Kamis, 17 Maret 2011

Melepas Anak Sekolah

“Mas, sebetulnya umi belum mantab masukin Ghifar ke SD ini.” Deg! Ucapan ini diucapkan istriku pada minggu kedua Ghifar masuk sekolah ini.

Terus terang, sekolah ini memang menjadi prioritas kesekian ketika kami mulai searching SD untuk anak kami Ghifar. Prioritas utama adalah Ghifar sekolah di SD yang sama dengan kedua kakaknya. Tapi lokasi sekolah untuk siswa baru harus di gedung yang baru dan lokasinya menjauh dari arah kantor istri, membuat kami terpaksa urung dari rencana ini. Setelah menimbang beberapa sekolah dan kepraktisan antar jemput Ghifar, akhirnya kami memilih SD ini.

Dulu ketika istri memutuskan untuk memilih SD ini, aku sendiri kurang begitu mantab. Ada beberapa harapan yang mungkin tidak akan ditemukan di sekolah ini. Tapi mengingat beberapa pertimbangan, utamanya agar tidak merepotkan istri dalam antar jemput (maklum sampai saat ini kami masih harus terpisah jarak Jogja-Jakarta), maka aku memantabkan hati ini pada pilihan itu. Aku munculkan sisi-sisi positif dari sekolah ini. Setidaknya yang aku tahu, sekolah ini juga menjadi pilihan para orang tua karena prestasi akademiknya termasuk yang terbaik di kota ini.

Di awal sempat aku dengar kekurangmantapan istriku, tapi setelah kemudian dia terlihat cukup mantab maka aku pun menjadi tenang. Maka ketika istriku tiba-tiba mengucapkan kembali kekurangmantapan itu justru setelah dua minggu masa sekolah mulai berjalan, aku sedikit kaget. Bukan apa-apa, karena pilihan sekolah ini awalnya juga berasal dari istriku. Aku tidak berani mengajukan beberapa pilihan sekolah yang menurutku lebih pas, karena lokasinya yang memang tidak strategis untuk ukuran single fighter seperti istriku saat ini.

Ucapan itu tidak muncul tiba-tiba. Minggu pertama sekolah tidak ada persoalan yang cukup berarti, karena tiga hari pertama sekolah hanya sampai pukul 09.00 sehingga selalu ditungguin istri sampai pulang. Tiga hari berikutnya masih relatif wajar-wajar saja, pagi diantar istriku pulangnya dijemput oleh saudara kami. Alhamdulillah, hari sabtu minggu pertama itu aku sendiri yang menjemput Ghifar ke sekolah, dilanjutkan menjemput kedua kakaknya di sekolah yang lain.

Masalah kecil mulai sedikit muncul ketika kemudian Ghifar mulai berinteraksi dengan teman-temannya yang sebagian besar berasal dari kalangan yang cukup berada, yang tentu mempunyai gaya hidup yang sedikit berbeda. Ada beberapa budaya, cara didik, cara interaksi dan pembiasaan-pembiasaan yang barangkali tidak kami temukan di sekolah kedua kakaknya. Sebagai contoh tentang uang saku anak, tentang penjual yang bisa masuk ke sekolah, tentang kegiatan-kegiatan dan interaksi antara para wali dan orang tua, dan beberapa hal lainnya.

Sedikit banyak, mau tidak mau ini membawa pengaruh bagi perkembangan anak kami Ghifar, yang sebelumnya kami sekolahkan di sebuah TKIT di dekat rumah, di sebuah kampung, yang pola pendidikan dan para pengasuhnya cukup bersahaja. Ada sedikit “kekagetan” budaya yang dialami anak kami, walau sebetulnya aku yakin ini merupakan sebuah proses pembelajaran untuk anak kami juga. Belum lagi gaya hidup dan interaksi antar orang tua dan wali yang kadang membuat kami kurang nyambung. Semua itu pada akhirnya menimbulkan sedikit galau di hati istriku sehingga muncullah kalimat seperti di awal tadi.

Kegalauan istriku (yang juga kemudian menjadi kegalauanku) sebagai orang tua, tentu sesuatu yang wajar. Dalam benak kami, masa depan anak-anak kami nanti tentu lebih berat dari pada masa-masa yang kami hadapi sekarang ini. Sehingga wajar jika kami kemudian berharap anak-anak kami mendapatkan bekal yang cukup dan memadai untuk melewati masa-masanya nanti. Tentu bukan sekedar bekal akademik, tapi juga bekal mental spiritual berupa keyakinan dan keimanan yang memadai. Termasuk budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang membangun.

Alhamdulillah, semua tadi ternyata merupakan bentuk “kekagetan-kekagetan” kami sebagai orang tua, sebagaimana ‘kekagetan-kekagetan’ itu sebetulnya telah dirasakan dan dilewati anak kami sebelumnya. Maka aku menganggapnya itu sebagai proses pembelajaran dan pendewasaan anak kami untuk menghadapi masanya nanti, dan sekaligus merupakan bentuk pembelajaran dan pendewasaan kami sebagai orang tua untuk terus mengawal, mengarahkan, dan mendidik anak-anak kami. Bahwa kapan pun, pasti mereka akan bertemu dengan keadaan seperti itu. Dan yang diperlukan adalah ilmu bagaimana menghadapi kondisi dan keadaan seperti itu.

Melepas anak ke sebuah sekolah, adalah sebuah pilihan. Maka kita harus siap dengan segala konsekuensinya. Tentu kita telah mengkalkulasi untung dan ruginya. Tentu kita telah mempertimbangkan keunggulan dan kelemahan sekolah tersebut. Yang perlu kita lakukan selanjutnya adalah mengoptimalkan keunggulan-keunggulan sekolah tersebut bagi perkembangan anak kita dan di saat yang bersamaan kita tutupi kelemahan-kelemahan sekolah tersebut dengan program-program keluarga yang bisa diterima dan dijalankan anak kita. InsyaAllah dengan demikian, dimanapun kita menyekolahkan anak kita, maka mereka akan mendapatkan bekal yang cukup dan memadai untuk masa depannya nanti.

"Yesterday is History, Tomorrow a Mystery, Today is a Gift, Thats why it's called the Present"

Finished @Gedung Utama lt. 19. March 17, 2011. 10.55 WIB.