Mendekati penghujung tahun 2018, persis
sepulang aku dari melaksanakan ibadah haji, tahapan perdana dari manajemen
talenta mulai diterapkan di instansiku. Unit eselon II di atasku memanggil
nama-nama para calon talent yang sebelumnya telah disaring dengan kriteria
khusus, untuk dikonfirmasi kesediaannya. Ada sekitar 13 pegawai yang namaku ada
di sana. Di sisa cuti besar dalam rangka ibadah haji yang masih aku jalankan,
aku dipanggil ke kantor.
“Bersedia tidak, Nama Njenengan
dimasukkan sebagai salah satu talent yang siap untuk dipromosikan?” Pertanyaan
tanpa basa-basi disampaikan Ibu Pejabat SDM kami waktu itu. Jika bersedia, kami
harus menandatangani surat pernyataan bermeterai, yang isinya menyatakan bahwa
kami akan taat dan patuh mengikuti tahapan-tahapan yang ada di sana. “Jika iya,
bisa langsung tanda tangani surat pernyataan ini. Jika butuh waktu berpikir,
kita tunggu sampai sore ini.”
Beberapa dari kami memilih untuk tidak mengikuti tahapan ini. Seperti
apa yang aku tulis di atas, alasan keluarga menjadi bobot tertinggi atas
pilihan tersebut. Aku sendiri masih agak bimbang, kuliah belum kelar, karena
begitu malasnya menyelesaikan tesis. Sementara ini juga merupakan tantangan
yang menarik untuk diikuti. Toh biasanya nanti pasti ada tahapan krusial yang
menentukan, dimana aku masih bisa membuat keputusan exit the game. Curang.
Heee..
Maka akhirnya aku memilih menerima tantangan tersebut, “ini pengalaman
berharga.” Pikirku. Kemudian proses pun berjalan. Ada ujian kompetensi secara
online. Aku termasuk yang lolos. Kemudian ada proses Training Development
Program yang dilakukan di Pusdiklat di Jakarta selama 3 hari. Di sini aku mulai
menginjak rem. Aku tak ingin tampil. Aku tak ingin terlihat. Karena aku
berperan seperlunya saja dalam tahapan ini. Tidak ingin mengambil peran aktif.
Di awal tahun 2019 tibalah saat tahap penentuan itu. Seperti yang aku
duga, ini gongnya dari tahapan ini. Kami semua harus melalui agenda assessment
center. Ada psikotest, ada leaderless discussion group, ada pembuatan makalah
dan juga presentesi dan wawancara. Fyuuh.. sepertinya aku harus menarik parasut
emergency untuk exit dari game ini. Tekadku sudah bulat, aku belum siap untuk
meninggalkan Yogya. Maka aku pun melaluinya dengan sangat santai.
Alhamdulillah seperti yang aku harapkan, saat pengumuman daftar nama
Talent Ready Now namaku lolos dari daftar tersebut. Aku lega. Banyak teman yang
kemudian berkomentar: “Kamu memang gak niat kan, kami tahu kok.” Hahaa.. aku
cuma bisa tertawa menanggapi tuduhan benar mereka. Maka proses berikutnya
pun secara bertahap berjalan. Nama-nama
dalam daftar tersebut mulai dipromosikan dalam periode Juni 2019 hinga Mei
2020. Selamaaaat…
Awal tahun 2020, kembali proses manajemen talenta bergulir kembali.
Lagi-lagi namaku masuk kembali sabagai salah satu nominator. Sebelumnya, sempat
ada seorang senior yang berkunjung ke Yogya karena keperluan dinas. Aku
mengajak beberapa teman lain untuk berkumpul dan berdiskusi dengan beliau
tentang peran dan tantangan karir di DJP ini ke depan. “Antum apalagi yang
ditunggu? Apa selamanya akan menyembunyikan diri dan menghindari peran?”
Beraaat. Sebuat pertanyaan sekaligus pernyataan yang menohok. “Zona
nyaman memang telah membelenggu kalian. Ayo keluar, instansi ini butuh peran
kalian!” beberapa kalimat di akhir arahannya cukup membuatku belingsatan. Ada
idealita. Ada realita. Ada pula cerita panjang, yang menari-nari di kepalaku. Ada
yang menguatkanku. Ada yang melemahkanku. “Apa sih yang kita cari? Bukankah kita
bekerja untuk keluarga? Terus ngapain kita jauh-jauh dari keluarga?”
Tak cukup sampai di situ. Para senior di Jakarta merancang sebuah
program khusus. Para nominator talent diajak berkumpul di Jakarta. “Yo wis lah,
sekalian nengok anak lanang di Jakarta.” Pikirku. Maka aku pun berangkat ke
Jakarta. Sekitar 11 orang kami bertemu dan berdiskusi di sebuah gedung di
bilangan Jalan TB. Simatupang. Waktu itu di awal tahun, saat pandemi belum
merangsek ke negeri ini. Bismillah, mungkin kini saatnya aku harus mulai
berkiprah. Setidaknya bisa kucoba.
Aku mulai mengikuti tahapan demi tahapan dengan lebih tertata. Persis
seperti apa yang aku lewati di proses manajemen talenta tahun sebelumnya. Tapi
semua berjalan jauh lebih cepat, hanya dalam waktu hanya sekitar 2 bulan, kami
sudah berada di tahap akhir: assessment center. Seolah sudah Allah atur, bahwa
pandemi kelak kemudian akan membatasi pergerakan aktifitas di negeri ini,
proses uji kelayakan dan kepatutan dilakukan dalam 2 hari di Bulan Februari 2020
itu, di jakarta.
“Anak-anakmu sudah besar, Ker. Kamu sudah cukup lama di Yogya, 8
tahunan. Apalagi yang kamu tunggu?” kali ini Kepala Kantorku yang seolah
“menamparku” secara personal saat
membekaliku sebelum berangkat ke Jakarta. Duuuh.. Yogya itu istimewa
Paaaak. Banyak orang bermimpi pengin berkantor di sini. Masak saya harus
meninggalkannya? Hatiku sesekali memberontak lagi. Tapi mengingat proses-proses
sebelumnya, aku lebih bisa menerima perintah komandanku tersebut.
--- bersambung ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar