Rabu, 30 Desember 2009

Membuat Skoliosis Lebih Simetris

(TEMPO Interaktif) Punggung Michele tampak tidak simetris. Pinggang kiri dan kanannya tidak sama alias tinggi sebelah. Kondisi ini diketahui ibunya, Tjahyadi, saat gadis 11 tahun itu mengenakan baju renang. Pada April 2008, dokter mendiagnosis Michele menderita skoliosis, yaitu gejala kelainan bentuk tulang belakang.

Saat itu didapati bagian belikat tulang belakangnya menonjol, dan kemiringannya mencapai 40 derajat. Dari beberapa literatur, kurva kemiringan melebihi 40 derajat termasuk kategori berat. Michele bisa terancam mengalami gangguan saraf, irama jantung, hingga kelumpuhan. Ancaman itu akibat dari jarak antara tulang dada dan tulang belakang yang makin mendekat, sehingga ruang paru-paru di antara dua tulang vital itu menjadi menyempit.

Dengan kurva sedemikian miring, tindakan yang harus diambil adalah melakukan operasi. Demikian menurut konsultan ortopedi tulang belakang Rumah Sakit Internasional Bintaro, Dr Luthfi Gatam, SpOT, Spine Surgeon (K). "Jika kurva kurang dari 20 derajat, tidak perlu dioperasi," ujar Luthfi beberapa bulan lalu di RS Internasional Bintaro, Tangerang.

Waktu itu, dokter yang menangani Michele memang tidak mengambil tindakan operasi. Tapi dia mewajibkan Michele memakai baju penopang berupa cetakan berbentuk tubuh. Baju itu terbuat dari plastik, dan dilengkapi dengan tali serta besi. Tujuannya adalah agar kemiringan tubuh si pasien tidak bertambah. Konon, baju ini beratnya mencapai 6 kilogram dan harganya mencapai belasan juta rupiah.

Baju itu tentu membuat Michele tidak nyaman. Dia harus memakai baju penopang yang cukup berat itu saban hari. Apalagi baju khusus itu juga harus dipakai pada waktu tidur. Namun demi kesembuhan, Michele terus bertahan memakai baju penopang tubuh itu.

Dalam perjalanannya, selain diobati secara medis, Michele ditangani oleh seorang yi seng. Yi seng adalah sebutan untuk ahli pengobatan tradisional Cina. Menurut Nelly Suhirman, pemilik Traditional Medicine & Health Centre, Tung Mei Massage, di Jakarta, yi seng ini mempelajari secara akademik setingkat universitas khusus tulang dan saraf di negeri Cina daratan.

Tung Mei Massage sendiri adalah terapi jasmani perpaduan antara gerakan pijat spesifik anmo massage dan sejenis teknik gerakan chiropatic, seperti menekuk, menarik, serta meregangkan tubuh. Terapi ini tetap memakai panduan medis, seperti hasil roentgen dari penderita skoliosis. "Banyak pasien di sini yang mengkombinasikannya," ujar Nelly saat ditemui di Jakarta pekan lalu.

Selanjutnya, pasien diterapi secara manual menggunakan jari atau lengan di titik-titik sumber penyakit selama 50 menit. Yi seng akan mencari titik-titik sumber penyakit dan menekan titik-titik itu. Selama proses pemijatan, pasien memakai baju dan celana longgar.

Menurut Nelly, pasien disarankan menjalani terapi itu hingga sepuluh kali dengan frekuensi dua kali per pekan. Uniknya, setelah menjalani terapi, pasien tidak dibekali obat-obatan. Pasien juga tidak diminta berpantang makanan apa pun. "Sekali terapi, pasien dikenai biaya Rp 300 ribu," Nelly memberi tahu.

Dalam kasus Michele, bagian tulang belikat yang menonjol didapati sudah semakin rendah--saat memasuki terapi yang ketiga. Malah baju penopang dari besi itu sudah sedikit longgar. Di klinik ini, menurut Nelly, kebanyakan pasiennya adalah remaja perempuan. Pada kebanyakan kasus, penyebab dari skoliosis tidak diketahui atau disebut juga idiopathic.

Selain mengatasi skoliosis, Nelly menambahkan, terapi ini bisa mengatasi keluhan nyeri pinggang akibat terjepitnya urat-urat saraf yang melalui tulang belakang--atau dalam istilah medis disebut juga herniated nucleus pulposus.

Agar Tak Kembali Bengkok

1. Bila bangun dari posisi berbaring, dianjurkan memiringkan tubuh terlebih dulu, barulah bangkit perlahan.
2. Tidak boleh membungkukkan badan.
3. Jika membungkukkan badan, posisi tubuh harus jongkok--bila ingin mengambil sesuatu.
4. Tidak boleh mengangkat barang atau beban berat selama menjalani terapi, terutama bila masih ada rasa sakit.
5. Saat kondisi sudah membaik, bukan berarti bisa beraktivitas sembarangan.
6. Herniated nucleus pulposus dan skoliosis tidak bisa sembuh total serta ada risiko terulang lagi bila ada faktor pemicunya, seperti jatuh, mengangkat beban terlalu berat, atau salah melakukan gerakan tubuh.

(sumber : koran tempo edisi Rabu, 30 Desember 2009)

Rabu, 16 Desember 2009

SKOLIOSISKU : Jangan Menyerah


Sudah lama aku tidak melanjutkan cerita tentang hal yang satu ini. Mumpung ada pinjeman modem sehingga bisa untuk meng-upload gambar, berikut ini adalah gambaran tulang belakangku. Foto ini adalah gambaran di tahun 2006. Tiga tahun semenjak aku menyadari keskoliosisanku (2003).

Sampai sekarang aku belum melakukan langkah yang dramatis untuk kondisi skoliosiku ini, selain sekedar exercise yang dilakukan kalo pas pengin aja, plus memakai korset dalam kondisi-kondisi tertentu. Acara les renang yang sebenarnya sering aku agendakan belum pernah sekalipun bisa aku jalankan. Sulit mencari waktu yang pas alias sok sibuk (selain alasan karena aktifitas jarak jauh yang selama 3 tahun belakangan ini aku lakukan : Jogja-Jakarta).

Beberapa pekan kemaren (sampai hari ini masih sedikit terasa), sakit itu kambuh lagi. Masih bisa rukuk, tapi tak sempurna. Kaki harus sedikit menekuk. Seperti biasa juga, berawal dari ketidakdislipanku dalam menjaga aktifitasku. Sebuah aktifitas yang terlalu membebani tulang punggungku sering kali aku lakukan, sehingga seakan tulang punggungku melakukan protes kembali, menginganku !

Yup. Semua ini tak akan menghalangi aku untuk selalu berbuat terbaik. Selagi masih ada nafas di dada ini, sakit ini aku jadikana sebagai teman setia yang selalu menemaniku dalam setiap aktifitas keseharianku. InsyaAllah selalu ada hikmah dari setiap kejadian yang kita alami dan rasakan.

Tetap semangat kawan !

at lantai 26 gedung baru kpdjp. 16/12/2009 : 09.37

Selasa, 01 Desember 2009

Perbanyak saat-saat indah dalam kenangan mereka

Selepas Sholat Isya’ di masjid dekat kost, sesampai di kamar kulihat ada 2 panggilan tak terjawab di hp fleksiku. Begitu juga di hp simpatiku. “Ini pasti ada yang penting.” Pikirku. Kutelepon balik nomor itu. Sesaat nada telepon diangkat, segera kuucapkan salam. Seseorang menjawab salamku dengan nada tertahan. Terisak. Otakku langsung bekerja untuk mengidentifikasi pemilik suara ini. “Hallo, siapa ini? Zahra ya?” tanyaku. “Iya..” jawabnya setengah terisak. Ah, gadis kecilku rupanya. Ada apa gerangan dia sampai meneleponku 4 kali? ‘Ada apa sayang? Umi kemana?” aku mulai menelisiknya. “Gak apa-apa. Umi lagi ke masjid, pengajian.” Jawabnya masih dengan suara tertahan.

Aku paling tahu sifat gadis kecilku ini. “Tadi yang nelepon abi sampai 4 kali siapa?” desakku. “Aku.” Jawabnya singkat. “Jadi ada apa sayang? Kok menangis” tanyaku lagi. “Tidak ada apa-apa.” Lagi-lagi dia tidak menjawab. Tapi nada suaranya makin tergugu. Ah, anak kecil ini makin membuatku penasaran. Walau kadang sifat cengengnya ini membuatku sering kali kelabakan, tapi kali ini aku harus menenangkannya.

“Mas Ammar kemana?” tanyaku. “Ikut umi ke masjid” “Dik Ghifar?” tanyaku lagi. “Ikut umi juga.” “Terus Zahra di rumah sama mbah? Ngapain kok gak ikut umi?” desakku. “Iya. Lagi ngerjain PR.” Hmm.. Jawaban terakhir inilah yang kemudian menjadi kunci bagiku untuk menelisik kenapa gadis kecilku ini menangis. Aku segera tahu, pasti ada persoalan dengan PR nya. Yang aku hafal, jika ada kaitannya dengan pelajaran bahasa arab atau matematika, dia lebih suka bertanya kepadaku.

“Ada kesulitan? Apa yang tidak bisa, coba tanyakan ke abi, sayang.” Bujukku setengah merayu. Setelah itu, suaranya kudengar berangsur tenang. Tak ada lagi isak tertahan. Hingga akhirnya bisa aku dengarkan suaranya benar-benar jernih dan renyah kembali, seperti biasanya. “Jadi 975 dibagi 25 berapa, bi?” tanyanya. “Kamu masih ingat diagramnya tho? Mula-mula 97 dibagi 25 dulu, didapat angka 3. Terus 3 kali 25 ada 75 kan? Nah 97 tadi dikurangin 75, hasilnya 22. Terus angka 5 dari 975 tadi diturunkan, dapat angka 225. 225 dibagi 25 ada 9 tho? 9 kali 25 sama dengan 225. 225 dikurangin 225 sama dengan 0. Selesai deh. Jadi 975 dibagi 25 ada 39.” Aku jelaskan satu soal itu.

Alhamdulillah, Allah karuniai aku anak yang cerdas. Cukup satu itu aku jelaskan dan ingatkan kembali, soal-soal yang lainnya yang senada sudah bisa dia kerjakan sendiri. Dia juga sampaikan satu pertanyaan tentang pelajaran PKn, “Dah bi itu aja, ntar yang lainnya tak tanya mbah aja.” Katanya. Aku rasa dia hanya butuh perhatian. Di saat mengerjakan PR-nya, biasanya dia didampingi uminya. Tapi tadi uminya harus ke masjid karena ada pengajian rutin ibu-ibu. Sehingga sedikit kesulitan tadi telah membuatnya galau. Saat meneleponku berkali-kali dan terus-terusan missed call, makin membuatnya galau dan kemudian menangis.

Ini hanya cerita lain tentang tabiat gadis kecilku itu, di luar kegemarannya dalam membaca. “Dia paling mirip denganmu.” Kata istriku jika mengomentari sifat-sifat dan tabiat yang dia punyai. Ya, ketiga anak kami memang membawa sifat, tabiat dan karakter yang saling berlainan. Masing-masing membutuhkan sentuhan yang berlainan. Ada saatnya sifat-sifat mereka itu saling bertemu, tapi di lain waktu karakter dan tabiat itu seolah tak bisa disatukan. Hingga rumah kami laksana kapal pecah. Benar-benar berantakan.

Dunia anak memang dunia warna-warni. Inilah saat tepat memberikan mereka warna sesuai yang kita inginkan. Ketika kita terlewat dalam memaksimalkan peran kita dalam fase ini, maka bersiap-siaplah untuk menyesal. Fase ini tak mungkin bisa kita ulangi lagi, sebagaimana waktu dan umur kita jika telah berlalu maka dia hanya bisa kita kenang atau kita ratapi. Tak akan pernah bisa kita putar ulang kembali.

“Bi, gendong. Aku ngantuk” pinta si bungsu saat kami selesai dari pengajian idul adha malam itu. ‘Ntar kalo abi makin peyok gimana?” tanyaku. “Tapi aku ngantuk.” Akhirnya aku tak kuasa menolak permintaanya. Kapan lagi aku bisa menggendongnya, saat-saat seperti ini akan cepat berlalu, hingga tahu-tahu dia sudah besar nanti. Dan tentunya, aku makin tak akan mampu menggendongnya. Begitu yang aku pikirkan. Hingga setelah kira-kira setengah perjalanan sampai rumah, dia aku turunkan, “Dah ya, punggung abi dah mulai sakit.”

Perbanyak saat-saat indah dalam hidup mereka, anak-anak kita. Penuhi memori mereka dengan kenangan-kenangan indah, itu akan sangat membantunya saat mereka besar nanti. Aku yakin itu. “Mi, tadi malam abi nggendong ghifar.” Anak gadisku mengadukanku tentang kejadian itu. Istriku hanya bisa memandangku tak mengerti, seperti biasa ia tahu, aku selalu melanggar pantangan itu. “Lha dia ngantuk. Kasihan. Mumpung masih kecil.” Begitu pembelaanku.

Suatu saat, punggungku kambuh. Akhir pekanku bersama keluarga tidak maksimal. Biasanya hari sabtu aku antar jemput anak sekolah, dan ahadnya mengantar mereka les renang. Tapi itu tidak bisa aku lakukan. Hampir 2 hari itu aku hanya istirahat di rumah. Menjelang keberangkatanku kembali ke ibukota, saat kami makan bersama, istriku berpesan : “Baik-baik ya, jaga kesehatan.” “Iya, abi gak boleh sakit. Nanti gak bisa main sama anak-anak kalo sakit.” Sambung sulungku sambil makan. Deg! Aku dan istriku saling menatap. Haru.

Begitulah. Yang aku yakini, masa-masa kecil mereka sebentar lagi akan berlalu. Mereka akan cepat menjelma menjadi manusia dewasa. Oleh karena itu, aku tak boleh melewatkan saat-saat ini. Inilah masa-masa mereka masih sangat membutuhkan kami, orang tuanya. Bukan berarti setelah dewasa mereka tidak akan membutuhkan kami. Tapi aku yakin masa-masa itu akan menjadi masa yang rumit bagi mereka. Justru mereka akan makin membutuhkan kami. padahal dekat tidaknya mereka nanti dengan kami, harus kami bangun sedari mereka kecil inilah.

Kawan, semoga jauhnya jarak kita dengan anak-anak kita tak membuat mereka merasa jauh dari kita, orang tuanya. Semoga sedikit dan terbatasnya kedekatan fisik kita dengan mereka, justru membangun dan makin mempererat kedekatan psikis kita dengan mereka. Hanya kepada Allah lah, Sang Penjaga Hidup kita, kita memohon bimbingan dan arahannya agar bisa membesarkan dan mendidik anak-anak kita dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah senantisa memudahkan dan menyederhanakan segala urusan kita.

Pancoran, 30/11/2009 23.40

Ukhuwah yang Serasa Hilang

Sekilas, aku melihat cairan bening menggenang di sudut mata beliau. Dengan sedikit tercekat beliau berkata, “Akhi, saya akan bicara jujur kepada kalian. Tidak akan saya tutupi.” Kami mengira apa yang akan beliau katakan adalah bagian taushiyah untuk kami. Ya, kami malam itu sedang melakukan program silaturahim tokoh. Kami silaturahim ke salah seorang guru kami di sana. Program ini bahkan telah kami rancang sejak dua pekan sebelumnya.

Beliau melanjutkan, “Tadi siang adalah hari yang unik. Dan saya yakin ini atas skenario Allah juga, antum malam ini datang ke rumah kami. Padahal siang tadi saya dan istri merencanakan bepergian. Saya bilang ke umminya, ‘Mi, ayo kita pergi. Kemana enaknya menurutmu?’ Istri saya menjawab, ‘Silaturahim’. Saya tanya lagi, jawabnya tetap sama, ‘Silaturahim. Pokoknya silaturahim.’”

Kami belum bisa menebak ke arah mana beliau akan bercerita. Karena sebelumnya kami membahas tentang makanan ahli surga. Tentang kehidupan para ahli surga. Beliau tadi menjelaskan tafsir lain beliau tentang sifat dan makanan ahli surga. Tentang penafsiran mengapa ahli surga nanti bisa melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Ah, sesuatu yang baru, yang sangat mencerahkan pemahaman kami tentunya.

“Padahal awalnya maksud saya hendak mengajak istri makan di luar.” Beliau menghela nafas sejenak. “Mendengar jawaban istri saya itu, lalu saya katakan, ‘Mi, kita tak punya saudara lagi di kota ini. Ikhwah ini, dia bukan saudara kita lagi. Ikhwah itu, ah dia juga bukan saudara kita lagi. Atau ikhwah yang di sana, rasanya dia bukan saudara kita juga. Rasanya, tak ada ikhwah lagi yang mau menjadi saudara kita di kota ini.’ Suara beliau sedikit bergetar. Kami pun tak kalah bergetar. Kami semua tersentak mendengar penuturan ustadz tadi.

Masih dengan nada sedikit parau beliau berkata, “Maka istri saya kemudian menangis. Saya pun menangis. Begitulah, siang tadi akhirnya kami menangis berdua. Rupanya Allah hendak menjawab galau kami dengan kedatangan antum semua. Allah ingin menunjukkan bahwa masih ada saudara kami di kota ini. Jazakumullah atas kehadiran antum semua malam ini.” Suasana hening dan haru tiba-tiba menyeruak di dada-dada kami. Kami semua tertunduk, terpekur, merenungkan sebuah kata yang bagi kami kini serasa di awang-awang. Kata itu adalah ukhuwah.

Kawan, ini memang hanya cerita kecil tentang sebuah episode di desa agak terpencil, di daerah dekat kaki gunung merapi sana. Episode sepi. Di tempat yang sungguh-sungguh sepi. Tentang seorang yang merasa kesepian di saat dakwah ini justru tengah memasuki hingar bingar keramaian. Sebuah paradoks yang menyentuh hati kami. Dalam perjalanan pulang dari rumah beliau, kami berenam saling introspeksi. Dua dari tiga nama yang beliau sebutkan, ada di antara kami.

Muara kami bertemu pada satu kata tadi, ukhuwah. Entahlah, barangkali salah satu wasilah menjaga ukhuwah yang asasi yang sering kita tinggalkan itu adalah bernama silaturahim. Lidah kita fasih mengucapkannya. Tangan kita lancar menuliskan keutamaan-keutamaannya. Tapi seringkali langkah kita tertahan oleh kesibukan, kepenatan, kesempitan waktu atau pun dalih-dalih yang lain.

Siapa yang pernah menyangka, seorang ustadz seperti beliau sampai pada kesimpulan seperti itu : tak ada lagi saudara kami di kota ini! Kesibukan beliau memang praktis agak menurun sejak tidak menjadi aleg. Pesantren yang dulu beliau kelola sebelumnya dan cukup dikenal di daerahnya kini tidak berkembang. Kini fisik beliau pun diuji dengan penyakit gula dan jantung. Aduhai, pertemuan-pertemuan kami selama ini memang hanya saat-saat formal saja, di tempat-tempat kajian, di jalan, di kantor dakwah, atau di tempat dan even yang senada. Dan kawan, itu tidak cukup. Untuk memaknai sebuah ukhuwah, semua itu tidak cukup!

Karenanya, salah satu syiar yaumiyan yang ada dalam panduan aktifitas harian kita ada yang namanya aktifitas silaturahim. Benar-benar silaturahim. Benar-benar kunjungan atas nama silaturahim. Bukan karena ada kewajiban kita mengembalikan buku yang pernah kita pinjam misal. Bukan pula karena keterpaksaan kita karena hendak meminta suatu pertolongan. Atau kepentingan-kepentingan yang lain. Karena dengan berkunjung, dengan silaturahim, kita bisa menguak hal-hal yang seringkali tidak tersampaikan dalam saat-saat formal tadi.

Banyak keutamaan dari silaturahim ini. Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda: “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menyambung silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi)

Ternyata, silaturrahim membawa keberkahan dalam rezeki dan umur seseorang yang suka menyambungnya. Ibnu Umar r.a berkata: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturrahim, akan dipanjangkan umurnya, diperluas rezekinya, dan dicintai oleh keluarganya.” (H.R. Bukhari)

Orang yang suka menyambung silaturrahim akan mendapatkan keberkahan dalam rezeki dan bertambah umurnya. Rahmat Allah akan senantiasa tercurah kepadanya di dunia dan di akhirat. Ia akan dicintai oleh manusia dan dihormati. Sebaliknya, orang yang suka memutuskan tali silaturrahim akan mendapatkan kesengsaraan, bencana, dan kebencian dari Allah dan manusia. Di akhirat nanti, ia akan dijauhkan dari surga.

Cukuplah bagi orang yang memutuskan tali silaturrahim merasakan kesengsaraan dan bencana apabila mendengar sabda Rasulullah Saw: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi).

Semoga kita dimudahkan untuk memperbanyak silaturahim, sehingga cerita-cerita haru seperti episode di awal tulisan ini tak banyak terjadi di sekitar kita. Di komunitas yang sangat-sangat menjaga makna ukhuwah ini.

Finished at menara jamsostek, 24/11/2009 14:40

Rabu, 11 November 2009

Tiba-tiba Muncul Rindu Itu…

Tangan ini tiba-tiba bergerak ingin mengetikkan kata, ‘Yuswar Hidayatullah’ di search engine google. Tiba-tiba saja. Entah mengapa pagi ini muncul kerinduan akan wajah orang-orang yang telah lama tidak berjumpa. Meski hanya sekedar tulisan atau berita tentang mereka, cukup melegakanku. Apalagi kemudian ditemani dengan alunan nasyid Rabithahnya Izzatul Islam. Ah.. Rasanya aku juga jadi rindu dengan sang penggubah lagu dalam nasyid ini.

Benar-benar ukhuwah ini telah membuatku makin kecanduan terhadap dakwah ini. Di sini aku hampir selalu bertemu dengan orang-orang hebat yang tawadhu’. Orang-orang cerdas yang tidak angkuh. Semuanya terasa setara. Yang ada adalah suasana saling memberi dan menerima. Maka, dalam forum mana lagikah kita bisa menemukan seorang anggota DPR, wakil gubernur, bupati atau seorang ustadz kondang duduk bersama dalam satu lingkaran dengan orang-orang yang barangkali biasa-biasa saja? Selain dalam halaqoh-halaqoh dakwah ini? Rutin, pekanan, dan dalam suasana kekeluargaan. Tak perlu protokoler.

Aku jadi ingat figur seorang ustadz di sebuah pesantren di Ogan Komering Ilir Palembang dulu, Ust. Sholihin Hasibuan. Semoga Allah senantiasa merahmatinya. Letak pesantren ini jauh di luar kota Palembang. Kira-kira hampir 2 jam waktu tempuhnya dengan perjalanan yang lancar di bumi sumatera. Suatu saat, berdua dengan seorang ikhwah kami kemalaman ketika sampai di pesantren tersebut. Ada acara di pagi harinya, dan kami memutuskan untuk mabit saja di sana. Bingung. Akhirnya kami memutuskan menuju rumah ustadz ini.

Inilah ukhuwah yang tidak memandang umur. Tidak memandang kasta ilmu. Tidak memandang suku. Tidak memandang terminologi penduduk asli atau pendatang. Beliau menyambut kami dengan ceria. Dipeluknya kami satu per satu. Sempat berbasa-basi dengan kami sebentar di ruang tamu rumah beliau, kemudian beliau pamit ke belakang. Dari samping rumah kelihatan beliau menyusup di kegelapan malam. Beberapa saat kemudian telah datang dengan membawa sesuatu di tangannya.

Rupanya beliau menyempatkan keluar rumah untuk membeli santapan malam buat kami. Setelah itu pun, beliau mengantarkan kami ke ruang inap di dekat masjid. Lengkap dengan peralatan mabitnya. Semua dilakukannya dengan riang, seolah menyambut kami seperti saudara yang lama tak bersua. Kami menjadi merasa kikuk. Tapi itulah hebatnya ukhuwah yang ikatannya tak lain karena ikatan iman semata. Semua berjalan apa adanya.

Ya, forum sederhana itu memang jauh dari forum-forum lain yang mempunyai nilai prestise. Forum kecil itu memang tidak glamour. Tak perlu pamflet atau iklan untuk mengadakannya. Ikatannya hanya iman dan ukhuwah. Tak ada hura-hura di sana. Semua tampil tawadhu. Forum- inilah yang selalu aku rindukan setiap saat. Seorang ustadz di Jogja bahkan mempersiapkan pertemuan itu dengan persiapan fisik secara matang sejak dari siang harinya. Tak kan dibiarkannya fisiknya terkuras oleh kegiatan yang tidak perlu di siang harinya, agar malamnya dia bisa datang dengan fisik yang segar. Ah, aku jadi malu.

Ya, dari forum sederhana inilah lahir pribadi-pribadi yang cemerlang. Seolah di negeri dongeng. Dari forum inilah tertelorkan program dan kerja dakwah yang tak pernah kehilangan inovasi dan kreatifitas. Mengalir tak pernah henti untuk terus menyemai kebaikan bagi umat ini. Maka tak heran kemudian ketika Muasis dakwah ini menyebutnya : Antum ar ruhul jadid fi jasadil ummah. Kalian ini semangat baru, ruh baru, yang lahir di tengah umat ini.

Maka jika forum ini tak lagi kita rindukan, maka kemana lagi kita akan dapatkan ukhuwah yang indah itu? Kemana lagi akan kita dapatkan pelajaran amal jama’i yang efektif ini? Kemana lagi kita akan dapatkan komunitas yang siap menjadi kontrol dan pengawas bagi semua aktifitas kita, karena memang kita sering lemah ketika kita sendiri? Forum ini memang bukan segalanya. Tapi segalanya bisa diawali dari forum yang kecil ini, forum yang sederhana dan berkah ini. InsyaAllah

Maka dalam doa-doaku, aku mencoba sebisa mungkin menghadirkan wajah-wajah saudaraku dalam lintasan-lintasan hatiku. Semoga Allah selalu memudahkan segala urusan dan memberkahi langkah-langkahnya. Dan senantiasa mempersatukan kami semua dalam langkah-langkah di jalan dakwah ini.

Sesungguhnya Engkau tahu
bahwa hati ini tlah berpadu
berhimpun dalam naungan cinta-Mu

bertemu dalam ketaatan
bersatu dalam perjuangan
menegakkan syariat dalam kehidupan

*Kuatkanlah ikatannya
Kekalkanlah cintanya
Tunjukilah jalan-jalannya
terangilah dengan cahya-Mu
yang tiada pernah padam

Lapangkanlah dada kami
dengan karunia iman
dan indahnya tawakkal pada-Mu

Hidupkan dengan ma'rifat-Mu
matikan dalam syahid di jalan-Mu
Engkaulah pelindung dan Pembela

Ya Robbi, Bimbinglah kami.....

Mohon maaf, ini bukan taujih. Ini sekedar lintasan hati di hari yang indah ini. Aku tuliskan untuk saudaraku semua di forum yang tak kalah berkah ini, sebagai wujud cintaku untuk antum semua. Bahwa sungguh aku merindukan antum semua. Walau ada di antara kita yang belum pernah bertemu fisik sekalipun. Tapi antum semua terasa begitu dekat di hati ini.

Kita semua punya cerita dan kenangan tentang forum itu. Tentang orang-orang dalam forum itu. Tentang kerja-kerja dalam forum itu. Semua pasti mencerahkan. Maka tak salah jika kita berbagi. Maka tak salah jika kita saling memberi. Bukan untuk unjuk kelebihan, karena kita hanyalah makhluk-makhluk yang tak pernah akan bisa sempurna.

Jamsostek, 11/11/2009 : 11.00

Jadilah seperti Cinta Khadijah

Cinta khadijah, cinta yang tak tergantikan meski rasulullah memiliki sejumlah istri sepeninggal khadijah, termasuk istri yang cantik, masih gadis dan cerdas, namun tidak bisa mengganti kedudukan khadijah di hati Rasulullah saw. Ini membuktikan bahwa cinta sejati tidak mengenal usia dan kecantikan, juga tidak mengenal status gadis atau janda.

Jadilah seperti khadijah, yang bisa mengisi ruang hati rasul secara penuh, sehingga tidak ada orang yang bisa menggantinya. Kepada Para istri yg (sudah) merasa tua, tidak cantik, sehingga khawatir (bahwa) suaminya akan 'meninggalkan'nya dan tidak mencintainya lagi, maka, jadilah Anda seperti Khadijah al kubra, tidak perlu 'menuntut macam-macam' terhadap suami (seperti menuntut setia, menuntut utk selaslu mencintainya, dsb), cukuplah bersikap sebagaimana sikap Khadijah terhadap Rasulullah.

Berikanlah totalitas cintamu kepada suamimu sebagaimana Khadijah memberikan totalitas cintanya kepada Rasulullah saw. Biarlah wanita-wanita lain cemburu kepadamu sebagai mana istri Rasul yang lain yang cemburu kepada Khadijah, meski Khadijah sudah lama wafat. Karena Khadijah memberikan cinta sejati (true love), dan cinta sejati akan selalu abadi.

(tulisan mas fathur izis yang sedikit diedit dan dirapikan)

Jumat, 06 November 2009

Selalu Ada Masanya

Ingatkah dirimu
Saat hati-hati kita saling memunggungi ?
Bukan !
Bukan karena tak ada lagi saling cinta
Bahkan sesungguhnya kita saling memeluk rindu
Satu sama lain

Tahukah dirimu
Itu hanyalah bagian dari pelajaran cinta dan rindu kita?
Bahwa semua ada masanya
Ada saatnya kita harus menengok ke belakang
Sekedar menatap kembali jejak-jejak langkah
yang telah kita lalui

Tak ada episode cinta yang selalu merona
Pun tak ada episode rindu yang selalu membiru
Kadang kita butuh sedikit angin yang bertiup agak kencang
Agar bisa kembali saling bergandeng erat
Satu sama lain

Dan memang selalu begitu
Pelajaran cinta dan rindu tak selamanya datar
Pelajaran ini selalu dilengkapi dengan kejutan-kejutan
Yang kadang bahkan
tak pernah kita duga sebelumnya


Menara Jamsostek 06/11/2009 16:40

Rabu, 04 November 2009

Tentang Prasangka

Kali ini tentang prasangka. Prasangka itu pada awalnya adalah sesuatu yang netral, tapi pada galibnya dia akan menarik pemiliknya ke kutub-kutub sesuai dengan kondisi hatinya. Pada kutub negatif, dia akan menjelma menjadi buruk sangka dan pada kutub positif, dia akan mewujud dalam bentuk baik sangka. Baik sangka dengan buruk sangka memang berada pada kutub jiwa yang berlainan. Yang berseberangan.

Dahulu, pernah di keremangan cahaya malam di serambi masjidnya, Rasulullah sedang berbincang sesaat dengan salah satu istri beliau setelah istri beliau ini menjenguknya di saat i’tikaf. Sesuatu yang wajar dan biasa saja tentunya. Tiba-tiba ada dua sahabat anshar yang kebetulan hendak melewati beliau, mereka tertegun. Seolah buru-buru, mereka segera bergegas menjauhi beliau.

Sampai di sini seolah tidak ada yang istimewa. Tapi Rasulullah selalu memberikan pelajaran kepada para sahabatnya di saat yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. Maka dipanggillah kedua sahabat Beliau tadi. “Pelan-pelanlah! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai” kata Beliau. “Subhanallah ! Wahai Rasulullah. Kami tahu itu. Dan kami tadi tidak berpikir macam-macam tentang Engkau.” Begitu sahabat menjelaskan kepada Rasulullah.

Selesaikah fragmen ini? Belum. Di sinilah kemudian kita mendapatkan kecerdasan Rasulullah dalam memberikan pendidikan dan arahan kepada kita semua, umatnya. “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorang seperti mengalirnya darah. Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan.” Begitulah, Beliau memanggil kembali kedua sahabatnya untuk mendekat dan memberinya penjelasan dalam rangka menutup celah munculnya prasangka di kemudian hari.

Sangat manusiawi sekali. Bisa saja kemudian karena pengaruh bisikan setan, mereka berpikir, “Rasulullah tadi itu bersama siapa ya?” Sangat manusiawi karena rasa penasaran dan keingintahuan. Namun itu akan menggiring siapapun yang mulai berpikiran demikian untuk kemudian mulai melanjutkan jalan pikirannya dengan kalimat, “Jangan-jangan…”. Maka inilah pintu prasangka itu.

Ini bukan persoalan berandai-andai. Tapi Rasulullah telah mencontohkan tindakan preventif itu untuk menghindarkan agar seseorang terhindar dari berprasangka. Beliau sebagai pihak yang berpotensi untuk diprasangkai, segera menutup celah itu dengan menjelaskan dan mengklarifikasinya. Kedua pihak pun selamat dari tragedi syak wasangka ini. Beliau tidak dipersangkakan, sementara di pihak kedua sahabat tadi mereka selamat dari berprasangka. Penyelesaian yang indah. Kuncinya adalah komunikasi.

Terus bagaimana kalau kedua pihak ini tidak saling bersinggungan? Di sinilah seringnya kemudian muncul persoalan ini. Seseorang akan dengan mudah bisa terjerumus dalam prasangka, terlebih lagi pada buruk sangka. Ini bisa terjadi jika memang tidak ada ruang yang memungkinkan untuk menjalin komunikasi dan melakukan klarifikasi. Sementara di luar itu, terbangun berbagai kemungkinan penafsiran akan suatu kejadian tadi.

Tapi kita sebenarnya tak perlu kuatir. Al Qur’an telah jauh-jauh hari mengingatkan kepada kita untuk menjauhkan diri dari aktifitas berprasangka ini. Kata Allah dalam Surat Al Hujurat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka (dzon), karena sebagian dari berprasangka itu dosa.” Apa yang menarik dari sini? Adalah kalimat “karena sebagian dari berprasangka itu dosa”. Kenapa sebagian? Karena kita masih bisa menumbuhkan prasangka yang tidak membawa konsekuensi dosa yaitu baik sangka (khusnudzon). Sementara jika kita jatuh pada buruk sangka (su’udzon), maka kita akan mudah terjatuh pada dosa.

Selalu membangun prasangka yang baik di benak pikiran kita memang tidak mudah. Ia juga sangat berkaitan dengan kondisi hati kita. Sementara kondisi hati kita, sangat tergantung dengan kedekatan kita dengan Sang Penjaga Hati. Rasulullah mengingatkan kita bahwa kita pun sangat mungkin berprasangka dengan Sang Penjaga Hati ini. Dalam sebuah hadits qudsi Allah mengatakan, “Sesungguhnya Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku.” Maka artinya jika kita ingin agar Sang Penjaga Hati itu dekat dengan kita, maka berprasangkalah bahwa Allah itu dekat dengan kita, bahwa Allah itu selalu mengikuti setiap langkah-langkah kita.

Segala yang berkaitan dengan hati memang terkadang rumit. Karena sifat hati yang mudah berbolak-balik, maka ini pun berbengaruh pada tabiat kita dalam berprasangka. Terkadang kita sangat mudah untuk berbaik sangka. Di lain waktu, begitu mudah pula kita terjatuh pada buruk sangka. Karena itu tak salah jika kemudian kita harus selalu meminta kepada-Nya, agar meneguhkan hati kita pada agamanya dan agar selalu di atas ketaatan kepada-Nya. “Allahumma Ya Muqallibal qulub. Tsabit qalbii ‘ala diinika wa ‘ala tha’atika.”

Semoga Allah senantiasa menganugerahi kita hati yang bersih, sehingga bisa mengarahkan kita untuk selalu bisa berbaik sangka pada kehidupan di sekitar kita. Sehingga dimudahkan-Nya dan disederhanakan pula segala urusan hidup kita. Amin.

@Pancoran, finished at menara jamsostek : 03/11/2009 15:45

Rabu, 28 Oktober 2009

Sungguh, dekapan itu menenangkannya..

Tergopoh-gopoh laki-laki mulia itu melangkah ke rumahnya. Ada kecemasan dan ketakutan yang amat sangat tergambar jelas di wajahnya. Dia baru saja mengalami kejadian luar biasa, yang kelak ini merupakan titik awal dimulainya perjuangan risalah Beliau. “Ada apa gerangan, kakanda. Mengapa badanmu menggigil sedemikian rupa?” Sambut sang istri, sang legenda wanita agung ini, dengan penuh ketenangan. Diselimutilah tubuh beliau. Direngkuhnya laki-laki mulia itu ke dalam dekapannya.

Maka mengalirlah cerita kegundahan dan kecemasan dari lisan laki-laki mulia ini. Kejadian yang baru saja dialaminya di tempatnya menepi dan melakukan perenungan, benar-benar telah menggoncangkan sendi-sendi jiwanya. “Sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku sendiri.” Kata laki-laki itu. Wanita agung itu menjawab, “Tidak! Bergembiralah Kakanda! Demi Allah, Allah sama sekali tidak akan membuat Kakanda kecewa. Kakanda seorang yang bersikap baik kepada kaum kerabat, selalu berbicara benar, membantu yang lemah, menolong yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.” Mendengar ucapan itu, maka perlahan, berangsur hati laki-laki mulia itu menjadi lebih tenang. Beban berat yang seakan terbebankan di pundaknya, perlahan menjadi meringan kapas, seolah tak lagi ada tersisa di sana.

Ini adalah potongan salah satu episode romantis perjalanan laki-laki mulia itu, Muhammad saw. Kehidupan beliau dan istri beliau ini, Khadijah ra, begitu melegenda. Bahkan kecintaan beliau kepadanya, tak pernah lekang dimakan zaman. Sepeninggalnya, laki-laki mulia ini selalu mengingat akan semua ketulusan dan kebaikannya, juga ketegarannya dalam mendampingi perjuangan risalah yang diembannya.

Kisah ini selalu membuat kita terpesona setiap kali membacanya. Inilah romantika yang sebenarnya. Romantisme itu semestinya menguatkan, bukan malah membuat kita rapuh. Bukankah saat itu umur beliau adalah 40 tahun dan khadijah 55 tahun? Bukankah mereka telah 15 tahun menjalani kehidupan rumah tangga itu? Dan justru mulai umur itulah, kemudian kita mengetahui bahwa ujian-ujian yang jauh lebih berat mulai mendatangi kehidupan beliau.

Selalu begitu. Perjalanan cinta boleh jadi mengalami pasang surut. Bukan karena cinta itu menipis. Bukan pula karena cinta itu tak lagi membiru. Tapi justru karena adanya ujian yang makin mendera dari luar sana. Apa pun bentuk ujian itu, bisa jadi mempengaruhi gairah cinta itu. Rutinitas yang padat, sempitnya waktu, kepenatan yang mendera, jarak yang tiba-tiba terbentang memisahkan, ataupun berbagai bentuk kesempitan lainnya, ia bisa hadir dalam perjalanan rumah tangga kita.

Oleh karena itu, romantisme harus selalu dihadirkan dalam perjalanan epsiode cinta kita. Romantisme tentu bukan monopoli pasangan yang baru menikah.Seiring berjalannya usia pernikahan, justru dia harus senantiasa dipupuk. Romantisme itu hanya masalah persepsi, jika kita bersepakat dengan pasangan kita bahwa sebuah aktifitas itu kita anggap romantis, maka romantislah dia. Jangan hiraukan dunia akan mengatakan apa.

Suatu saat, di sebuah sudut jalan di Jogja, seorang lelaki setengah baya menarik gerobak berisi sampah. Di sebelahnya berjalan sang istri. Penampilan mereka bagi orang mungkin jauh dari kesan keren. Sesekali di jalanan yang sepi, mereka bergandengan tangan. Bercanda. Beberapa pengguna jalan terlihat risi melihat mereka. Menyebalkan, bikin jalan macet aja, begitu pikir mereka barangkali. Tapi bagiku itu luar biasa. Romantisme bukan hanya monopoli mereka yang berpunya, bukan?

Romantisme sekali lagi, hanya masalah kesepakatan. Hanya terletak pada bagaimana kita mempersepsikannya. Tidak selalu harus mahal dan formal. Tidak selalu harus dramatis dan rumit. Tidak harus selalu diskenariokan sebagaimana sebuah drama. Tadi pagi sempat membaca tulisan seorang senior, umurnya telah di atas 40 tahun. Kata beliau, merasakan belaian tangan istri baginya merupakan hal yang membuatnya tentram. Sederhana bukan?

Romantisme kadang memang harus diciptakan. Mungkin sedikit dipaksakan. Tak mengapa. Yang terpenting kemudian adalah adanya kesepakatan dan kerelaan di antara kedua belah pihak. Saya terkadang meminta istri untuk sekedar mencari uban di kepala saya. Bukan apa-apa, saya memang menikmati kepala saya diacak-acak olehnya. Bagiku itu sangat menentramkan. Semua itu, bagiku cukup untuk memupuk rasa di hati ini agar selalu berkembang tunasnya.

Begitulah, energi romantisme ini akan mempengaruhi daya juang kita kemudian. Setiap kita mampu untuk melakukannya. Yang ada tinggal tekad untuk mewujudkannya. Bahkan dalam setiap saat, sesungguhnya bisa dijadikan momen untuk membuat romantika episode hidup kita kembali merona. Sekali lagi, tinggal kita mau atau tidak.

Pancoran, finished at menara jamsostek 28/10/09

Jumat, 25 September 2009

Tradisi Saling Memaafkan (Selamat Hari Raya Ied 1430 H)

Selagi ada waktu
Selagi aku teringat
Selagi Allah masih mengijinkan kita bersua

Di bulan yang baik ini
Ijinkan aku beserta segenap keluarga
Mengucapkan :

Taqabbalallahu minna wa minkum
Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua

Selamat Hari Raya idul fitri 1430 H
Mohon maaf lahir dan batin

Mari terus budayakan tradisi saling memaafkan ini
Terima kasih.

Kamis, 20 Agustus 2009

Buah Mengembalikan Urusan Kepada Allah dan Bersabar

Dalam hidup ini setiap muslim kadang menghadapi ujian, cobaan dan bencana. Karena itu, ketika diuji, hendaknya ia bersabar dan mengharapkan pahala kepada Allah atas musibahnya. Jika demikian, tentu Allah tidak akan menyia-nyikan sesuatu pun untuknya, bahkan Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang hilang darinya.

Dalam Shahih-nya, Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah ra, bahwasanya ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw, 'Tidaklah seorang muslim yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah, 'Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah aku pahala karena musibah ini, dan gantikanlah untukku sesuatu yang lebih baik darinya,' kecuali Allah akan memberinya ganti yang lebih baik.' Ummu Salamah berkata, 'Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku berkata, 'Siapakah orang Islam yang lebih baik dari Abu Salamah?, (penghuni) rumah yang pertama kali hijrah kepada Rasulullah saw? Lalu aku mengucapkan perkataan diatas, kemudian Allah menggantikan untukku Rasulullah saw sebagai suami'."

