Jumat, 31 Oktober 2008

Cinta Aktivis Dakwah

Ini adalah taujih yang ditulis salah satu sahabat saya. Dikutip dari beberapa sumber dengan beberapa modifikasi di sana-sini, begitu pesannya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari tulisan ini. Selamat menikmati.

Cinta Aktivis Dakwah

Akhi… jangan sampai kita menikah… kata seorang ahwat aktivis dakwah disuatu kampus. Terlalu seringnya berinteraksi membuat teman sekampusnya menobatkan mereka jadi Pak Kyai dan Bu Nyai….walau julukan itu sebenarnya hanya ledekan rahasia diantara teman2 mereka dan tanpa disadari oleh keduanya.

Seringnya interaksi dan komunikasi antara dua orang lajang yang berlainan jenis, tentunya reaksi lingkungan akan mengatakan mereka disatukan saja.. mereka dijodohkan saja… namun ketika hal tersebut sulit dihindari karena memang tidak ada orang lain lagi… kemungkinan desiran virus itu mulai merambah dihati sang aktivis…

Bersyukur jika ada rasa tanggung jawab bagi aktifis untuk tetap menjaga kesucian dakwah ini.. agar virus2 tsb tidak perlu berkembang terlalu jauh , menjadi menular pada orang2 lemah disekitarnya.


Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah diundang dan dikehendaki?

Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah Rosullulah saw dan jalan meraih ridho Allah SWT.

Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Jelas, Allah, Rosullah dan jihad fii sabilillah adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah perasaannya, berkahlah cintanya dan berkahlah amal yang terwujud dalam cinta tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenannya jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukan perkara sederhana.

Ketika Ikhwan mulai bergetar hatinya terhadap akhwat dan demikian sebaliknya. Ketika itulah cinta lain muncul dalam dirinya. Cinta inilah yang akan kita bahas disini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yg jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif yang dengan indah dikemukakan oleh ibunda kartini akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada disamping laki-laki yg cakap, lebih banyak kata saya..daripada yang saya usahakan sebagai perempuan yg berdiri sendiri..

Cinta memiliki 2 mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan jaminan kesempurnaan agama dan disisi lainnya adalah gerbang fitnah dan kehidupan yg sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan dan persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada diri sendiri, sudah siapkah jatuh cinta???jangan sampai kita lupa, bahwa segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan, maupun perasaan adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai generasi dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun pentas kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena memuliakan Islam.

Deklarasi Cinta

Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta diatas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa mengusung pembenahan kepribadiaan manusia, maka layaklah kita tempatkan tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku generasi hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang cinta. Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta didewakan dan dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah persaingan, sengketa. Sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja keras dan pengorbanan, serta jembatan jalan kesurga dan kemuliaan Allah, tidak pernah mendapat tempat disana.

Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah terbilang jumlah pengakuan keutamaan kita, sebuah dakwah yang kita gagas, Sudah banyak potret keluarga yg baru dalam masyarakat yg kita tampilkan. Namun berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta masih menjadi topik asing dalam dakwah kita. Wajah, warna, ekspresi dan nuansa cinta kita masih terkesan misteri. Pertanyaan sederhana, Gimana sih, kok kamu bisa nikah sama dia, Emang kamu cinta sama dia?, dapat kita jadikan indikator miskinnya kita mengkampanyekan cinta suci dalam dakwah ini.

Pernyataan ˜Nikah dulu baru pacaran masih menjadi jargon yang menyimpan pertanyaan misteri, Bagaimana caranya, emang bisa?. Sangat sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan, diskusi dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan jargon tersebut.

Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada sang Penguasa. Cinta yang diberkahi karena taat pada sang penguasa. Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan dan perbuatan ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak. Cinta yang berorientasi bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton dan seabrek romantika yang berdiri diatas pengkhianatan terhadap nikmat, rezki, dan amanah yang Allah berikan kepada kita.

Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakan tentang cinta ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan terhadap akhwat, tentang perhatian seorang akhwat pada ikhwan, tentang cinta ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat dan tentang landasan kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih banyak dibuka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut mekanisme yang menyertainya. Paling tidak gambaran besar yang menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga dakwah hari ini.

Setiap kita yang mengaku putra-putri Islam, setiap kita yg berjanji dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna, maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri kepada cita-cita tertinggi, syahid fi sabililah. Inilah perasaan yang istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan Rosullulah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang dakwah kita. Dengan perasaan ini kita naik marhalah dalam dakwah dan pembinaan.

Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini. Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cinta itu juga mereka menghiasi Bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah berkahi nikmat itu dengan lahirnya anak-anak shaleh yang memberatkan Bumi dengan kalimat Laa Illaha Ilallah. Inilah potret cinta yang sakinah, mawaddh, warahmah. jadi sudah berani jatuh cinta??

Mbak Fery Juliatini

Meretas Dakwah Komunitas

Dulu ketika memutuskan untuk membangun sebuah rumah dan hidup di tengah sebuah kampung, ada kesadaran akan konsekuensi pilihan ini. Bahwa menghadapi masyarakat yang majemuk dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang kadang njomplang, tentu dibutuhkan kesabaran yang lebih.

Di kampung, segala sesuatu sering kali diukur dari sisi kontribusi kita di sana. Di kegiatan gotong royong jika kita tidak pernah muncul maka sangat mungkin orang akan membicarakan kita. Di rapat-rapat RT jika jarang kelihatan tentu akan membuat orang memandang kita sebelah mata. Unggah-ungguh dan kesopanan masih di junjung tinggi, kepada yang lebih tua jika tidak bisa menempatkan diri bisa-bisa kita akan dikucilkan di sana.

Tentu ini sangat kontras dengan kondisi jika kita tinggal di perumahan yang memang mendukung gaya hidup individualis, jika kita tidak mewaspadainya. Kesibukan, tingkat pendidikan maupun ekonomi yang biasanya merata membuat satu sama lain sering jarang berinteraksi. Sikap cuek dengan sekitar, sering kali menjadi ciri khas kehidupan di perumahan.

Sekali lagi ini hanya masalah pilihan. Masalah selera. Bagi seorang kader dakwah, di lingkungan manapun yang ia pilih maka begitu dia memutuskan tinggal di lingkungan itu, maka saat itu pula misi dakwah di lingkungan itu juga mulai berjalan. Tidak peduli dia memutuskan tinggal di kampung atau pun perumahan. Kondisi apa pun yang mungkin menghalangi, harus siap dihadapi dan ditaklukkan.

Alhamdulillah saya terlahir hanyalah sebagai orang kampung, juga dengan selera kampung. Maka ketika memimpikan untuk memulai merancang sebuah basis dakwah bagi keluarga saya, saya lebih mantab untuk memulainya di sebuah kampung yang cukup jauh dari perkotaan. Ditambah dengan pengalaman lingkungan perkotaan yang kurang baik dari keluarga istri saya, makin menambah semangat itu.

Kami mengawali semua dari nol. Rumah sederhana itu kami bangun sendiri bersama ayah saya dibantu beberapa tetangga kami. Kami hanyalah pendatang, tidak ada sanak keluarga disana. Tidak ada yang kami kenal di sana kecuali pemilik tanah yang menjual tanah itu kepada kami. Dia seorang kader yang kini menjadi salah satu staf deputi di mempora, beberapa saat setelah kami menempati rumah kami. Praktis kemudian dia pindah dari kampung kami setelah itu. Bahkan mungkin kami di kampung ini pun masih dianggap sebagai anak kemaren sore. Sebuah tantangan.

Selama 4 tahun berinteraksi dan mencoba untuk melakukan penetrasi dakwah dan tarbiyah di sana, ada beberapa pengalaman yang semoga bisa saya bagi di sini. Sebagaimana dulu ketika para nabi dan rasul berdakwah di kaumnya, digambarkan dalam Al Qur’an bahwa sering kali (atau bahkan selalu) yang mereka hadapi dan paling gencar penentangannya kepada dakwah adalah para pemuka kaum. Dalam bahasa Al Qur’an disebut al-mala’.

Maka saya memandang, ketika kita mengusung dakwah di sebuah komunitas - apa pun itu - maka adalah sebuah keniscayaan kita akan berhadapan dengan yang namanya al-mala’ ini. Ciri khas mereka, mereka berpengaruh di masyarakat itu. Biasanya mereka mapan secara ekonomi dan tidak jarang juga pandai. Punya status sosial tinggi. Pendapat mereka hampir selalu diiyakan oleh masyarakat. Apalagi di kampung yang tingkat primordialismenya masih kental.

Dan inilah dakwah. Kita akan bersinggungan dengan Pak RT, Pak RW, Pak Dukuh, Pak Kaum, Ketua Tahlilan, dan jabatan-jabatan informal lainnya. Arus dakwah ini seringkali harus bersinggungan dengan mainstream pakem yang berlaku di masyarakat itu. Sering kali melawan arus utama. Siap tidak siap, kita harus menunjukkan prinsip-prinsip yang kita yakini kebenarannya itu. Dan kadang itu akan berbenturan dengan keyakinan-keyakinan di sana.

Adalah kewajiban kita untuk mendakwahkan semua itu. Dan seni dakwah sya’biyah di sinilah menjadi hal yang harus selalu kita gali dan mainkan. Tidak ada yang baku di sini, karena tiap komunitas tentu membutuhkan pendekatan yang khusus. Boleh jadi satu pendekatan cocok dengan gaya hidup orang kampung, tapi di sisi lain dia tidak pas untuk gaya hidup di komplek perkotaan.

Yang perlu kita perjuangkan pertama kali adalah akseptabilitas kita di masyarakat. Ya, penerimaan mereka terhadap kita. Maka upaya yang harus kita lakukan adalah mendekati mereka, merangkulnya, dan membuat mereka percaya dengan dakwah ini. Bukan malah sebaliknya karena sikap yang kita salah, alih-alih membuat mereka dekat dengan dakwah ini, malah mereka akan lari dan alergi dengan dakwah.

Ada setidaknya 3 (tiga) hal yang harus kita bangun dalam diri kita agar akseptabilitas ini dapat kita wujudkan :

1. Integritas
Sungguh faktor integritas ini sangat mempengaruhi penerimaan masyarakat kepada kita. Rasulullah bahkan sebelum beliau diangkat menjadi rasul, telah dikenal dengan gelar al-amin nya. Tentu kita ingat dengan kemelut yang terjadi saat peletakan hajar aswad ketika renovasi ka’bah. Hampir-hampir terjadi pertumpahan darah. Maka ketika Rasulullah memberikan penyelesaiannya, semua menerima dengan lapang dada.

Memang membangun intregitas bukan perkara yang mudah. Butuh banyak amal dan kerja nyata yang harus dilakukan. Selalu jujur. Dapat dipercaya. Senantiasa membantu kepada yang membutuhkan pertolongan. Ringan tangan. Tidak mengingkari janji. Selalu berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Perhatian dan peduli kepada tetangga. Ikut memakmurkan masjid/mushola. Ini hanya sebagian contoh untuk membangun intregitas kita.

2. Kapabilitas
Masyarakat akan menghargai jika kita mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu yang (mungkin) dibutuhkan masyarakat. Selalu asah kemampuan yang kita punyai. Jangan pernah alergi untuk mencoba mengambil sebuah peran yang akan mengasah kemampuan kita.

Di kampung saya, orang dalam acara-acara resmi biasa memakai bahasa jawa halus. Saya sendiri amat kesulitan dengan bahasa ini walau saya orang kampung dan jawa tulen. Karenanya, dalam kultum atau khutbah jumat saya mencoba untuk membiasakan dengan bahasa jawa. Interaksi dengan masyarakat juga sebisa mungkin memakai bahasa jawa halus. Tapi saya belum berani memakainya dalam forum terbuka dan umum. Sampai akhirnya, pada acara syawalan RW yang dimotori ibu-ibu PKK kemaren ada seorang pengurus RW yang mendatangi saya meminta saya menjadi MC. Prinsip saya, peran apapun akan saya coba selagi itu untuk meningkatkan kapabilitas saya. Walau tetap saja masih juga grothal-grathul. Alhamdulillah. “Matur nuwun nggih pak, sudah dibantu” Kata seorang ibu pengurus PKK waktu itu.

Burn yourself. Begitu judul salah satu buku dari Ustadz Satria Hadi Lubis. Saya memang belum pernah membaca isinya. Tapi setidaknya semangatnya sudah saya dapatkan.

3. Konsistensi
Selalu dibutuhkan nafas panjang dalam setiap etape dakwah ini. Karena dakwah tidak pernah selesai hanya dalam satu atau dua generasi. Karenanya agar dakwah ini menghunjam kuat di masyarakat, dibutuhkan konsistensi.

Konsisten dalam segala aspek. Ucapan. Perilaku. Gerak dakwah. Dalam segala kondisi dan waktu. Tidak musiman. Tidak sesaat. Pun tidak hanya di waktu-waktu tertentu maupun untuk orang-orang tertentu.

Maka setelah kita mengupayakan ketiga hal di atas, dimana pun kita memutuskan untuk meretas sebuah komunitas dan basis dakwah bagi keluarga kita, maka yakinkan kita bahwa kita memang mampu menjadi agen dakwah di sana. Berusaha untuk berguna bagi orang lain. Sebagaimana ucapan Sayyid Qutb rahimahullah : “Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar dan tidak akan pernah mati.”

Allahu a’lam bish-shawab.

Masker/28102008

Senin, 27 Oktober 2008

Lupa yang kedua

Sabtu-ahad kemaren mbak yang biasa bantu di rumah kami pulang kampung. Ada sedikit kejadian menggelikan sekaligus menjengkelkan. Pagi itu, istri ada acara kajian di rumah. Sementara istri sibuk dengan para tamunya, saya mencuci piring dll di belakang. Selesai acara, istri langsung berbenah memasak.

"Mas, tolong masak nasi ya" Kata istri. "Oke. Berapa takar?" Jawab saya. "Tiga aja" Katanya.

Selesai mususi beras langsung saya taruh kembali ke dalam magic com. Waktu itu sekitar pukul 08.00. "Selesai" batin saya. Menjelang pukul 11.30 lauk pauk dan sayur sudah siap. Istri kemudian menengok nasi di magic com. Tiba-tiba dia teriak, "Maasss... tadi masak nasinya gimana? Lupa dipasang tombol cook nya ya?"

Gubrak!! Betul, saya lupa menurunkan tombolnya ke posisi cook rupanya. "Maaf, lupa"

"Gimana sih, ini yang kedua kalinya tahu" Kata istri sedikit sewot. Jadinya siang itu kami makan siang sedikit agak terlambat. "Mi, mau makan" Kata anak gadis saya. "Nasinya belum matang, tuh abimu lupa lagi.." Anak saya kemudian menoleh ke saya. Dan saya hanya bisa tersenyum kecut.

Jumat, 17 Oktober 2008

Tentang Puisi Itu

“Adek sudah baca…” tiba-tiba istri saya mengatakan kalimat itu, sambil menatap saya. “Baca apa, Dek?” Tanya saya tidak mengerti. ”Puisi, yang di blog itu” Jawabnya tanpa melihat ke arah saya. Saya mencoba mengingat, puisi mana yang dimaksud itu. Sengaja. Kadang saya membuat puisi, atau sekedar tulisan tentangnya, di blog maupun di komputer saya. Tidak saya beritahukan. Agar ia menemukan sendiri tulisan-tulisan itu. Seperti saat itu.

”Memang untuk siapa puisi itu?” tanyanya. ”Lah, memang kira-kira untuk siapa” Jawab saya mencoba mencari tatap jujur di matanya. ”Ya, ndak tahu. Wong bukan Dek yang nulis” kata istri saya tidak mau kalah.

Hening. Saya tidak ingin menjawabnya segera. Saya hanya ingin melilhat dia penasaran. Saya tahu, sebenarnya dia telah tahu untuk siapa puisi itu dibuat. Saya yakin, perasaannya telah menemukan kepada siapa tulisan itu sebenarnya dicurahkan. Tapi begitulah dia. Dia selalu ingin penegasan. Dia selalu butuh pengakuan secara verbal dari saya.

”Tentu saja puisi itu ditulis untukmu, sayang” begitu jawab saya. Benar. Dia hanya butuh pengakuan dari mulut saya. Penegasan. ”Terima kasih ya...” Ada binar di matanya. ”Adek juga cinta, Mas” Ucapnya sambil tersenyum ke arah saya. Selalu begitu. Entah berapa puluh atau ratus kali, dia selalu minta penegasan-penegasan tentang perasaan saya. Dulu, lidah saya begitu kelu untuk mengucap kata-kata semacam itu. Dulu, saya bukanlah seorang yang biasa mencurahkan perasaan dengan kata-kata. Biarlah terpendam. Begitulah.

Tapi sekarang, wanita ini banyak mengajarkan saya untuk saling terbuka. Terbuka untuk saling mengungkapkan perasaan kami. Ya. Karena kami sadar, cinta itu harus terus dipupuk dan disirami. Agar terus bersemai dan berbunga.

Ada Sekeping Rindu

Ada sekeping rindu
Terselip di lubuk hati terdalamku
Hanya untukmu
Jika engkau sadari itu

Ada sebongkah resah
Yang terus mendera
dalam langkah-langkah ini
Wahai bidadariku

Jika engkau berkenan
Maka dengarkan detak rindu itu
Terus mengalun
Dalam sudut-sudut sepi
Di segala relung jiwa ini

Hanya kepadamu
Satu...

Jumat, 10 Oktober 2008

Ada Tidak Ada, Sama Saja !

"Ada tidak ada, sama saja. Tidak ada bedanya!" Pagi itu tiba-tiba dari mulut mungil wanita itu keluar ucapan tersebut. Sepertinya dia begitu marah kepada suaminya. Tentu semua itu ada sebabnya. Ada alasannya. Apapun itu. Tapi, merenungkan kalimat tersebut, tetap saja membuat seseorang yang mendengarnya akan berkenyit. Begitukah?

Saya teringat dengan sebuah ungkapan arab, 'wujuduhu ka'adamihi' yang artinya adanya sama dengan tidak adanya. Ungkapan ini sering untuk menggambarkan seseorang yang di komunitasnya tidak membawa nilai lebih apa-apa. Nol. Sehingga digambarkan ada maupun tidak adanya dia, sama saja komunitas tersebut. Gambaran ini untuk memacu kita untuk semestinya menjadi pribadi yang bernilai lebih di komunitas kita, apapun komunitas tersebut. Bukankah Rasulullah mengatakan 'khairukum anfa'uhum linnaas', sebaik-baik kalian adalah yang paling memberi manfaat bagi manusia?

Bagi kita, komunitas yang terkecil kita bernama keluarga. Dan ketika seseorang telah berkeluarga, maka komunitas terkecil kita itu tentu paling tidak terdiri dari dua insan yaitu suami dan istri. Sebaik-baik suami/istri adalah yang paling memberi manfaat kepada keluarga yang dimilikinya, dalam hal ini pasangannya. Tentu juga anak-anaknya. Begitu kira-kira jika hadist tadi diterapkan dalam konteks ini.

Kembali kepada kalimat di awal alinea tadi, adakah sesuatu yang salah? Kenapa wanita tadi berucap seperti itu? Layakkah? Kita tentu ingat dengan sebuah hadist Rasulullah, Diriwayatkan oleh Ibn Abbas (ra):

Nabi (saw) berkata: "Aku melihat surga. Lalu aku memakan setangkai buah-buahannya. Jika kalian mendapatinya, maka kalian akan memakannya selama dunia masih ada. Aku diperlihatkan neraka, maka aku tidak melihat pemandangan yang lebih buruk dari hari itu. Aku melihat kebanyakan penduduknya adalah wanita." Para sahabat bertanya, "Karena apa, wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. menjawab, "Karena kekufurannya." Beliau ditannya, "Apakah mereka kafir terhadap Allah?" Rasulullah saw. menjawab, "Mereka mengingkari suami dan mengingkari kebaikan. Jika kalian berbuat baik kepadanya selama setahun penuh, lalu ia melihat darimu sesuatu (keburukan) satu kali, ia akan berkata, "Aku tidak melihat kebaikanmu sama sekali." (Shahih Bukhari, Kitab Al-Kusuf, Bab Shalat al-Kusuf Jama'atan, juz 1, hlm. 331-332, no. hadits 1.052).

Terdapat hadits lain yang diriwayatkan Abu Sa'id al-khudri, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Wahai sekalian wanita, bersedekahlah, karena aku diperlihatkan bahwa kaum kalian adalah kebanyakan penghuni neraka." Mereka bertanya, "Karena apa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Kalian sering sekali melaknat dan mendurhakai suami. Aku tidak melihat kekurangan akal dan agama yang hilang dari otak pria yang kokoh dari salah seorang kalian." Mereka bertanya, "Dan apakah kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Bukankah kesaksian seorang perempuan setengah dari kesaksian seorang pria?" Mereka menjawab, "Betul." Beliau berkata, "Itulah kekurangan akalnya. Bukankah jika haidh, ia tidak shalat dan puasa?" Mereka menjawab, "Betul." "Itulah kekurangan agamanya." (Shahih Bukhari, Kitab Tarku al-Haidh ash-Shaum, juz 1 hlm. 115, no. hadits 304)

Jelaslah di sini bahwa hadits ini shahih dan tidak perlu diragukan lagi.

Tidak bersyukur seorang hamba kepada Allah, sampai dia bisa bersyukur (berterima kasih) kepada sesama manusia. Begitu Allah memaklumatkan. Paramater syukur seseorang adalah sejauh mana dia bisa berterima kasih kepada sesamanya. Saya jadi teringat salah satu nasehat Aa Gym dalam berinteraksi dengan manusia, 'ingatlah kebaikan-kebaikannya, dan lupakan kesalahan-kesalahannya kepada kita'

Lalu mengapa Rasulullah mengabarkan bahwa penghuni neraka kebanyakan perempuan? Kata Beliau lebih lanjut, "Karena kekufurannya.". "Mereka mengingkari suami dan mengingkari kebaikan. Jika kalian berbuat baik kepadanya selama setahun penuh, lalu ia melihat darimu sesuatu (keburukan) satu kali, ia akan berkata, "Aku tidak melihat kebaikanmu sama sekali." Barangkali memang demikianlah tabiat wanita. Bisa jadi itu bisa dihilangkan. Karenanya Rasulullah menyuruh agar para wanita lebih banyak bersedekah.

Tentu tidak ada suami yang senang dengan mendengarkan ucapan itu. Tapi sekali lagi itu tabiat. Ada baiknya kita belajar dari seorang Umar. Beliaupun pun ada saatnya dimaki-maki oleh istrinya, dan beliau diam saja. Karena beliau tahu, bagaimanapun istrinya telah berbuat kebaikan yang banyak kepada dirinya dengan mengurus kebutuhan dia dan anak-anaknya.

Seandainya pun anda harus mendengar ucapan tersebut, maka tersenyumlah. Bersikaplah sebagaimana seorang Umar bersikap. Dorong istri anda untuk banyak bersedekah sebagaimana wasiat Rasulullah. Masih banyak sisi kebaikan dan kelebihan yang dia punyai untuk selalu anda ingat. Cintai dia dengan sepenuh hati anda.

Semoga Allah mengumpulkan kita dan keluarga kita di Jannah-Nya kelak, bukan sekedar di dunia yang sungguh amat fana ini. Tentu dengan cinta yang lebih abadi. Amin.

Buku harian Mas Bejo : Kisah Si Rubah

Ini kiriman dari sahabat yang lain. Ya, sekedar wacana. Atau mungkin lebih tepatnya sharing yang semoga bisa saling meringankan. Walau solosi mungkin masih jauh panggang dari api.

Buku harian Mas Bejo : Kisah Si Rubah

(Menabunglah dari uang TC dan Gaji karena sewaktu-waktu mutasi bisa keluar dan harus datang pelantikan)

Sampai saat ini Mas Bejo masih terngiang-ngiang sebuah cerita tentang rubah dan kebun anggur. Cerita itu ada di buku paket bahasa inggris SMP tahun 1980 an.
Suatu hari ada seekor rubah yang kurus dan kelaparan sampai di sebuah perkebunan anggur yang sudah berbuah dan matang-matang. Melihat hal tersebut air liur rubah langsung keluar dan harapan hidupnya kembali tumbuh, kini dia bersemangat untuk menikmati buah anggur yang sudah matang tersebut. Namun sayang kebun anggur tersebut telah dikelilingi pagar yang rapat sehingga si rubah tidak bisa masuk. Si rubah dengan penuh semangat mengelilingi pagar kebun tersebut sambil mencari siapa tahu ada lobang/celah sehingga dia bisa masuk ke kebun anggur. Entah sudah berapa lama dia mengelilingi pagar dan semakin lama semakin lemah bahkan dia hampir perputus asa untuk tidak melanjutkan pencarian. Di saat hampir perputus asa si rubah melihat lobang kecil di ujung pagar.

Semangatnya kembali bangkit dan dengan susah payah si rubah memasuki lobang kecil tersebut. Karena si rubah badannya sangat kurus akhirnya berhasillah dia memasuki kebun. Horeeeee teriak si rubah. Dengan lahapnya si rubah makan anggur. Setelah kekenyangan si rubah tidur. Begitulah kebiasaan si rubah saat ini. Hari-harinya diisi dengan makan enak dan tidur. Tanpa disadari tubuh si rubah telah berubah menjadi bersih dan gemuk. Si rubah sekarang tidak lincah lagi karena jarang berolah raga (OR-nya ya versi rubah) dan kerjanya makan dan tidur. Bobotnya sudah naik 2 kali lipat. Si rubah menyadiri perubahan yang ada pada dirinya, kini dia merindukan keluarganya dan merindukan komunitasnya.

Kini si rubah sedang mencari lobang dimana dulu dia masuk. Setelah dicari kesana dan kemari akhirnya ditemukanlah lobang tersebut. Si rubah berusaha sekuat tenaga untuk keluar melalui lobang tersebut. Tubuhnya yang gemuk kini sudah tidak muat lagi. Akhirnya ……. terserah si rubah. Kalau dia akan keluar maka dia harus puasa lagi agar tubuhnya kembali kurus seperti semula ketika dia dating, tapi kalau tidak keluar dia merindukan keluarganya, komunitasnya. Belum lagi resiko menghadapi pemilik kebun.

Ingat kisah ini Mas Bejo jadi teringat nasibnya, ingat tentang modern, ingat tentang gaji dan tunjangannya yang sudah setingkat manager, tapi juga ingat mutasi yang bisa datang sewaktu-waktu tanpa permisi lebih dulu ditambah ketidak jelasan kemana Mas Bejo dimutasi. Belum lagi efek samping dari mutasi: Mas Bejo harus datang untuk pelantikan dengan membayar transport dari uang pribadi. Mas Bejo harus cari penginapan sementara dengan biaya pribadi juga. Setelah itu Mas Bejo harus berfikir apakah nyari (dan menganggarkan dana) kontrakan rumah atau kos-kosan, anggaran rutin bolak-balik (jika masih bisa dijangkau bisa seminggu sekali, bisa dua minggu sekali, bisa sebulan sekali, bisa tiga bulan sekali bahkan bisa enam bulan sekali), anggaran makan (catering di kantor, warteg dll) dan iuran kantor untuk dirinya sendiri, anggaran sekolah anak-anaknya, anggaran belanja istri dan anak-anaknya, anggaran rutin lainnya.

Nyambung ke kisah di atas, Mas Bejo ibaratnya rubah yang telah gemuk (gaji dan tc sudah tinggi) tapi dia harus mempersiapkan untuk menjadi kurus. Sebab dia harus menabung bukan untuk investasi tapi menabung (sebenarnya tidak tepat istilah menabung, yang tepat mungkin harus mengurangi jatah) untuk jaga-jaga jika sewaktu-waktu ada mutasi lagi, itupun jika saat ini masih ada yang tersisa…..

Suatu kali Mas Bejo mutasi, tetangganya mengucapkan selamat. Mas Bejo hanya mengucapkan terima kasih dengan senyum yang dipaksakan (karena hatinya sedang merasakan kegetiran). Tetangganya pasti berfikir kalau seseorang dimutasi pasti rumah dinas sudah ada, uang transport sudah disiapkan, gaji dan tunjangan naik dan fasilitas lainnya tersedia dan semuanya itu sudah ada yang mengurus. Sebenarnya Mas Bejo mau menjelaskan ke tetangga tersebut bahwa kalau di mutasi kita pakai uang sendiri dulu, nanti sebulan atau dua bulan berikutnya baru dapat uang jalan dan ongkos nginap 3 hari. Itupun harus selalu ada yang “mantau” di keuangan. Gara-gara mikir ini Mas Bejo jadi kreatif sambil iseng, katanya istilah MUTASI tidak tepat, yang tepat adalah AMPUTASI.

Kalau ingat ini Mas Bejo pinginnya ya ditempatkan di daerah di mana dia sudah ada rumah meskipun sederhana, kumpul bersama istri dan anak-anak. Rasa iri Mas Bejo kadang timbul juga (Mas Bejo juga manusia) ketika melihat ibu-bu yang karirnya bagus dan hanya ditempatkan mutar-mutar di satu kota saja. Orang-orang seperti ini kalau lagi ngisi sosialisasi atau penataran atau apalah namanya ngomongnya “renyah” sekali, enak didengar, lantang bak pahlawan. Gimana ngggak “renyah” keluarga ngumpul, gaji tinggi dan fasilitas ada dan nggak pernah merasakan mutasi (adanya promosi).

Mas Bejo jadi meragukan iktikad baik aktifis pembela kesetaraan gender. Mestinya mereka konsekuen juga, mutasi perempuan yaa harus sama dengan yang mutasi laki-laki, bukankah kalau laki-laki di mutasi dia akan meninggalkan perempuan???? Atau setidak-tidaknya ada saluran aspirasi untuk pegawai untuk mengajukan permohonan ke mana saja tempat yang diinginkan mutasi. 18-09-08


Mutasi oh mutasi ……
(Episode: Ternyata pisah keluarga itu nggak enak)

Sapa Laskar Angin kepada Laskar Senja

Ini adalah tulisan salah satu rekan kami, entah siapa. Menamakan diri sebagai laskar angin. Dikirimkan kepada para sahabatnya yang menamakan diri laskar senja.

Assalamu' alaikum

Rekan-rekan Laskar Pelangi dan rekan-rekan senasib....

Beberapa minggu yang lalu saya menerima email dari rekan-rekan yang menyebut dirinya sebagai Laskar Pelangi, Laskar Senja atau PJKA (Pulang Jumat kembali Ahad). Dalam emailnya, para laskar ini menyampaikan rintihan hati (kalo ndak mau disebut keluh kesah). Rekan-rekan ini pun menyebut dirinya sebagai korban modernisasi Direktorat Jenderal Pajak (mungkin sangking kesalnya atau saking beratnya mereka menjalani roda kehidupan mereka setelah mereka dimutasi sebagai AR di Jakarta , padahal tempat tinggal di Jogya). Mereka pun tiap Jum'at (di senja hari) hari berangkat menemui istri dan anak-anak mereka (yang masih kecil) untuk kembali mendapatkan butiran semangat untuk kembali bekerja di seminggu kedepan, bahkan semangat untuk tetap bergabung dengan DJP, karena ada diantara mereka yang sempat berpikir untuk keluar dari DJP. Hari ahad (di senja pula) mereka pun kembali ke tempat kerja. Oleh karena itu pula mungkin mereka menyebut dirinya sebagai laskar senja. Tapi apakah setelah menemui anak dan istri mereka lantas mereka menemukan semangat untuk bekerja? Setahu saya setelah pulang, berat hati ini untuk melangkahkan kaki ini untuk kembali ke tempat kerja. Bahkan kian lama kita jalani rutinitas pulang pergi itu, kian lama kita rasakan kian bertambah capek ya capek fisik dan capek pikiran kita).

Rekan-rekan , saya pun mengalami hal serupa. Kalo rekan-rekan-rekan laskar pelangi bisa pulang tiap minggu, kami kadang harus satu bulan baru pulang (ada temen saya yang lebih dari satu bulan). Oleh karena dari segi jarak kami lebih jauh dan dari segi biaya lebih banyak. Perjalananpun tidak bisa kami tempuh melalui darat dan harus perjalanan udara. Mungkin kalo rekan-rekan menyebut sebagai laskar pelangi, ijinkan kami menyebut kami sebagai laskar angin atau laskar awan (asal jangan disebut laskar topan atau badai ) karena itu merusak. Karena kami tidak ingin merusak semangat DJP yang ingin modern, bahkan saya sangat bersyukur akhirnya DJP bisa memasuki era ini. Hanya kami inginkan bahwa perubahan juga diterapkan pada sistem mutasi kita. Harapan kami agar semua juga merasakan kepedihan yang kita alami. Dengan gaji yang sama, sangat tidak adil apabila kita yang jauh harus berada dikejauhan dan bahkan semakin jauh semakin tidak dilihat. Kita ini juga manusia yang juga punya keinginan hidup layaknya mereka sekarang yang tempat kerjanya dekat dengan rumah. Dengan gaji modern seperti sekarang mereka bisa mengurus pendidikan anak dengan baik, bahkan mereka kemudian bisa men-cicil (bukan mecicil dlm bhs jawa) rumah bagi yang belum punya rumah, merenovasi rumah yang telah mereka beli sekarang, atau bahkan dari fordis yang ada di intranet kita, banyak diantara mereka yang telah memikirkan investasi. Kami pun juga punya planing seperti itu, tapi kenyataannya tidak bisa. Bisa saving sedikit saja untuk sekedar berjaga-jaga apabila keluarga kami sewaktu-waktu sakit, harus kami lakukan dengan rit-ngirit. Untuk ini harus betul-betul kami lakukan. Karena saya tidak ingin belas kasihan apalagi hanya komentar "kasihan" dari temen2 kita bila mendengar kesulitan kita.

Rekan-rekan Laskar Pelangi, sebenarnya sejak kami dimutasi ke luar jawa , waktu itupun kami ingin mengungkapkan segala macam unek2 kami dan berbagai kesulitan kami seperti rekan-rekan. Tapi kami selalu menahannya karena kami pikir kalo saya mengunkapkan kondisi kita, paling yang kita terima hanya komentar "kasihan" atau kalo masih punya nurani mereka hanya bilang "sabar'. Hari pun kami lalui dengan suatu harapan akan ada perbaikan dalam sistem mutasi kita. Untuk membesarkan harapan kami maka kami pun berpikiran positif. Ya mungkin ini suatu penghargaan bagi kita yang lulus test modern , sehingga harus merasakan modernisasi duluan. Karena saya yakin kami yang ikut test betul-betul punya niat untuk modern. Banyak diantara temen-temen pada waktu itu tidak mau ikut test. Ndak usaha ditutup-tutupi lagi, pertimbangan utama mereka adalah apakah gaji setelah modern nanti melebihi dari pendapatan mereka sekarang (terutama mereka yang menguasai seksi teknis). Jelas mereka tidak ingin modern sama sekali, dan kalo sekarang mereka modern, bisakah mereka memegang kode etik? No comment. Saya sering bicara dengan mereka ini. Saya tanya kepada mereka apabila sudah modern, apakah sampean masih masih menerima juga uang dari wajib pajak. Jawabnya; yang penting saya kan ndak minta. Tapi kenyataanya mereka pun akhirnya merasakan modernisasi dalam hal gaji, dengan tempat kerja ya di situ-situ saja (dekat rumah atau bahkan tetap di KPP asal). Inikah Modernisasi yang dibanggakan Direktorat Jenderal Pajak?.

Sekali lagi, unek2 ini sudah lama kami pendam, ya, lama sekali, saat saya di awal Maret 2007 saya di mutasi di luar jawa (bukan promosi tapi di mutasi jadi AR di luar jawa). Kita pun yang dipindah di luar jawa, meski dengan berat kami terima. Ya mungkin setelah modern ini mutasi AR harus nasional. Ok kami terima. Tapi kemudian modernisasi di DJP terus bergulir dengan modernisasi di KPP Pratama di Jawa diikuti dengan penempatan para AR-nya yang notabene tidak ikut test (atau tidak mau modern) dengan tempat di situ-situ aja , bahkan tidak pindah kantor sama sekali.. Inilah biang yang membuat kami merasa kecewa dengan modernisasi di DJP. Setelah itu penempatan para fungsional yang juga 98% disitu-situ juga. Apakah sistem mutasi yang dipakai bagian kepegawai DJP masih seperti sebelum modern? Ndak ada pola yang jelas, sistem up line atau down line (emang DJP perusahaan multi level). Saya ndak berpikir buruk tapi jangan biarkankan orang berpikir begitu dengan membuat sistem yang tidak jelas.

Saya tidak mau asal ngritik, tapi ndak ada penyelesaian. Agar modernisasi bisa dirasakan adil bagi semua pegawai, maka sistem mutasi harus jelas. Bikin pola yang baku. Jadi siapapun yang ada di kepegawaian kalo tidak melaksanakan aturan itu harus dikenakan sanksi, dan bagi pegawai yang seharusnya kena mutasi tapi tidak dimutasi segera dimutasi, pegawai yang yang seharusnya tidak kena mutasi dan kemudian dimutasi harus dikembalikan. Bagi pegawi yang seharusnya mutasi dan dimutasi namun tidak sesuai dengan pola, harus dikembalikan. Lalu polanyanya gimana? Terserah yang penting baku. Agar aturan lebih mengikat seharusnya aturan tsb minimal dalam bentuk Per Men Keu. Bisa saja dibuat per jabatan, pelaksana, AR, eselon IV eselon III atau eselon II. Misal untuk pelaksana hanya regional ya ndak apa2 tapi tetap ada polanya. Kalo regional tsb dalam arti satu kanwil maka mutasi harus meliputi kota2 di wilayah kanwl ybs. Untuk kanwil2 yang ada di DKI bisa saja regional tsb ditentukan tersendiri meliputi DKI , Propinsi Banten, dan Jawa Barat. Jangka waktu maksimal menduduki suatu posisi/kota juga harus ditentukan, misal maksimal 2 th. Jadi ndak ada lagi orang sampe tua disitu-situ aja. Apalagi sekarang gajinya gede.

Untuk AR bisa aturan itu dibuat menyesuaikan, kalo harus nasional, maka bisa saja ditentukan 2 tahun diluar pulau , 2 tahun di daerah domisili. Begitu juga untuk eselon IV. Untuk promosi bisa dibuat aturan tersendiri. Untuk eselon III dan II juga bisa dibuat aturan tersendiri. Yang penting harus ada aturan jelas dan aturan harus ditaati kalo tidak yang yang membuat mutasi dikenakan sanksi dan yang dimutasi harus dikemblikan sesuai aturannya. Jadi ndak ada lagi pegawai dengan tempat kerja jauh dari domisili (di luar pulau) lebih dari 3 th. Otomatis begitu 2 th kembali ke domisili dan begitu seterusnya. Ndak ada lagi pegawai yang mengajukan surat permohonan pindah tempat kerja di daerah domisili (yang menurut orang kepegwaian sendiri surat macam gini sekarang numpuk)

Pola aturan mutasi yang jelas tsb diatas diperlukan agar :
1. Mutasi lebih adil. Sehubungan dengan setelah modern (asumsi) gaji dimana mana sama.
2. Menghindari dari KKN. Mutasi tidak lagi memperhitungkan faktor kenal-mengenal ( up line dan down line) tidak ada patokan harga lagi (pokoknya faktor KKN juga dapat dihindari)
3. Bagi pegawai yang ada dikepegawaian juga bisa terhindar dari fitnah yang bisa menyebabkan dosa. Ingat jabatan adalah amanah termasuk sampean2 yang ada dikepegawaian. Tatkala sampean harus me-mutasi orang lain dengan dasar yang tidak obyektif (tidak menurut aturan ) sampean sudah berbuat dzolim bagi pegawai yang sampean mutasi, Bukan itu saja sampean juga sudah berbuta dzolim kepada anak dan isteri pegawai yang sampean mutasi.

Rekan-rekan laskar pelangi, untuk point yang ke-3 tsb, pada awalnya kami tidak merasa didzolimi, tapi kemudian melihat pola mutasi setelah kita (KPP Pratama) yang demikian itu, maka kamipun punya rasa seperti itu, tapi kami kita harus tetap menerima bahwa semua ini tetap atas kehendak Alloh. Namun sesuai Al Qur'an Surat Asy Syura Ayat 39-43 disebutkan bahwa :

- ayat 39 artinya : Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim mereka membela diri
- ayat 40 artinya : Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Alloh Sesuangguhnya Dia tidak menyukai orang2 yang dzalim
- ayat 41 artinya : Dan sesungguhnya orang2 yang membela diri sesudah teraniaya tidak ada satu dosapun atas mereka.
- ayat 42 artinya : Sesungguhnya dosa itu atas orang2 yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.
- ayat 43 artinya : Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal2 yang diutamakan.

Dari ayat tsb kita seharusnya tidak bisa tinggal diam melihat sistem mutasi yang sudah banyak mendzolimi orang lain. Tapi kita pun juga harus memaafkan mereka agar mereka tehindar dari azab yang pedih. Masalahnya apa yang perlu dimaafkan, wong mereka tidak merasa bersalah.