Selasa, 29 Juli 2008

Mencoba Menepati Janji Yang Berserak…

Pekan pertama bulan Juli kemaren adalah pekan pertama liburan sekolah anak-anak. Sejatinya saya dan istri merencanakan hendak mengajak liburan anak-anak ke Jakarta. Dan anak-anak pun bersemangat. Akan tetapi rencana itu kami putuskan untuk dibatalkan. Tiket kereta minggu-minggu ini begitu susah didapat dan yang pasti harganya lumayan mahal. Akhirnya kami sepakati untuk rihlah di obyek wisata di sekitar Jogja saja. Dan pilihannya adalah Candi Borobudur.

Sejak awal pekan itu, anak bungsu saya badannya panas. Bahkan tengah pekan itu istri saya juga mengeluh mulai panas dingin. Saya memutuskan untuk pulang Jogja pada kamis malam, karena takut terjadi apa-apa pada mereka berdua.

Jum’at pagi setiba di rumah, pagi itu juga saya mengantar anak bungsu dan istri saya ke puskesmas. Jaraknya kurang lebih 2 kiloan dari rumah. Setelah diperiksa dan diberi obat, kami bergegas pulang. Rupanya istri dan anak-anak telah membuat jadwal harian selama liburan pekan tersebut. Jadwal tersebut tertempel di pintu kamar anak-anak. Hmm, sesuai jadwal, Jum’at dan Sabtu itu semestinya agenda rihlah ke Candi Borobudur.

”Mbak, karena adik sakit jadi rihlahnya kita undur ya. Besok kalo adik sudah sehat, kita langsung berangkat.” hati-hati istri menyampaikan ke gadis kecil kami. Karena memang untuk urusan beginian, boleh dibilang dia yang paling suka ’cerewet” berkomentar. ”Ya udah. Tapi janji lho. Masak sudah gak jadi ke Jakartanya, yang ini ntar juga gak jadi lagi.” protesnya. ”InsyaAllah.”

**********

Sabtu pagi, kondisi istri sudah jauh membaik. Akan tetapi si bungsu masih panas. Tapi yang mengherankan, aktifnya tidak berkurang. Tidak seperti anak sakit yang biasanya lesu. Akhirnya pagi itu kami bawa lagi ke puskesmas dan kami minta test darah.

Pukul 10.00 kami kembali ke puskesmas untuk mengambil hasil test darah. “Bapak Ibu, hasil testnya positif thypus. Kami anjurkan untuk diopname ya. Tapi kalo tidak mau diopname, Bapak Ibu harus menandatangani surat pernyataan. Atau kalau mau dirujuk ke RS, akan kami buatkan surat rujukan” Begitu kata dokter. “Maaf Dok, kami mau bermusyawarah sebentar.” Tawar kami.

Di luar kami cukup tegang juga, kami membicarakan anak teman kami yang beberapa minggu sebelumnya pernah dirawat di puskesmas tersebut dan pada akhirnya minta dirujuk ke RS Sarjito. Akhirnya saya telepon dia untuk konfirmasi penyebabnya kenapa minta dipindah ke RS Sarjito. “Hasil testnya tidak akurat bro, lagian selama 3 hari di situ anak saya tidak diapa-apain. Malah anak stress kelihatannya.” Begitu kata teman saya di telepon.

Akhirnya kami sepakati untuk minta dirujuk ke RS Sarjito saja. Sampai rumah, kami menawar lagi ke anak-anak, “Anak-anak, ini adik tadi diminta opname sama puskesmas. Sekarang mau dibawa ke Sarjito. Nanti kalo benar-benar harus diopname, rihlahnya diundur pekan depan ya.” Sambil kami menyiapkan beberapa baju ke dalam tas. “Ya, ndak papa deh. Terserah umi” Jawab mereka kelihatan pasrah.

Dari rumah kami ke RS Sarjito kurang lebih berjarak 7KM. Di IRD RS Sarjito, setelah menunggu pendaftaran beberapa saat si bungsu mulai diperiksa. Yang saya tahu, yang menangani pasien anak-anak di sini pastinya adalah para residen/calon dokter spesialis anak yang telah senior. Dokter yang menangani si bungsu kebetulan wanita. Setelah kami jelaskan kronologisnya, kami ditanyakan beberapa hal termasuk riwayat panasnya.

Di luar dugaan kami, ternyata dokter hanya menganjurkan obat jalan. “Bu, ini nanti kami beri resep untuk obat jalan saja. Tidak perlu diopname. Tapi kalo sampai hari senin nanti masih panas, mohon segera dibawa kembali ke sini ya.” Pesan dokter tersebut. Akhirnya drama ketegangan hari itu mulai menurun. ”Alhamdulillah dek, kamu gak jadi diopname.” kata istri saya kepada si bungsu.

Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit dan apotek setelah beli obat sebelumnya, waktu telah menunjukkan sekitar jam 14.00. Saya sampaikan ke istri, ”Dek, kalo bisa janji ke anak-anak jangan sampai tidak jadi lagi. Takut jadi preseden buruk aja. Takut mereka tidak lagi percaya dengan kita.” Istri akhirnya mengiyakan perkataan saya.

”Mi, gimana jadi gak rihlahnya?” tanya anak-anak setelah kami sampai di rumah. ”Tanya abi tuh..” Kata istri saya. Anak-anak hanya melihat ke arah saya. ”Ya, jadi” jawab saya singkat. ”Nanti ba’da ashar kita berangkat.” lanjut saya.

Sesaat kemudian kami sibuk berkemas. Membawa bekal dan baju secukupnya. Kami berencana mencari penginapan yang murah di sekitar sana. Ini juga bagian janji yang kami sepakati dengan anak-anak, yang tentunya harus kami tepati juga.

**********

Berenam (saya, istri, tiga anak beserta khadimat) kami berangkat sore itu. Perjalanan ke Candi Borobudur ternyata cukup lama karena ada titik-titik yang lalu lintasnya padat merayap. Menjelang lokasi, ada seorang sahabat lama yang menelepon ke hp. Karena saya di depan kemudi tadinya panggilan itu hendak saya abaikan. Tapi istri segera mengangkatnya dan menempelkan hp ke telinga saya. Jadilah saya berbincang dengannya sambil mengemudi.

Dia adalah salah satu sahabat terbaik saya. Banyak cerita dan kenangan kami buat bersama. Jika ada kesempatan ingin saya menuliskannya. Boleh dibilang sangat jarang sekali kami bisa bertemu. Yang saya ingat, setelah lulus kuliah saya tahun 1997, kami hanya bertemu dalam 5 momen : (1) waktu pernikahan saya di Semarang, (2) waktu awal-awal saya pindah ke Jogja (dia sempat berkunjung ke kontrakan saya di Pogung Lor hanya saya lupa atas keperluan apa waktu itu), (3) waktu pernikahan dia di Bantul, (4) waktu kelahiran anak pertamanya di Queen Latifa. Terakhir adalah momen lebaran kemaren.

Menjelang pintu parkir ada kesibukan tersendiri. Atas inisiatif istri hp sementara dimatikan, karena keperluan saya dengan petugas pintu masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Batas akhir penutupan tiket masuk ke candi borobudur 15 menit lagi. Lewat pengeras suara, petugas memberitahukan kepada pengunjung yang baru datang untuk segera ke loket pembelian tiket masuk.

Karena hari telah sore menjelang maghrib, akhirnya kami putuskan untuk mencari penginapan terlebih dahulu. Ke candinya besok pagi saja.

Perjalanan mencari penginapan yang representatif menjadi perjuangan tersendiri. Penginapan yang kami telepon pertama kali menginformasikan bahwa malam itu telah full booking karena malam itu kebetulan ada pementasan sendra tari di halaman candi sehingga banyak wisatawan berdatangan.

Kami terus berputar dengan kendaraan dari satu penginapan ke penginapan di sekitar candi. Dan semuanya telah penuh dibooking. Tak terasa telah jauh dari lingkaran candi. ”Kalo ndak dapat penginapan kita pulang saja ya.” kata istri. ”Ya ndak lah, kita sekarang cari saja ke Magelang. Penginapan yang biasa dipakai pegawai BPK kalo lagi audit ada kan?” kata saya. Kami melaju ke arah Magelang, hari memasuki waktu sholat maghrib.

Perjalanan semakin sore semakin macet saja. Kendaraan hanya bisa merayap pelan. Sekitar pukul 18.00 kami sampai di penginapan yang dituju, sebuah penginapan menjelang ’kota’ Magelang. ”Wah, maaf mbak. Sudah penuh juga di sini.” petugas di penginapan itu memberitahukan kepada kami. Shock juga kami mendengar jawaban tersebut. Kami akhirnya istirahat dulu beberapa saat.

”Mbak, ada 4 kamar kosong sebenarnya. Tapi tidak pakai AC. Kalau mau, akan kami persiapkan dahulu.” seorang petugas mendekati kami. ”Oh, ya mas. Ndak papa.” jawab saya. ”Berapa kamar?”. ”Dua kamar saja mas.” Jawab kami. Alhamdulillah, akhirnya dapat juga tempat menginap.

Sambil menunggu, kami bergegas menunaikan sholat maghrib di mushola penginapan tersebut. Akhirnya malam itu kami menginap di penginapan tersebut.

**********

Pagi-pagi sekali kami sudah bangun. Karena kemaren tidak sempat belanja bekal yang memadai, saya dan istri dan si bungsu berangkat ke pasar. Sementara anak pertama dan kedua dengan diawasi khadimat berenang di halaman penginapan. Si bungsu sebenarnya ingin ikut berenang, tapi karena masih agak panas tubuhnya jadinya kami larang.

Sepulang dari pasar, si bungsu terus memaksa ingin mencebur ke kolam. Karena merengek terus, akhirnya saya kabulkan keinginannya. Paling kuat hanya beberapa menit, pikir saya. Masih memakai baju dan kaos dalam, si bungsu saya tuntun masuk ke kolam yang terdangkal. Seperti dugaan saya. Baru beberapa menit, sudah mengajak naik.

Setelah berbenah, sarapan pagi, dan menyelesaikan persoalan administrasi di penginapan, kurang lebih pukul 09.00 kami berangkat kembali ke Candi Borobudur. Alhamdulillah, perjalanan pagi itu begitu lancar. Kurang dari satu jam kami telah sampai di pelataran candi borobudur.

Menuju puncak candi borobudur sambil mengawasi anak-anak di tengah berjubelnya pengunjung, cukup membuat kami kerepotan. Beberapa saat sesampai di atas kami gunakan untuk istirahat sambil menikmati pemandangan candi dan alam sekitar. Ya, tujuan kami membawa anak-anak rihlah ke sini salah satunya adalah mengenalkan mereka dengan monumen budaya bangsa dan alam sekitar.

Puas menikmati suasana di atas candi, kami menuruni candi dari sebelah utara. Di bawah telah menanti gajah-gajah yang siap disewakan untuk dinaiki dalam satu putaran kecil. Si bungsu dan kakak perempuannya mengangguk ketika oleh istri ditawarkan untuk naik gajah tersebut. Ditemani istri, mereka berdua mengendarai gajah tersebut. Alhamdulillah, senang saja melihat mereka bergembira.

Selesai itu, waktu telah menjelang tengah hari. Kami putuskan untuk segera pulang. Sore hari ini saya harus kembali ke Jakarta. Rutinitas pekanan yang makin lama terasa makin menguras tenaga dan pikiran juga.

Alhamdulillah, janji yang sempat terucap ke anak-anak telah dapat kami penuhi. Meskipun harus sedikit berpayah-payah, semoga ini menjadi wahana pembelajaran bagi mereka kelak. Saya membayangkan, sesampai di kereta nanti langsung tidur. Semoga bisa....

**********

Di kereta...

Kereta senja malam itu begitu penuh. Kami bertiga. Saya mengalah untuk duduk terpisah. Di samping saya seorang ibu-ibu dengan bawaan seabrek di depan kami. Duh, saya tidak bisa istirahat total nih. Benar saja, semalaman saya tidak bisa tidur. Padahal kepala mulai terasa panas...

**********

Di Jakarta...

Pekan ini terasa berat. Hampir satu pekan terkapar. Flu dan demam menemani setia hari-hari di sini. Saya hanya ingat perkataan Rasulullah, ”La ba’tsa. Thahurun insyaAllah.” (Tidak mengapa. (Sakit ini) membersihkan dosa, jika Allah ijinkan)

Jumat, 25 Juli 2008

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Terakhir)

Karena Rasa Aman itu Mahal

Yogyakarta….

Kurang lebih dua pekan yang lalu, saya mengantar istri membeli sesuatu yang sebelumnya telah saya janjikan melalui telepon, sebagai hadiah buatnya. Sengaja saya tidak membelikan langsung karena sering kali hasilnya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dia inginkan. Karenanya saya lebih memilih agar dia sendiri yang menentukan pilihannya.

Selesai dengan keperluan kami, bergegas kami kembali ke kendaraan. Tiba-tiba ada seorang ibu yang mendekati saya. Dengan sedikit memelas dia mengutarakan maksudnya, “Nak, bisa minta tolong dismskan ke anak saya. Tolong pesankan padanya bahwa saya telah di Jalan Magelang. Ini nomor hp anak saya.”

Entahlah. Yang pasti di kota ini, hati saya merasa tenang untuk mengiyakan permintaannya. “Oh silakan bu. Atau ibu bicara langsung saja ya dengan anak ibu. Ini saya teleponkan.” Saya ambil sobekan kertas kecil dari tangannya untuk kemudian menghubungi nomor yang tertulis di sana. Setelah tersambung, saya sodorkan hp saya kepada sang ibu tadi untuk kemudian dia mulai berbicara dengan anaknya di ujung sana.

“Terima kasih nak ya” Ucapnya denga muka penuh kelegaan. “Sama-sama bu, semoga bisa membantu.” Segera saya melangkah menuju kendaraan. Alhamdulillah, lega hati saya bisa memberi sedikit kemudahan bagi ibu tadi.

Jakarta….

Hari-hari pertama kembali menghirup udara kota Jakarta dan merasakan hiruk pikuk dan panasnya suasana keseharian, terus terang membuat saya sedikit paranoid. Dalam benak saya, telah menggumpal persepsi bahwa Jakarta bukan kota yang ramah. Kejahatan telah menjelma dengan berbagai bentuknya.

Di sebuah perempatan besar di daerah Slipi ketika saya menjejakkan kaki dari atas bis untuk kemudian menunggu bis jurusan selanjutnya, tiba-tiba seorang laki-laki mendekati saya dan mencolek saya, ”Mas, ada uang kecil. Saya kehabisan uang. Tolong.” katanya agak pelan.

Refleks tubuh saya menjauh darinya. ”Maaf, gak ada Mas..” Bergegas saya menuju bis yang saya tunggu yang kebetulan telah berhenti di depan saya. Berbagai pikiran buruk menjejali benak saya. Jangan-jangan kalo saya keluarkan dompet nanti dia akan merebutnya. Jangan-jangan dia hanya berpura-pura minta bantuan. Ah, itulah bagian dari keparanoidan saya.

Di suatu siang, saya berjalan di salah satu ruas jalan di perempatan Pancoran. Saat berjalan, dari arah depan saya ada seorang laki-laki yang menghentikan saya. ”Bang, bisa minta uang receh. Buat ongkos bang.” Lagi-lagi cerita-cerita sisi buruk ibu kota yang begitu sering saya dengar, membuat mulut saya akhirnya berucap, ”Maaf, tidak ada.” Dingin.

Yah. Saya merasakan bahwa hidup dalam komunitas di Jakarta ini harus selalu dalam kewaspadaan. Betapa rasa aman terasa begitu mahal di sini, setidaknya bagi saya. Sehinggal dalam beberapa hal, sering kali buruk sangka tiba-tiba lebih dulu muncul dari hati terdalam saya. Saya hanya bisa beristighfar kepada Allah jika telah demikian.

Saya hanya teringat cerita akan seorang Khalifah Umar bin Khathab. Waktu itu ada utusan dari Persia yang hendak menghadapnya. Setelah dicari ke rumah Beliau dan ke Masjid ternyata mereka tidak menemuinya, mereka mendatangi sebuah pohon di luar kota Madinah, ternyata beliau berada di situ. Beliau tertidur di bawah pohon itu.

Utusan Persia ini tercengang dan semakin takut. Mereka membangunkan Umar. Ketika beliau bangun, beliau bertanya: “Siapa ini ?” Mereka mengatakan: “Ini adalah Hurmuzan dan rombongannya, datang untuk berunding dengan anda, wahai Amirul Mukminin.” Orang Persia tersebut berkata: “Anda telah berhukum dengan adil sehingga anda merasa aman dan bisa tidur.”

Kesimpulan saya, rasa aman inilah yang kemudian membuat seseorang merasa tenang untuk melakukan segala aktifitas.

Tarbiyah....

Dalam proses dan komunitas tarbiyah pun dibutuhkan rasa aman ini. Para anggota halaqoh berhak mendapatkan rasa aman dalam halaqohnya. Baik dia mutarabbi maupun murabbi sekalipun. Rasa aman ini membawa kepada ketenangan. Ketika rasa aman dan tenang ini telah terbentuk, niscaya kerja-kerja amal bisa mereka optimalkan.

Ini semua akan terwujud salah satunya adalah dengan menumbuhkan sikap saling percaya di antara mereka. Ya, iklim saling mempercayai. Sehingga tidak ada peluang tumbuhnya perasaan ghill/dengki di antara hati-hati mereka, sebagaimana doa para sahabat yang Allah abadikan dalam QS Al Hasyr : 10 :

”Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

Jadi kenapa kepercayaan itu harus ditumbuhkan?

Karena darinya akan tumbuh rasa aman dan ketenangan. Karena dengannya akan muncul suasana saling menyayangi dan menghargai. Jika ingin tarbiyah ini menjadi kebutuhan dalam tiap diri anggota halaqoh, maka tumbuhkan kepercayaan di sana...!

Semoga. Selamat berpekan tarbiyah. Semoga kita bisa mewarisi ruh dan semangat dakwah yang ditinggalkan salah satu syekh kita, ustadz Rahmat Abdullah.

Tiada Kemuliaan Tanpa Islam

Umar bin Khaththab semoga Allah meridloinya mengatakan: “Kita adalah umat yang telah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berikan kemuliaan dengan Islam, maka bagaimanapun cara kita mencari kemuliaan tanpa Islam maka Allah akan tetap menjadikannya sebagai kehinaan.”

Kapan Umar mengatakan ungkapan ini ? Kapan Umar menyusun perkataan ini?

Umar mengatakan ini pada moment yang agung dan pada satu periode yang mulia dalam Islam. Beliau mengatakan ini ketika beliau berangkat untuk membuka Baitul Maqdis, untuk mengambil kunci-kunci Baitul maqdis yang telah kita abaikan karena kita mengabaikan Islam.

Umar berangkat ke sana untuk mengambil kunci-kunci Baitul Maqdis. Kemudian orang-orang Nashara mendengar kedatangan Umar yang namanya telah menguncang dunia, yang jika nama Umar disebut di majlis Kisra dan Kaisar, maka kedua raja ini hampir pingsan mendengarnya, karena takut.

Umar yang tidur di pelepah kurma, tetapi hati para taghut yang berada di atas singgasana ketakutan. Umar yang hanya makan gandum, tetapi para bangsawan yang memiliki emas dan perak gemetar jika melihatnya. Umar yang jika berjalan di suatu jalan, maka syetan akan memilih jalan lain. Umar yang sudah dikenal di kalangan muslimin Melayu, India, Iraq, Sudan, Andalus, dan akan dikenal dunia.

Ketika orang-orang Nashara mendengar Umar akan datang untuk mengambil kunci-kunci Baitul Maqdis, mereka keluar dengan jumlah yang sangat besar. Para wanita keluar di atap-atap rumah, anak-anak keluar di berbagai jalan dan gang.

Sedangkan pasukan kaum muslimin yang dipimpin oleh tiga panglima, mereka kaluar dalam konvoi pasukan yang belum pernah didengar dunia.

Bagaimana pengawal yang mengiringi Umar yang akan mengambil kunci-kunci Baitul Maqdis ?

Tidak ada iring-iringan yang mengawal ! Orang-orang mengira beliau akan datang dengan para pembesar shahabat, para pembesar Anshar dan Muhajirin dari para ulama dan orang-orang shalehnya, tetapi beliau datang hanya dengan mengendarai satu unta dan ditemani seorang pembantunya. Kadang Umar yang menuntun unta dan pembantunya naik dan kadang Umar yang naik unta dan pembantunya yang menuntun !

Ketika mendekati Baitul Maqdis, para pejabat muslimin bertanya-tanya:
“Siapa itu ? Mungkin salah saeorang tentara yang memberi tahu kedatangan Amirul Mukminin.

Ketika pasukan itu mendekat, ternyata orang tersebut adalah Umar bin Khaththab ! Ketika beliau sampai di Baitul Maqdis, tiba giliran beliau menuntun unta dan pembantunya yang berada di atas unta.

Amr bin Ash mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, orang-orang menanti kehadiran anda, penghuni dunia keluar untuk menyambut kehadiran anda dan orang-orang mendengar tentang anda tetapi anda datang dengan penampilan seperti ini ?”

Kemudian Umar mengatakan perkataannya yang sangat terkenal, yang tetap diingat sepanjang masa: “Kita adalah umat yang telah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berikan kemuliaan dengan Islam, maka bagaimanapun juga jika kita mencari kejayaan dengan yang lain, maka Allah akan memberikan kehinaan kepada kita.”

Kita membangun peradaban kita dari nol dengan satu modal; Laa ilaaha illallaah.

Pasukan Umar bin Khaththab keluar dengan 30.000 orang yang bertauhid.

Setiap orang yang bertauhid sama dengan 3 juta tentara dunia sekarang. Mereka keluar untuk berperang melawan Persia, berperang untuk melawan Kisra yang kafir dan sesat. Ketika mereka tiba di Qadisiyah, Kisra ingin melakukan perundingan dengan Umar karena takut mati. Maka ia mengutus Hurmuzan -salah seorang menterinya- untuk mendatangi Madinah Nabawiyah kota Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam untuk duduk bersama Umar Al Faruq di meja perundingan.

Utusan tersebut keluar dengan rombongan yang besar untuk menemui Umar,dengan hati yang hampir robek karena takut…Mengapa? Karena dia ragu-ragu. Bagaimana ia akan bicara dengan Umar bin Khaththab ? Apakah ia akan berbicara secara langsung atau melalui perantara ? Apakah ia akan duduk bersama di atas tanah ? Apakah ia dapat melihat Umar secara langsung tanpa alat dan pengeras suara ?

Maka ia memakai perhiasan, sutra, emas dan perak. Ia menembus jalan dari Iraq menuju Madinah.

Ketika ia masuk Madinah, ia bertanya: “Dimana istana Khalifah Umar?”
Para shahabat mengatakan: “Umar tidak punya istana.”

Ia bertanya: “Bagaimana ia memimpin kalian ?”
Mereka berkata: “Beliau memimpin kami di atas tanah.”

Ia bertanya: “Di mana rumahnya ? Apakah rumahnya memiliki keistimewaan ?”
Mereka menjawab: “ Rumahnya seperti rumah kita.”

Ia berkata: “Tolong tunjukkan pada saya rumahnya.”
Mereka berangkat dan berjalan di gang-gang kota Madinah yang sempit, hingga mereka sampai di sebuah rumah yang kecil miskin yang hanya dibangun dari tanah biasa.

Ia bertanya: “Apakah ini rumahnya ?”
Mereka mengatakan: “Ya”
Ia bertambah takut dan gemetar, ia bertanya: “Apakah ini rumahnya ?”
Mereka mengatakan: “Kita akan tanya keluarganya”

Kemudian mereka mengetuk pintu rumah. Putranya keluar, mereka bertanya: “Apakah Amirul Mukminin ada di rumah ?”
Beliau menjawab: “Beliau sedang tidak di rumah, silahkan anda cari di masjid “

Kantor, istana dan tempat duduknya di masjid. Utusan ini segera berangkat ke masjid. Anak-anak berjalan di belakang utusan, beberapa wanita melihat dari atap rumah dan dari balik pintu, untuk melihat orang yang datang dengan sutra dan emas yang bersinar karena pantulan sinar matahari.

Utusan tersebut mencari Umar. Mereka pergi dan memasuki masjid, mengamati orang-orang yang tidur -karena beliau tidur di masjid- maka mereka tidak menemukan. Mereka mengatakan: “Kita cari di tempat lain. Maka mereka mencari lagi.

Mereka mendatangi sebuah pohon di luar kota Madinah, ternyata beliau berada di situ. Beliau tertidur di bawah pohon.

Utusan Persia ini tercengang dan semakin takut.

Mereka membangunkan Umar. Ketika beliau bangun, beliau bertanya: “Siapa ini ?”

Mereka mengatakan: “Ini adalah Hurmuzan dan rombongannya, datang untuk berunding dengan anda, wahai Amirul Mukminin.”

Orang Persia tersebut berkata: “Anda telah berhukum dengan adil sehingga anda merasa aman dan bisa tidur.”

Jadi kita adalah umat yang telah Allah berikan kejayaan dengan Islam, maka jika kita mencari kejayaan dengan selain Islam, Allah akan memberikan kehinaan kepada kita.

Pada saat kita mencari kejayaan dengan pakaian dan penampilan, bukan dengan agama, maka Allah akan memberikan kehinaan kepada kita.

Pada saat kita merasa bangga dengan rumah dan istana, maka Allah akan memberikan kehinaan kepada kita.

Pada saat kita merasa bangga dengan berbagai kendaraan, kakayaan dam makanan dan merasa bangga dengan Islam maka Allah akan memberikan kehinaan kepada kita. Karena kita adalah umat yang telah Allah berikan kejayaan dengan Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain Islam Allah akan memberikan kehinaan kepada kita.

Mengapa kita tidak merasa bangga, wahai para pemuda dan orang tua, mengapa kita tidak merasa bangga dengan Islam ?

Ya… ada di tengah-tengah kita, orang yang tidak ingin masuk lebih dalam pada agama. Dia ingin Islam yang biasa-biasa saja, shalat dan puasa saja.

Sedangkan dakwah dan istiqamah adalah sesuatu yang dia tidak inginkan. Mengapa ?

Karena zionisme internasional telah menamakan para da’i dengan istilah fundamentalis dan berbagai istilah menakutkan lainnya…maka orang-orang yang kurang wawasan, sedikit pengetahuan dan lemah mental (imannya) merasa berat jika dikatakan seperti itu.

Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa membagi manusia menjadi dua bagian, Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman, yang artinya :

“Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir) ? Mengapa kamu (berbuat demikian) bagaimanakah kamu mengambil keputusan” (QS Al Qalam: 35-36)

Pilihannya hanya satu dari dua, muslim atau mujrim (orang yang berbuat dosa)… orang yang baik atau jelek… sesat atau dapat petunjuk… shaleh atau merusak… taat atau ma’siyat. Tidak ada pilihan ketiga.

“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi ? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat ?” (QS Shaad ayat 28)

Saran kita bagi setiap orang biasa yang ingin hidup biasa dalam Islam agar bergabung dengan para wali Allah, orang-orang pilihan, orang-orang yang istiqamah, karena agamawan dalam Islam tidak sama dengan agamawan dalam Nashrani.. tidak..pilihan kita hanya satu, menjadi orang yang istiqamah sukses bahagian atau sesat bodoh dan gagal dalam hidup.

Dalam agama kita hanya ada satu pilihan, menjadi orang yang baik, bertaqwa, wara’ (hati-hati) dan menghadapkan diri kepada Allah atau menjadi orang yang celaka, lalai, sesat yang akan dikembalikan ke neraka yang menyala-nyala.

Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:

“Demikianlah Kami (Allah) jadikan kalian umat wasath (pertengahan)”. (QS Al Baqarah 143)

Betapa indah ungkapan wasath (pertengahan). Apa yang dimaksud dengan wasath ? Banyak dari para ahli tafsir yang mengatakan bahwa maksudnya adalah umat pilihan. Sebagian yang lain mengatakan maksudnya: pertengahan dalam segala sesuatu.”

Kedua makna ini benar. Alhamdulillah kita ini umat Islam memiliki aqidah pertengahan. Kita tidak hidup tanpa aqidah seperti orang-orang yang tidak punya pegangan. Kita tidak hidup dengan hati kosong, jiwa kosong, tetapi kita punya aqidah. Namun kita juga bukan yang berlebihan dalam beribadah sampai-sampai menyembah segala sesuatu, menyembah batu, pohon, bintang, bulan, sapi, harta, pakaian…tidak…tetapi kita beribadah kepada Dzat yang memang berhak dijadikan tujuan ibadah.

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu”.(QS Muhammad: 19)

[pks-anz.org]

Kamis, 24 Juli 2008

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Part 4)

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Part 4)

Minggu ini kondisi fisik benar-benar agak teler. Selasa malam saya paksakan untuk hadir dalam pertemuan pekanan kami. Bersyukur acara pukul 22.30 sudah selesai. Akan tetapi pagi tadi, hidung makin mampet dan terasa panas. Kepala juga semakin tidak nyaman. Suara terdengar sengau dan sedikit bindheng. Tubuh pun panas dingin.

Ba’da Subuh ada teman satu liqo yang datang ke kost. Mengobrol beberapa saat, sekitar pukul 06.15 dia beranjak pulang. Saya paksakan untuk berangkat kantor, karena ada beberapa berkas yang harus segera disentuh. Mempertimbangkan kondisi fisik dan suara yang tidak prima, saya kirim email ke salah satu binaan saya :

”Akh, antum buku materi/madah tarbiyah?
Tolong nanti malam antum bedah materi "Mahabatullah" ya...
Antum bisa mencari pengayaan dari internet misal
Dicetak dan diperbanyak sekalian ya...

Nanti setelah itu kita diskusikan
Suara saya sedang bariton nih... flu gak habis-habis

Jazakallah...”

Sengaja saya memilih dia karena bagi saya penugasan seperti ini bisa dengan melihat latar belakang dia sebelumnya. Dia sewaktu SMA aktifitas telah banyak bersinggungan dengan dakwah, aktif di rohis dan pernah menjabat sebagai ketua di salah satu periodenya. Kebetulan saat ini sedang proses menikah, harapan saya dengan dia yang memaparkan dan mendalami materi tersebut bisa lebih memantabkan pemahaman karena ada pada saat momen yang tepat, setidaknya itu pertimbangan saya.

Pukul 10.45 akhirnya setelah membuat beberapa surat permintaan data, saya putuskan pulang sebentar ke kost sekedar merebahkan badan. Hawa dingin di ruangan membuat tubuh terasa tidak karuan.

Beberapa saat di kamar kost, terdengar nada sms masuk di hp. Rupanya juga dari binaan di Jogja dulu. Anak sastra UGM. Sekarang sudah kembali ke Semarang. Anaknya memang energik. Mobilitasnya luar biasa. Selepas dari UGM, bersama teman-temannya dia membuat sebuah lembaga pengembangan SDM dan diberinya nama Vista Development Centre. Di sana dia menjadi salah satu trainernya.

”Assalamualaikum. Bro, pa kabar? Mlm ini ane ke jkrta, ada acara di JIC... Eh, subhanallah, ta’aruf ***** berakhir, pihak ortu akhwat berubah pikiran, utk menunggu koas slesai. Oleh krn itu, lbh baik brakhir meski peluang msih terbuka dan harapan itu masih ada. Ada solusi? Hehe, tetap semangat. Jazakallah khoiron.” Tulisnya di sms.

Meski saya tidak lagi membersamai di halaqohnya, anak ini hampir selalu kirim kabar. Beberapa kali jika ada acara di Jakarta dia sempatkan main atau menginap di kost saya. Bahkan pernah mampir ke kantor. Termasuk proses pencarian jodohnya pun, tak lupa diceritakannya ke saya tiap ada perkembangannya.

Saya tidak menawarkan solusi yang jitu ke dia sebagai jawaban smsnya. Hanya saya doakan bahwa apapun keputusan yang dia ambil, semoga itu menjadi yang terbaik baginya. Satu atau dua bulan yang lalu saat berkesempatan ke Jogja, dia minta ijin untuk silaturahim ke rumah. Pada saat itu telah dia ceritakan semua prosesnya. Dan sekarang adalah bagian dari rangkaian proses tersebut, meskipun pada akhirnya keputusannya adalah untuk mengakhiri proses tersebut.

Saling menceritakan keadaan kita. Saling berbagi kabar. Saling menyapa meski sekedar sms atau email. Ternyata bisa membangun kedekatan hati. Kedekatan hati itulah salah satu wasilah yang kemudian akan menumbuhkan kepercayaan. Selanjutnya, terserah anda. Semoga....

Menara Jamsostek, 16.20 : 23/07/2008
Saat sekeping hati itu begitu dirindukan...

Selasa, 22 Juli 2008

Kenapa Harus yang Mahal….?

Kenapa Harus yang Mahal….?

Senin malam setelah malam sebelumnya menghabiskan malam di dalam kereta, seringkali ustadz saya meminta untuk menggantikan beliau mengisi halaqohnya. Karenanya saya mestinya harus dalam keadaan fit…

Selasa malam adalah agenda pekanan saya dengan teman-teman di Pancoran. Sering membahas agenda hingga jauh malam. Untuk inipun fisik saya harus prima agar mampu mengikutinya dengan optimal…

Rabu malam adalah agenda pekanan saya dengan mutarobbi. Saatnya berbagi dengan mereka. Saya selalu mengatakan di depan mereka bahwa bertemu mereka, melihat senyum-senyum mereka, memberikan kekuatan yang luar biasa bagi saya. Karena saya pun harus dalam kondisi fisik yang segar...

Kamis malam relatif tidak ada agenda. Biasanya saya suka membawa pekerjaan kantor untuk dilembur di kost dengan meminjam laptop kantor. Jika pun tidak sedang mood, biasanya saya gunakan untuk mengobrol dengan teman kost yang lain, sekedar saling menghibur satu sama lain, atau membicarakan agenda pertiketan beberapa pekan ke depan.

Senin sampai dengan Jumat, siang harinya sudah tentu waktu habis di kantor. Belum jika harus verifikasi lapangan untuk PBB, tentu ini cukup menguras tenaga. Karenanya kondisi fisik memang harus benar-benar dijaga...

Jumat malam adalah perjalanan di kereta kerinduan (begitu Ust. Ragil menyebutnya), meskipun bisa tertidur, tidur dalam perjalanan tetaplah melelahkan.

Sabtu sampai dengan Ahad adalah waktu untuk keluarga. Banyak agenda sabtu ahad yang cukup melelahkan. Menemani anak-anak bersepeda ria. Mengantar dan menjemput anak sekolah. Mengantar dan menjemput istri mengaji maupun mengisi liqo. Belum agenda sya’bi dadakan lainnya. Kerja bakti, arisan RT, arisan DPRa, rapat takmir masjid. Maka, fisik harus benar-benar dalam kondisi terbaik...

Sabtu malam ada halaqoh yang mesti dikunjungi. Dan malamnya disambung dengan piket ronda. Mengingat dan menimbang keterbatasan waktu dan fisik saya, saya meminta dengan ikhwah di kampung saya untuk berbagi dalam mengisi liqoat tersebut. Jika pekan ini saya mengisi halaqoh tersebut, maka pekan berikutnya dia yang giliran. Begitu seterusnya. Dan untuk ronda pun saya selang seling, jika malam itu saya mengisi halaqoh, maka saya tidak datang ronda. Sebaliknya, jika malam tersebut saya tidak mengisi halaqoh, maka saya berusaha untuk datang ronda. Melelahkan memang, karenanya fisik mesti diperhatikan...

Ahad malam, kembali kepada perjalanan kereta yang sekali lagi meski kita bisa tertidur, perjalanan tersebut tetaplah perjalanan yang melelahkan. Apalagi jika tidak bisa tidur, alamat fisik bakalan drop. Padahal rentetan kegiatan di atas, kembali telah menanti. Karenanya mestinya fisik dalam kondisi yang yang baik...

Karenanya... jika saya harus memakai jasa perjalanan yang sedikit mahal, tentu ada maksudnya. Bukan sekedar gagah-gagahan. Bukan untuk sesuatu yang mubadzir insyaAllah. Karena diri kita sendiri yang bisa mengukur kekuatan tubuh kita. Semoga Allah memberikan kemudahan dan kekuatan kepada kita semua.

Jadi, kenapa harus mahal? Karena ada sekian alasan yang bisa kita berikan untuk menjawab itu semua.

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Part 3)

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Part 3)

Pulang dari kantor senin kemaren sesampai di kost, masih tersisa pening di kepala serta hidung meler dan mampet. Sepertinya dampak dari aktifitas akhir pekan di Jogja sebelumnya ditambah perjalanan kereta pada malam harinya. Ingin sekali segera merebahkan tubuh. Saya keluarkan hp dari tas, biasanya jam-jam begini istri atau anak-anak sering miskol. Ada 2 kali miskol, ternyata dari ustadz saya. Dengan pertimbangan beliau sedang muskernas di Makasar, saya hanya sms balik “Afwan ustadz, tadi ana di perjalanan”.

Sesaat kemudian adzan Maghrib telah berkumandang. Belum sempat mandi, segera kami tunaikan sholat Maghrib berjamaah di masjid jami’ dekat kost bersama 2 teman saya, rombongan kereta dari Jogja juga. Dan seperti biasa, ba’da sholat kami langsung jalan bersama untuk makan malam. Malam kemaren kami ingin menu yang agak spesial, karena kondisi fisik agak drop, maka kami memutuskan untuk mencari sop iga. Biar segar katanya. Jadilah kami menuju sebuah tempat makan di daerah kalibata. Cukup jauh dari kost, harus berjalan kaki dulu 500-an meter kemudian naik angkot Rp. 2000,- Tidak mengapa.

Ternyata saya salah membawa hp. Hp cdma fren yang saya bawa, sementara yang gsm tertinggal di kost. Saya sudah menduga, pasti akan ada yang miskol. Sesampai di kost sehabis makan, saya perhatikan di layar hp ada 6 kali miskol. Dari ustadz saya ! Merasa tidak enak, langsung saya telepon balik. “Afwan lagi ustadz, tadi hp tertinggal di kamar kost. Ana tadi makan malam dulu.” Sebelum beliau menanyakan, langsung saya berikan penjelasan tersebut. Karena ini bukan kejadian yang pertama kali...!

“Iya, ndak papa. Ini akh, malam ini kan ada liqo di rumah saya. Tadi sih sudah saya minta untuk diskusi karena saya hubungi antum gak masuk-masuk. Antum kalau sempat tolong ditengokin ya” begitu kata beliau. “InsyaAllah ustadz, nanti ana sempatkan” jawab saya singkat.

Belum sempat saya beranjak, “Assalamu’alaikum..” salah seorang mutarobbi saya tiba-tiba nongol di depan pintu kost. “Sakit tho Pak?” tanyanya. “Ndak kok akh, cuma sedikit pusing dan pilek” Ya, saya teringat malam itu ada salah satu teman di halaqoh kami yang mengaqiqahi anaknya. Dan kami telah berjanji untuk datang ke sana. “Teman-teman ke sini juga?” tanya saya. ”Nggak pak, mereka menunggu di depan alfamart.”

Sejatinya, dalam hati tadi saya ada rencana untuk minta ijin dan mempersilakan mereka untuk hadir di aqiqahan tersebut. Tetapi melihat semangat mereka, tidak tega saya untuk memupusnya. Akhirnya saya kenakan jaket, bergegas kami menemui teman-teman yang lain untuk kemudian menuju rumah kontrakan teman kami. Tidak jauh memang, tapi kami harus bertanya 2 kali untuk sampai ke lokasi.

Sampai di tempat hajatan ternyata persis pada saat selesainya pengajian aqiqah. Namun wajah teman kami tetap berbinar begitu melihat kehadiran kami. ”Terima kasih pak ustadz. Mohon maaf lho tempatnya seperti ini” ucapnya saat menyambut kehadiran kami. Sekitar 30 menitan kemudian kami berbincang tentang berbagai hal. Dia bercerita tentang kondisi kontrakannya, tetangga-tetangganya dan tak lupa beberapa keluarga dan kerabatnya ditunjukkannya kepada kami.

Mendadak saya teringat kembali dengan amanah ustadz tadi. Saya hubungi salah seorang di halaqoh itu, sekedar memastikan bahwa mereka liqa mandiri dan diskusi memang berjalan baik. Saya menanyakan berapa orang yang hadir, diskusinya tentang apa dan acara ditutup jam berapa. Alhamdulillah, setidaknya saya bisa membuat laporan ke ustadz jika ditanyakan nanti.

Meski akhirnya kami seakan hanya ’sekedar’ hadir dan parahnya lagi terlambat acara aqiqahnya, tapi saya melihat ada kegembiraan yang lain di wajah-wajah mereka. Yang dikunjungi merasa begitu diperhatikan, yang mengunjungi ikut merasakan kegembiraan yang mungkin sulit untuk bisa diucapkan dengan kata-kata. Menjelang pukul 22.00 kami berpamitan pulang.

Pelajaran berikutnya yang bisa saya ambil adalah tentang makna perhatian. Meski hanya ’sekedar’ ikut hadir dalam ’momen-momen spesial’ mereka, itu akan membekas dalam hati mad’u kita. Pada saatnya akan melahirkan kepercayaan. Sesuatu yang amat berharga bagi dakwah ini.

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Part 2)

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Part 2)

Pagi tadi selepas sholat subuh, sengaja saya mengirim sms ke salah seorang (mantan) mutarobbi. Tidak selang beberapa lama, langsung dia telepon balik.

Dia bekerja di bagian akuntansi, sebuah perusahaan yang membuat mesin traktor di daerah Jalan Magelang. Menikah kurang lebih satu setengah tahun yang lalu. Proses menikahnya menurut saya termasuk heroik, karena ada sedikit ketidaksepakatan dalam beberapa hal teknis dengan orang tua akhwatnya. “Bro, akhwatnya minta nikah sirri dulu gimana?” lapornya saat-saat berkoordinasi dengan pihak akhwat terkait hari H pernikahan, ketika orang tua akhwat minta agar pernikahan diundur setahun lagi (jika mereka ingin orang tua mereka hadir di pernikahan itu) karena dalam tahun itu juga, kakaknya akhwat akan menikah.

Saya sarankan agar mereka mengurungkan niat untuk menikah sirri tersebut (setelah saya berkonsultasi dengan salah seorang ustadz) dan melanjutkan bernegosiasi dengan orang tuanya. Akhirnya ditemukan kata sepakat, orang tua merestui mereka segera menikah akan tetapi tidak dilaksanakan di sebuah kota di sumatera sana dan orang tua minta diwakili oleh paman akhwatnya. Beliau tidak mau hadir karena kukuh memegang tradisi adat yang beliau yakini.

“Alhamdulillah bro, berkat doanya ini istri sudah ‘isi’ kurang lebih 10 minggu.” Ucapnya tadi pagi di telepon. “Alhamdulillah, gimana keadaan istri, sehat?” tanya saya. Maka mengalirlah cerita pengalaman pertamanya menemani istri yang sedang hamil muda. Dengan setia saya dengarkan semuanya.

“Oh iya bro, pekan kemaren Bro ****** silaturahim ke rumah. Lama lho bro, ada kali 3 jam-an. Dia minta maaf setelah menikah kemaren ‘agak futur’, gak pernah datang liqo. Dia bilang kangen dengan teman-teman. Dia mengajak saya untuk bertemu dengan antum. Pekan depan pulang tidak bro?” tiba-tiba ceritanya beralih ke salah seorang teman di halaqoh kami dulu.

Ya, saya ingat. Dia adalah salah seorang dosen muda di UII. Cerdas. Kritis. Cukup idealis. Awalnya banyak bersentuhan dengan dakwah salafi. Tapi menjelang menikahi seorang kader tarbiyah, kemudian ia intens ikut tarbiyah. Menikah beberapa minggu setelah gempa hebat di Yogyakarta, dua tahun lalu. Saya masih ingat ketika datang ke walimahannya di sebuah daerah di bantul, onggokan-onggokan puing bangunan masih segar di depan mata.

Pun saat dia menempati kontrakan baru, kami langsung memakainya sebagai liqo perdananya pasca pernikahan dia. Sampai kemudian kepindahan saya ke Jakarta, sedikit demi sedikit dia mulai jarang datang liqo semenjak istrinya hamil dan melahirkan, karena ia harus bolak-balik ke rumah mertua di bantul. Setidaknya itu yang saya dengar.

”Bro ****** mau S2 ke Australia lho bro. InsyaAllah mulai bulan Pebruari nanti. Beasiswa.” Tambahnya. Alhamdulillah. Kini yang saya tunggu adalah silaturahimnya. Semoga saja ‘aset’ berharga ini bisa kembali menemukan kesejukan dalam naungan tarbiyah. Semoga saja kerinduannya akan saat-saat tarbiyah bisa kembali dirasakannya.

Tak terasa lebih dari 16 menit obrolan kami. Semburat pagi telah nampak dari sela-sela jendela kamar saya. Saatnya untuk memulai aktifitas hari ini dan menuntaskannya dengan karya-karya terbaik semampu saya.

Ashbahna ’ala fithratil islam wa kalimatil ikhlash ....

*****

Beberapa saat di kantor. Pluggghh! Bunyi nada email di outlook express ku. ” Bro aq nt tenis dl ba'da maghrib soale diajak bos kira2 nyampe jam 19.30 trus langsung ke kos antm (ane blom tau rmh ustadz )”

Maka setelah selesai satu urusan, kerjakanlah (urusan) yang lain. (Fa idza faraghta fanshab)

*****

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…?

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…?

Bulan April lalu, seorang mutarobbi alumni ekstensi teknik mesin UGM yang telah bekerja di PT LG Tangerang menyempatkan telepon ke saya. ”Bro, gimana kabarnya?” begitu sapanya. Saling bertanya kabar, dia kemudian memberitakan bahwa istri dan anaknya yang baru berusia 3 bulan masih dia tinggal di Brebes. Rencananya akan segera diboyong kembali ke Tangerang beberapa hari ke depan. Alhamdulillah.

Sekitar bulan Mei, saya lupa persisnya, salah seorang mutarobbi lain saya menelepon dari sebuah kota perbatasan jawa tengah – jawa timur, persisnya di pesisir pantai utara jawa. ”Ustadz, ada apa ini?” Tiba-tiba dia memulai dengan sebuah pertanyaan yang menyentak. Setelah berbicara panjang lebar, rupanya dia mendapat sebuah kabar dari seorang temannya di sebuah organisasi non kampus, tentang dirinya yang perlu ditabayunkan. Dan dia meminta saya untuk klarifikasi. Setelah saya tenangkan dan saya janjikan tidak ada apa-apa, nada bicaranya kembali tenang. ”Tolong ustadz, karena ini sangat berbahaya buat jama’ah. Saya di sini mendapat amanah yang cukup berat” Begitu pintanya.

Saya hanya tersenyum. Membayangkan mimik dia yang serius, bicaranya yang meledak-ledak, semangatnya yang luar biasa, saat-saat masih di halaqoh Jogja dulu.

Awal Juli, salah seorang mutarobbi yang kini kuliah ekstensi di UNPAD semester akhir, sms menanyakan kabar. Pagi harinya langsung saya telepon, yah sekedar memberitakan kepadanya bahwa saya masih mengingatnya. Setelah berbincang banyak hal, dia minta alamat email dan nomor hp cdma, agar bisa mengobrol lebih lama katanya. Esoknya dia mengabarkan bahwa dia telah mengirim email dan dia menelepon dengan nomor hp cdma baru (yang satu operator dengan dengan cdma saya), ”Tolong dibaca ya bro, saya banyak cerita di sana. Kalo bisa sih nanti saya pengin ketemu langsung saja.” katanya.

Karena saya diklat, saya meminta mutarobbi saya di sini mencetak email tersebut. Rupanya dia tidak main-main. Cukup banyak dia menulis di emailnya. Yang membuat saya terharu adalah pembukaan dia di emailnya, ”Salam silahturahmi selalu untuk guruku Ust. Sukeri, orang tuaku Pak Keri sekaligus sahabatku Brokeri dimanapun berada.” Saya hanya ingat bahwa dia adalah seorang yang flamboyan, funky, rambut agak panjang berombak, kadang memakai celana jeans yang disobek sana sini. ” That’s all bro, thanks very much for your education & dedication to me. God bless you…” ini kalimat penutup di emailnya.

Benar bahwa dia telah terputus tarbiyahnya. Tapi, rupanya dia merindukan suasana tarbiyah yang dulu kami nikmati bersama. Setidaknya berita ini, ketika saya bagikan ke mutarobbi di sini, cukup membuat hati-hati kami menjadi gerimis.

Seorang mutarobbi lain yang setelah hampir 5 tahun menunggu hadirnya anak, akhir juni kemaren permohonannya terkabul. Lahir anak pertamanya bayi laki-laki. Sehari setelah kelahiran putranya, saya mengajak teman-teman liqonya untuk berkunjung ke rumahnya. Sebuah rumah di tengah gang-gang kecil di bilangan manggarai sana. Orangnya sederhana, umurnya bahkan di atas saya dua tahun. Tapi intima’ nya bagi saya cukup mengesankan, meski dia baru gabung ke liqo 3 atau 4 bulan yang lalu. Saya teringat sms nya ketika minta ijin tidak datang liqo, “Ustadz, akhwat ana sedang tidak enak badan. Jadi ana tidak bisa datang liqo”. Intinya, istrinya sedang sakit sehingga dia minta ijin. Ah, saya tersenyum membaca sms tersebut.

Hari Ahad kemaren di sela-sela kerja bakti saya, dia menelepon. ”Pak Ustadz, saya mau konsultasi”. Setelah saya persilakan, dia minta pendapat saya terkait dengan rencana aqiqoh anaknya senin malam ini. Bagi saya ini hanya masalah teknis, tapi melihat keseriusan dan kesungguhan dia untuk minta pendapat saya, lagi-lagi ini membuat saya terharu. Bahwa sebenarnya, belum banyak yang bisa saya berikan kepada mereka sehingga sering kali saya malu kepada diri saya sendiri.

Membangun kepercayaan dan kedekatan dengan mad’u memang gampang-gampang susah. Masing-masing mempunyai karakter dan pembawaan yang berbeda dan harus disikapi dengan cara yang berbeda pula. Dan ini bagi saya adalah seni.

Saya bukan tipe orang yang bisa mengubah dan mempengaruhi orang dengan cara yang revolusioner. Bagi saya, perubahan yang pelan namun pasti dan membawa kesan yang mendalam dalam diri mad’u, lebih saya sukai dari pada perubahan dengan cara yang ”sedikit dipaksakan” karena ingin cepat terlihat perubahannya.

Bergerak dan berubahlah bersama mereka.

Selasa, 01 Juli 2008

Terpautnya Dua Hati

Berikut ini adalah tulisan istri saya beberapa tahun yang lalu
Kurang lebih 10 tahun yang lalu
Lebih tepatnya beberapa lama setelah kami menikah 05/04/1998

Terpautnya Dua Hati

Namaku Ummu Jundi, umurku dua puluh empat tahun lebih, suamiku Abu Jundi, aku ingin bercerita tentang pertemuanku dengan suamiku tercinta.

Pagi yang cerah, langit berselimutkan cahya mentari yang merona, mega berarak putih. Namun keindahan itu tak terhiraukan oleh lalu lalangnya manusia-manusia yang sibuk dengan urusan masing-masing. Raung kendaraan yang mengeluarkan asap hitam menambah pikuknya kata ini. Inilah Jakarta yang menjadi ladang impian bagi berjuta-juta manusia, pun aku. Keramaian Jakarta tidak membuat perasaanku turut ramai, saat ini aku justru merasa sendiri, benar-benaaar sendiri. Aku merasa butuh seseorang yang menemaniku, menemani hari-hariku, tempatku menumpahkan segala isi hatiku. Siapakah dia? Entah, aku tak berharap selain apa yang ditetapkan oleh Rabbku.

"Kolong-kolong." Suara kondektur menghentikan lamunanku. Aku turun, berjalan menuju ke kantorku, rutinitasku, tempat aku berjuang mempertahankan idealismeku (yang kadang terdengar klasik dan berlebihan) dan tempat yang sering memenjarakanku pada kesendirian.

Ramadhan pagi ini aku lebih bersemangat dibanding pagi-pagi sebelumnya. Hari ini sebelum ke kantar aku harus menemui seniorku di sebuah masjid. Beberapa hari yang lalu beliau menitipkan pesan kepada salah seorang rekanku di kantar agar aku menemuinya untuk sesuatu urusan, penting katanya. Sejak dalam perjalanan tadi pikiraan-pikiran berkecamuk di kepalaku. Mengapa beliau memintaku menemuinya, mengapa harus aku, mengapa di masjid, ada perlu pentingkah. Jangan-jangan ..... ah, aku tak berani meneruskan, berusaha kutepiskan semua pikiran-pikiran itu ketika aku mendapati masjid yang ditetapkan. Kucari beliau, ternyata tak kujumpai, terlalu pagi mungkin. Kulirik Albaku, setengah jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Sementara menunggu, kubuka Al-Qur'anku.

"Assalamu 'alaikum." Seseorang menyapaku.

"wa 'alaikum salam." Jawabku sambil kuulurkan tanganku.

"Sudah lama menunggu?" Tanya beliau. "Lumayan” Anggukku.

Kami mengobrol tentang bagaimana Ramadhan ini, tentang pekerjaan dan sampai akhirnya ...

"Gimana, masih tetap siap menikah?" Tanya beliau.

"InsyaAllah, mbak." Robbi, inikah jawaban atas apa yang berkecamuk di fikiranku, inilah awalnya.

"Ini, ada seorang abdullah yang sedang mencari pendamping. Saya berusaha menjodohkannya denganmu, fikirkan dan renungkan sebelum engkau membuat keputusan” Jelas beliau.

Kuterima sebuah amplop dari beliau. Kami berpisah di pelataran masjid. Aku meneruskan perjalanan ke kantor. Sepanjang perjalananku pikiranku terus tertuju ke amplop itu. Aku ingin segera mengetahui isinya. Sebelum aku mengetahuinya, aku telah bertekad bahwa siapapun dia, apakah dia dari kasta brahmana atau kasta sudra, apakah dia pemikir atau pekerja, apakah dia Yusuf atau Bilal, yang terpenting dia berislam dan memegang keislamannya.

Aku tak sabar menunggu sampai di rumah. Sesampai di kantor kubuka amplop itu. Robbi aku telah memutuskan untuk menerimanya. Ada beberapa hal yang membuatku sangat tertarik dengan abdullah, yakni latar belakang keluarganya dan saat ketika ia dilahirkan, nyaris mirip denganku. Robbi inilah awal dari persamaan-persamaan selanjutnya. Aku yakin dia belum mengatahui bahwa akulah yang dipilihkan untuknya, dia pasti belum mengetahui aku. Sementara hari bertambah hari, bertambah keyakinanku bahwa aku menerimanya, tidak ada ganjalan sedikitpun tentangnya. Setiap keyakinanku muncul, muncul pertanyaan apakah aku tidak bertepuk sebelah tangan, apakah dia juga menerimaku, menerima segala kekuranganku setidaknya untuk saat ini.

Kulalui sisa Ramadhan ini dengan lebih mendekatkan diri pada Robbku dengan kepasrahan total. Aku ingin keputusan ini bukan karena nafsuku, tetapi benar-bener karena kehendak Robbku. Ya Robbi, kalau dia baik bagi dinku, bagi keluargaku dan bagiku, maka dekatkanlah ia padaku, kalau tidak maka jauhkanlah ia dariku. Do'a itulah yang selalu kupanjatkan di akhir shalat-shalatku, bahkan dalam perjalanan-perjalananku aku berdzikir dengan itu.

Kepulanganku ke Semarang untuk lebaran tahun ini berbeda dengan kepulangan-kepulanganku sebelumnya. Kali ini ada suatu misi yang herus kusampaikan kepada orang tuaku meski pada diriku pun masih berkecamuk pertanyaan apakah dia juga menerimaku. Memiklikan dia membuatku berdiri di antara harapan dan kecemasan, sampai suatu hari ... "Assalamu 'alaikum. Mbak, afwan saya baru nelfon sekarang. Saya sudah di Semarang nih." Kubagikan kabar dengan beliau.

"Wah, kebetulan nih, dari dia sudah ada kabar."

"Oh, ya mbak." Harapku.

"Dia menerima engkau, mungkin dalam waktu dekat ini dia akan berkunjung ke rumahmu untuk mengenalkan diri ke orang tua. lnsyaAllah tiga hari setelah lebaran, bagaimana ?"

"Alhamdulillah, InsyaAllah saya menanti kunjungannya, mbak." Robbi, sudahkah aku mendekati apa yang aku harapkan selama ini? Apakah jodoh yang engkau janjikan telah begitu dekat padaku. Hanya Engkau tempat aku berharap. Menanti kedatangannya adalah antara harapan dan kecemasan yang lain. Akankah ia benar-benar menerimaku setelah bertemu denganku, melihat keluargaku, atau .... Robbi, berikanlah yang terbaik untukku.

Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...

Takbir bergema di hari kemenangan. Kupanjatkan syukurku bahwa aku dapat melewati Ramadhan tahun ini. Robbi pertemukanlah aku dengan Ramadhan tahun depan. Aku mengevaluasi tentang hatiku selama Ramadhan ini dan satu hal yang membuatku bahagia adalah kepasrahanku. Kepasrahan tentang apakah si abdullah akan menerimaku atau memang dia bukan yang terbaik untukku. Dengan kepasrahan semua menjadi mudah bagiku. Kala harapan dan kecemasan itu muncul, aku yakin bahwa di situlah kupahami hakekat kemanusiaanku, bahwa selamanya aku butuh bersandar pada-Nya.

Lebaran membuat keluargaku menyempatkan tinggal sejenak di rumah untuk saling memaafkan sebelum kami kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Juga lebaran membuat rumah kami diramaikan oleh tamu-tamu yang silarutahim ke rumah semenjak bapak ditunjuk sebagai sesepuh di kampung. Begitu juga dengan lebaran kali ini.

"Wah, Mbak Ummu, bagaimana kabarnya di Jakarta, kapan nih ?." Canda seorang ibu kepadaku ketika bersilaturahim ke rumah kami.

"lnsyaAllah secepatnya." Jawabku sambil berdoa pada Robbku. Meski selalu itu jawabanku setiap kali pertanyaan tersebut dilontarkan padaku. Namun kali ini pertanyaan itu begitu menyentuh lubuk hatiku.

Di kali yang lain ...

"Ummu, kapan ?" Bulek mencandaiku.

"Tunggu undangannya yang lek'" Balasku, dadaku berdegup lebih kencang.

Di hari ketika aku berpapasan dengan tetangga ...

"Ummu, bagaimana kabarnya, kapan menikah, sekaohnya katanya sudah selesai, sudah bekerja kan tinggal menyenangkan hati orang tua dengan cucu." Begitu berondong seorang ibu kepadaku.

"InsyaAllah secepatnya." Jawabku penuh harap.

Jika pertanyaan-pertanyaan mereka diutarakan dulu mungkin aku tidak melankolis seperti sekarang ini, tapi kini di saat aku berharap.

Tiga hari berlalu dari lebaran, namun gaungnya masih terasa, satu dua orang tamu masih ada yang silaturahim ke rumah. Sementara pikiranku tak juga lepas dari si abdullah, terlebih hari ini, aku menunggu kedatangannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mengharapkan kedatangan seorang laki-laki. Pagi sekali aku sudah memikirkan apa-apa yang harus kusiapkan dan apa-apa yang akan aku utarakan kepadanya. Waktu terasa berjalan sangat lambat sampai adzan Dhuhur berkumandang. Kuambil air wudhu, aku butuh menenangkan hatiku, aku butuh mengadu. Kututup shalatku dengan do'a Ya Robbi kalau dia baik bagi dinku, bagi keluargaku dan bagiku mudakanlah jalannya menuju rumahku.

Ketika aku beranjak untuk tidur untuk mengistirahatkan perasaanku, terdengar pintu kamarku diketuk bapak.

”Ummu, ada tamu mencarimu."

Robbi, .... diakah si abdullah itu ? Hatiku berdegup makin kencang.

"Assalamu 'alaikum," sapanya.

'Wa 'alaikum salam," balasku. Untuk kali yang pertama kutatap wajahnya. Robbi, dia terlihat bersahaja. Abdullah seandainya aku diijinkan aku ingin engkau meraba dadaku untuk mengetahui betapa cepat detak jantungku menatap saratmu.

Kami ngobrol ditemani bapak, kadang-kadang Ibu dan adikku turut hadir di antara kami. Ada kecanggungan di antara kami, meski sebetulnya banyak hal yang ingin kuutarakan namun aku tak berani bahkan untuk menatap wajahnya.

Lima hari setelah perjumpaan kami yang pertama, disusul dengan perjumpaan kami berikutnya. Kali ini dia datang ditemani ayahnya, beliaukah calon mertuaku. Sejak pagi kami mempersiapkan menyambut kedatangannya.

"Bu, dia akan mengajakku pergi jauh dari ibu nantinya." Pintaku pada ibu.

"Mengapa tidak, selama dia adalah suamimu," jawab ibu melegakanku.

Kira-kira tengah hari dia datang bersama ayahnya. Kunjungannya kali ini untuk membicarakan hari pernikahan kami. Semua pembicaraan berjalan lancar. Robbi, ini adalah awal yang mudah, beginilah seterusnya, pintaku. Aku dapat merasakan semburat kebahagiaan yang terpancar dari wajah orang tuaku.

Satu setengah bulan menjelang pernikahan kumanfaatkan untuk memupuk cintaku padanya. Menurutku dalam penikahan persamaan din adalah terpenting dan cinta menempati posisi yang penting, karenanya saat-saat inilah waktu yang tepat untuk memupuknya. Selama waktu itu kami terpisahkan oleh jarak sehingga komunikasi kami lakukan melalui telfon. Aku selalu sengaja mencari-cari alasan untuk bisa mendengar suaranya. Aku merasakan kedekatanku dengannya bertambah, entah dia, kecanggunganku berangsur-angsur mencair, sampai suatu saat ...

"Aak, saya merasa berdebar-debar menjelang pernikahan kita," aduku padanya.

"Sama, Aak juga merasakannya, dan perasaan itu selalu dialami oleh calon pengantin, insyaAllah semuanya akan lebih baik." Nasehatnya menenangkan.

Hari bersejarah itu tibalah kini. Aku begitu gugup, berbagai perasaan berbaur di hatiku, ada harapan, kecemasan, kebahagiaan dan kesedihan. Ada kebahagiaan yang menyusup di antara debar jantungku ketika mendengar dia mengucapkan ikrarnya, ada kesedihan tatkala aku memohon ijin kedapa bapak agar dinikahkan dengannya. Dan kini semua pertanyaan telah terjawab.

Untuk pertama kalinya tangannya meraih tanganku, mendo'akanku. Kami saling tatap, ternyata ada sejuta kerinduan. Rindu yaang sekian lama terpendam .. Satu kecupannya di keningku tak cukup untuk menawarkan kerinduan kami, ketika dia merengkuhku ke dalam pelukannya, kami ingin mencairkan kerinduan ini.

Namaku Ummu Jundi, usiaku dua puluh lima tahun. Aku bahagia bersuamikan Abu Jundi.