Rabu, 04 November 2009

Tentang Prasangka

Kali ini tentang prasangka. Prasangka itu pada awalnya adalah sesuatu yang netral, tapi pada galibnya dia akan menarik pemiliknya ke kutub-kutub sesuai dengan kondisi hatinya. Pada kutub negatif, dia akan menjelma menjadi buruk sangka dan pada kutub positif, dia akan mewujud dalam bentuk baik sangka. Baik sangka dengan buruk sangka memang berada pada kutub jiwa yang berlainan. Yang berseberangan.

Dahulu, pernah di keremangan cahaya malam di serambi masjidnya, Rasulullah sedang berbincang sesaat dengan salah satu istri beliau setelah istri beliau ini menjenguknya di saat i’tikaf. Sesuatu yang wajar dan biasa saja tentunya. Tiba-tiba ada dua sahabat anshar yang kebetulan hendak melewati beliau, mereka tertegun. Seolah buru-buru, mereka segera bergegas menjauhi beliau.

Sampai di sini seolah tidak ada yang istimewa. Tapi Rasulullah selalu memberikan pelajaran kepada para sahabatnya di saat yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. Maka dipanggillah kedua sahabat Beliau tadi. “Pelan-pelanlah! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai” kata Beliau. “Subhanallah ! Wahai Rasulullah. Kami tahu itu. Dan kami tadi tidak berpikir macam-macam tentang Engkau.” Begitu sahabat menjelaskan kepada Rasulullah.

Selesaikah fragmen ini? Belum. Di sinilah kemudian kita mendapatkan kecerdasan Rasulullah dalam memberikan pendidikan dan arahan kepada kita semua, umatnya. “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorang seperti mengalirnya darah. Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan.” Begitulah, Beliau memanggil kembali kedua sahabatnya untuk mendekat dan memberinya penjelasan dalam rangka menutup celah munculnya prasangka di kemudian hari.

Sangat manusiawi sekali. Bisa saja kemudian karena pengaruh bisikan setan, mereka berpikir, “Rasulullah tadi itu bersama siapa ya?” Sangat manusiawi karena rasa penasaran dan keingintahuan. Namun itu akan menggiring siapapun yang mulai berpikiran demikian untuk kemudian mulai melanjutkan jalan pikirannya dengan kalimat, “Jangan-jangan…”. Maka inilah pintu prasangka itu.

Ini bukan persoalan berandai-andai. Tapi Rasulullah telah mencontohkan tindakan preventif itu untuk menghindarkan agar seseorang terhindar dari berprasangka. Beliau sebagai pihak yang berpotensi untuk diprasangkai, segera menutup celah itu dengan menjelaskan dan mengklarifikasinya. Kedua pihak pun selamat dari tragedi syak wasangka ini. Beliau tidak dipersangkakan, sementara di pihak kedua sahabat tadi mereka selamat dari berprasangka. Penyelesaian yang indah. Kuncinya adalah komunikasi.

Terus bagaimana kalau kedua pihak ini tidak saling bersinggungan? Di sinilah seringnya kemudian muncul persoalan ini. Seseorang akan dengan mudah bisa terjerumus dalam prasangka, terlebih lagi pada buruk sangka. Ini bisa terjadi jika memang tidak ada ruang yang memungkinkan untuk menjalin komunikasi dan melakukan klarifikasi. Sementara di luar itu, terbangun berbagai kemungkinan penafsiran akan suatu kejadian tadi.

Tapi kita sebenarnya tak perlu kuatir. Al Qur’an telah jauh-jauh hari mengingatkan kepada kita untuk menjauhkan diri dari aktifitas berprasangka ini. Kata Allah dalam Surat Al Hujurat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka (dzon), karena sebagian dari berprasangka itu dosa.” Apa yang menarik dari sini? Adalah kalimat “karena sebagian dari berprasangka itu dosa”. Kenapa sebagian? Karena kita masih bisa menumbuhkan prasangka yang tidak membawa konsekuensi dosa yaitu baik sangka (khusnudzon). Sementara jika kita jatuh pada buruk sangka (su’udzon), maka kita akan mudah terjatuh pada dosa.

Selalu membangun prasangka yang baik di benak pikiran kita memang tidak mudah. Ia juga sangat berkaitan dengan kondisi hati kita. Sementara kondisi hati kita, sangat tergantung dengan kedekatan kita dengan Sang Penjaga Hati. Rasulullah mengingatkan kita bahwa kita pun sangat mungkin berprasangka dengan Sang Penjaga Hati ini. Dalam sebuah hadits qudsi Allah mengatakan, “Sesungguhnya Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku.” Maka artinya jika kita ingin agar Sang Penjaga Hati itu dekat dengan kita, maka berprasangkalah bahwa Allah itu dekat dengan kita, bahwa Allah itu selalu mengikuti setiap langkah-langkah kita.

Segala yang berkaitan dengan hati memang terkadang rumit. Karena sifat hati yang mudah berbolak-balik, maka ini pun berbengaruh pada tabiat kita dalam berprasangka. Terkadang kita sangat mudah untuk berbaik sangka. Di lain waktu, begitu mudah pula kita terjatuh pada buruk sangka. Karena itu tak salah jika kemudian kita harus selalu meminta kepada-Nya, agar meneguhkan hati kita pada agamanya dan agar selalu di atas ketaatan kepada-Nya. “Allahumma Ya Muqallibal qulub. Tsabit qalbii ‘ala diinika wa ‘ala tha’atika.”

Semoga Allah senantiasa menganugerahi kita hati yang bersih, sehingga bisa mengarahkan kita untuk selalu bisa berbaik sangka pada kehidupan di sekitar kita. Sehingga dimudahkan-Nya dan disederhanakan pula segala urusan hidup kita. Amin.

@Pancoran, finished at menara jamsostek : 03/11/2009 15:45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar