Selasa, 29 Juli 2008

Mencoba Menepati Janji Yang Berserak…

Pekan pertama bulan Juli kemaren adalah pekan pertama liburan sekolah anak-anak. Sejatinya saya dan istri merencanakan hendak mengajak liburan anak-anak ke Jakarta. Dan anak-anak pun bersemangat. Akan tetapi rencana itu kami putuskan untuk dibatalkan. Tiket kereta minggu-minggu ini begitu susah didapat dan yang pasti harganya lumayan mahal. Akhirnya kami sepakati untuk rihlah di obyek wisata di sekitar Jogja saja. Dan pilihannya adalah Candi Borobudur.

Sejak awal pekan itu, anak bungsu saya badannya panas. Bahkan tengah pekan itu istri saya juga mengeluh mulai panas dingin. Saya memutuskan untuk pulang Jogja pada kamis malam, karena takut terjadi apa-apa pada mereka berdua.

Jum’at pagi setiba di rumah, pagi itu juga saya mengantar anak bungsu dan istri saya ke puskesmas. Jaraknya kurang lebih 2 kiloan dari rumah. Setelah diperiksa dan diberi obat, kami bergegas pulang. Rupanya istri dan anak-anak telah membuat jadwal harian selama liburan pekan tersebut. Jadwal tersebut tertempel di pintu kamar anak-anak. Hmm, sesuai jadwal, Jum’at dan Sabtu itu semestinya agenda rihlah ke Candi Borobudur.

”Mbak, karena adik sakit jadi rihlahnya kita undur ya. Besok kalo adik sudah sehat, kita langsung berangkat.” hati-hati istri menyampaikan ke gadis kecil kami. Karena memang untuk urusan beginian, boleh dibilang dia yang paling suka ’cerewet” berkomentar. ”Ya udah. Tapi janji lho. Masak sudah gak jadi ke Jakartanya, yang ini ntar juga gak jadi lagi.” protesnya. ”InsyaAllah.”

**********

Sabtu pagi, kondisi istri sudah jauh membaik. Akan tetapi si bungsu masih panas. Tapi yang mengherankan, aktifnya tidak berkurang. Tidak seperti anak sakit yang biasanya lesu. Akhirnya pagi itu kami bawa lagi ke puskesmas dan kami minta test darah.

Pukul 10.00 kami kembali ke puskesmas untuk mengambil hasil test darah. “Bapak Ibu, hasil testnya positif thypus. Kami anjurkan untuk diopname ya. Tapi kalo tidak mau diopname, Bapak Ibu harus menandatangani surat pernyataan. Atau kalau mau dirujuk ke RS, akan kami buatkan surat rujukan” Begitu kata dokter. “Maaf Dok, kami mau bermusyawarah sebentar.” Tawar kami.

Di luar kami cukup tegang juga, kami membicarakan anak teman kami yang beberapa minggu sebelumnya pernah dirawat di puskesmas tersebut dan pada akhirnya minta dirujuk ke RS Sarjito. Akhirnya saya telepon dia untuk konfirmasi penyebabnya kenapa minta dipindah ke RS Sarjito. “Hasil testnya tidak akurat bro, lagian selama 3 hari di situ anak saya tidak diapa-apain. Malah anak stress kelihatannya.” Begitu kata teman saya di telepon.

Akhirnya kami sepakati untuk minta dirujuk ke RS Sarjito saja. Sampai rumah, kami menawar lagi ke anak-anak, “Anak-anak, ini adik tadi diminta opname sama puskesmas. Sekarang mau dibawa ke Sarjito. Nanti kalo benar-benar harus diopname, rihlahnya diundur pekan depan ya.” Sambil kami menyiapkan beberapa baju ke dalam tas. “Ya, ndak papa deh. Terserah umi” Jawab mereka kelihatan pasrah.

Dari rumah kami ke RS Sarjito kurang lebih berjarak 7KM. Di IRD RS Sarjito, setelah menunggu pendaftaran beberapa saat si bungsu mulai diperiksa. Yang saya tahu, yang menangani pasien anak-anak di sini pastinya adalah para residen/calon dokter spesialis anak yang telah senior. Dokter yang menangani si bungsu kebetulan wanita. Setelah kami jelaskan kronologisnya, kami ditanyakan beberapa hal termasuk riwayat panasnya.

Di luar dugaan kami, ternyata dokter hanya menganjurkan obat jalan. “Bu, ini nanti kami beri resep untuk obat jalan saja. Tidak perlu diopname. Tapi kalo sampai hari senin nanti masih panas, mohon segera dibawa kembali ke sini ya.” Pesan dokter tersebut. Akhirnya drama ketegangan hari itu mulai menurun. ”Alhamdulillah dek, kamu gak jadi diopname.” kata istri saya kepada si bungsu.

Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit dan apotek setelah beli obat sebelumnya, waktu telah menunjukkan sekitar jam 14.00. Saya sampaikan ke istri, ”Dek, kalo bisa janji ke anak-anak jangan sampai tidak jadi lagi. Takut jadi preseden buruk aja. Takut mereka tidak lagi percaya dengan kita.” Istri akhirnya mengiyakan perkataan saya.

”Mi, gimana jadi gak rihlahnya?” tanya anak-anak setelah kami sampai di rumah. ”Tanya abi tuh..” Kata istri saya. Anak-anak hanya melihat ke arah saya. ”Ya, jadi” jawab saya singkat. ”Nanti ba’da ashar kita berangkat.” lanjut saya.

Sesaat kemudian kami sibuk berkemas. Membawa bekal dan baju secukupnya. Kami berencana mencari penginapan yang murah di sekitar sana. Ini juga bagian janji yang kami sepakati dengan anak-anak, yang tentunya harus kami tepati juga.

**********

Berenam (saya, istri, tiga anak beserta khadimat) kami berangkat sore itu. Perjalanan ke Candi Borobudur ternyata cukup lama karena ada titik-titik yang lalu lintasnya padat merayap. Menjelang lokasi, ada seorang sahabat lama yang menelepon ke hp. Karena saya di depan kemudi tadinya panggilan itu hendak saya abaikan. Tapi istri segera mengangkatnya dan menempelkan hp ke telinga saya. Jadilah saya berbincang dengannya sambil mengemudi.

Dia adalah salah satu sahabat terbaik saya. Banyak cerita dan kenangan kami buat bersama. Jika ada kesempatan ingin saya menuliskannya. Boleh dibilang sangat jarang sekali kami bisa bertemu. Yang saya ingat, setelah lulus kuliah saya tahun 1997, kami hanya bertemu dalam 5 momen : (1) waktu pernikahan saya di Semarang, (2) waktu awal-awal saya pindah ke Jogja (dia sempat berkunjung ke kontrakan saya di Pogung Lor hanya saya lupa atas keperluan apa waktu itu), (3) waktu pernikahan dia di Bantul, (4) waktu kelahiran anak pertamanya di Queen Latifa. Terakhir adalah momen lebaran kemaren.

Menjelang pintu parkir ada kesibukan tersendiri. Atas inisiatif istri hp sementara dimatikan, karena keperluan saya dengan petugas pintu masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Batas akhir penutupan tiket masuk ke candi borobudur 15 menit lagi. Lewat pengeras suara, petugas memberitahukan kepada pengunjung yang baru datang untuk segera ke loket pembelian tiket masuk.

Karena hari telah sore menjelang maghrib, akhirnya kami putuskan untuk mencari penginapan terlebih dahulu. Ke candinya besok pagi saja.

Perjalanan mencari penginapan yang representatif menjadi perjuangan tersendiri. Penginapan yang kami telepon pertama kali menginformasikan bahwa malam itu telah full booking karena malam itu kebetulan ada pementasan sendra tari di halaman candi sehingga banyak wisatawan berdatangan.

Kami terus berputar dengan kendaraan dari satu penginapan ke penginapan di sekitar candi. Dan semuanya telah penuh dibooking. Tak terasa telah jauh dari lingkaran candi. ”Kalo ndak dapat penginapan kita pulang saja ya.” kata istri. ”Ya ndak lah, kita sekarang cari saja ke Magelang. Penginapan yang biasa dipakai pegawai BPK kalo lagi audit ada kan?” kata saya. Kami melaju ke arah Magelang, hari memasuki waktu sholat maghrib.

Perjalanan semakin sore semakin macet saja. Kendaraan hanya bisa merayap pelan. Sekitar pukul 18.00 kami sampai di penginapan yang dituju, sebuah penginapan menjelang ’kota’ Magelang. ”Wah, maaf mbak. Sudah penuh juga di sini.” petugas di penginapan itu memberitahukan kepada kami. Shock juga kami mendengar jawaban tersebut. Kami akhirnya istirahat dulu beberapa saat.

”Mbak, ada 4 kamar kosong sebenarnya. Tapi tidak pakai AC. Kalau mau, akan kami persiapkan dahulu.” seorang petugas mendekati kami. ”Oh, ya mas. Ndak papa.” jawab saya. ”Berapa kamar?”. ”Dua kamar saja mas.” Jawab kami. Alhamdulillah, akhirnya dapat juga tempat menginap.

Sambil menunggu, kami bergegas menunaikan sholat maghrib di mushola penginapan tersebut. Akhirnya malam itu kami menginap di penginapan tersebut.

**********

Pagi-pagi sekali kami sudah bangun. Karena kemaren tidak sempat belanja bekal yang memadai, saya dan istri dan si bungsu berangkat ke pasar. Sementara anak pertama dan kedua dengan diawasi khadimat berenang di halaman penginapan. Si bungsu sebenarnya ingin ikut berenang, tapi karena masih agak panas tubuhnya jadinya kami larang.

Sepulang dari pasar, si bungsu terus memaksa ingin mencebur ke kolam. Karena merengek terus, akhirnya saya kabulkan keinginannya. Paling kuat hanya beberapa menit, pikir saya. Masih memakai baju dan kaos dalam, si bungsu saya tuntun masuk ke kolam yang terdangkal. Seperti dugaan saya. Baru beberapa menit, sudah mengajak naik.

Setelah berbenah, sarapan pagi, dan menyelesaikan persoalan administrasi di penginapan, kurang lebih pukul 09.00 kami berangkat kembali ke Candi Borobudur. Alhamdulillah, perjalanan pagi itu begitu lancar. Kurang dari satu jam kami telah sampai di pelataran candi borobudur.

Menuju puncak candi borobudur sambil mengawasi anak-anak di tengah berjubelnya pengunjung, cukup membuat kami kerepotan. Beberapa saat sesampai di atas kami gunakan untuk istirahat sambil menikmati pemandangan candi dan alam sekitar. Ya, tujuan kami membawa anak-anak rihlah ke sini salah satunya adalah mengenalkan mereka dengan monumen budaya bangsa dan alam sekitar.

Puas menikmati suasana di atas candi, kami menuruni candi dari sebelah utara. Di bawah telah menanti gajah-gajah yang siap disewakan untuk dinaiki dalam satu putaran kecil. Si bungsu dan kakak perempuannya mengangguk ketika oleh istri ditawarkan untuk naik gajah tersebut. Ditemani istri, mereka berdua mengendarai gajah tersebut. Alhamdulillah, senang saja melihat mereka bergembira.

Selesai itu, waktu telah menjelang tengah hari. Kami putuskan untuk segera pulang. Sore hari ini saya harus kembali ke Jakarta. Rutinitas pekanan yang makin lama terasa makin menguras tenaga dan pikiran juga.

Alhamdulillah, janji yang sempat terucap ke anak-anak telah dapat kami penuhi. Meskipun harus sedikit berpayah-payah, semoga ini menjadi wahana pembelajaran bagi mereka kelak. Saya membayangkan, sesampai di kereta nanti langsung tidur. Semoga bisa....

**********

Di kereta...

Kereta senja malam itu begitu penuh. Kami bertiga. Saya mengalah untuk duduk terpisah. Di samping saya seorang ibu-ibu dengan bawaan seabrek di depan kami. Duh, saya tidak bisa istirahat total nih. Benar saja, semalaman saya tidak bisa tidur. Padahal kepala mulai terasa panas...

**********

Di Jakarta...

Pekan ini terasa berat. Hampir satu pekan terkapar. Flu dan demam menemani setia hari-hari di sini. Saya hanya ingat perkataan Rasulullah, ”La ba’tsa. Thahurun insyaAllah.” (Tidak mengapa. (Sakit ini) membersihkan dosa, jika Allah ijinkan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar