Rabu, 11 November 2009

Tiba-tiba Muncul Rindu Itu…

Tangan ini tiba-tiba bergerak ingin mengetikkan kata, ‘Yuswar Hidayatullah’ di search engine google. Tiba-tiba saja. Entah mengapa pagi ini muncul kerinduan akan wajah orang-orang yang telah lama tidak berjumpa. Meski hanya sekedar tulisan atau berita tentang mereka, cukup melegakanku. Apalagi kemudian ditemani dengan alunan nasyid Rabithahnya Izzatul Islam. Ah.. Rasanya aku juga jadi rindu dengan sang penggubah lagu dalam nasyid ini.

Benar-benar ukhuwah ini telah membuatku makin kecanduan terhadap dakwah ini. Di sini aku hampir selalu bertemu dengan orang-orang hebat yang tawadhu’. Orang-orang cerdas yang tidak angkuh. Semuanya terasa setara. Yang ada adalah suasana saling memberi dan menerima. Maka, dalam forum mana lagikah kita bisa menemukan seorang anggota DPR, wakil gubernur, bupati atau seorang ustadz kondang duduk bersama dalam satu lingkaran dengan orang-orang yang barangkali biasa-biasa saja? Selain dalam halaqoh-halaqoh dakwah ini? Rutin, pekanan, dan dalam suasana kekeluargaan. Tak perlu protokoler.

Aku jadi ingat figur seorang ustadz di sebuah pesantren di Ogan Komering Ilir Palembang dulu, Ust. Sholihin Hasibuan. Semoga Allah senantiasa merahmatinya. Letak pesantren ini jauh di luar kota Palembang. Kira-kira hampir 2 jam waktu tempuhnya dengan perjalanan yang lancar di bumi sumatera. Suatu saat, berdua dengan seorang ikhwah kami kemalaman ketika sampai di pesantren tersebut. Ada acara di pagi harinya, dan kami memutuskan untuk mabit saja di sana. Bingung. Akhirnya kami memutuskan menuju rumah ustadz ini.

Inilah ukhuwah yang tidak memandang umur. Tidak memandang kasta ilmu. Tidak memandang suku. Tidak memandang terminologi penduduk asli atau pendatang. Beliau menyambut kami dengan ceria. Dipeluknya kami satu per satu. Sempat berbasa-basi dengan kami sebentar di ruang tamu rumah beliau, kemudian beliau pamit ke belakang. Dari samping rumah kelihatan beliau menyusup di kegelapan malam. Beberapa saat kemudian telah datang dengan membawa sesuatu di tangannya.

Rupanya beliau menyempatkan keluar rumah untuk membeli santapan malam buat kami. Setelah itu pun, beliau mengantarkan kami ke ruang inap di dekat masjid. Lengkap dengan peralatan mabitnya. Semua dilakukannya dengan riang, seolah menyambut kami seperti saudara yang lama tak bersua. Kami menjadi merasa kikuk. Tapi itulah hebatnya ukhuwah yang ikatannya tak lain karena ikatan iman semata. Semua berjalan apa adanya.

Ya, forum sederhana itu memang jauh dari forum-forum lain yang mempunyai nilai prestise. Forum kecil itu memang tidak glamour. Tak perlu pamflet atau iklan untuk mengadakannya. Ikatannya hanya iman dan ukhuwah. Tak ada hura-hura di sana. Semua tampil tawadhu. Forum- inilah yang selalu aku rindukan setiap saat. Seorang ustadz di Jogja bahkan mempersiapkan pertemuan itu dengan persiapan fisik secara matang sejak dari siang harinya. Tak kan dibiarkannya fisiknya terkuras oleh kegiatan yang tidak perlu di siang harinya, agar malamnya dia bisa datang dengan fisik yang segar. Ah, aku jadi malu.

Ya, dari forum sederhana inilah lahir pribadi-pribadi yang cemerlang. Seolah di negeri dongeng. Dari forum inilah tertelorkan program dan kerja dakwah yang tak pernah kehilangan inovasi dan kreatifitas. Mengalir tak pernah henti untuk terus menyemai kebaikan bagi umat ini. Maka tak heran kemudian ketika Muasis dakwah ini menyebutnya : Antum ar ruhul jadid fi jasadil ummah. Kalian ini semangat baru, ruh baru, yang lahir di tengah umat ini.

Maka jika forum ini tak lagi kita rindukan, maka kemana lagi kita akan dapatkan ukhuwah yang indah itu? Kemana lagi akan kita dapatkan pelajaran amal jama’i yang efektif ini? Kemana lagi kita akan dapatkan komunitas yang siap menjadi kontrol dan pengawas bagi semua aktifitas kita, karena memang kita sering lemah ketika kita sendiri? Forum ini memang bukan segalanya. Tapi segalanya bisa diawali dari forum yang kecil ini, forum yang sederhana dan berkah ini. InsyaAllah

Maka dalam doa-doaku, aku mencoba sebisa mungkin menghadirkan wajah-wajah saudaraku dalam lintasan-lintasan hatiku. Semoga Allah selalu memudahkan segala urusan dan memberkahi langkah-langkahnya. Dan senantiasa mempersatukan kami semua dalam langkah-langkah di jalan dakwah ini.

Sesungguhnya Engkau tahu
bahwa hati ini tlah berpadu
berhimpun dalam naungan cinta-Mu

bertemu dalam ketaatan
bersatu dalam perjuangan
menegakkan syariat dalam kehidupan

*Kuatkanlah ikatannya
Kekalkanlah cintanya
Tunjukilah jalan-jalannya
terangilah dengan cahya-Mu
yang tiada pernah padam

Lapangkanlah dada kami
dengan karunia iman
dan indahnya tawakkal pada-Mu

Hidupkan dengan ma'rifat-Mu
matikan dalam syahid di jalan-Mu
Engkaulah pelindung dan Pembela

Ya Robbi, Bimbinglah kami.....

Mohon maaf, ini bukan taujih. Ini sekedar lintasan hati di hari yang indah ini. Aku tuliskan untuk saudaraku semua di forum yang tak kalah berkah ini, sebagai wujud cintaku untuk antum semua. Bahwa sungguh aku merindukan antum semua. Walau ada di antara kita yang belum pernah bertemu fisik sekalipun. Tapi antum semua terasa begitu dekat di hati ini.

Kita semua punya cerita dan kenangan tentang forum itu. Tentang orang-orang dalam forum itu. Tentang kerja-kerja dalam forum itu. Semua pasti mencerahkan. Maka tak salah jika kita berbagi. Maka tak salah jika kita saling memberi. Bukan untuk unjuk kelebihan, karena kita hanyalah makhluk-makhluk yang tak pernah akan bisa sempurna.

Jamsostek, 11/11/2009 : 11.00

Jadilah seperti Cinta Khadijah

Cinta khadijah, cinta yang tak tergantikan meski rasulullah memiliki sejumlah istri sepeninggal khadijah, termasuk istri yang cantik, masih gadis dan cerdas, namun tidak bisa mengganti kedudukan khadijah di hati Rasulullah saw. Ini membuktikan bahwa cinta sejati tidak mengenal usia dan kecantikan, juga tidak mengenal status gadis atau janda.

Jadilah seperti khadijah, yang bisa mengisi ruang hati rasul secara penuh, sehingga tidak ada orang yang bisa menggantinya. Kepada Para istri yg (sudah) merasa tua, tidak cantik, sehingga khawatir (bahwa) suaminya akan 'meninggalkan'nya dan tidak mencintainya lagi, maka, jadilah Anda seperti Khadijah al kubra, tidak perlu 'menuntut macam-macam' terhadap suami (seperti menuntut setia, menuntut utk selaslu mencintainya, dsb), cukuplah bersikap sebagaimana sikap Khadijah terhadap Rasulullah.

Berikanlah totalitas cintamu kepada suamimu sebagaimana Khadijah memberikan totalitas cintanya kepada Rasulullah saw. Biarlah wanita-wanita lain cemburu kepadamu sebagai mana istri Rasul yang lain yang cemburu kepada Khadijah, meski Khadijah sudah lama wafat. Karena Khadijah memberikan cinta sejati (true love), dan cinta sejati akan selalu abadi.

(tulisan mas fathur izis yang sedikit diedit dan dirapikan)

Jumat, 06 November 2009

Selalu Ada Masanya

Ingatkah dirimu
Saat hati-hati kita saling memunggungi ?
Bukan !
Bukan karena tak ada lagi saling cinta
Bahkan sesungguhnya kita saling memeluk rindu
Satu sama lain

Tahukah dirimu
Itu hanyalah bagian dari pelajaran cinta dan rindu kita?
Bahwa semua ada masanya
Ada saatnya kita harus menengok ke belakang
Sekedar menatap kembali jejak-jejak langkah
yang telah kita lalui

Tak ada episode cinta yang selalu merona
Pun tak ada episode rindu yang selalu membiru
Kadang kita butuh sedikit angin yang bertiup agak kencang
Agar bisa kembali saling bergandeng erat
Satu sama lain

Dan memang selalu begitu
Pelajaran cinta dan rindu tak selamanya datar
Pelajaran ini selalu dilengkapi dengan kejutan-kejutan
Yang kadang bahkan
tak pernah kita duga sebelumnya


Menara Jamsostek 06/11/2009 16:40

Rabu, 04 November 2009

Tentang Prasangka

Kali ini tentang prasangka. Prasangka itu pada awalnya adalah sesuatu yang netral, tapi pada galibnya dia akan menarik pemiliknya ke kutub-kutub sesuai dengan kondisi hatinya. Pada kutub negatif, dia akan menjelma menjadi buruk sangka dan pada kutub positif, dia akan mewujud dalam bentuk baik sangka. Baik sangka dengan buruk sangka memang berada pada kutub jiwa yang berlainan. Yang berseberangan.

Dahulu, pernah di keremangan cahaya malam di serambi masjidnya, Rasulullah sedang berbincang sesaat dengan salah satu istri beliau setelah istri beliau ini menjenguknya di saat i’tikaf. Sesuatu yang wajar dan biasa saja tentunya. Tiba-tiba ada dua sahabat anshar yang kebetulan hendak melewati beliau, mereka tertegun. Seolah buru-buru, mereka segera bergegas menjauhi beliau.

Sampai di sini seolah tidak ada yang istimewa. Tapi Rasulullah selalu memberikan pelajaran kepada para sahabatnya di saat yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. Maka dipanggillah kedua sahabat Beliau tadi. “Pelan-pelanlah! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai” kata Beliau. “Subhanallah ! Wahai Rasulullah. Kami tahu itu. Dan kami tadi tidak berpikir macam-macam tentang Engkau.” Begitu sahabat menjelaskan kepada Rasulullah.

Selesaikah fragmen ini? Belum. Di sinilah kemudian kita mendapatkan kecerdasan Rasulullah dalam memberikan pendidikan dan arahan kepada kita semua, umatnya. “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorang seperti mengalirnya darah. Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan.” Begitulah, Beliau memanggil kembali kedua sahabatnya untuk mendekat dan memberinya penjelasan dalam rangka menutup celah munculnya prasangka di kemudian hari.

Sangat manusiawi sekali. Bisa saja kemudian karena pengaruh bisikan setan, mereka berpikir, “Rasulullah tadi itu bersama siapa ya?” Sangat manusiawi karena rasa penasaran dan keingintahuan. Namun itu akan menggiring siapapun yang mulai berpikiran demikian untuk kemudian mulai melanjutkan jalan pikirannya dengan kalimat, “Jangan-jangan…”. Maka inilah pintu prasangka itu.

Ini bukan persoalan berandai-andai. Tapi Rasulullah telah mencontohkan tindakan preventif itu untuk menghindarkan agar seseorang terhindar dari berprasangka. Beliau sebagai pihak yang berpotensi untuk diprasangkai, segera menutup celah itu dengan menjelaskan dan mengklarifikasinya. Kedua pihak pun selamat dari tragedi syak wasangka ini. Beliau tidak dipersangkakan, sementara di pihak kedua sahabat tadi mereka selamat dari berprasangka. Penyelesaian yang indah. Kuncinya adalah komunikasi.

Terus bagaimana kalau kedua pihak ini tidak saling bersinggungan? Di sinilah seringnya kemudian muncul persoalan ini. Seseorang akan dengan mudah bisa terjerumus dalam prasangka, terlebih lagi pada buruk sangka. Ini bisa terjadi jika memang tidak ada ruang yang memungkinkan untuk menjalin komunikasi dan melakukan klarifikasi. Sementara di luar itu, terbangun berbagai kemungkinan penafsiran akan suatu kejadian tadi.

Tapi kita sebenarnya tak perlu kuatir. Al Qur’an telah jauh-jauh hari mengingatkan kepada kita untuk menjauhkan diri dari aktifitas berprasangka ini. Kata Allah dalam Surat Al Hujurat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka (dzon), karena sebagian dari berprasangka itu dosa.” Apa yang menarik dari sini? Adalah kalimat “karena sebagian dari berprasangka itu dosa”. Kenapa sebagian? Karena kita masih bisa menumbuhkan prasangka yang tidak membawa konsekuensi dosa yaitu baik sangka (khusnudzon). Sementara jika kita jatuh pada buruk sangka (su’udzon), maka kita akan mudah terjatuh pada dosa.

Selalu membangun prasangka yang baik di benak pikiran kita memang tidak mudah. Ia juga sangat berkaitan dengan kondisi hati kita. Sementara kondisi hati kita, sangat tergantung dengan kedekatan kita dengan Sang Penjaga Hati. Rasulullah mengingatkan kita bahwa kita pun sangat mungkin berprasangka dengan Sang Penjaga Hati ini. Dalam sebuah hadits qudsi Allah mengatakan, “Sesungguhnya Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku.” Maka artinya jika kita ingin agar Sang Penjaga Hati itu dekat dengan kita, maka berprasangkalah bahwa Allah itu dekat dengan kita, bahwa Allah itu selalu mengikuti setiap langkah-langkah kita.

Segala yang berkaitan dengan hati memang terkadang rumit. Karena sifat hati yang mudah berbolak-balik, maka ini pun berbengaruh pada tabiat kita dalam berprasangka. Terkadang kita sangat mudah untuk berbaik sangka. Di lain waktu, begitu mudah pula kita terjatuh pada buruk sangka. Karena itu tak salah jika kemudian kita harus selalu meminta kepada-Nya, agar meneguhkan hati kita pada agamanya dan agar selalu di atas ketaatan kepada-Nya. “Allahumma Ya Muqallibal qulub. Tsabit qalbii ‘ala diinika wa ‘ala tha’atika.”

Semoga Allah senantiasa menganugerahi kita hati yang bersih, sehingga bisa mengarahkan kita untuk selalu bisa berbaik sangka pada kehidupan di sekitar kita. Sehingga dimudahkan-Nya dan disederhanakan pula segala urusan hidup kita. Amin.

@Pancoran, finished at menara jamsostek : 03/11/2009 15:45