Saya ingin mencoba menelisik, kenapa kita ditarbiyah dengan
cara dan materi yang sama, dalam rentang waktu yang misal sama juga, tapi bisa
memunculkan cara pandang dan penyikapan yang cukup berbeda terhadap suatu
masalah yang muncul dalam perjalanan dakwah ini. Ini analisis saya berdasar
pengalaman dan pengamatan saya pribadi. Semoga bisa menambah cara pandang kita
dalam menyikapi dinamika dakwah. Setidaknya ini akan selalu menjadi pengingat
untuk diri saya sendiri.
Suatu saat di rentang tahun 2009-2010, halaqoh kami ada
perdebatan cukup hangat antara satu a’dho dengan guru kami, Ust. Amir Faishol
Fath. Masalah yang sama, terkait dengan ikhwah kita yang mendapat amanah di
dewan maupun walikota. Saya dan beberapa teman lain waktu itu hanya sebatas
sebagai pengamat dan mencoba untuk mengambil pelajaran dari diskusi hangat itu.
Satu hal yang selalu beliau ulang-ulang waktu itu, “Akhi, hisab kita nanti adalah hisab pribadi. Tidak ada hisab atas nama
partai atau golongan. Antum tidak perlu menghabiskan terlalu banyak energi
antum untuk menyoroti ‘kelakuan’ atau gaya hidup ikhwah lain. Lakukan yang
terbaik dan terbenar yang antum yakini untuk jama’ah ini, selesai.”
Saya sering terpekur jika mengingat nasehat itu. “Antum tidak usah kawatir, hisab Allah tidak
akan pernah meleset. Semua harta itu akan ada hisabnya dan semua akan
mempertanggungjawabkan sendiri-sendiri. Saya menyaksikan sendiri bagaimana para
ikhwah di DPP itu sering harus begadang bermalam-malam untuk menyusun panduan
bagi jamaah dakwah ini. Kadang ada yang sampai tertidur di bawah meja. Mereka
korbankan waktu mereka untuk keluarga mereka, bahkan waktu istirahat mereka
sendiri.”
Kami waktu itu hanya bisa tertunduk, menginstrospeksi diri
kami sendiri yang sesungguhnya jika dihitung-hitung, mungkin belum banyak yang
kami berikan untuk dakwah ini. “Tapi antum
juga tidak sepenuhnya salah, antum bisa memberinya masukan secara langsung
kepada beliau-beliau yang antum anggap ‘bermasalah’ menurut antum. Bisa melalui
surat, bisa melalui email, atau apa pun
yang antum anggap baik. Itu akan jauh lebih baik dan secara tidak langsung
antum menjaga kehormatan saudara antum” Ini bagian lain yang beliau
sampaikan, memang tidak persis tapi semangatnya setidaknya seperti yang saya
tulis.
Ikhwati fillah… saya pun sangat memahami fenomena yang ada
karena memang interaksi kita dengan para mas’ul dakwah ini, jaulah-jaulah yang kita
lakukan dan juga jam terbang kita lah yang telah membentuk cara pandang
tersebut. Point yang ingin saya sampaikan, bahwa rentang waktu pengalaman dan
daya jelajah kita dalam dakwah ini, akan sangat mempengaruhi cara kita
mempersepsikan sebuah masalah dalam dakwah ini. Sepanjang pengamatan saya,
seperti kalau kita membaca tulisan Pak Cah tentang doa robithoh yang menggambarkan
perkembangan dakwah dari waktu ke waktu yang beliau rekam, keyakinan kepada
dakwah inilah sesungguhnya yang menjadikan kita kuat untuk terus beramal di
dalamnya.
“Akhi, hisab kita
nanti adalah hisab pribadi. Tidak ada hisab atas nama partai atau golongan.
Antum tidak perlu menghabiskan terlalu banyak energi antum untuk menyoroti
‘kelakuan’ atau gaya hidup ikhwah lain. Lakukan yang terbaik dan terbenar yang
antum yakini untuk jama’ah ini, selesai.” Ini bukan berarti kita tidak
peduli dengan ‘terpelesetnya’ saudara kita, tapi bagi saya nasehat terbaik
adalah nasehat yang disampaikan secara langsung, dengan media apa pun. Mencari
nomor HP ikhwah kita yang menjadi pejabat publik, menurut saya bukan hal yang
sulit lagi. Dan menurut saya, melalui SMS bukan berarti kita tidak menghormati
beliau-beliau.
Kalau saya pribadi justru itu bentuk penghormatan karena
bisa jadi telepon kita mengganggu
kesibukan beliau-beliau. SMS bahkan bisa dibaca berulang, bahkan bisa diforward
ke saluran yang lebih sesuai (misal sewaktu saya mencoba memforwardkan suatu
hal ke Ust Dayat, maka beliau sampaikan hal tersebut akan beliau forward ke
komisi terkait). Mungkin yang saya sampaikan sesuatu yang sepele untuk
‘kapasitas’ beliau, tapi karena cinta saya kepada jamaah inilah maka saya
berani untuk menyampaikannya, dan saya yakin karena cinta beliau kepada jamaah
ini pulalah beliau bersedia memforwardnya. Ini hanya satu contoh.
Ketika istri saya suatu saat merasa keki dengan perilaku Ust
Fahri H beberapa waktu dulu, maka saya berikan no HP beliau. Saya katakan, “Sampaikan uneg-unegmu saja secara langsung,
itu lebih menentramkan daripada diomongin di depanku dan aku pun tidak bisa
memberikan solusi yang menentramkan untukmu.” Dan ternyata SMS-SMS nya pun
dijawab meski kadang delay karena mungkin kesibukan beliau.
Kalaupun misal SMS kita tidak berbalas, paling tidak kita
yakinkan bahwa suara kita telah sampai kepadanya. Pernah suatu waktu istri
ingin memberi masukan terkait pemeriksaan BPK yang menurut istri ini bagus
kalau aleg kita menguasai, maka saya fasilitasi utk menghubungi salah satu
anggota DPRD Propinsi. Ternyata responnya cukup lama, istri sudah kadung mutasi
ke BPK Sulsel. Dan ketika saya berjumpa beliau ini dalam forum buka bersama
ramadhan kemaren, beliau menyampaikan ke saya bahwa istri saya pernah SMS tentang
pemeriksaan BPK. Intinya, berarti pesan itu sesungguhnya sampai kepada beliau.
Terakhir, bahwa peran kita dalam dakwah ini harus kita
optimalkan sesuai dengan kapling yang kita ambil atau yang diamanahkan di
pundak kita. Semakin kita menyibukkan diri dengan peran kita, saya yakin bahkan
rasa-rasanya waktu kita seakan tidak pernah bisa mencukupinya. Kewajiban kita
benar-benar akan terasa lebih banyak dari waktu yang tersedia. Kl kata Ust
Zuber waktu bahas poligami suatu saat dalam pertemuan tarbawi, “Orang yang
pikirannya poligami terus, biasanya tidak produktif waktunya. Karena kalau kita
terus intens dalam banyaknya aktifitas dakwah ini, tidak sempat akh mikirin
masalah itu.” Hehe.. itu bahasa joke beliau saat mengimbangi teman-teman saya
jika guyonannya mulai ke arah sana. Kabuuurrrr……
(mendokumentasikan tulisan yang berserak, sekaligus membangun azzam utk mulai menulis lagi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar