Rabu, 07 Juli 2021

Ini semua tentang Pilihan

Dalam rentang perjalanan hidup kita masing-masing, kita akan selalu dipertemukan dan dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Seringnya, pilihan itu harus dipilih dari dua hal yang terkadang, hampir sama-sama beratnya dari segi risiko, atau sama-sama baiknya dari segi manfaat. Sehingga agama ini mengajarkan agar kita bertanya kepada hati nurani terdalam kita, atau pada titik puncaknya kita diminta untuk istikharah meminta petunjuk kepada Dzat Yang Maha Pemberi Petunjuk.

Entah sudah berapa kali aku bertemu dengan pilihan-pilihan tesebut, yang pasti dalam perjalanan usiaku, salah satu pilihan terberat adalah ketika harus memilih antara karir atau keluarga. Ada beribu pertimbangan yang harus kupilih, sehingga pada akhirnya aku pun harus sampai di titik pencapaian seperti saat ini. Harus mengambil risiko untuk menjauh dari zona nyaman, demi sebuah nilai dan idealita, dan juga tuntutan untuk tetap bertahan atau menyerah.

Beberapa sahabat bahkan telah membuat keputusan yang bagi sebagian orang umum, mungkin dianggap sebagai sebuah langkah yang konyol. Ketika mereka dihadapkan pada kenyataan harus mutasi atau promosi ke luar daerah, meninggalkan keluarga yang notabene sebagian besar anak-anak mereka masih membutuhkan pengasuhan dan pendampingan, sementara untuk pilihan memboyong keluarga adalah pilihan yang sulit, mereka pada akhirnya lebih memilih mundur.

Bisa dibayangkan, mundur dari posisi sebagai pegawai di sebuah instansi kementerian yang bonafide, yang notabene bagi sebagian besar orang adalah merupakan impian, di saat (ada sebagian yang) karirnya sedang menanjak, tentu merupakan sebuah keputusan yang diambil atas pilihan-pilihan yang berat bukan? Tapi aku sangat memahami pilihan mereka. Pada titik itu, ada nilai dan idealita yang membentuk mereka dan menjadi prinsip hidup yang tidak bisa ditawar lagi.

“Ini tawaran terakhir, Makassar atau Yogya? Ditunggu hari ini” aku teringat dengan pertanyaan tantangan tersebut, di awal tahun 2012. Pertanyaan berat itu dilontarkan salah seorang seniorku, selepas sholat Ashar, di serambi masjid yang berada di jantung gedung-gedung perkantoran pusat instansi tempat aku bernaung. Aku bergeming. Aku lebih memilih untuk kembali ke Yogya, dalam misi mengawal dan mendampingi masa-masa krusial anak-anakku.

Maka aku kemudian tenggelam dalam pernak-pernik membersamai anak-anak dalam menyongsong pendidikan menengah dan tingginya. Selama 5 tahun sebelumnya aku cukup terbantu dengan keberadaan anak pertama dan kedua yang masuk di sekolah boarding untuk tingkat SMP nya. Maka di tingkat SMA berikutnya, karena aku ingin mereka mulai berbaur dengan komunitas yang lebih beragam, maka aku memutuskan untuk menyekolahkan mereka di sekolah umum.

Di sekitar penghujung tahun 2016, seorang eselon II yang saat itu menjabat di sebuah kantor wilayah di Padang, tetiba mengirimkan pesan via whatshapp, “Mas Keri sudah siap ikut mengemban amanah?” Duh, sebuah pilihan sulit di saat aku sedang berada di pertengahan kuliah magisterku. Dengan sopan aku mencoba menjawab, “Pangapunten Pak, saya sedang menyelesaikan kuliah S2 saya ini, Pak. Semoga tahun depan bisa selesai. Mohon doanya. Terima kasih.”

Waktu terus berlalu, peta dan perjalanan menuju kenaikan jenjang karier semakin rigid dan rumit peraturannya. Hingga kemudian era manajemen talenta menjadi tahapan yang harus dilalui seseorang yang akan naik karir, dengan persyaratan dan tahapan yang semakin detil. Dan Kementerian Keuangan khususnya Ditjen Pajak termasuk menjadi pioneer atas implementasi dari amanat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tersebut.

--- bersambung ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar