ikut saya di Yogyakarta sementara yang kecil karena masih menyusu, ikut istri ke Palembang. Usianya baru 5 bulanan waktu itu, sedangkan kakaknya usianya 2 tahun.

Setelah sebelumnya sempat menumpang di rumah seorang ikhwah karena belum mendapatkan kontrakan di Palembang, akhirnya istri mendapat sebuah kontrakan tidak jauh dari kontrakan awal kami dulu. Sewanya 1,2 juta satu tahun.

Karena berbagai pertimbangan, akhirnya si sulung saya antarkan ke Palembang juga. Sehingga istri bertiga dengan anak-anak di Palembang, sementara saya sendirian di Yogyakarta. Alhamdulillah, kami akhirnya dapatkan seorang khadimat yang bisa menemani istri dan anak-anak di sana.

Periode ini bagi saya lebih terasa berat lagi. Membayangkan istri dengan dua orang anak di pulau seberang sana, membuat hati ini teriris-iris. Kami kemudian mengupayakan permohonan pindah ke Yogyakarta. Telah beberapa pejabat bepeka kami datangi, tapi berkahir mentok. SK Kepindahan tidak kunjung datang.

Satu atau dua bulan sekali kembali saya harus melewati jarak Yogyakarta-Palembang dengan bis yang menempuh waktu 36 – 40 jam. Satu tahun lebih saya menjalani ini. Cukup melelahkan dan menguras energi. Hingga kemudian ketika ada pergantian sekjen bepeka, ada kebijakan untuk mempermudah kepindahan mengikuti suami. Menjelang akhir tahun 2002 istri bisa mendapatkan SK pindah ke Yogyakarta. Alhamdulillah. Akhirnya kembali kami bisa berkumpul.

Yogyakarta (2)

Tahun 2002, KPP Yogyakarta pecah menjadi dua, KPP Yogyakarta Satu dan KPP Yogyakarta Dua. Saya termasuk satu dari sekian puluh pegawai yang ikut dipindahkan ke KPP Yogyakarta Dua. Menempati sebuah gedung tua eks gedung departemen sosial. Semua serba darurat. Begitulah gambaran kantor kami waktu itu.

Di sisi lain, berkumpul lagi dengan istri membuat produktifitas kami kembali. Tahun 2003 istri kembali hamil dan melahirkan pada 09 Desember 2003. Anak ketiga kami laki-laki. Alhamdulillah.

Tahun-tahun ini adalah DJP memulai modernisasinya. Terutama dimulai dari beberapa kantor di DKI. Membayangkan kantor yang mempunyai sistem yang lebih baik, menjadi obsesi tersendiri bagi saya dan beberapa teman. Tapi untuk meninggalkan keluarga lagi, bagi saya ini sesuatu yang berat dan harus dipikirkan kembali.

Akhirnya ketika ada panggilan untuk test saringan lagi tahun 2005, yang di formulirnya mencantumkan opsi/pilihan untuk penempatannya, ditambah dengan dorongan dari beberapa atasan kami yang telah terlebih dulu ikut modernisasi di wilayah DKI, saya dan beberapa teman mengikuti test seleksi tersebut. Tentu di opsi penempatan itu saya mencantumkan pilihan pertama Kanwil DJP Jabagteng 2 dan pilihan dua Kanwil DJP Jabagteng 1. Saya sudah trauma untuk berpisah lagi dari keluarga. Opsi ketiga saya kosongkan.

Test pertama dan kedua, saya dan beberapa teman yang dari awal mengikutinya alhamdulillah lulus. Sejauh itu kami belum penempatan. Saya tetap optimis dengan penempatan sesuai permintaan, mengingat tidak akan lama lagi modernisasi merambah ke arah jawa tengah dan jawa timur. Hingga gempa Mei 2006, memporakporandakan kantor kami. Hampir 3 bulan kami tidak bisa bekerja. Kantor harus pindah kantor menyewa sebuah gedung bekas sewaan Bank Mandiri.

Februari 2007, ada diklat SAM. Selama sepekan kami mendapatkan diklat seputar modernisasi DJP. Menginjak hari terakhir diklat, kami semua dikejutkan dengan keluarnya SK Mutasi kami. Dari Jogja, satu orang ke Madya Medan, satu orang ke Madya Sidoarjo, satu orang ke Kanwil Makassar, selebihnya sebelas orang ke Jakarta termasuk saya.

Akhirnya, kejadian ini mesti berulang lagi. Saya lagi-lagi harus berpisah dari istri dan anak-anak. Dan inilah memang kenyataan yang harus kami jalani. Dari sekian orang yang mutasi tersebut, hanya teman kami yang mutasi ke Medan yang memboyong serta keluarganya. Selebihnya, dengan berbagai alasan dan pertimbangan dengan berat hati kami tinggalkan keluarga kami di Yogyakarta.

Mulailah periode keempat perpisahan saya dengan istri dan anak-anak. Kehidupan jarak jauh Jakarta – Yogyakarta menjadi menu saya.

Jakarta – Yogyakarta

Bulan Maret 2007. Dimulai dari bulan inilah saya kembali menjalani kehidupan jarak jauh. Awalnya keinginan saya adalah 2 pekan sekali pulang. Ternyata teman-teman lebih atraktif, tiap pekan kita harus pulang. Dan memang kenyataannya, saya akhirnya tidak bisa untuk tidak pulang tiap pekan.

Alhamdulillah, sepekan sekali saya masih bisa pulang ke Yogyakarta. Teman kami yang di Makassar hanya bisa pulang paling cepat 2 pekan sekali. Itu pun ongkosnya luar biasa karena harus tiket pesawar. Kereta api menjadi sarana transportasi langganan kami. Bahkan mungkin sang kondektur sampai-sampai hafal dengan wajah-wajah kami.

Ya, tentunya kami tidak bisa 100% fokus pada akhirnya. Karena akhirnya pikiran kami harus banyak cabangnya. Meski tertatih-tatih, kami mencoba untuk terus melaksanakan amanah yang diberikan kepada kami. Dan kami belum tahu sampai kapan ujung dari periode ini. Satu yang menjadi harapan kami bahwa hidup bersama kembali dengan istri dan anak-anak kami bisa kami rasakan kembali. Meski kami harus bersabar menunggu saat-saat itu kembali.

Semoga...