Wahai ummat Islam, ketahuilah! Sesungguhnya barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari padanya. Siapa yang meninggalkan dari menampar pipi sendiri, mengoyak-ngoyak pakaian dan berteriak-teriak meratap serta kemungkaran yang sejenisnya, kemudian ia memohon pahala di sisi Allah atas musibahnya serta mengembalikan semuanya kepada Allah, niscaya Allah akan menggantikanya dan sungguh Allah adalah sebaik-baik Pemberi ganti.

Oleh :
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Senin, 10 Agustus 2009

Selingkuh

by Eko Novianto Nugroho

“Istri saya bersyukur memiliki suami seperti saya ini”, demikian kalimat pembuka ta’aruf teman saya. “Dengan wajah seperti ini, kalau masih ada juga perempuan lain yang intim dengan saya, maka dapat dipastikan sayalah yang kurang ajar”, lanjutnya dengan enteng.

....................

Selingkuh. Satu kata yang semakin popular belakangan ini. Dulu ada menyeleweng atau nyleweng. Sekarang ada selingkuh. Perubahan istilah itu mungkin dilakukan demi tuntutan pasar. Pasar sudah jenuh dengan istilah menyeleweng dan perlu ada inovasi baru. Tapi substansinya sama. Menghianati pasangan, membohongi pasangan, dan menutupi sesuatu dari pasangan. Hanya karena kepentingan inovasi saja, menyeleweng diganti dengan selingkuh. Entah kosakata apalagi yang ada di depan sana untuk aktivitas hitam ini.

Seorang teman pernah memberikan tips selingkuh yang sehat. Saya agak terheran-heran dan hendak menolaknya. Tapi saya menahan diri untuk kemudian mencoba mendengarkan dulu paparannya. Selingkuh yang sehat – menurutnya - adalah selingkuh yang dilakukan dengan tetap menjaga kesetiaan pada pasangan, menjaga keterbukaan, dan tetap menjaga kejujuran. Saya tersenyum. Dan teman saya menyimpulkan sendiri. Katanya, ’Kalau setia, jujur dan terbuka. Mengapa selingkuh?’. Saya kembali tersenyum. Saya rasa memang tidak ada selingkuh sehat. Yang ada selingkuh yang seakan-akan sehat.

Suka atau tidak, kita sedang hidup dalam situasi yang kondusif dalam urusan selingkuh ini. Ada banyak propaganda yang indah. Ada pembenaran-pembenaran yang rajin di launching media. Ada banyak syair lagu yang memperindah aktivitas ini. Ada sekian banyak argumen yang membuat selingkuh seakan-akan adalah hanyalah kecelakaan kecil, ketidaksengajaan yang lumrah, atau bahkan sesuatu yang tidak salah. Selingkuh kemudian kerap kali dipandang sebagai sekedar selingan untuk menjaga kesetiaan.
Dan saya percaya jika komunitas tarbiyah bukanlah sebuah komunitas yang aman dari tema ini. Tidak harus panik memang. Hanya perlu waspada saja. Dan jangan katakan tidak mungkin.

Yang kerap menjadi alasan para pelaku selingkuh adalah kebosanan dan keinginan untuk mencoba sensasi dan variasi lain dari pasangan dengan cara yang aman dan menantang. Bosan adalah sesuatu yang memang tidak mudah dihindarkan dalam kehidupan berumah tangga. Ada saja bisikan untuk itu. Yang kurang inilah dan yang kurang itulah. Atau sebaliknya, ada cita-cita atau sensasi yang belum pernah ternikmati.

Bukan tidak pernah terlihat perempuan lain yang mempunyai kelebihan dibanding istri saya yang ajaib itu. Entah perempuan itu di mana. Bisa ada di dekat sini. Bisa juga jauh di sana. Jauh di tempat yang lain. Atau jauh di masa yang lain. Atau bahkan jauh dari realitas. Atau hanya ada di mimpi. Karena perempuan ideal sesungguhnya tidak pernah ada. Hanya ada di ranah idealita.

Sebagaimana – boleh jadi – ada laki laki lain yang memiliki keunggulan dibanding saya di mata istri saya. Entah laki laki itu ada di dekatnya. Atau jauh darinya. Atau bahkan laki laki itu tak pernah ada. Atau kalaupun ada, setidaknya laki laki itu ada di imajinasinya.

Sebatas itu tak apa. Siapa yang bisa membatasi selera. Mengikutinya dengan tindakan nyata itu yang bermasalah. Pendekatan, rayuan, membuka peluang, memberi kesempatan, merekayasa, mengarang situasi, dan tindakan lain yang sesungguhnya hanya untuk pasangan adalah langkah yang potensial bermasalah.

Sampai saat ini, saya percaya selingkuh tidak ujug-ujug. Tidak tiba-tiba. Dan tidak sekonyong konyong. Ia adalah buah dari saling pengertian, saling mendekati, saling merayu, saling mengikuti hasrat, saling membenarkan alasan, saling menguatkan argumentasi dan saling melindungi. Dan kesemuanya memerlukan waktu. Memang relatif. Bisa cepat bisa lama. Tapi tetap perlu waktu. Dan di waktu-waktu itulah situasi akan semakin membenarkan.

Kata kuncinya adalah pembiaran situasi. Sering kali kita berharap dalam situasi itu akan ada jalan kembali. Di depan sana. Padahal tidak. Semakin ke depan semakin sulit untuk kembali. Jika tidak mau dikatakan tidak ada lagi jalan kembali. No way out!!!. Semakin lama situasi semakin membenarkan dan semakin mewajarkan selingkuh yang dilakukan.

Itulah sebabnya jalan menuju selingkuh wajib kita hindari. Sebagaimana ayat-Nya. Apapun itu variasinya. Selingkuh sebagai efek samping kewajaran bisnis, sebagai efek samping keniscayaan sosial, sebagai efek samping kebutuhan lembaga, sebagai efek samping keharusan kerjasama, atau variasi lainnya.

Hal lain yang menjadi keniscayaan hari ini adalah banyaknya pribadi yang merasa pesimis dengan keluarga. Bagi mereka keluarga bukanlah sebuah kebutuhan melainkan sebuah malapetaka. Lebih dari itu, mereka merasa gerah jika ada keluarga yang sehat. Mereka terobsesi untuk merusak keharmonisan keluarga sehat.

“Saya diteror perempuan yang mengaku pacar suami saya. Dia main ancam. Bagaimana pak?”. Demikian sebuah sms yang saya terima. Saya juga pernah menerima pengaduan seorang perempuan yang mengeluhkan kedekatan suaminya dengan fulanah. Saya tanya si suami, ”Apakah benar ada fulanah dalam kehidupan antum?”. ”Benar ada”, jawab si suami jujur. ”Sebagai apa?”, tanyaku berikutnya. ”Teman kerja dan teman kuliah dulu”, jawabnya. ”Antum mengerti keberatan istri tentang ini”, saya sedikit masuk. ”Ya. Bahkan perempuan itu juga mengerti keberatan istri saya”, jawab si suami mantap. ”Lalu?”. ”Dia semakin terobsesi jika kehadirannya menyebabkan keluarga kami berantakan”, jawab lelaki perkasa itu dengan lemas.

Hati-hati dan adanya kepercayaan kepada pasangan saya kira tidak boleh dipandang sebagai sebuah 2 (dua) hal yang klise. Keduanya harus ditumbuhsuburkan seiring perjalanan sebuah perkawinan. Keduanya juga harus dijaga komposisinya. Berimbang dan proporsional. Hati-hati dan bertanya pada pasangan jika diperlukan. Memperingatkan jika memang harus dilakukan. Dan – di sisi lainnya – tetap memberikan kepercayaan bahwa pasangan kita adalah manusia dewasa yang bertanggungjawab.

Ada perasaan khas yang muncul pada seseorang yang dikhianati pasangannya. Penasaran. Penasaran mengapa pasangannya selingkuh?. Penasaran tentang sebenarnya kurang apa aku?. Penasaran sejak kapan mereka mulai selingkuh?. Penasaran apa pemicu mereka bersekongkol dan mengkhianati?

Perasaan ini sulit dihindari. Tidak perlu dihindari. Jika masih belum terlampau jauh dan masih bisa dimaafkan, sebaiknya perasaan ini tidak dilanjutkan terus sampai saat yang tidak ditentukan. Jika tidak dihentikan, maka kecurigaan dapat menutup upaya-upaya positif pasangan yang ingin memperbaiki diri.

Dan jika kita yang dicurigai oleh pasangan kita. Wajar mereka sulit menghilangkan trauma. Itu akibat tingkah laku kita juga. Sekali lancung ujian, ia akan menimbulkan trauma berkepanjangan. Jangan cengeng.

”Sebenarnya siapa perempuan yang kamu cemburui, Can?”, sebuah pertanyaan meluncur dari bibirku pada istri ajaibku. Jawabannya mencengangkan.

Selasa, 28 Juli 2009

Titip Doa Kepada Anak

Adalah menjadi kebiasaanku untuk mengamati anak-anakku ketika mereka mengerjakan sholat di rumah. Kadang tanpa mereka ketahui, aku berada di belakang mereka mengamati cara mereka berwudhu yang kadang ala kadarnya. “Ayo, diulang lagi mas. Itu mata kakinya masa masih kering begitu.” Kataku ketika mendapati si sulung wudhunya kurang sempurna.

Begitu juga saat mereka mulai mengerjakan sholat, dalam hatiku ikut melafazkan surat Al Fatihah, mencoba mengetes dan meyakinkan bahwa mereka benar-benar telah membaca surat itu dalam sholatnya. Dulu waktu mereka masih belajar sholat, ketika mereka mengerjakannya seperti seorang pesenam aerobik, aku biarkan saja. Bagiku, yang terpenting adalah pembiasaan dulu.

Baru ketika usia mereka sudah menginjak di atas 7 tahun, aku mulai benahi mereka. Aku harus agak keras untuk mengingatkan mereka akan waktu-waktu sholat. Sekarang si sulung sudah berumur 10 tahun, adiknya yang perempuan berumur 8 tahun. Alhamdulillah, sholat mereka telah lebih baik dan tertib. Untuk si bungsu yang baru berumur 5 tahun, aku masih memberinya dispensasi sebagaimana kakak-kakaknya dulu.

Sekarang kebiasaan baruku adalah mengamati kebiasaan mereka selepas sholat. Dulu hampir pasti begitu selesai salam, setelah mencium tangan kananku mereka langsung berkelebat. Ketika aku tanyakan, “Kok tidak dzikir dan doa?” jawabnya singkat, “Sudah kok.” Duh, dasar anak-anak pikirku. Sekarang, jika selesai sholat, dalam beberapa kesempatan sering saya tahan mereka untuk duduk sejenak. Tidak selalu. Saya bisikkan kepada mereka, “Berdoa dulu yak.”

Kemaren saat melihat anak gadisku selesai sholat, terlihat komat-kamit sebentar kemudian bergegas merapikan mukenanya. Saat itu aku pura-pura bertanya, “Sudah berdoa belum, ndhuk?”. “Tadi kan sudah?” jawabnya sambil menaruh mukenanya ke dalam rak di kamar kami.

Istriku yang duduk di sampingku bertanya, “Kamu doa apa tho?”. “Ya, berdoa lah…” jawabnya singkat. ”Lha iya doanya, apa?” tanya istri lagi. “Tanya abiii, itu kan doa pesenannya abi.” Deg. Aku agak terpana dengan jawaban anak gadisku itu. Aku tidak menyangka dia melakukan permintaanku beberapa waktu yang lalu, yang aku lupa kapan persisnya. Tapi mendengar jawabannya tadi, setidaknya membuat mataku tiba-tiba berkaca-kaca.

Yang aku ingat, kebiasaan anak-anak jika aku pulang mereka minta tidurnya ditemani terlebih dahulu. Pada suatu waktu, ketika menjelang tidur mereka aku menceritakan masa-masa kecilku sampai kini. Aku buat bersambung sampai beberapa kali. Ada episode aku waktu masih SD, SMP, SMA kemudian kuliah. Bahkan episode setelah menikah dan kelahiran mereka.

Ada saat kemudian ketika itu aku tanyakan kepada anak-anakku. ”Kalian lebih senang kalo abi Jakarta atau deket dengan kalian?”. “Ya di Jogja lah.” Jawab mereka. “Kalo begitu jangan lupa doakan abi tiap habis sholat kalian ya? Sudah sekarang saatnya tidur.” Aku lihat mereka hanya mengangguk kemudian tidur.

Permintaan itu beberapa kali aku ingatkan kepada mereka saat mereka akan tidur. Aku hanya berpikir bahwa mereka adalah anak-anak yang polos. Barangkali Allah akan mengabulkan permohonan kita justru lewat lisan-lisan anak yang masih polos ini. Dan setidaknya aku ingin menanamkan arti doa bagi mereka.

Suatu saat jika Allah mengabulkan doa-doa mereka, aku akan katakan, ”Alhamdulillah, ini berkat doa-doa kalian.” Dan kalaupun belum dikabulkan, aku ingin katakan kepada mereka, ”Teruslah berdoa dan bersabarlah. Allah tidak akan melewatkan doa-doa kalian.”

Yang ingin aku lakukan adalah pembiasaan. Bukankah anak-anak yang sholih/sholihah yang mendoakan orang tuanya adalah salah satu dari 3 hal yang tidak terputus dari kita meski kita telah meninggal nanti? Karena itulah aku ingin agar anak-anakku terbiasa mendoakan orang tuanya. Doa apa pun itu asalkan bernilai kebaikan.

Sampai di sini, anak-anakku telah mengajariku juga agar aku pun belajar mendoakan orang tuaku. Orang tua kandungku, dan juga orang tua dari orang terdekat di hatiku, istriku. Semoga kita semua dikumpulkan kembali di jannah-Nya kelak. Amin.

Jamsostek : 28/07/09. 17.10

Gundah

Dia hanya mengirimkan satu kata untukku kemaren. Gundahku. Tidak ada kata-kata lain yang menjelaskan makna itu. Tidak ada rentetan kalimat lain yang menjelaskan apa dan kenapanya. Tapi kata-kata gundahku itu, sungguh telah membuatku gundah.

Aku gundah mengapa dia merasa gundah. Aku selalu gundah jika telah membuat seseorang merasa gundah. Apalagi yang aku buat gundah adalah orang yang terdekat di hatiku. Aku gundah karena tidak mengerti lagi apa yang telah membuatnya gundah.

Sapaanku hari ini masih dibalasnya sekedarnya. Aku tahu, dia masih merasa gundah. Aku selalu merasa akulah yang telah membuatnya gundah. Tapi kegundahannya kali ini membuatku semakin gundah bertalu-talu. Gundah yang tak terperikan.

Mungkin episode kemaren dan ini adalah korelasinya. Aku hanya menduganya karena hanya itu yang bisa kulakukan. Dia masih tetap bergeming dalam diamnya. Seakan memberiku kesempatan untuk merenung dan berpikir. Aku mencoba untuk tetap mengerti.

Inilah di Antara Amalan Ahli Syurga

Oleh. Ustaz Abu Jibriel

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i, Anas bin Malik menceritakan sebuah kejadian yang dialaminya pada sebuah majelis bersama Rusulullah Saw.

Anas bercerita, “Pada suatu hari kamu duduk bersama Rasulullah Saw., kemudian beliau bersabda, “Sebentar lagi akan muncul dihadapan kalian seorang laki-laki penghuni surga.” Tiba-tiba muncullah laki-laki Anshar yang janggutnya basah dengan air wudhunya. Dia mengikat kedua sandalnya pada tangan sebelah kiri.” Esok harinya, Rasulullah Saw. berkata begitu juga, “Akan datang seorang lelaki penghuni surga.” Dan munculah laki-laki yang sama. Begitulah Nabi mengulang sampai tiga kali.

Ketika majelis Rasulullah selesai, Abdullah bin Amr bin Al-Ash Ra. mencoba mengikuti seorang lelaki yang disebut oleh Nabi sebagai penghuni surga itu. Kemudian beliau berkata kepadanya : “Saya ini bertengkar dengan ayah saya, dan saya berjanji kepada ayah saya bahwa selama tiga hari saya tidak akan menemuinya. Maukah kamu memberi tempat pondokan buat saya selama hari-hari itu ?” kata Abdullah bin Amr bin Al-Ash.

Abdullah mengikuti orang itu ke rumahnya, dan tidurlah Abdullah di rumah orang itu selama tiga malam. Selama itu Abdullah ingin menyaksikan ibadah apa gerangan yang dilakukan oleh orang itu yang disebut oleh Rasulullah sebagai penghuni surga. Tetapi selama itu pula dia tidak menyaksikan sesuatu yang istimewa di dalam ibadahnya.

Kata Abdullah, “Setelah lewat tiga hari aku tidak melihat amalannya sampai-sampai aku hampir-hampir meremehkan amalannya, lalu aku berkata: “Hai hamba Allah, sebenarnya aku tidak bertengkar dengan ayahku, dan tidak juga aku menjauhinya. Tetapi aku mendengar Rasulullah Saw. berkata tentang dirimu sampai tiga kali, “Akan datang seorang darimu sebagai penghuni surga.” Aku ingin memperhatikan amalanmu supaya aku dapat menirunya. Mudah-mudahan dengan amal yang sama aku mencapai kedudukanmu.”

“Yang aku amalkan tidak lebih daripada apa yang engkau saksikan.” Kata orang tersbut. Ketika aku mau berpaling, kata Abdullah, dia memanggil lagi, kemudian berkata, “Demi Allah, amalku tidak lebih daripada apa yang engkau saksikan itu. Hanya saja aku tidak pernah menyimpan pada diriku niat yang buruk terhadap kaum Muslim, dan aku tidak pernah menyimpan rasa dengki kepada mereka atas kebaikan yang diberikan Allah kepada mereka.”

Lalu Abdullah bin Amr berkata, “Beginilah bersihnya hatimu dari perasaan jelek dari kaum Muslim, dan bersihnya hatimu dari perasaan dengki. Inilah tampaknya yang menyebabkan engkau sampai ke tempat yang terpuji itu. Inilah justru yang tidak pernah bisa kami lakukan.

Memberikan hati yang bersih, tidak menyimpan prasangka yang jelek terhadap kaum Muslim kelihatannya sederhana tetapi justru amal itulah yang seringkali sulit kita lakukan. Mungkin kita mampu berdiri di malam hari, sujud dan rukuk di hadapan Allah Swt., akan tetapi amat sulit bagi kita menghilangkan kedengkian kepada sesama kaum Muslim, hanya karena kita pahamnya berbeda dengan kita. Hanya karena kita pikir bahwa dia berasal dari golongan yang berbeda dengan kita. Atau hanya karena dia memperoleh kelebihan yang diberikan Allah, dan kelebihan itu tidak kita miliki. “Inilah justru yang tidak mampu kita lakukan.” kata Abdullah bin Amr. (Hayat Al-Shahabah, II, 520-521)

Wallahu’alam bish showab…

(http://www.abujibriel.com/)

Kamis, 16 Juli 2009

And The Star is Me !

Bintang memang identik dengan prestasi. Maka kita akan menemukan istilah bintang kelas, yaitu mereka yang berprestasi di kelasnya. Atau bagi yang suka sepak bola, di sana ada yang namanya bintang lapangan. Bintang juga identik dengan sesuatu yang bernilai lebih, maka lihatlah dalam pengkategorian jenis hotel misal. Kita akan menemukan bahwa hotel berbintang itu mempunyai nilai lebih jika dibandingkan yang tidak berbintang. Dan bintang pun juga berhubungan tingkatan kedudukan. Lihatlah seorang jenderal, ada berapa bintang yang berjejer di pundaknya?

Bintang, dalam makna-makna konotatif selalu berhubungan dengan kesempurnaan dan kecemerlangan. Karena memang bintang itu ditakdirkan berada di atas sana dan bersinar. Bahkan saat jatuhnya pun, orang menganggapnya sebagai pertanda akan datangnya kebaikan.

Jika anak kita dapat nilai bintang dalam buku sekolahnya, itu berarti pertanda baik baginya. Jika anda adalah pelaku bisnis di MLM, maka bertambahnya tanda bintang anda, itu pertanda makin tingginya level keanggotaan anda. Semakin banyak bintang, semakin sukses anda. Itulah bintang. Ia menjadi perlambang kebaikan dalam keseharian kita.

Dalam perjalanan dari masjid pagi ini, aku sempatkan memandang bintang di atas sana. Aku teringat dengan perbincangan kawan-kawanku tentang bintang kemaren. Menjelang kehadiran sang surya, aku masih menemukan satu bintang yang bersinar terang. “Mungkin dia yang dijuluki Bintang Timur” gumamku dalam hati. Tapi semakin aku tajamkan pandanganku, maka seakan bintang-bintang lain berlomba bermunculan. Ada banyak bintang di atas sana.

Faktanya, bintang-bintang di langit jumlahnya bermilyar-milyar. Mereka semua berada di atas sana dan bersinar. Entah dia besar atau kecil, jauh atau dekat, tapi mereka tetaplah bersinar. Mereka semua adalah bintang. Ketika satu bintang terlihat besar dan dominan di atas sana, sejatinya itu karena andil dari adanya bintang-bintang kecil di sekelilingnya. Sementara besar dan kecilnya bintang itu sendiri adalah sesuatu yang terkadang relatif. Bisa jadi memang ukurannya yang kecil, atau sebenarnya dia juga bintang besar, hanya karena jarak pandang kita sehingga bintang itu terlihat kecil oleh kita.

Intinya, bintang itu selalu bersinar. Bintang mengeluarkan sinar dari dalam dirinya, bukan sekedar memantulkan sinar sebagaimana sang bulan. Tabiat bintang itu menyinari, bukan disinari. Tabiat bintang itu menumbuhkan, bukan mendominasi.

Dalam konteks dakwah, kita mungkin tidak pernah meminta untuk menjadi bintang, Tapi kita sejatinya telah ditakdirkan menjadi bintang. Ya, kita semua adalah bintang. Dan Allah telah tetapkan itu. Bukankah Allah telah katakan : Kalian adalah bintangnya umat (khairu ummah) yang dilahirkan untuk manusia! Ya, ini adalah penetapan dari Allah. Adakah dari kita yang hendak mengelak?

Sebagaimana tabiat bintang yang menyinari, maka Allah pun mensyaratkan agar kita juga bersinar. Agar kita bisa menyinari sekitar kita. Apa parameternya? Yaitu (1) menyuruh kepada yang ma'ruf, (2) mencegah dari yang munkar, dan (3) beriman kepada Allah. Cukup tiga hal Allah syaratkan, agar kita menjadi bintang.

Hanya itulah syarat menjadi bintang. Dan kita memang ditakdirkan menjadi bintang. Kita ditakdirkan untuk menyinari. Jika kita adalah pribadi yang menyuruh kepada yang ma’ruf maka kita adalah bintang. Jika kita adalah pribadi yang mencegah dari yang munkar, maka kita adalah bintang. Jika kita adalah pribadi yang beriman kepada Allah, maka kita adalah bintang. Dan jika ketiga aktifitas di atas terhimpun dalam diri kita, maka kita adalah bintangnya umat.

Jadi, apakah anda yang disebut bintang itu?

Pancoran : Pagi menjelang dan setelah sholat subuh, 16/07/2009.

Selasa, 07 Juli 2009

Aku Hanya Ingin Memberi

Aku Hanya Ingin Memberi

Yang bisa kulakukan hanyalah memberimu dengan apa yang aku mampu. Jika engkau tetap tak mempercayainya, tetap hanya itu yang aku mampu. Selebihnya, semoga Dia yang akan membuat kita kembali saling mengerti. Bahwa aku sesungguhnya hanya laki-laki biasa, dengan sesuatu yang sangat biasa, yang jauh dari keluarbiasaan.

Can, engkau adalah anugerah terindahku. Entah sudah berapa kali tiba-tiba hatiku terasa terkoyak, ketika aku mendapatimu sangat-sangat tidak berkenan dengan sikapku. Aku bahkan tak pernah membayangkan engkau akan seperti itu. Aku bahkan tak pernah terpikirkan untuk berbuat seperti yang engkau bayangkan. Sungguh, aku hanyalah laki-laki biasa dengan pikiran yang sangat biasa, tidak pernah ada kerumitan dalam pikiran-pikiranku. Semoga engkau mengerti.

Tetapi itulah sejatinya makna pembelajaran itu. Aku terus belajar untuk mengerti bahwa sungguh penerimaan kita kepada pasangan kita itu tidaklah cukup hanya dengan memberi apa-apa yang dia butuhkan. Kita sering lupa bahwa ada sisi lain yang harus kita perhatikan juga, yaitu penerimaan dalam bentuk penghargaan. Ya, penghargaan. Penghargaan terhadap semua jerih payah pasangan kita. Sekecil apapun itu bentuknya.

Can, sering kita baru tersadar akan kejerihpayahan pasangan kita, saat dia tidak ada. Saat dia tak lagi di samping kita. Sering kita baru tersentak akan keberartian pasangan kita, saat dia jauh dari sisi kita. Itulah ujian tentang makna penghargaan dan keberartian ini. Kita memang tak bisa menghargai karena kita belum bisa merasakan keberartiannya. Bukan dia tidak berarti bagi kita, tapi kita belum bisa merasakannya. Atau bisa jadi, keberartiannya kadang tertutupi oleh sesuatu yang tampak tidak luar biasa.

Ya, sesuatu yang biasa, yang tidak luar biasa, sering menipu kita. Padahal sesungguhnya, dengan itulah dia selama ini mengguyur kita dengan cintanya. Bahwa pemberian yang biasa, yang sering kita terima, yang mungkin nominalnya tidak seberapa, itulah sesungguhnya yang membuat dia menjadi luar biasa. Jika kita mampu menghargainya.

Can, aku sedang belajar menghargai. Lebih menghargai tentang kejerihpayahanmu. Sekecil apapun itu. Bahkan seandainya itu memang kewajiban yang harus engkau tunaikan yang tidak ada hubungannya denganku pun, maka aku akan berusaha menghargainya. Karena engkau adalah anugerah terindahku. Aku ingin terus tumbuh bersamamu. Aku ingin kita terus bersama menyemai taman-taman cinta di hati kita.

Can, maafkan aku akan ketidakluarbiasaanku. Maafkan aku yang lebih menikmati sudut-sudut sepi, yang tak bisa mengimbangimu kecuali dengan bahasa-bahasa hati. InsyaAllah, Dia akan memudahkan usaha kita ke arah yang lebih baik. I Love You.

Jogja, 07072009:01.00

Kamis, 18 Juni 2009

Mendadak Bosan

Aku dilanda kebosanan. Semua aktifitas hari ini terasa tidak enak. Tidak nyaman. Aku ingin bergerak tapi terasa tak mampu. Aku ingin mendobraknya tapi serasa tak ada tenaga untuk itu. Jenuh. Seakan tak ada asa tersisa dalam dada ini. Di sisa-sisa kekuatanku, aku mencoba mencari makna tentang bosan ini.

Bosan, kata Fisher, adalah suatu kondisi perasaan (afektif) yang tidak menyenangkan. Bersifat sementara. Seseorang merasakan suatu kehilangan minat dan sulit konsentrasi, terhadap aktivitas yang sedang dilakukannya.

Definisi itu makin memperjelasku, bahwa bosan muncul bukan karena tak ada sesuatu untuk dikerjakan. Tetapi karena ketidakmampuan untuk terikat dalam suatu aktivitas tertentu. Meskipun sering muncul hasrat yang amat dalam ke arahnya.

Mendadak, aku tersengat dengan sebuat tulisan. Seakan aku belum pernah membaca tulisan itu. Padahal, sungguh telah berulang kali aku membaca tulisan itu.

Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.
(alm. Ust Rahmat Abdullah)

Bahwa sesungguhnya tidak ada yang baik atau buruk kecuali fikiran kita yang membuatnya demikan.

Dari Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya Nabi s.a.w. memasuki rumahnya dan di sisi Aisyah itu ada seorang wanita. Beliau s.a.w. bertanya: "Siapakah ini?" Aisyah menjawab: "Ini adalah si fulanah." Aisyah menyebutkan perihal shalatnya wanita tadi - yang sangat luar biasa tekunnya.

Beliau s.a.w. bersabda: "Jangan demikian, hendaklah engkau semua berbuat sesuai dengan kekuatanmu semua saja. Sebab demi Allah, Allah itu tidak bosan - memberi pahala - sehingga engkau semua bosan - melaksanakan amalan itu. Adalah cara melakukan agama yang paling dicintai oleh Allah itu ialah apa-apa yang dikekalkan melakukannya oleh orangnya itu - yakni tidak perlu banyak-banyak asalkan langsung terus." (Muttafaq 'alaih)

Bosan? Jenuh? Itu kadang kala manusiawi. Yang berbahaya adalah ketika kita tidak bisa menelusuri sumber rasa bosan itu, sehingga kita salah dalam mensikapi dan mencari solusi atas kebosanan itu.

Pancoran 18/06/2009 : 00:11 WIB

Rabu, 17 Juni 2009

Kalimat Yang Menggugah

Saya sangat terinspirasi sekali dengan kalimat yang pernah ditulis almarhum Ust. Rahmat Abdullah di bawah ini. Sederhana tapi sarat dengan makna. Semoga Allah merahmati beliau di alam kuburnya :

Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.

(alm. Ust Rahmat Abdullah)

Kamis, 11 Juni 2009

Sedikit Kekawatiran Seorang Ayah.

Senin siang beberapa hari yang lalu, istri mengabarkan jika gadis kecilku mendadak badannya panas siang itu. “Lah, piye tho yang? Tadi malam tidur di lantai po?” Tanyaku ke istri. Ini lagi musim ujian semesteran, tentu melewati ujian sekolah dengan kondisi tubuh tidak sehat amat tidak mengenakkannya.

“Iya, tadi malam kan hujan deras. Karena awalnya udara terasa panas, Zahra tidur di lantai.” jelas istriku. Akhirnya sore itu, istri mengantarkannya untuk berobat ke dokter. Alhasil, setiap saat aku mencoba memantau perkembangannya.

”Gimana dek, masih panas badanmu?” tanyaku pada gadis kecilku saat aku menelponnya.

”Gak tahu bi. Mas Ammar coba raba keningku, masih panas gak.” Dari jauh saya dengar suara kakaknya Ammar mengatakan ’Masih!’. ”Masih bi, sama buat makan dan menelan ludah tenggorokanku terasa sakit je bi”

”Ya sudah, untuk mengurangi rasa sakit tenggorokanmu, minta tolong Om Agus belikan permen hexos ya. Jangan lupa minum obatnya. Habis belajar langsung tidur.” Pesanku. Aku memang agak rewel jika mengurusi masalah kesehatan. Apalagi jika berhubungan dengan obat, harus disiplin.

Rabu sore kemaren, waktu kutelepon dia dan kutanyakan, ”Masih panas dek?”. ”Masih bi.” jawabnya. Lah, bukankah ini sudah hari ketiga. Pasti ada yang tidak beres, atau setidaknya tidak tertib, atau bahkan tidak disiplin, pikir saya. ”Kamu tadi mandi pake air anget apa air dingin?” tanyaku. ”Pakai air dingin, bi” jawabnya.

”Duh, kamu ini kan lagi sakit ndhuk. Mandinya pake air anget dulu. Umi belum pulang tho? Bilang sama budhe besok ya kalo mandi, minta tolong dimasakkan air dulu.” Budhe adalah yang membantu kami dan menemani anak-anak kami jika kami tinggal pergi bekerja. Beliau tetangga kami meski berbeda dusun.

Selepas Maghrib istriku telepon. Mengabarkan bahwa dia sore tadi kelupaan menitipkan pesan ke budhe agar Zahra mandinya dengan air hangat. Padahal sungguh, aku tidak memintanya menjelaskan tentang itu. Sepertinya dia tahu dan ada kekawatiran, bahwa hal ini harus dijelaskan. Bahwa duhu badan Zahra yang kembali panas tentu akan menggelisahkanku di sini.

Dia memang paling tahu tentang perasaanku, jika berhubungan dengan anak perempuanku. Bukan aku membedakan antara anak perempuanku dengan kedua anak laki-lakiku. Bukan. Semua aku perhatikan dengan serius karena semuanya adalah amanah yang harus kami jaga. Tapi untuk anak perempuanku ini, memang aku merasa harus lebih menjaganya. Entahlah. Mungkin saya memang juga belum bisa berbuat adil.

11/06/2009

Selasa, 02 Juni 2009

Siapa Yang Berubah Sejatinya?

Masih ingat kisah Bilal, seorang budak dari bangsa Habsy yang telah masuk Islam, dkeluarkan oleh majikannya - Umayah bin Khalaf - pada siang hari yang terik, dia ditelentangkan di padang pasir Makkah yang membara, lalu ditindihkan di atas dadanya sebongkah batu batu besar? “Sungguh engkau akan tetap seperti ini sampai engkau mati atau sampai engkau mengingkari Muhammad dan menyembah tuhan Latta dan Uzza” Kata Umayah. Bilal hanya mampu berkata, “Ahad, Ahad…” Begitu seterusnya.

Atau kisah Abu Dzar, sesaat setelah menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah dia mengucapkan, “Demi Dzat yang diriku berada di dalam kekuasaannya, aku benar-benar akan berteriak di tengah-tengah mereka”. Lalu dia pun pergi ke depan ka’bah dan berteriak lantang, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Maka tak ayal kaum kafir Quraisy beramai-ramai mengepungnya dan memukulinya hingga babak belur. Padahal Rasulullah sebelumnya sungguh telah melarangnya. Bahkan esok harinya diulanginya lagi perbuatan itu.

Atau beberapa puluh tahun yang lalu, kisah dua orang anak umuran SMA yang berangkat ke sekolahnya dengan mengendarai sepeda hampir 20KM setiap hari, setiap mendahului pengendara sepeda lain sesama pelajar yang terlihat ciri-ciri muslimnya, tidak terlewatkan kecuali mereka ucapkan salam kepadanya. Meskipun mereka tidak mengenalnya sama sekali. Bahkan di kampungnya mereka sempat membikin heboh dengan melakukan takbir dengan pengeras suara di masjid, pada hari kedua hari raya idul fitri!

Barangkali kita akan fasih mengatakan, itulah yang dinamakan militansi. Tetapi yang terjadi kemudian untuk saat ini, tidak sedikit kita kemudian menemukan nada-nada pesismis yang mengatakan, “ah, militansi itu hanya milik para asabiqunal awwalun” atau ”militansi itu biasanya terasa kental ketika jumlah kader dakwah itu masih sedikit”. Atau bahkan mungkin ada yang berpikir, “militansi itu sekarang seperti mutiara yang mahal. Sulit untuk ditemukan kembali.”

Seorang ustadz saya pernah mengatakan, “akhi, kita tidak bisa mengharapkan militansi kader kita seperti dulu.” Tapi beliau tidak sedang pesimis, saya menangkapnya ini sebagai peringatan. Kenapa beliau ungkapkan hal itu di hadapan kami? Tak lain agar kami segera bisa berbenah kembali. Ada mimpi-mimpi besar yang harus kita semai bersama tentunya. Bahwa suatu saat nanti, kita - umat islam ini - harus menjadi guru bagi alam semesta ini (ustadziatul alam). Dan jika kita tidak ikut mendekap mimpi-mimpi itu dengan kerja-kerja kita, tentu akan rugilah kita semua.

Maka membungkus mimpi-mimpi itu dengan baju militansi merupakan keniscayaan. Agar mimpi-mimpi itu senantiasa terwariskan ke generasi-generasi setelah kita. Karena kita sadar dan kita tahu, bahwa mimpi-mimpi itu membutuhkan masa yang panjang. Tidak cukup hanya satu generasi untuk mewujudkannya.

Baju militansi setidaknya membutuhkan kombinasi tiga warna dalam diri kita. Yang pertama adalah warnailah dengan izzah. Yaitu keyakinan dan kebanggaan akan fikrah islam yang kita miliki. Saya ingat, ketika seorang ustadz pernah bercerita. Waktu itu ia diminta untuk mengisi acara di lemhanas, dia bukan siapa-siapa. Tidak ada pangkat atau jabatan yang tersemat kepadanya. Bagi kita, mungkin kita pun akan minder ketika harus presentasi di depan pejabat-pejabat itu. Tapi kata beliau, ”yang saya bentuk dalam benak saya kemudian adalah pikiran bahwa saya mempunyai fikrah islam yang tidak mereka punya. Dan inilah kelebihan saya yang tidak mereka punyai. Jadi kenapa saya harus takut?”

Yang kedua adalah warnailah baju militansi kita dengan hamasah. Semangat menggelora untuk mengamalkan Islam dan menyerukannya kepada orang lain. Inilah yang terjadi pada Abu Dzar al Ghifari ketika memaklumatkan keislamannya di hadapan kaum kafir quraisy. Meski ia sebenarnya sadar dengan akibatnya tetapi karena adanya semangat yang menggelora itu, maka ia pun melakukannya.

Dan warna yang ketiga adalah ghirah. Apa itu ghirah? Kecemburuan dan semangat pembelaan terhadap Islam. Seorang Abu Bakar yang sejatinya hatinya teramat sangat lembut, ketika mendengar ada kabilah-kabilah yang menolak untuk membayar zakat sepeninggal Rasulullah, tiba-tiba berketetapan untuk memerangi mereka. Bahkan seorang Umar yang berperangai keras pun awalnya tidak setuju dengan keputusan Abu Bakar itu. Akan tetapi demi menegakkan sendi-sendi agama, Abu Bakar tetap bersikukuh sehingga diperangilah para pembangkang tersebut dan akhirnya terpadamlah api fitnah.

Kombinasi ketiga warna itulah - izzah, hamasah dan ghirah - yang perlu kita bentuk dalam diri kita semua, sehingga pandangan-pandangan dan pikiran-pikiran bahwa militansi itu telah hilang dari diri umat ini tidak menjadi kenyataan. Bahwa sesungguhnya, kapan pun dan dimana pun, militansi itu akan tetap ada dan akan tetap melekat dalam diri kader-kader dakwah ini. Meski mereka barangkali bukan gerbong generasi awal. Meski jumlah kader semakin melimpah dan tersebar merata. Meski kemudahan-kemudahan semakin terbuka lebar. Meski keberlimpahan duniawi bahkan semakin menggoda.

Ya. Semoga Allah mengokohkan langkah-langkah kita semua, agar tetap istiqomah di atas jalan dakwah ini.


@Pancoran :22:45wib 01/06/2009

Jumat, 29 Mei 2009

Semangat Penumbuhan

Entahlah. Saya paling suka membahas masalah seputar cinta dan keluarga. Dan saya paling suka dengan tulisan-tulisan ustadz satu ini tentang cinta. Baik dari sisi diksinya, alurnya, nuansanya, juga kedalaman maknanya. Mari kita resapi sejenak tulisan beliau di bawah ini.

Semangat Penumbuhan
Ust. Anis Matta

Pekerjaan kedua seorang pencinta sejati, setelah memperhatikan, adalah penumbuhan. Inilah cintanya cinta. Inilah rahasia besar yang menjelaskan bagaimana cinta bekerja mengubah kehidupan kita dan membuatnya menjadi lebih baik, lebih bermakna.

Cinta adalah gagasan dan komitmen jiwa tentang bagaimana membuat kehidupan orang yang kita cintai menjadi lebih baik. Jika perhatian memberikan pemahaman mendalam tentang sang kekasih, maka penumbuhan berarti melakukan tindakan-tindakan nyata untuk membantu sang kekasih bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.

Kita tidak boleh berhenti diujung perhatian sembari mengatakan kepada sang kekasih: "Aku mencintaimu sebagaimana kamu adanya." Atau: "Aku menerima dirimu apa adanya." Memahami dan mengerti sang kekasih tidaklah cukup. Seorang pencinta sejati harus mampu mengimajinasikan sebuah plot akhir dari kehidupan yang dijalani sang kekasih. Itu tidak berarti bahwa kita mengintervensi kehidupannya secara rigid atas nama cinta. Tidak! yang dilakukan seorang pencinta sejati adalah menginspirasi sang kekasih untuk meraih kehidupan paling bermutu yang mungkin ia raih berdasarkan keseluruhan potensi yang ia miliki.

Kalau bukan karena kerja-kerja penumbuhan, seorang pencinta sejati tidak akan sanggup bertahan hidup disamping seorang kekasih yang ilmu, pengalaman, keterampilan, dan kepribadiannya, tidak bertumbuh dalam 10 tahun perkawinannya, misalnya. Kamu pasti bosan mengobrol dengan seorang yang hidupnya stagnan, dingin dan tidak dinamis. Para pencinta sejati menemukan gairah kehidupan dari perubahan-perubahan dinamis dalam kehidupan kekasih mereka. Seperti gairah kehidupan yang dirasakan seorang ibu ketika ia menyaksikan bayinya tumbuh dan berkembang menjadi anak remaja lalu dewasa. Atau gairah yang dirasakan seorang guru saat menyaksikan muridnya tumbuh menjadi ilmuwan dan intelektual.

Penumbuhanlah yang membedakan cinta yang matang dengan cinta seorang melankolik. Penumbuhan memberikan sentuhan edukasi pada hubungan cinta. Sebab di sini cinta bukan sekedar gumpalan emosi di langit jiwa: yang mungkin meledak bagai halilintar, atau membanjiri bumi dengan hujan air mata, pikiran dan fisik sekaligus. Itu yang membuatnya nyata. Dan efektif.

Di tangan Rasulullah saw Aisyah bukan hanya seorang istri. Rasulullah saw telah menumbuhkannya menjadi bintang di langit sejarah. Suatu saat Ali Tanthowi mengatakan: "Istriku yang tamatan SD ternyata lebih intelek daripada mahasiswi-mahasiswiku yang hampir sarjana." Beliau mengatakan itu setelah melewati 10 tahun masa perkawinan. Ketika Iqbal menemukan dirinya telah menjadi filosof dunia, ia menyadari itu kerja sang guru. Maka ia berkata tentang gurunya itu: "Dan nafas cintanya meniup keuncupku jadi bunga."

Selasa, 12 Mei 2009

Ngunyah Permen Karet

Dalam beberapa kesempatan, saya sering menyaksikan di televisi pelatih sepak bola yang di sela-sela pertandingan, mulutnya terus-menerus sibuk mengunyah. Sambil matanya terus memelototi jalannya pertandingan. Atau juga dalam film-film yang ditayangkan di televisi, tak jarang saya melihat adegan para jagoannya mulutnya juga sibuk mengunyah di tengah-tengah aksi heronya. Duagaan saya, pasti dia mengunyah permen karet. Gak percaya? Coba aja deh tanyakan langsung pada mereka.

Ngomong-ngomong tentang manfaat permen karet, saya mencoba mencari artikel yang menulis tentang itu. Beberapa tahun yang lalu sebenarnya saya juga pernah membaca artikel semacam itu, tapi lupa di mana. Berikut ini saya kopaskan salah satu artikel yang berhasil saya dapat dari tanya-tanya Om Google, saya cari yang paling lengkap dan dari sumber yang lebih kredibel. Semoga bermanfaat :

Manfaat Permen Karet Bagi Kesehatan

Keberadaan permen karet yang dikonsumsi sebagai makanan sambilan mengundang pendapat yang berbeda. Sebagian orang beranggapan, permen karet lebih banyak merugikan, terutama untuk anak-anak yang biasa atau senang mengonsumsi makanan yang manis seperti permen, cokelat dan permen karet.

Sekarang begitu banyak macam permen karet yang beredar di pasaran. Dilihat dari bentuk, rasa kandungannya sampai harganya yang beragam. Permen karet pun terbagi dua berdasarkan kandungannya, yaitu permen karet yang mengandung gula dan yang tidak mengandung gula atau sugar free.

Terdapat isu kesehatan bahwa permen karet tanpa gula memiliki nilai kesehatan. Banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dari mengunyah permen karet bebas gula. Dalam permen karet ini, unsur pemanis digantikan oleh bahan lain yang disebut xylitol. Xylitol merupakan bahan pemanis alami. Secara alami xytol ditemukan di dalam tanaman, hewan dan manusia. Xylitol murni berupa kristal putih, dengan wujud dan rasa seperti gula. Para produk makanan, xylitol sering dimasukkan sebagai karbohidrat. Xylitol diabsorbsi secara lambat dan hanya sebagian yang dimetabolisme, maka nilai kalorinya 40% lebih kecil dari pada kelompok karbohidrat lainnya atau 2,4 K kalori.

Xylitol merupakan bahan pemain alternatif yang memiliki sifat sangat baik bagi pengembangan produk makanan maupun produk farmasi. Beberapa sifat yang dimiliki adalah memberikan sensasi dingin (cooling sensation) seperti mentol, memiliki tingkat kemanisan yang sama dengan sukrosa (gula tebu), menghasilkan energi hanya 2,4 K kalori/g (cocok bagi penderita obesitas/kegemukan), tidak memerlukan insulin untuk metabolismenya (cocok bagi penderita diabetes), serta bersifat anticariogenic (melindungi dari kerusakan gigi).


Mencegah Kerusakan Gigi

Suatu pembenaran ilmiah menyatakan bahwa mengunyah permen karet bebas gula dapat melindungi gigi dari kerusakan. Selain itu, mengunyah permen karet dapat menggantikan kegiatan menggosok gigi setelah makan. Terlebih bila kita merasa tidak nyaman membawa sikat gigi ke mana-mana.

Waktu orang mengunyah permen karet akan menghasilkan air liur di mulutnya, yang dapat menetralkan asam dan mencegah pengeroposan gigi di atas 40%. Selain itu juga membantu pH (derajat keasaman) mulut yang sesuai. Peningkatan produksi air liur dapat mengurangi endapan sisa makanan. Kerusakan gigi terutama disebabkan oleh banyaknya bakteri yang terakumulasi pada gigi, yang sering disebut plak (plaque) gigi. Pada plak terdapat bakteri-bakteri yang bersifat tahan terhadap asam (aciduric), yang menghasilkan senyawa yang bersifat asam (acidogenic).

Bahan-bahan yang dikandung dalam minuman seperti teh dan kopi, juga asap rokok serta makanan menyebabkan penumpukan plak dan perubahan warna gigi. Bahan spesial yang terkandung dalam permen karet seperti enzim dan bikarbonat dapat membantu mencegah pembentukan bakteri dalam plak dan mempertahankan warna putih gigi. Apabila kita tidak rajin/buruk dalam memelihara gigi, maka sisa makanan terutama kelompok karbohidrat yang masih menempel pada gigi akan difermentasi oleh bakteri plak dan menghasilkan asam format, asetat dan laktat.

Senyawa-senyawa yang bersifat asam ini akan menurunkan pH mulut yang selanjutnya mengakibatkan demineralisasi email gigi dan pembentukan lubang gigi. Bahan pemanis xylitol, merupakan senyawa yang tidak dapat dimetabolisme oleh bakteri perusah gigi tersebut. Oleh karena itu, konsumsi xylitol akan memelihara pH mulut tetap normal. Selain itu, mengunyah permen karet yang mengandung xylitol mampu menstimulasi ekskresi/pengeluaran air liur di dalam mulut. Adanya aliran air liur juga membantu mengurangi endapan sisa makanan dan mengurangi populasi bakteri.

Terdapat laporan bahwa pengeroposan gigi pada anak-anak dapat menurun secara signifikan bila mereka dibiasakan mengunyah permen karet bebas gula. Permen karet yang memiliki efek menghangatkan (balsamic) sampai sekarang hanya dimiliki oleh tablet isap (lozenges). Kandungan mentol dan eucalyptol dalam permen karet menimbulkan efek uap balsamic, yang bila dilepaskan selama pengunyahan akan memperpanjang keefektifannya. Khasiat lainnya, dapat menyegarkan napas dengan menghaluskan dan menyegarkan mulut dan tenggorokan.


Menyehatkan Otak

Mengunyah dapat meningkatkan kinerja berbagai aktivitas yang memerlukan perhatian, konsentrasi dan kewaspadaan. Misalnya pengemudi yang mengunyah permen karet sambil menyetir memiliki respons yang lebih baik dalam berkendaraan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang menunjukkan, dengan mengunyah permen karet sambil menyetir akan melancarkan aliran darah ke otak, dan dapat juga mengurangi rasa ngantuk. Riset menunjukkan bahwa mengunyah permen karet dapat membantu meningkatkan daya ingat. Kemampuan untuk mengingat kata-kata dapat ditingkatkan sebanyak 35% dari awal mengunyah.

Penelitian bersama University of Northumbria dan Cognitive Research Unit (Reading) di Inggris, membuktikan bahwa mengunyah permen karet berefek positif pada tugas-tugas kognitif seperti berpikir dan mengingat. Pengunyah permen karet ternyata bisa mengingat lebih banyak kata dan tampil lebih baik dalam uji ingatan. Ahli dari University of Northumbria berpatokan pada 2 teori. Pertama, bahwa mengunyah akan meningkatkan detak jantung, menyebabkan lebih banyak O2, dan nutria yang dipompa ke otak. Kedua, mengunyah akan meningkatkan produksi insulin, merangsang bagian otak yang berhubungan dengan daya ingat.

Manfaat lainnya, mengunyah akan merangsang sinyal di bagian otak tengah. Dalam hal ini kuncinya adalah gerakan ritmiknya yang berulang-ulang. Tidak ada bedanya permen karet dengan berbagai macam rasa, yang penting adalah perulangan gerakan mengunyahnya dan kandungan dari permen karet tersebut yang mendukung pemeliharaan kesehatan gigi khususnya.

Hampir di setiap penerbangan, penumpangnya selalu diberikan permen/permen karet untuk mencegah gangguan pada telinga yang diakibatkan suara dari mesin pesawat terbang.


Manfaat Bagi Kesehatan

Suatu penelitian menunjukkan bahwa mengunyah permen karet akan mengurangi ketegangan pada otot. Karena kemampuannya yang dapat membuat lebih waspada sekaligus melemaskan otot yang tegang, angkatan perang Amerika menyediakan permen karet untuk pasukannya sejak Perang Dunia I, bahkan sampai sekarang. Begitu pula setiap atlet selalu mengunyah permen karet pada saat berlatih atau saat bertanding. Hasil penelitian lain menyebutkan dengan mengunyah permen karet selama 1/2 jam setelah makan dapat meringankan gejala perubahan derajat keasaman tubuh. Asam diesophagus dapat diturunkan dan gejala panas dalam akan berkurang. Rangsangan yang diberikan oleh air liur, yang lebih bersifat basa, membantu menetralisasi asam di saluran pencernaan (esophagus).

Menurut studi yang dilakukan klinik penelitian di Roclester US, menggerakan tulang selama 1 jam dengan mengunyah permen karet dapat meningkatkan metabolisme tubuh sebanyak 20% dan membakar 11 kalori. Peneliti memperhitungkan dengan mengunyah permen karet setiap bangun pagi dapat membakar 5 kg kalori selama setahun. Tapi hati-hati, mengunyah permen karet setiap hari secara rutin dalam periode waktu yang panjang dapat membuat perut kejang dan pencernaan jadi berlebihan, yang dapat meningkatkan pembakaran dalam perut, usus, dan berisiko kanker. Permen karet yang mengandung nikotin akan melepaskan nikotin dalam jumlah sedikit ke dalam tubuh. Hal ini akan mengurangi kecanduan merokok.

Sekian banyak manfaat dari mengunyah permen karet, hanya dapat diperoleh apabila permen karetnya bebas gula atau sugar free. Sebaiknya, kita mengonsumsi permen karet yang mengandung xylitol. Mengingat begitu banyak kelebihannya bila dibandingkan dengan pemanis yang lain, walaupun di Indonesia kendala yang mungkin dihadapi adalah harga xylitol yang masih tinggi. Jadi pilihlah permen karet yang mengandung xylitol, meski harus membayar sedikit lebih mahal. Keuntungannya berlangsung panjang, yaitu mulut dan gigi tetap sehat sampai tua.

Bahkan sejumlah penelitian menyebutkan, xylitol juga mampu menghambat laju osteoporosis, mencegah sakit telinga pada anak-anak (acute otitis media) dan dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Nasihat lama "jangan mengunyah permen karet nanti giginya habis", dapat direformasi menjadi "kunyahlah permen karet ber-xylitol agar gigimu sehat dan kuat."***

Jumat, 01 Mei 2009

Membangun Persepsi Diri

Suatu saat, diadakan pelatihan pengembangan diri di sebuah tempat. Semua peserta dimasukkan ke dalam sebuah ruangan yang tertutup dan ber-AC. Hanya tersedia beberapa kisi-kisi kaca jendela di sekeliling ruangan itu, dan beberapa ventilasi udara kecil di sana-sini. Pelatihan dilakukan seharian penuh. Pagi hingga malam hari. Ada satu peraturan yang harus selalu ditaati oleh peserta. Ya, hanya satu peraturan. Yaitu tidak boleh meninggalkan tempat duduk meski apa pun yang terjadi.

Ketika tiba sesi malam, tiba-tiba lampu padam. Suasana begitu gelap gulita. Dan AC pun otomatis ikut mati. Para peserta berharap agar listrik segera hidup kembali karena udara dalam ruangan itu mulai terasa panas. Ventilasi-ventilasi kecil itu ternyata tak mampu mengalirkan banyak udara segar dari luar. Tapi ternyata pemateri terus melanjutkan materinya meski dalam kegelapan. Para peserta pelatihan mulai gaduh. Udara ruangan yang semakin memanas mulai membuat konsentrasi mereka hilang. Tapi mereka tidak berani melanggar satu-satunya peraturan pelatihan hari itu : tidak boleh meninggalkan tempat duduk meski apa pun yang terjadi !

Mereka pun mulai membayangkan, seandainya saja ada satu kisi kaca jendela di bagian ruangan itu yang terbuka, tentu mereka tidak akan menderita karena kepanasan. Tapi, tidak ada yang berani beringsut dari tempatnya. Di tengah gelapnya ruangan dan mulai panasnya udara, semua seakan pasrah untuk tetap duduk di tempatnya masing-masing.

Di tengah keputusasaan para peserta latihan, tiba-tiba, ‘Prangg !” Dari arah depan terdengar suara kaca pecah. “Saudara-saudara, saya telah memecahkan salah satu kisi kaca jendela di samping saya. Tidak kah anda semua merasakan angin segar mulai berhembus memasuki ruangan ini?” Kata pemateri sesaat setelah bunyi kaca pecah tersebut. Sontak semua bersorak, ”Iyaaaa...!”

Dalam kegelapan, para peserta mulai gembira mendengar ucapan sang pemateri tersebut. Oleh mereka, tiba-tiba saja ruangan itu terasa pelan-pelan berkurang panasnya. ”Praaang...!” Terdengar lagi suara kaca pecah. ”Ini satu lagi saya pecahkan kisi kaca jendelanya!” teriak pemateri. Para peserta semakin bersorak, oleh mereka terasa udara menjadi semakin mendingin. Seolah angin segar terasa semakin menghempas tubuh-tubuh mereka yang mulai berkeringat tadi.

Tiba-tiba, listrik kembali hidup. AC ruangan pun mulai berfungsi kembali. Ruangan yang tiba-tiba justru kembali terasa panas ketika lampu mulai hidup tadi, perlahan mulai terasa dingin. Semua mata tertuju ke arah kaca pecah, ingin melihat seberapa besar kisi jendela yang dipecah oleh sang pemateri. Semua terperanjat, ternyata tidak ada satu pun kaca pada kisi jendela tersebut yang pecah. Yang ada hanyalah pecahan-pecahan gelas yang berserakan di lantai bawah kisi jendela. Dan udara ruangan sebenarnya tetaplah panas, tidak ada yang berubah. Semua mata tertuju kepada sang pemateri yang tersenyum puas.

”Saudara-saudara, benar. Saya tadi sebenarnya tidak memecahkan salah satu pun kisi jendela itu. Saya hanya melemparkan gelas kosong ke arah dinding bawah jendela, sehingga seolah-olah suara pecahnya gelas itu adalah suara pecahnya kisi-kisi jendela. Anda semua yang karena gelap tidak melihat peristiwa sesungguhnya, dalam pikiran anda semua terbayang kaca jendela lah yang pecah sebagaimana yang saya informasikan. Begitu itu seolah nyata dalam pikiran anda, karena begitu kuatnya keinginan anda semua untuk merasakan udara segar sejak matinya AC di ruangan ini, yang mengakibatkan udara menjadi semakin panas.” Sang pemateri memberikan penjelasan.

”Saudara-saudara, kita sekarang sedang belajar yang namanya membangun persepsi diri. Ketika tadi anda membayangkan kaca jendela yang saya pecah, terbayang kuat dalam pikiran anda jendela pecah itu. Kemudian terbayang pula oleh anda semua angin yang segar mengalir deras melaluinya. Sehingga udara yang sebenarnya tetap panas, perlahan seperti mulai mendingin. Inilah tadi kita sedang belajar membangun sebuah persepsi. Bahwa persepsi kita terhadap diri kita sendiri, itu menentukan sikap dan perasaan kita. Tapi rupanya untuk membangun persepsi diri pun, kadang diperlukan faktor di luar diri kita untuk memancingnya. Jadi, lingkungan di sekitar kita pun, bisa membantu kira untuk menciptakan persepsi diri kita. Seberapa bagus anda semua mempersipkan diri anda, maka sebagus itu pulalah hasil yang akan bisa anda capai!” tambahnya.

Suasana hening. Semakin hening. Sang pemateri terheran-heran, kenapa tidak ada respon sedikit pun dari peserta. Buru-buru ia mengenakan kembali kaca matanya yang ia lepaskan semenjak mati lampu tadi. Gubrak...!!! Terhenyaklah dia, ternyata semua peserta telah terkulai di mejanya, terbuai dengan mimpinya masing-masing. Mereka semua telah kelelahan.

Jam telah menunjukkan angka 00.17.

Rabu, 22 April 2009

Ujian Cinta…

Ujian Cinta…

Seiring dengan bertambahnya usia pernikahan, akan selalu ada permasalahan yang datang dalam tiap episodenya. Itulah ujian cinta. Di awal-awal pernikahan barangkali kita akan berkutat pada persoalan bagaimana memadukan selera dan kebiasaan yang sama sekali berbeda. Kemudian ketika buah hati mulai hadir, kita akan disibukkan dengan gaya mendidik dan mengasuh anak yang barangkali juga bertolak belakang. Akan terus seperti itu. Persoalan akan terus berkembang, sesuai dengan kadar hubungan yang kita hadapi.

Di luar itu, ada satu persoalan yang mungkin dia akan bisa muncul kapan saja. Tidak selalu di awal-awal usia pernikahan. Bahkan sangat mungkin ketika usia pernikahan sudah di atas dua digit sekalipun. Persoalan itu bernama cemburu. Saya katakan ini persoalan, karena memang dia butuh jawaban. Dikatakan ’wajar’, memang, tapi ia tetap butuh penyelesaian. Tidak akan berakhir ketika itu hanya didiamkan. Karena jika itu didiamkan, maka ia ibarat bom waktu. Anda harus siap dengan resikonya setelah itu.

Perasaan cemburu adalah anugerah cinta. Tidak ada cinta tanpa rasa cemburu ini. Jika seorang suami tidak mempunyai kecemburuan terhadap istrinya, maka cintanya dipertanyakan. Demikian pula sebaliknya. Karena cemburu ini berhubungan dengan kehormatan. Dia juga berhubungan dengan tanggung jawab cinta, yakni tanggung jawab untuk saling menjaga. Jadi ketika kita sedang ceburu itu bukanlah sikap yang salah. Bukankah Rasulullah telah memaklumatkan diri sebagai sosok yang paling pencemburu?

Ada hal yang harus kita sadari bahwa ketika seseorang dilanda cemburu, sering kali perasaan di atas segala-galanya. Tidak berlaku logika di sana. Tidak akan mempan argumen-argumen sekuat apapun yang engkau berikan untuk meredakannya. Alih-alih reda, mungkin justru omelan dan teriakan yang akan didapat. Yang dapat engkau lakukan adalah diam. Tunggulah saat yang tepat untuk menjelaskan semua itu. Yakinkan dirimu bahwa itu merupakan bentuk ekspresi cintanya untukmu. Engkau begitu dicintanya, tidakkah ini membuat engkau tersanjung? Ini ketika kita di pihak yang dicemburui.

Lain lagi tentunya ketika kita di pihak yang cemburu, meski ini ekspresi cinta yang wajar, sebisa mungkin kita menempatkan kecemburuan ini pada porsinya. Jika kita masih meyakini cintanya, tentu tidak bijaksana ketika dengan dalih cemburu, kemudian segala gerak-gerik pasangan selalu kita monitor. Bahkan dalam beberapa kasus justru hal ini makin memperuncing hubungan keduanya. Bukan titik temu yang mereka dapatkan, tetapi akhirnya justru persoalan terus berkembang dan ahirnya terjadi budaya saling mencurigai.

Tentu tidak enak hidup dengan saling mencurigai, saling tidak mempercayai. Sekuat apapun komitmen yang dibangun di awal pernikahan, manakala sudah tidak ada iklim saling mempercayai maka tentu perjalanan bahtera keluarga ke depan semakin tidak nyaman. Bahkan terancam goyah.

Bantu aku menjaga hati...

Satu hal yang semestinya kita lakukan ketika kita mencemburui pasangan kita adalah bantulah dia untuk menjaga hatinya. Sikapmu yang berlebihan justru terkadang akan membuatnya semakin kalut. Jangan engkau diamkan dia. Jangan engkau luapkan kemarahanmu berlebihan. Barangkali awalnya dia tidak berlaku seperti yang engkau persepsikan, tapi manakala persepsimu begitu kuat dan didukung dengan ekspresi dan tindakanmu yang berlebih, mulai tumbuh pikiran-pikiran dalam benaknya, menyesuaikan dengan persepsi yang telah engkau bangun.

Sentuhlah jemarinya. Genggamlah tangannya. Perhatian dan kepercayaanmu kepadanya akan mengalihkan perhatiannya dari sosok yang engkau kawatirkan selama ini. Senyum ikhlasmu akan memulihkan hatinya. Bahkan, jika perlu semestinya engkau berikan perhatian untuknya dalam kadar yang lebih dari kadar yang telah engkau berikan selama ini. Dan kunci penyelesaian persoalan ini adalah komunikasi. Ya, komunikasi yang sehat. Bicarakan empat mata, hati boleh panas tapi kepala harus tetap dingin.

Memang persoalan ini kadang kasuistik. Mungkin tidak berlaku pada tiap orang, tapi ini sangat mungkin terjadi.

Kepercayaanmu membuatku nyaman, namun kecurigaanmu justru mendorongku untuk berpikiran lebih...

Menyadari bahwa hati kita tidak seteguh hati para nabi, maka saling menjaga hati kita dengan pasangan kita adalah hal yang mutlak harus kita lakukan. Menumbuhkan sikap saling memahami dan saling mempercayai yang dibangun dalam suasana komunikatif, akan membantu kita melewati episode ujian cinta yang satu ini.

Sekali lagi tidak semua orang akan melewati ujian yang sama. Ujian akan selalu muncul pada titik terlemah diri kita. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi tiap ujian itu sebagai bagian dari karunia Allah untuk mengangkat derajat kita. Dengan membangun sikap ini, maka kita tidak akan pernah meremehkan datangnya ujian itu. Karena ujian itu kadang berupa sesuatu yang Mengenakkan dan melenakan. Semoga kita menjadi pribadi yang semakin baik dan semakin baik, dengan bertambahnya waktu.

Jumat, 03 April 2009

Ulang Tahun Cinta

Ulang Tahun Cinta

Ahad ini nanti, 11 tahun sudah kami merajut asa bersama. Banyak pernak-pernik telah kami lalui. Dia bukan wanita sempurna, apa lagi saya. Tapi kami mempunyai mimpi-mimpi yang tinggi. Bukan. Bukan kami tidak realistis. Tapi itulah obsesi kami. Meski kami juga yakin, kaki-kaki kami harus tetap menapak di bumi ini. Agar kami tidak tertipu.

Yang kami lakukan hanya hal-hal yang sederhana. Cinta bagi kami bukan sesuatu yang rumit. Ia sesuatu yang sederhana. Ya, cinta bagi kami sesuatu yang sederhana. Kami rasakan bersama. Kami hayati bersama. Kami nikmati bersama. Kami rawat bersama.

"Abi akhir-akhir ini berbeda deh sikapnya kepadaku" Tiba-tiba dia mengatakan itu kepada saya. Ah, 11 tahun berlalu ternyata belum cukup meyakinkan dia bahwa dia begitu berarti di hatiku? Saya hanya tersenyum. "Kenapa? Coba sikap mana sih yang lain itu, Yang?" tanya saya kepadanya. Dia pun kemudian menyampaikan ini dan itu. Dan selesai. Cukup dengan saling pengertian, dengan sedikit penjelasan, maka episode cinta kami itu kembali merekah.

Cinta kami memang sederhana. Kami tidak ingin ia rumit.

Hampir-hampir saya kehilangan banyak waktu untuk menatap wajahnya. Setidaknya 2 tahun ini. Hanya kesempatan tiap akhir pekan saya itu bisa saya lakukan. Dulu, ketika kami baru saja menikah, saya sering tatap wajahnya. Dan dia pun sering salah tingkah jika saya sudah berlaku demikian. Itulah awal cinta kami.

Menggandeng tangannya. Meremas jemarinya. Mengantarnya berbelanja ke pasar. Memijit kedua kakinya. Ini menu-menu sederhana kami. Tapi kami menikmatinya. Meluangkan waktu berdua, ya berdua saja meski itu hanya sekedar mengobrol. Sekedar mengantarnya memeriksakan gigi. Sekedar mengikutinya sambil menenteng belanjaan dari penjual yang satu ke penjual yang lain saat kami belanja di pasar. Itu semua adalah pupuk cinta kami.

Cinta kami memang sederhana. Kami tidak ingin ia rumit dan mahal.

Saya mengingat pernikahan kami dalam dua kalender. Hijriyah dan masehi. Milad pernikahan dalam tahun hijriyah telah jatuh di bulan dzulhijah tahun 1429 kemaren. Tepatnya dua hari menjelang hari raya. Saya ingat, waktu itu saya telah mempersiapkan sebuah kado yang murah tapi menurut saya istimewa. Saya mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah saya tulis, saya cetak, saya memberinya judul ”Anugerah Terindahku (Sebuah Kompilasi Perjalanan)”. Ternyata sampai 92 halaman.

Berkeliling di kota jakarta ini, hendak mencari tempat menjilid yang spesial, ternyata sulit bagi saya. Hingga akhirnya, saya berikan cetakan itu kepadanya. Apa adanya. Tidak ada bungkus yang merona merah. Tidak ada seremonial khusus untuknya. ”Ingat 8 Dzulhijah 11 tahun yang lalu? Ini hanya tulisan-tulisan yang kucoba untuk kukumpulkan. Untukmu” begitu ucap saya kepadanya. Tidak lebih. Semua begitu murah. Dan saya merasakan cintanya begitu bergelora.

Cinta kami memang sederhana. Kami ingin ia selalu mudah dan tidak rumit.

Selasa, 17 Maret 2009

Mari Kita Belajar Mencintai

Oleh Anis Matta

Jika cinta, pada semua jenisnya, adalah kesadaran, adalah perasaan, adalah tindakan, maka cinta pada akhirnya adalah kemampuan yang terintegrasi dalam seluruh aspek kepribadian kita.

Kemampuan seseorang untuk mencintai adalah gambaran paling utuh dari seluruh kapasitas kepribadiannya. Hanya orang-orang dengan kepribadian kuat dan kapasitas besar yang mampu mencintai. Orang-orang lemah, yang setiap saat bisa kita saksikan di sekitar kita, tidak akan pernah mencintai. Bahkan untuk mencintai diri mereka sekalipun. Takdir mereka adalah menantikan cinta dan kasih sayang orang-orang kuat.

Orang-orang kuat mencintai dengan segenap kesadarannya. Maka mereka terus-menerus memproduksi kebajikan demi kebajikan. Sementara orang-orang lemah bahkan tidak memiliki kesadaran untuk mencintai. Maka mereka terus-menerus mengkonsumsi kebajikan orang-orang kuat. Itu sebabnya orang-orang kuat dalam masyarakat selalu merupakan faktor kohesi yang merekatkan masyarakat.

Mereka merekatkan masyarakat dengan cinta dan kebajikan mereka. Makna inilah yang ditebarkan oleh Rasulullah saw begitu beliau tiba di Madinah dan memulai kerja membangun negara baru itu: “Wahai sekalian manusia, tebarkan salam, berikan makan, bangun sholat malam saat orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh damai”.

Ini merupakan penjelasan bagi keterangan selanjutnya. Bahwa untuk bisa mencintai, bahwa untuk menjadi pencinta sejati, kita harus mengembangkan kapasitas dan kepribadian kita. Cinta adalah pelajaran tentang bagaimana mengubah kepribadian kita untuk menjadi lebih baik secara berkesinambungan, pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia yang produktif untuk bisa memberi, pelajaran tentang bagaimana menjadi orang kuat yang penyayang, pelajaran tentang bagaimana melimpahruahkan kebajikan abadi bagi penumbuhan kehidupan orang-orang di sekitar kita yang kadang berujung tanpa sedikitpun rasa terima kasih, atau bahkan penolakan.

Ini bukan pelajaran tentang teknik atau keterampilan mencintai seperti ketika belajar tentang tehnik berkomunikasi dengan orang lain, atau bagaimana merebut hati seseorang untuk suatu hubungan cinta asmara. Bukan. Sama sekali bukan tentang itu.

Ini adalah pelajaran tentang bagaimana membangun kembali dasar-dasar kepribadian yang kokoh dan tangguh, yang memungkinkan kita mencintai secara sadar, bertanggungjawab dan bertindak produktif untuk membuktikan cinta itu dalam kenyataan. Dan dengan begitu cinta bukan saja berefek pada perbaikan berkesinambungan terhadap hubungan-hubungan kemanusiaan kita, tapi juga terutama pada perbaikan kehidupan kita seluruhnya secara berkesinambungan.

Dan ini mungkin dan terbuka. Semua kita bisa mempelajarinya. Alasannya sangat sederhana. Rasulullah saw bersabda: “Ilmu diperoleh dengan belajar. Kesabaran diperoleh dengan belajar menjadi sabar. Kesantunan diperoleh dengan belajar menjadi santun.”

Ini menjelaskan bahwa di samping karakter-karakter bawaan yang melekat dalam diri kita sebagai warisan genetik, semua karakter lain bisa kita peroleh dengan mempelajari dan mengimplementasikannya dalam kehidupan kita.

Begitu juga cinta. Begitu juga cinta. Semua kita bisa mencintai. Semua kita mungkin menjadi pencinta sejati. Asal kita kita mau belajar. Asal kita mau belajar bagaimana mencintai.

Majalah Tarhawi edisi 148 Th. 8/Muharram 1428 H/1 Februari 2007 M