Selasa, 17 Maret 2009

Mari Kita Belajar Mencintai

Oleh Anis Matta

Jika cinta, pada semua jenisnya, adalah kesadaran, adalah perasaan, adalah tindakan, maka cinta pada akhirnya adalah kemampuan yang terintegrasi dalam seluruh aspek kepribadian kita.

Kemampuan seseorang untuk mencintai adalah gambaran paling utuh dari seluruh kapasitas kepribadiannya. Hanya orang-orang dengan kepribadian kuat dan kapasitas besar yang mampu mencintai. Orang-orang lemah, yang setiap saat bisa kita saksikan di sekitar kita, tidak akan pernah mencintai. Bahkan untuk mencintai diri mereka sekalipun. Takdir mereka adalah menantikan cinta dan kasih sayang orang-orang kuat.

Orang-orang kuat mencintai dengan segenap kesadarannya. Maka mereka terus-menerus memproduksi kebajikan demi kebajikan. Sementara orang-orang lemah bahkan tidak memiliki kesadaran untuk mencintai. Maka mereka terus-menerus mengkonsumsi kebajikan orang-orang kuat. Itu sebabnya orang-orang kuat dalam masyarakat selalu merupakan faktor kohesi yang merekatkan masyarakat.

Mereka merekatkan masyarakat dengan cinta dan kebajikan mereka. Makna inilah yang ditebarkan oleh Rasulullah saw begitu beliau tiba di Madinah dan memulai kerja membangun negara baru itu: “Wahai sekalian manusia, tebarkan salam, berikan makan, bangun sholat malam saat orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh damai”.

Ini merupakan penjelasan bagi keterangan selanjutnya. Bahwa untuk bisa mencintai, bahwa untuk menjadi pencinta sejati, kita harus mengembangkan kapasitas dan kepribadian kita. Cinta adalah pelajaran tentang bagaimana mengubah kepribadian kita untuk menjadi lebih baik secara berkesinambungan, pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia yang produktif untuk bisa memberi, pelajaran tentang bagaimana menjadi orang kuat yang penyayang, pelajaran tentang bagaimana melimpahruahkan kebajikan abadi bagi penumbuhan kehidupan orang-orang di sekitar kita yang kadang berujung tanpa sedikitpun rasa terima kasih, atau bahkan penolakan.

Ini bukan pelajaran tentang teknik atau keterampilan mencintai seperti ketika belajar tentang tehnik berkomunikasi dengan orang lain, atau bagaimana merebut hati seseorang untuk suatu hubungan cinta asmara. Bukan. Sama sekali bukan tentang itu.

Ini adalah pelajaran tentang bagaimana membangun kembali dasar-dasar kepribadian yang kokoh dan tangguh, yang memungkinkan kita mencintai secara sadar, bertanggungjawab dan bertindak produktif untuk membuktikan cinta itu dalam kenyataan. Dan dengan begitu cinta bukan saja berefek pada perbaikan berkesinambungan terhadap hubungan-hubungan kemanusiaan kita, tapi juga terutama pada perbaikan kehidupan kita seluruhnya secara berkesinambungan.

Dan ini mungkin dan terbuka. Semua kita bisa mempelajarinya. Alasannya sangat sederhana. Rasulullah saw bersabda: “Ilmu diperoleh dengan belajar. Kesabaran diperoleh dengan belajar menjadi sabar. Kesantunan diperoleh dengan belajar menjadi santun.”

Ini menjelaskan bahwa di samping karakter-karakter bawaan yang melekat dalam diri kita sebagai warisan genetik, semua karakter lain bisa kita peroleh dengan mempelajari dan mengimplementasikannya dalam kehidupan kita.

Begitu juga cinta. Begitu juga cinta. Semua kita bisa mencintai. Semua kita mungkin menjadi pencinta sejati. Asal kita kita mau belajar. Asal kita mau belajar bagaimana mencintai.

Majalah Tarhawi edisi 148 Th. 8/Muharram 1428 H/1 Februari 2007 M

Kamis, 12 Maret 2009

Perjalanan Tengah Malam !

Kemaren sore tiba-tiba hatiku suntuk. Tiket untuk kepulangan ke Jogja pekan ini belum beres. Sahabat yang aku titipi untuk membelikan tiket memberikan informasi bahwa tiket telah habis. Bayangan buruk di kereta kemudian berputar di kepalaku. Beli tiket tanpa tempat duduk! Duh, benar-benar terbayang jelas deh seperti apa nanti di kereta jika memang itu terjadi. Bahkan tiket balik ke Jakartanya kembali pun aku belum pegang.

Di kamar kost, aku coba meredakan perasaan itu dengan membaca beberapa lembar Al Qur’an sambil menunggu waktu Sholat Maghrib. Alhamdulillah, selepas adzan berkumandang dan aku mengambil air wudhu, agak lega terasa di dada. Tapi entah, tiap teringat kembali akan tiket itu, hatiku kembali suntuk.

Malam itu ada agenda kajian di rumah seorang sahabat di Jalan Kalibata Utara II, daerah sekitar toko Gema Insani Press. Sengaja aku tidak membawa kendaraan. Selain tidak nyaman memakai kendaraan dinas untuk kepentingan bukan kedinasan dan tidak ingin merepotkan teman dengan meminta tolong untuk menjemput ke kost, juga aku sedang ingin naik bis dan merasakan berjalan kaki ke rumah sahabat tadi.

Jika dengan berkendaraan terasa begitu dekat, kini aku baru tahu bahwa ternyata cukup jauh juga jarak rumah sahabat saya dengan jalan raya. 15 menit lbh berjalan kaki. Cukup capek juga. Tapi terus terang aku puas, cukup menghibur juga ternyata perjalanan malam itu. Acara selesai kurang lebih pukul 00.30. Sejatinya sahabatku telah menawarkan untuk menginap saja, ada kamar kosong jika aku ingin menempatinya. Tapi akhirnya aku putuskan tetap pulang saja, dengan menumpang kendaraan salah seorang teman yang rumahnya satu arah dengan kostku.

Pintu gerbang kostku ditutup jam 23.00. Sesampai di ujung gang ke arah kosku sekitar pukul 01.00, teman saya tadi bertanya : Benar, saya tinggal ini? Saya jawab : Yup. ditinggal aja akh. Kemudian dia melanjutkan perjalanan pulangnya.

Sesampai di depan pintu gerbang kost, kemudian saya menekan tombol bel tamu. Tidak bunyi. Dua kali, tiga kali... tetap tidak bunyi. Hatiku mulai tidak enak. Untuk membangunkan teman sesama kost di dalam sana, aku tidak membawa nomor hp mereka karena tertinggal di Jogja pekan kemaren. Duh.
Berkali-kali aku mencoba mengulang menekan bel tapi tetap tidak bunyi. Hendak berteriak memanggil bapak penjaga kost atau memukul-mukul pintu, takut membuat kegaduhan.

Aku mulai bingung, hendak kembali ke rumah sahabat saya, harus 2x naik kendaraan umum dan berjalan kaki 15 menitan. Malam-malam begini? Mau menghubungi istri agar memanggilkan teman satu kost di dalam sana, mana ada wartel yang buka jam 01.00 lebih begini? Akhirnya aku memutuskan mencoba mencari masjid terdekat. Ya, aku akan tidur di masjid saja.

Masjid pertama yang aku datangi di komplek perdatam, Masjid An Nur namanya, ternyata terkunci rapat. Posisinya dekat jalan raya. Bahkan pintu ke arah teras pun terkunci rapat. Melompatinya jelas bukan tindakan yang aman, mengingat di sekitar masjid masih ada beberapa orang aku lihat berjaga-jaga. Bisa dikira maling aku nanti.

Akhirnya aku berjalan lagi. Aku putuskan untuk mencoba peruntungan ke masjid di belakang kostku. Dengan menyusuri gang-gang kecil, sampailah aku di masjid tersebut. Ah... Hatiku kembali kecut, bahkan untuk sekedar masuk ke terasnya pun kali ini lebih tidak bisa, pintu terkunci rapat. Pagat juga tinggi. Apalagi hendak ke ruang utama. Waktu sudah menujukkan sekitar pukul 01.30an.

Sambil terus berjalan, akhirnya aku putuskan untuk kembali ke kost lagi. Jika terpaksa tetap tidak bisa berbunyi belnya, rencana aku hendak mengetuk pintu warteg langganan di sebelah kost ku. Kenapa baru terpikir sekarang, gumamku. Ah, sudahlah. Sampailah aku di depan gerbang kost. Sejenak menghela nafas, dengan kepasrahan yagn mendalam dan mengucap bismillah, aku kembali menekan bel.

Tuinggg… tinggggg… tungggg… tinggggg… tunggggg….! Hai, bunyi!

Tak henti-henti aku mengucapkan tahmid dalam hati. Sambil menunggu bapak penjaga kost membukakan pintu gerbang, aku amati bel tersebut. Oh, rupanya bel tersebut telah diisolasi sana-sini, sehingga ada kemungkinan waktu aku tekan-tekan tadi dalam kondisi tidak nyambung sehingga tidak berbunyi.

Akhirnya drama malam itu berakhir juga. Aku mencoba mengambil banyak pelajaran dari sepotong episode hidupku kali ini. Setidaknya aku mencoba untuk terus berintrospeksi bahwa barangkali banyak kesalahan yang telah aku lakukan pada hari itu. Dan aku yakin, Allah lah yang menegur dan mengajariku dengan perjalanan malam itu. Agar aku selalu bisa bersabar atas segala sesuatu yang menimpa perjalanan hidupku.

Semoga Allah senantiasa mengarunaiku dengan kesabaran, sehingga bisa mengambil ibroh dari setiap kepingan puzle kehidupanku.

Menara Jamsostek, 14: 40 12/03/2009



* Hari berikutnya cerita dan sedikit masalahku ini aku share dengan sahabat-sahabat baikku. Alhamdulillah, Allah kemudian berikan kemudahan sehingga aku akhirnya bisa mendapatkan tiket untuk kepulangan hari Jumat besok.

Hukum Truk Sampah!

Suatu hari saya naik sebuah taxi dan menuju ke Bandara. Kami melaju pada jalur yang benar ketika tiba-tiba sebuah mobil hitam melompat keluar dari tempat parkir tepat di depan kami. Supir taxi menginjak pedal rem dalam-dalam hingga ban mobil berdecit dan berhenti hanya beberapa cm dari mobil tersebut.

Pengemudi mobil hitam tersebut mengeluarkan kepalanya &mulai menjerit ke arah kami. Supir taxi hanya tersenyum & melambai pada orang orang tersebut. Saya benar-benar heran dengan sikapnya yang bersahabat. Maka saya bertanya, "Mengapa anda melakukannya? Orang itu hampir merusak mobil anda dan dapat saja mengirim kita ke rumah sakit!" Saat itulah saya belajar dari supir taxi tersebut mengenai apa yang saya kemudian sebut "Hukum Truk Sampah".

Ia menjelaskan bahwa banyak orang seperti truk sampah. Mereka berjalan keliling membawa sampah, seperti frustrasi, kemarahan, kekecewaan. Seiring dengan semakin penuh kapasitasnya, semakin mereka membutuhkan tempat untuk membuangnya, & seringkali mereka membuangnya kepada anda. Jangan ambil hati, tersenyum saja, lambaikan tangan, berkati mereka, lalu lanjutkan hidup.

Jangan ambil sampah mereka untuk kembali membuangnya kepada orang lain yang anda temui, di tempat kerja, di rumah atau dalam perjalanan. Intinya, orang yang sukses adalah orang yang tidak membiarkan "truk sampah" mengambil alih hari-hari mereka dengan merusak suasana hati.

Hidup ini terlalu singkat untuk bangun di pagi hari dengan penyesalan, maka: Kasihilah orang yang memperlakukan anda dengan benar, berdoalah bagi yang tidak. Hidup itu 10% mengenai apa yang kau buat dengannya dan 90% tentang bagaimana kamu menghadapinya. Hidup bukan mengenai menunggu badai berlalu, tapi tentang bagaimana belajar menari dalam hujan.

Sumber : dari sebuah email teman

Sabtu, 07 Maret 2009

Touring ke Borobudur



Ada saatnya, kita mesti meluangkan waktu bersama keluarga untuk menjaga keharmonisan interaksi antar anggota keluarga. Tidak perlu mahal dan jauh. Tidak harus ke Pulau Dewata atau ke luar angkasa. Obyek wisata belakang rumah pun jadilah.

Setelah 'gagal maning gagal maning' rencana jalan-jalan kami, akhirnya beberapa waktu yang lalu kami bisa ramai-ramai nengok peninggalah sejarah yang dulu termasuk ke dalam tujuh keajaiban dunia. Meski capek sedikit, melihat anak-anak senang hati pun ikut riang.

Ya, memang kita perlu (dan harus) meluangkan waktu seperti ini. Meski kadang mungkin hanya sesaat. Ya, hanya sesaat. Yang pasti anda telah berusaha, menjaganya. Selalu.

-New York Karto, 07/03/2009