Kamis, 18 Juni 2009

Mendadak Bosan

Aku dilanda kebosanan. Semua aktifitas hari ini terasa tidak enak. Tidak nyaman. Aku ingin bergerak tapi terasa tak mampu. Aku ingin mendobraknya tapi serasa tak ada tenaga untuk itu. Jenuh. Seakan tak ada asa tersisa dalam dada ini. Di sisa-sisa kekuatanku, aku mencoba mencari makna tentang bosan ini.

Bosan, kata Fisher, adalah suatu kondisi perasaan (afektif) yang tidak menyenangkan. Bersifat sementara. Seseorang merasakan suatu kehilangan minat dan sulit konsentrasi, terhadap aktivitas yang sedang dilakukannya.

Definisi itu makin memperjelasku, bahwa bosan muncul bukan karena tak ada sesuatu untuk dikerjakan. Tetapi karena ketidakmampuan untuk terikat dalam suatu aktivitas tertentu. Meskipun sering muncul hasrat yang amat dalam ke arahnya.

Mendadak, aku tersengat dengan sebuat tulisan. Seakan aku belum pernah membaca tulisan itu. Padahal, sungguh telah berulang kali aku membaca tulisan itu.

Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.
(alm. Ust Rahmat Abdullah)

Bahwa sesungguhnya tidak ada yang baik atau buruk kecuali fikiran kita yang membuatnya demikan.

Dari Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya Nabi s.a.w. memasuki rumahnya dan di sisi Aisyah itu ada seorang wanita. Beliau s.a.w. bertanya: "Siapakah ini?" Aisyah menjawab: "Ini adalah si fulanah." Aisyah menyebutkan perihal shalatnya wanita tadi - yang sangat luar biasa tekunnya.

Beliau s.a.w. bersabda: "Jangan demikian, hendaklah engkau semua berbuat sesuai dengan kekuatanmu semua saja. Sebab demi Allah, Allah itu tidak bosan - memberi pahala - sehingga engkau semua bosan - melaksanakan amalan itu. Adalah cara melakukan agama yang paling dicintai oleh Allah itu ialah apa-apa yang dikekalkan melakukannya oleh orangnya itu - yakni tidak perlu banyak-banyak asalkan langsung terus." (Muttafaq 'alaih)

Bosan? Jenuh? Itu kadang kala manusiawi. Yang berbahaya adalah ketika kita tidak bisa menelusuri sumber rasa bosan itu, sehingga kita salah dalam mensikapi dan mencari solusi atas kebosanan itu.

Pancoran 18/06/2009 : 00:11 WIB

Rabu, 17 Juni 2009

Kalimat Yang Menggugah

Saya sangat terinspirasi sekali dengan kalimat yang pernah ditulis almarhum Ust. Rahmat Abdullah di bawah ini. Sederhana tapi sarat dengan makna. Semoga Allah merahmati beliau di alam kuburnya :

Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.

(alm. Ust Rahmat Abdullah)

Kamis, 11 Juni 2009

Sedikit Kekawatiran Seorang Ayah.

Senin siang beberapa hari yang lalu, istri mengabarkan jika gadis kecilku mendadak badannya panas siang itu. “Lah, piye tho yang? Tadi malam tidur di lantai po?” Tanyaku ke istri. Ini lagi musim ujian semesteran, tentu melewati ujian sekolah dengan kondisi tubuh tidak sehat amat tidak mengenakkannya.

“Iya, tadi malam kan hujan deras. Karena awalnya udara terasa panas, Zahra tidur di lantai.” jelas istriku. Akhirnya sore itu, istri mengantarkannya untuk berobat ke dokter. Alhasil, setiap saat aku mencoba memantau perkembangannya.

”Gimana dek, masih panas badanmu?” tanyaku pada gadis kecilku saat aku menelponnya.

”Gak tahu bi. Mas Ammar coba raba keningku, masih panas gak.” Dari jauh saya dengar suara kakaknya Ammar mengatakan ’Masih!’. ”Masih bi, sama buat makan dan menelan ludah tenggorokanku terasa sakit je bi”

”Ya sudah, untuk mengurangi rasa sakit tenggorokanmu, minta tolong Om Agus belikan permen hexos ya. Jangan lupa minum obatnya. Habis belajar langsung tidur.” Pesanku. Aku memang agak rewel jika mengurusi masalah kesehatan. Apalagi jika berhubungan dengan obat, harus disiplin.

Rabu sore kemaren, waktu kutelepon dia dan kutanyakan, ”Masih panas dek?”. ”Masih bi.” jawabnya. Lah, bukankah ini sudah hari ketiga. Pasti ada yang tidak beres, atau setidaknya tidak tertib, atau bahkan tidak disiplin, pikir saya. ”Kamu tadi mandi pake air anget apa air dingin?” tanyaku. ”Pakai air dingin, bi” jawabnya.

”Duh, kamu ini kan lagi sakit ndhuk. Mandinya pake air anget dulu. Umi belum pulang tho? Bilang sama budhe besok ya kalo mandi, minta tolong dimasakkan air dulu.” Budhe adalah yang membantu kami dan menemani anak-anak kami jika kami tinggal pergi bekerja. Beliau tetangga kami meski berbeda dusun.

Selepas Maghrib istriku telepon. Mengabarkan bahwa dia sore tadi kelupaan menitipkan pesan ke budhe agar Zahra mandinya dengan air hangat. Padahal sungguh, aku tidak memintanya menjelaskan tentang itu. Sepertinya dia tahu dan ada kekawatiran, bahwa hal ini harus dijelaskan. Bahwa duhu badan Zahra yang kembali panas tentu akan menggelisahkanku di sini.

Dia memang paling tahu tentang perasaanku, jika berhubungan dengan anak perempuanku. Bukan aku membedakan antara anak perempuanku dengan kedua anak laki-lakiku. Bukan. Semua aku perhatikan dengan serius karena semuanya adalah amanah yang harus kami jaga. Tapi untuk anak perempuanku ini, memang aku merasa harus lebih menjaganya. Entahlah. Mungkin saya memang juga belum bisa berbuat adil.

11/06/2009

Selasa, 02 Juni 2009

Siapa Yang Berubah Sejatinya?

Masih ingat kisah Bilal, seorang budak dari bangsa Habsy yang telah masuk Islam, dkeluarkan oleh majikannya - Umayah bin Khalaf - pada siang hari yang terik, dia ditelentangkan di padang pasir Makkah yang membara, lalu ditindihkan di atas dadanya sebongkah batu batu besar? “Sungguh engkau akan tetap seperti ini sampai engkau mati atau sampai engkau mengingkari Muhammad dan menyembah tuhan Latta dan Uzza” Kata Umayah. Bilal hanya mampu berkata, “Ahad, Ahad…” Begitu seterusnya.

Atau kisah Abu Dzar, sesaat setelah menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah dia mengucapkan, “Demi Dzat yang diriku berada di dalam kekuasaannya, aku benar-benar akan berteriak di tengah-tengah mereka”. Lalu dia pun pergi ke depan ka’bah dan berteriak lantang, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Maka tak ayal kaum kafir Quraisy beramai-ramai mengepungnya dan memukulinya hingga babak belur. Padahal Rasulullah sebelumnya sungguh telah melarangnya. Bahkan esok harinya diulanginya lagi perbuatan itu.

Atau beberapa puluh tahun yang lalu, kisah dua orang anak umuran SMA yang berangkat ke sekolahnya dengan mengendarai sepeda hampir 20KM setiap hari, setiap mendahului pengendara sepeda lain sesama pelajar yang terlihat ciri-ciri muslimnya, tidak terlewatkan kecuali mereka ucapkan salam kepadanya. Meskipun mereka tidak mengenalnya sama sekali. Bahkan di kampungnya mereka sempat membikin heboh dengan melakukan takbir dengan pengeras suara di masjid, pada hari kedua hari raya idul fitri!

Barangkali kita akan fasih mengatakan, itulah yang dinamakan militansi. Tetapi yang terjadi kemudian untuk saat ini, tidak sedikit kita kemudian menemukan nada-nada pesismis yang mengatakan, “ah, militansi itu hanya milik para asabiqunal awwalun” atau ”militansi itu biasanya terasa kental ketika jumlah kader dakwah itu masih sedikit”. Atau bahkan mungkin ada yang berpikir, “militansi itu sekarang seperti mutiara yang mahal. Sulit untuk ditemukan kembali.”

Seorang ustadz saya pernah mengatakan, “akhi, kita tidak bisa mengharapkan militansi kader kita seperti dulu.” Tapi beliau tidak sedang pesimis, saya menangkapnya ini sebagai peringatan. Kenapa beliau ungkapkan hal itu di hadapan kami? Tak lain agar kami segera bisa berbenah kembali. Ada mimpi-mimpi besar yang harus kita semai bersama tentunya. Bahwa suatu saat nanti, kita - umat islam ini - harus menjadi guru bagi alam semesta ini (ustadziatul alam). Dan jika kita tidak ikut mendekap mimpi-mimpi itu dengan kerja-kerja kita, tentu akan rugilah kita semua.

Maka membungkus mimpi-mimpi itu dengan baju militansi merupakan keniscayaan. Agar mimpi-mimpi itu senantiasa terwariskan ke generasi-generasi setelah kita. Karena kita sadar dan kita tahu, bahwa mimpi-mimpi itu membutuhkan masa yang panjang. Tidak cukup hanya satu generasi untuk mewujudkannya.

Baju militansi setidaknya membutuhkan kombinasi tiga warna dalam diri kita. Yang pertama adalah warnailah dengan izzah. Yaitu keyakinan dan kebanggaan akan fikrah islam yang kita miliki. Saya ingat, ketika seorang ustadz pernah bercerita. Waktu itu ia diminta untuk mengisi acara di lemhanas, dia bukan siapa-siapa. Tidak ada pangkat atau jabatan yang tersemat kepadanya. Bagi kita, mungkin kita pun akan minder ketika harus presentasi di depan pejabat-pejabat itu. Tapi kata beliau, ”yang saya bentuk dalam benak saya kemudian adalah pikiran bahwa saya mempunyai fikrah islam yang tidak mereka punya. Dan inilah kelebihan saya yang tidak mereka punyai. Jadi kenapa saya harus takut?”

Yang kedua adalah warnailah baju militansi kita dengan hamasah. Semangat menggelora untuk mengamalkan Islam dan menyerukannya kepada orang lain. Inilah yang terjadi pada Abu Dzar al Ghifari ketika memaklumatkan keislamannya di hadapan kaum kafir quraisy. Meski ia sebenarnya sadar dengan akibatnya tetapi karena adanya semangat yang menggelora itu, maka ia pun melakukannya.

Dan warna yang ketiga adalah ghirah. Apa itu ghirah? Kecemburuan dan semangat pembelaan terhadap Islam. Seorang Abu Bakar yang sejatinya hatinya teramat sangat lembut, ketika mendengar ada kabilah-kabilah yang menolak untuk membayar zakat sepeninggal Rasulullah, tiba-tiba berketetapan untuk memerangi mereka. Bahkan seorang Umar yang berperangai keras pun awalnya tidak setuju dengan keputusan Abu Bakar itu. Akan tetapi demi menegakkan sendi-sendi agama, Abu Bakar tetap bersikukuh sehingga diperangilah para pembangkang tersebut dan akhirnya terpadamlah api fitnah.

Kombinasi ketiga warna itulah - izzah, hamasah dan ghirah - yang perlu kita bentuk dalam diri kita semua, sehingga pandangan-pandangan dan pikiran-pikiran bahwa militansi itu telah hilang dari diri umat ini tidak menjadi kenyataan. Bahwa sesungguhnya, kapan pun dan dimana pun, militansi itu akan tetap ada dan akan tetap melekat dalam diri kader-kader dakwah ini. Meski mereka barangkali bukan gerbong generasi awal. Meski jumlah kader semakin melimpah dan tersebar merata. Meski kemudahan-kemudahan semakin terbuka lebar. Meski keberlimpahan duniawi bahkan semakin menggoda.

Ya. Semoga Allah mengokohkan langkah-langkah kita semua, agar tetap istiqomah di atas jalan dakwah ini.


@Pancoran :22:45wib 01/06/2009