Sabtu, 07 Agustus 2021

Satu dari kami telah pergi

 "Mbak, kelingan ora dulu kita menggoreng jagung di dapur, sambil pakai payung?" Tanyaku kepadamu saat engkau di Bulan Mei lalu kami paksa pulang ke Klaten untuk dirawat. Pertanyaan itu untuk mengenang jaman 'heroik' dulu. "Hehe.. iyo, bener Ri." Engkau tertawa saat mengenang itu. 

Itu penggal kenangan peristiwa kami hampir empat puluhan tahun yang lalu. Saat itu hujan deras. Sebagai orang desa, yang kami punya jagung hasil petikan dari ladang, yang belum begitu kering. Kami goreng di dapur sambil memakai payung, karena genteng dapur kami banyak bocor di sana-sini.

Engkau kami paksa pulang ke Klaten, karena kami kawatir dengan kondisi psikis dan kesehatanmu. Di awal Februari sebelumnya, engkau ditinggalkan anak gadis pertama kesayanganmu. Aku pun tahu betul masa-masa perjuangan bagaimana engkau merawat dua anak pertamamu.

Dulu saat engkau bercerita bagaimana engkau mendampingi detik-detik akhir anak gadismu pergi, aku bisa ikut merasakan kepedihan yang luar biasa di hatimu. Bagaimanapun, aku juga cukup dekat dengan anakmu tersebut, berkali-kali kami intens berkomunikasi memantau kesehatannya. 

Aku pun merasa sangat kehilangan. Ada semacam perasaan bersalah, kenapa kami terlambat mengetahui kondisi kesehatan terakhirnya. Semakin merasa bersalah lagi, karena kami seperti terlambat untuk memaksa kalian agar segera membawa dan merawat anak tersebut ke rumah sakit. 

Tetiba beberapa hari lalu, kami mendapat kabar sakitmu belum juga reda. Sejatinya, saat di Klaten itu kondisimu sudah jauh membaik. Maka, saat engkau bersikukuh untuk kembali ke Bandung, karena keluarga dan kehidupanmu memang di sana, kami hanya bisa melepasmu dengan untaian doa. 

Pekan lalu, saat aku perjalanan darat ke Bantaeng, suamimu mengabarkan tentang sakitmu yang kambuh dan belum segera sembuh. Aku mulai agak kawatir. Beberapa hari berikutnya di grup keluarga, adikku yang mulai intens berkomunikas dengan satu anakmu, aktif mengupdate info tenangmu. 

Dua hari yang lalu engkau kirimkan foto dan kondisi terakhirmu. Ke kamar mandipun engkau harus dipapah. Deg. Memoriku kembali berputar saat-saat akhir anak gadismu sebelum ke rumah sakit. Kenapa saat kondisi sudah seperti ini kami baru diberitahu lagi? Jangan sampai ini terlambat lagi. 

Maka sejak dinihari kemarin, kami berdiskusi di grup keluarga. Aku sampaikan opsi bisa dua. Kembali dibawa ke Klaten atau segera dirawat di rumah sakit. Tapi untuk kembali ke Klaten dan dirawat ke Klaten apakah kuat, belum lagi kondisi PPKM? Maka opsi kami mengerucut untuk segera dibawa ke rumah sakit. 

Kemarin pagi akhirnya engkau dibawa ke rumah sakit. Hasil rontgen menunjukkan ada infeksi paru-paru. Saturasimu pun diangka 70. Sesuatu yang kami tidak pernah bayangkan sebelumnya. Setelah melalui test screening covid, engkau pun dinyatakan positif. Laa haula wa laa quwwata illa billah. 

Engkau pun langsung masuk di ruang isolasi. Menatap foto terakhirmu, dada kami dipenuhi perasaan harap dan cemas. Berharap engkau kuat dan bisa melewati masa-masa kritismu. Semalaman setiap terbangun, aku membuka wa. Sangat kawatir jika tetiba ada kabar yang harus segera kami respon. 

Pagi tadi, suamimu mengabarkan bahwa engkau harus masuk ICU karena kondisimu semakin menurun. Ia sedang bergegas ke rumah sakit untuk melakukan persetujuan tindakan-tindakan medis di sana. Belum hilang rasa cemas ini, suamimu setiba rumah sakit mengabarkan tentang kepergianmu. 

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Selamat jalan mbakku. Sakitmu telah hilang. Semoga engkau husnul khatimah. Engkau telah menyusul anak gadis kesayanganmu. Semoga Allah menerima semua amal baikmu. Serta mengampuni semua dosa dan kesalahanmu. Kami sedih. Tapi kami harus mengikhlaskanmu.

@Bantaeng. Sabtu, 07 Agustus 2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar