Kiosnya sederhana. Tidak
lebih dari dua kali tiga meter ukurannya. Dindingnya pun terbuat dari anyaman
bambu. Letaknya di sebuah sudut jalan masuk di pinggiran jalan lingkar (ring
road) di utara yogya. Di pojok depan kios, tertata rak botol-botol bensin ukuran
satu literan. Di kiosnya tersebut dijajakan berbagai macam makanan kecil, dan
kebutuhan rumah tangga seperti sabun, odol, sandal, kecap dan sejenisnya.
Tampak dua atau tiga kandang burung yang tergantung di depan kios.
“Buat mengisi waktu,
mas” jawabnya ketika saya bertanya tentang kesibukannya merawat burung jalak,
yang kandangnya bergantung-gantung di depan kios tersebut. “Anak saya tiga.
Yang sulung kuliah semester lima. Adiknya masuk tahun ini. Dan yang ragil masih
SMP.” Tanpa saya minta ia menceritakan anak-anaknya. Sembari menuangkan tiga
botol bensin ke dalam revo saya, kendaraan yang setia mengantar jemput selama ini.
Pagi itu semenjak dari
rumah, indikator bensin revo saya menunjuk pada garis strip merah. Sebuah pertanda
bahwa ia sudah sangat amat haus. Sampai dengan kios bensin satu ini, bukanlah
tidak ada penjual bensin eceran lain yang terlewati. Sekitar 4 kilo meter dari
rumah, kalo saya hitung bisa 6 atau 7 kios bensin sejenis. Tapi pagi itu, saya
seperti dituntun untuk berhenti di kios bapak ini. Barangkali untuk sekedar
ikut mendengarkan cerita-ceritanya.
“Rencang kula sampun
rumiyin mas.” Tiba-tiba ia berganti topik pembicaraan. Sambil mengulurkan uang
kembalian. “Kira-kira dua tahun lalu.” Saya sempat agak lola (loading lambat) ketika
mendengar kalimat dia yang pertama. Pulang? Ke kampung halaman? Setelah loading
sesaat, barulah saya menangkap bahwa istri bapak ini telah lebih dulu berpulang
2 tahun lalu. “Karena sakit. Jadi saya sekarang harus sendirian mengawal 3 anak-anak
saya.” Terawangnya.
Nadanya getir. Rautnya
wajahnya datar, tampak mengenang sosok yang sekian lama mengisi hatinya dan
hari-harinya dulu. Dari garis mukanya, tampak perjuangan untuk melanjutkan hidupnya
telah menguras tenaga dan pikirannya. Ya, sudah dua tahun ini dia berjalan
sendiri. Teman seperjalanannya telah lebih dulu berpulang. Temannya yang
mengisi setengah jiwanya telah kembali lebih dulu, sehingga seolah tinggal
separuh jiwanya kini yang tersisa.
Sepanjang perjalanan
selanjutnya, selepas dari kios itu, saya banyak merenung. Istri/Suami dalam
bahasa jawa disebut sebagai garwa, simbul dari sigaraning nyawa (seprauh nyawa)
kita. Kalau dalam bahasa langit, ia adalah symbol setengah agama kita. Dan kalau
dalam bahasa lagu, ia adalah separuh nafas kita. Maka ketika salah satu dari
suami atau istri itu telah lebih dulu berpulang, maka bisa dibayangkan seperti
apakah ruang kosong yang terbentuk dalam jiwa di sana. Hampa.
Ia adalah orang terlekat
dalam hidup kita yang setia menemani hari-hari kita, karenanya tidak heran sang
bapak tadi membahasakannya sebagai ‘rencang’, teman hidup. Tentu banyak hal
telah mereka perbuat dan lalui. Pahit getir kehidupan, susah senang perjalanan,
riak-riak kehidupan, telah mereka libas berdua. Terlalu banyak memori telah
tertoreh dalam ruang masa itu. Ketika tiba-tiba salah satu harus lebih dulu ‘kembali’,
tiba-tiba ruang itu menjadi terasa hampa.
Ah, saya jadi teringat
lekat dengan separuh jiwa ini yang di sana. Terlalu banyak waktu kebersamaan yang terlewat
karena jarak dan waktu selama ini. Masih terlalu sedikit kebahagiaan yang bisa
saya persembahkan untuknya sebagai bagian paruh nafasnya. Semoga dengan
waktu-waktu yang tersisa ke depan, saya bisa semakin menjadi bagian memori-memori
indahnya. Memori-memori yang akan terukir abadi dalam ruang-ruang masa itu.
@Jogjakarta, 15 Oktober
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar