Senin, 01 September 2008

Laskar Senja : Mengejar Mimpi

Laskar Senja : Mengejar Mimpi
(Modernisasi oh Modernisasi)


Tahun 2005 kami begitu antusias membaca pengumuman di intranet, tepatnya di website kepegawaian waktu itu. Ada semangat yang sejak dulu kami simpan dan terapkan dalam setiap aktivitas kerja kami di kantor. Semangat kami ternyata beresonansi dengan semangat DJP untuk berubah menjadi lebih baik. Sudah lama kami ingin menjadi "modern" dalam artian yang sesungguhnya. “Modern” dalam bekerja dan “modern” dalam berpenghasilan.

Saat kami membaca pengumuman itu, kami sadar ada yang harus kami perjuangan. Pertama ujiannya, kedua tentunya adalah saat nanti kami sudah masuk ke dunia kerja modern, segala aturan dan prosedur sebisa mungkin harus kami lakukan dengan 'modern'. Dan memang, pengumuman itu tampak begitu membujuk dan membuai kami.

Tentu, bukan sekedar ucapan manis di bibir saja. Ketika itu, hati kami begitu bergetar, pikiran menerawang menatap masa depan "DJP" yang lebih “bersih” dan lebih baik. Ya, saat itu adalah saat kami membaca pengumuman test modernisasi itu.

Hati kami pada akhirnya semakin mantab untuk mengikuti peluang emas ini. Pertama, imbalan kerja yang tentunya begitu menarik. Kami bermimpi tentang itu. Kedua, tentu saja ”kebebasan” dan ”ketenangan” dalam bekerja. Kapan lagi kami bisa bekerja dengan tenang, tanpa adanya "tekanan" dari kanan, kiri, atas, dan bawah. Sejuta keinginan berputar-putar di benak kami. Kapan kami bisa memperoleh itu semua dengan hati nyaman dan ikhlas. Ikut test ke Jakarta dengan biaya sendiri pun siap kami jalani demi sebuah perubahan dan idealisme itu.

Ketiga, sungguh kami terbuai dengan pilihan penempatan yang begitu menggiurkan. Kami diberi 3 pilihan penempatan bila lulus nanti. Tentu kami semua membayangkan, akan bisa bekerja dengan lebih tenang dan lebih baik apabila tetap dekat dengan keluarga. Kami pun kemudian memilih pilihan penempatan di kanwil kami sendiri dan kanwil-kanwil terdekat. Dalam benak kami, selain kami bisa tetap dengan keluarga, dekat dengan orang tua (beberapa teman kami orang tuanya sudah sering sakit-sakitan dan mereka merupakan anak terakhir yang diharapkan bisa merawat orangtua di hari tuanya), kami tentu saja ingin tetap bisa mengabdi untuk negara ini di daerah (home base) kami. Siapa lagi kalo bukan kami.

Di sisi lain, ternyata banyak teman-teman kami yang ternyata sama sekali tidak tertarik untuk mendaftarkan diri. Ah, biarlah... Mungkin mereka punya alasan masing-masing atas kepasifannya. Mungkin tidak siap dengan biaya sendiri yang harus dikeluarkan untuk mengikuti tes, atau mungkin tidak siap dengan “resiko” modernisasi. Astaghfirullah...barangkali kemungkinan kedua hanyalah pikiran buruk (su’udzan) kami saja. Setidaknya dalam benak kami saat itu, terbayang bahwa kami ingin dan akan menjadi pioneer perubahan DJP di tempat/kantor pilihan kami, dan kami merasa sangat siap untuk mengemban amanah itu.

Selanjutnya kami isi formulir & kelengkapannya dengan semangat juang bak para pahlawan. Untuk menghadapi tes pun, kami berusaha melakukan persiapan yang matang. Membeli dan meminjam buku-buku psikotes dan TPA.

Mandi di stasiun pun akhirnya kami jalani demi psikotest di KPDJP waktu itu. Ketika tes di Jakarta, melihat teman-teman sesama peserta tes, kami temukan wajah-wajah cerah menyongsong perubahan DJP. Ya, kami semua ingin menjadi pegawai yang baik, yang siap menjemput dan menyambut ajakan "yang berwenang memindahkan kami" ke kantor yang lebih baik sistemnya nanti tentunya.

Singkat cerita kami pun lulus ujian tertulis. Alhamdulillah. Kami sangat bersyukur, karena banyak dari teman-teman kami yang tidak lulus. Pun ketika kami lulus ujian wawancara yang sangat menegangkan, kembali rasa syukur kami lafadzkan dari lisan-lisan kami.


Hingga, tibalah saatnya diklat SAM harus kami jalani dengan semangat. Kami dipanggil ikut diklat SAM di hotel Santika, hotel yang megah (begitu teman kami menyebutnya, maklum sebagai “wong ndeso” baru kali ini kami “belajar” dan makan di hotel). Niat baik kami, dalam benak kami, tentu akan berbalas dengan sangat indah. Sungguh nasib memang tidak bisa dielak. Tetapi sebagai manusia biasa kami punya hati yang juga berharap. Hari-hari diklat kami lalui dengan penuh kebahagiaan karena mendapatkan banyak wawasan baru.

Ya, hingga kemudian datang hari itu, sehari menjelang diklat berakhir, ketika diklat belum selesai kami dikejutkan dengan pengumuman penempatan di kantor modern yang belum terbayangkan oleh kami sebelumnya. Beberapa dari kami ditempatkan di Jakarta, ada yang ke Sidoarjo, Medan dan bahkan hingga Makassar dan Balikpapan. Hari terakhir diklat kami sudah tidak bisa konsentrasi lagi. Hati ini bergetar, lisan seakan terkunci, kami bingung harus berkata apa.

Seorang teman kami menceritakan, ”Hari itu, jam 10 malam saya mendapat telpon dari Mas X kalau ada pengumuman penempatan AR. Saya sempat bertanya, ‘Mas ada isyu mutasi AR ya?’ Beliau menjawab, ‘bukan isyu lagi tapi sudah penempatan.’ Hati ini deg-degan juga mendengar hal itu, karena terus terang saya belum siap mental dan dana kalau harus mutasi jauh-jauh. Dan ternyata saya ‘terlempar’ ke Jakarta. Tapi, alhamdulillah saya masih penempatan di Jakarta. Kasihan juga teman-teman yang terlempar ke luar pulau.”

Sementara seorang teman yang lain bercerita ”Aku lihat mendung hitam menggelayut di wajah teman-temanku. Sampai rumah tak kuasa bibir ini untuk mengatakan kepada istri. Hanya air mata yang membuat istri bingung, ada apa gerangan? Antara sedih, kecewa, "harus" ikhlas menerima kenyataan, "harus" siap berkorban, dan entah perasaan apa lagi yang ada dalam dada ini.”

Teman satu lagi berkata ” Saya memang pernah penampatan jauh di Pontianak, tetapi untuk saat ini saya belum siap kalau harus jauh dari keluarga dan anak-anak yang masih kecil, serta orang tua yang sudah sering sakit-sakitan”

Kami semua memang masih terpana dengan penempatan tersebut. ”Sabar ya..” Beberapa SMS yang kami terima bernada demikian. Dan beberapa hari selanjutnya adalah hari-hari pengkondisian keluarga kami yaitu anak-anak dan istri. Di antara teman-teman kami ada yang baru merintis membuat rumah atau pun baru mulai mencicil rumah. Bahkan ada yang baru mendapat anugerah bayi kecil beberapa hari umurnya.

“Keluargaku belum siap menerima kenyataan ini. Kulihat wajah ketiga anakku yang masih kecil-kecil dan butuh perhatian penuh dari ayah dan ibunya. Ketika tidur tak bosan-bosannya kupandangi wajah mereka. Selama beberapa hari terakhir di kantor yang akan kami tinggalkan, kerja tidak konsentrasi, di rumah pun makan tidak enak, tidur pun tidak nyenyak.” Ah, begitulah teman kami yang lain menimpali.

”Aku juga tak tega melihat wajah istriku berlama-lama, membayangkan beban berat yang harus dia tanggung. Tiap pekan harus berdesak-desakan ria memesan tiket kereta api untuk perjalanan pulang pekan depannya. Apalagi istriku belum cukup mahir naik motor, harus kerja naik apa nanti. Mengasuh ketiga "malaikat kecil" ku sendirian, antar jemput sekolah, menemani belajar. Anak yang seharusnya sudah sekolah pun akhirnya harus ditunda dulu karena belum ada yang mengantar.” lanjutnya.

Begitulah kegundahan demi kegundahan menghiasi hari-hari kami waktu itu. Kadang terbesit pikiran nakal dalam benak kami, kenapa dulu kami harus ikut test modernisasi jika akhirnya harus begini. Aduhai, mungkin inilah ujian yang harus kami jalani. Bahkan saat itu, ada teman kami yang rumahnya yang dia tempati hendak digusur, sehingga mau tidak mau harus segera mencari kontrakan baru.

Apapun, Akhirnya kami tetap harus berangkat ke Jakarta juga. Episode berikutnya adalah perjuangan kami serombongan, untuk mengais asa modern di Jakarta. Tidak pernah terbayang dalam benak kami sebelumnya, stasiun-stasiun ini akan kami kunjungi setiap pekannya.

Kali pertama meninggalkan keluarga kami adalah momen yang begitu berat bagi kami. Kalau bukan karena semangat hendak melaksanakan tugas negara, mungkin kami memutuskan lebih baik tidak berangkat. Tapi kami terus mencoba memunculkan pikiran-pikiran positif kami, bahwa mimpi-mimpi yang kami pancangkan dulu mungkin memang sekaranglah saatnya harus kami buktikan.

Teman kami menggambarkan perpisahannya dengan keluarganya, ”Menjelang hari keberangkatanku ke Jakarta, aku dan istriku pergi ke dealer motor, membeli motor dengan cara kredit. Saat keluarga mengantar untuk melepas kepergian ke Jakarta, tak kuasa air mata ini menetes. Kulihat wajah istri dan anak-anak yang sembab. Linangan air mata keluar dari kedua pelupuk mata istriku, dan tentu saja mataku. ’Sayang, jaga anak kita baik-baik ya. Maafkan aku, nggak bisa banyak membantu lagi. Anak-anakku, kalian harus sholih ya, sayang sama ummi. harus bisa bantu ibu(ummi). Ayah harus pergi jauh. Maafkan ayah ya bila ada salah. Sayang maafkan aku ya.’"

Sore itu menjadi sore yang menyedihkan dalam hidup kami. Anak-anak kami mendekap kami dengan sangat erat, seolah kami akan berpisah dalam waktu yang lama. Mungkin karena selama ini kami bisa membersamai mereka dalam kesehariannya. Belajar, bermain.. tapi kini telah berakhir. Hanya sabtu minggu. Dua hari satu malam, kami bisa bersama mereka.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar