Rabu, 07 Juli 2021

Ini semua tentang Pilihan (2)

Mendekati penghujung tahun 2018, persis sepulang aku dari melaksanakan ibadah haji, tahapan perdana dari manajemen talenta mulai diterapkan di instansiku. Unit eselon II di atasku memanggil nama-nama para calon talent yang sebelumnya telah disaring dengan kriteria khusus, untuk dikonfirmasi kesediaannya. Ada sekitar 13 pegawai yang namaku ada di sana. Di sisa cuti besar dalam rangka ibadah haji yang masih aku jalankan, aku dipanggil ke kantor.

“Bersedia tidak, Nama Njenengan dimasukkan sebagai salah satu talent yang siap untuk dipromosikan?” Pertanyaan tanpa basa-basi disampaikan Ibu Pejabat SDM kami waktu itu. Jika bersedia, kami harus menandatangani surat pernyataan bermeterai, yang isinya menyatakan bahwa kami akan taat dan patuh mengikuti tahapan-tahapan yang ada di sana. “Jika iya, bisa langsung tanda tangani surat pernyataan ini. Jika butuh waktu berpikir, kita tunggu sampai sore ini.”

Beberapa dari kami memilih untuk tidak mengikuti tahapan ini. Seperti apa yang aku tulis di atas, alasan keluarga menjadi bobot tertinggi atas pilihan tersebut. Aku sendiri masih agak bimbang, kuliah belum kelar, karena begitu malasnya menyelesaikan tesis. Sementara ini juga merupakan tantangan yang menarik untuk diikuti. Toh biasanya nanti pasti ada tahapan krusial yang menentukan, dimana aku masih bisa membuat keputusan exit the game. Curang. Heee..

Maka akhirnya aku memilih menerima tantangan tersebut, “ini pengalaman berharga.” Pikirku. Kemudian proses pun berjalan. Ada ujian kompetensi secara online. Aku termasuk yang lolos. Kemudian ada proses Training Development Program yang dilakukan di Pusdiklat di Jakarta selama 3 hari. Di sini aku mulai menginjak rem. Aku tak ingin tampil. Aku tak ingin terlihat. Karena aku berperan seperlunya saja dalam tahapan ini. Tidak ingin mengambil peran aktif.

Di awal tahun 2019 tibalah saat tahap penentuan itu. Seperti yang aku duga, ini gongnya dari tahapan ini. Kami semua harus melalui agenda assessment center. Ada psikotest, ada leaderless discussion group, ada pembuatan makalah dan juga presentesi dan wawancara. Fyuuh.. sepertinya aku harus menarik parasut emergency untuk exit dari game ini. Tekadku sudah bulat, aku belum siap untuk meninggalkan Yogya. Maka aku pun melaluinya dengan sangat santai.

Alhamdulillah seperti yang aku harapkan, saat pengumuman daftar nama Talent Ready Now namaku lolos dari daftar tersebut. Aku lega. Banyak teman yang kemudian berkomentar: “Kamu memang gak niat kan, kami tahu kok.” Hahaa.. aku cuma bisa tertawa menanggapi tuduhan benar mereka. Maka proses berikutnya pun  secara bertahap berjalan. Nama-nama dalam daftar tersebut mulai dipromosikan dalam periode Juni 2019 hinga Mei 2020. Selamaaaat…

Awal tahun 2020, kembali proses manajemen talenta bergulir kembali. Lagi-lagi namaku masuk kembali sabagai salah satu nominator. Sebelumnya, sempat ada seorang senior yang berkunjung ke Yogya karena keperluan dinas. Aku mengajak beberapa teman lain untuk berkumpul dan berdiskusi dengan beliau tentang peran dan tantangan karir di DJP ini ke depan. “Antum apalagi yang ditunggu? Apa selamanya akan menyembunyikan diri dan menghindari peran?”

Beraaat. Sebuat pertanyaan sekaligus pernyataan yang menohok. “Zona nyaman memang telah membelenggu kalian. Ayo keluar, instansi ini butuh peran kalian!” beberapa kalimat di akhir arahannya cukup membuatku belingsatan. Ada idealita. Ada realita. Ada pula cerita panjang, yang menari-nari di kepalaku. Ada yang menguatkanku. Ada yang melemahkanku. “Apa sih yang kita cari? Bukankah kita bekerja untuk keluarga? Terus ngapain kita jauh-jauh dari keluarga?”

Tak cukup sampai di situ. Para senior di Jakarta merancang sebuah program khusus. Para nominator talent diajak berkumpul di Jakarta. “Yo wis lah, sekalian nengok anak lanang di Jakarta.” Pikirku. Maka aku pun berangkat ke Jakarta. Sekitar 11 orang kami bertemu dan berdiskusi di sebuah gedung di bilangan Jalan TB. Simatupang. Waktu itu di awal tahun, saat pandemi belum merangsek ke negeri ini. Bismillah, mungkin kini saatnya aku harus mulai berkiprah. Setidaknya bisa kucoba.

Aku mulai mengikuti tahapan demi tahapan dengan lebih tertata. Persis seperti apa yang aku lewati di proses manajemen talenta tahun sebelumnya. Tapi semua berjalan jauh lebih cepat, hanya dalam waktu hanya sekitar 2 bulan, kami sudah berada di tahap akhir: assessment center. Seolah sudah Allah atur, bahwa pandemi kelak kemudian akan membatasi pergerakan aktifitas di negeri ini, proses uji kelayakan dan kepatutan dilakukan dalam 2 hari di Bulan Februari 2020 itu, di jakarta.

“Anak-anakmu sudah besar, Ker. Kamu sudah cukup lama di Yogya, 8 tahunan. Apalagi yang kamu tunggu?” kali ini Kepala Kantorku yang seolah “menamparku” secara personal saat  membekaliku sebelum berangkat ke Jakarta. Duuuh.. Yogya itu istimewa Paaaak. Banyak orang bermimpi pengin berkantor di sini. Masak saya harus meninggalkannya? Hatiku sesekali memberontak lagi. Tapi mengingat proses-proses sebelumnya, aku lebih bisa menerima perintah komandanku tersebut.

--- bersambung ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar