Senin, 01 September 2008

Laskar Senja : Gerbong-gerbong penuh "penderitaan"

Laskar Senja : Gerbong-gerbong penuh "penderitaan"

Setiap ahad sore kami pun akhirnya harus senantiasa mengunjungi stasiun agar esok hari bisa bekerja. Betapa kecut hati kami, tak kuasa berbuat apa-apa. Tak terbayangkan sebelumnya harus menjadi anggota roker joglo (rombongan kereta jogja-solo), bukan rombongan G-15 (Gerombolan 15rb) atau pun para sniper gelap. Bawaan seorang roker adalah tas ransel. Jangan dibayangkan isinya macam-macam, di sana hanya berisi koran bekas yang berubah fungsi menjadi alas tidur, bantal tiup unttuk ganjal kepala, sebotol aqua unttuk sedikit menghapus dahaga, sisanya unttuk "bersuci".

Kadang di kereta api pun, meski telah kami pasang "password" (baca : trik-trik) agar wilayah kami tidak direbut gerombolan G-15/Sniper, ternyata mereka memang telah terlatih. Menunggu kelengahan kami, sehingga mereka bisa melonjorkan kaki, sedangkan kami akhirnya mesti menekuk kaki sampai pegal-pegal rasanya pagi harinya.

Pernah sekali waktu ketika ada liburan akhir pekan yang panjang di antara kami mengalami kejadian yang menyebalkan. Kereta amat sangat penuh. Semua gang penuh dengan orang yang duduk di bawah. Jatah kursi kereta teman kami yang seharusnya untuk 4 orang (berhadapan) terpaksa diisi 10 orang : 2 orang di bawah, 7 orang di atas, 1 orang di sandaran tangan tempat duduk. Dan bahkan seorang di antara kami ada yang harus duduk berdesakan dengan wanita yang bukan muhrim, kanan-kiri, depan, semuanya wanita. Begitulah suka duka di kereta.

Belum perjuangan mencari tiket yang kadang harus mengantri berjam-jam berdiri di depan loket. Kadang sudah begitu pun, kami masih tidak memperoleh tiket yang bertempat duduk sehingga harus naik kereta tanpa tempat duduk. Dan memang pada akhirnya kami harus selalu memperhatikan kalender, jika ada liburan panjang maka paling tidak sebulan sebelumnya kami harus sudah mengantri tiket. Agar aktifitas pekanan kami tidak makin melelahkan.

Aktifitas pekanan pulang pergi jakarta selalu membawa pernik-pernik cerita sendiri. Teman kami bercerita, ”ketika aku pamit mau kembali ke jakarta, anak yang paling besar bilang ayah gak usah ke jakarta lagi. Aku mau yang ngantar sekolah ayah. Seperti teman-teman. Aku pun hanya bisa menahan tangis mendengarnya. Ya, Insya Allah. Doakan ayah agar bisa kembali bersama-sama ya.”

Sementara yang lainnya, ”Kalo aku setiap telpon anak, dia bilang ’abah nakal’. Bahkan sekarang gak mau lagi di telpon.”

Setiap telpon anak seringkali bertanya: ayah lagi di stasiun ya, padahal baru sekitar 3 hari kami datang dari jogja. Buka dan sahur ketika puasa pun kami lakukan dalam kereta. Air buat sekedar membasuh muka ketika sahur pun sering kali belum tentu ada.

Satu-satunya hiburan kami di stasiun adalah ketika kami berkumpul di depan warung mie langganan kami. Biasanya kami memesan mie rebus/nasi goreng di situ. Tetapi meskipun hanya mie rebus, bagi kami rasanya mak nyos, mungkin perasaan kami yang sumringah karena besok bertemu anak-istri. Mengobrol bersama teman-teman senasib sependeritaan, cukup menghibur hati. Bahkan seringkali kami tidak sempat mandi sore di hari jum'at, karena dari kantor langsung menuju stasiun.

Suara yang paling kami tunggu ketika kami sedang tidur di kereta adalah suara "wer ewer kluwer...lay-lay lay lay lay lay panggil aku si jablay". Ya, itulah suara para waria yang sedang mengamen. Itu tandanya Jogja sudah dekat. Itu menandakan kalau Jogja tinggal sebentar lagi. ”Lanting-lanting..... sebentar lagi yogya”. Tentu bukan dia yang kami liat.. Tapi sekali lagi, itulah saatnya kami akan sebentar lagi bertemu keluarga. Itu berarti bahwa kami sudah sampai stasiun Wates, sekitar 25 menit lagi kami sampai stasiun "pelabuh rindu" stasiun Tugu Jogjakarta.

Sampai di stasiun Tugu, ada di antara kami yang masih harus melanjutkan perjalanannya ke timur kota jogja. ”Wah, mesti ngojek atau taksi argo rombongan nih..’ begitu katanya.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar