Senin, 10 Agustus 2009

Selingkuh

by Eko Novianto Nugroho

“Istri saya bersyukur memiliki suami seperti saya ini”, demikian kalimat pembuka ta’aruf teman saya. “Dengan wajah seperti ini, kalau masih ada juga perempuan lain yang intim dengan saya, maka dapat dipastikan sayalah yang kurang ajar”, lanjutnya dengan enteng.

....................

Selingkuh. Satu kata yang semakin popular belakangan ini. Dulu ada menyeleweng atau nyleweng. Sekarang ada selingkuh. Perubahan istilah itu mungkin dilakukan demi tuntutan pasar. Pasar sudah jenuh dengan istilah menyeleweng dan perlu ada inovasi baru. Tapi substansinya sama. Menghianati pasangan, membohongi pasangan, dan menutupi sesuatu dari pasangan. Hanya karena kepentingan inovasi saja, menyeleweng diganti dengan selingkuh. Entah kosakata apalagi yang ada di depan sana untuk aktivitas hitam ini.

Seorang teman pernah memberikan tips selingkuh yang sehat. Saya agak terheran-heran dan hendak menolaknya. Tapi saya menahan diri untuk kemudian mencoba mendengarkan dulu paparannya. Selingkuh yang sehat – menurutnya - adalah selingkuh yang dilakukan dengan tetap menjaga kesetiaan pada pasangan, menjaga keterbukaan, dan tetap menjaga kejujuran. Saya tersenyum. Dan teman saya menyimpulkan sendiri. Katanya, ’Kalau setia, jujur dan terbuka. Mengapa selingkuh?’. Saya kembali tersenyum. Saya rasa memang tidak ada selingkuh sehat. Yang ada selingkuh yang seakan-akan sehat.

Suka atau tidak, kita sedang hidup dalam situasi yang kondusif dalam urusan selingkuh ini. Ada banyak propaganda yang indah. Ada pembenaran-pembenaran yang rajin di launching media. Ada banyak syair lagu yang memperindah aktivitas ini. Ada sekian banyak argumen yang membuat selingkuh seakan-akan adalah hanyalah kecelakaan kecil, ketidaksengajaan yang lumrah, atau bahkan sesuatu yang tidak salah. Selingkuh kemudian kerap kali dipandang sebagai sekedar selingan untuk menjaga kesetiaan.
Dan saya percaya jika komunitas tarbiyah bukanlah sebuah komunitas yang aman dari tema ini. Tidak harus panik memang. Hanya perlu waspada saja. Dan jangan katakan tidak mungkin.

Yang kerap menjadi alasan para pelaku selingkuh adalah kebosanan dan keinginan untuk mencoba sensasi dan variasi lain dari pasangan dengan cara yang aman dan menantang. Bosan adalah sesuatu yang memang tidak mudah dihindarkan dalam kehidupan berumah tangga. Ada saja bisikan untuk itu. Yang kurang inilah dan yang kurang itulah. Atau sebaliknya, ada cita-cita atau sensasi yang belum pernah ternikmati.

Bukan tidak pernah terlihat perempuan lain yang mempunyai kelebihan dibanding istri saya yang ajaib itu. Entah perempuan itu di mana. Bisa ada di dekat sini. Bisa juga jauh di sana. Jauh di tempat yang lain. Atau jauh di masa yang lain. Atau bahkan jauh dari realitas. Atau hanya ada di mimpi. Karena perempuan ideal sesungguhnya tidak pernah ada. Hanya ada di ranah idealita.

Sebagaimana – boleh jadi – ada laki laki lain yang memiliki keunggulan dibanding saya di mata istri saya. Entah laki laki itu ada di dekatnya. Atau jauh darinya. Atau bahkan laki laki itu tak pernah ada. Atau kalaupun ada, setidaknya laki laki itu ada di imajinasinya.

Sebatas itu tak apa. Siapa yang bisa membatasi selera. Mengikutinya dengan tindakan nyata itu yang bermasalah. Pendekatan, rayuan, membuka peluang, memberi kesempatan, merekayasa, mengarang situasi, dan tindakan lain yang sesungguhnya hanya untuk pasangan adalah langkah yang potensial bermasalah.

Sampai saat ini, saya percaya selingkuh tidak ujug-ujug. Tidak tiba-tiba. Dan tidak sekonyong konyong. Ia adalah buah dari saling pengertian, saling mendekati, saling merayu, saling mengikuti hasrat, saling membenarkan alasan, saling menguatkan argumentasi dan saling melindungi. Dan kesemuanya memerlukan waktu. Memang relatif. Bisa cepat bisa lama. Tapi tetap perlu waktu. Dan di waktu-waktu itulah situasi akan semakin membenarkan.

Kata kuncinya adalah pembiaran situasi. Sering kali kita berharap dalam situasi itu akan ada jalan kembali. Di depan sana. Padahal tidak. Semakin ke depan semakin sulit untuk kembali. Jika tidak mau dikatakan tidak ada lagi jalan kembali. No way out!!!. Semakin lama situasi semakin membenarkan dan semakin mewajarkan selingkuh yang dilakukan.

Itulah sebabnya jalan menuju selingkuh wajib kita hindari. Sebagaimana ayat-Nya. Apapun itu variasinya. Selingkuh sebagai efek samping kewajaran bisnis, sebagai efek samping keniscayaan sosial, sebagai efek samping kebutuhan lembaga, sebagai efek samping keharusan kerjasama, atau variasi lainnya.

Hal lain yang menjadi keniscayaan hari ini adalah banyaknya pribadi yang merasa pesimis dengan keluarga. Bagi mereka keluarga bukanlah sebuah kebutuhan melainkan sebuah malapetaka. Lebih dari itu, mereka merasa gerah jika ada keluarga yang sehat. Mereka terobsesi untuk merusak keharmonisan keluarga sehat.

“Saya diteror perempuan yang mengaku pacar suami saya. Dia main ancam. Bagaimana pak?”. Demikian sebuah sms yang saya terima. Saya juga pernah menerima pengaduan seorang perempuan yang mengeluhkan kedekatan suaminya dengan fulanah. Saya tanya si suami, ”Apakah benar ada fulanah dalam kehidupan antum?”. ”Benar ada”, jawab si suami jujur. ”Sebagai apa?”, tanyaku berikutnya. ”Teman kerja dan teman kuliah dulu”, jawabnya. ”Antum mengerti keberatan istri tentang ini”, saya sedikit masuk. ”Ya. Bahkan perempuan itu juga mengerti keberatan istri saya”, jawab si suami mantap. ”Lalu?”. ”Dia semakin terobsesi jika kehadirannya menyebabkan keluarga kami berantakan”, jawab lelaki perkasa itu dengan lemas.

Hati-hati dan adanya kepercayaan kepada pasangan saya kira tidak boleh dipandang sebagai sebuah 2 (dua) hal yang klise. Keduanya harus ditumbuhsuburkan seiring perjalanan sebuah perkawinan. Keduanya juga harus dijaga komposisinya. Berimbang dan proporsional. Hati-hati dan bertanya pada pasangan jika diperlukan. Memperingatkan jika memang harus dilakukan. Dan – di sisi lainnya – tetap memberikan kepercayaan bahwa pasangan kita adalah manusia dewasa yang bertanggungjawab.

Ada perasaan khas yang muncul pada seseorang yang dikhianati pasangannya. Penasaran. Penasaran mengapa pasangannya selingkuh?. Penasaran tentang sebenarnya kurang apa aku?. Penasaran sejak kapan mereka mulai selingkuh?. Penasaran apa pemicu mereka bersekongkol dan mengkhianati?

Perasaan ini sulit dihindari. Tidak perlu dihindari. Jika masih belum terlampau jauh dan masih bisa dimaafkan, sebaiknya perasaan ini tidak dilanjutkan terus sampai saat yang tidak ditentukan. Jika tidak dihentikan, maka kecurigaan dapat menutup upaya-upaya positif pasangan yang ingin memperbaiki diri.

Dan jika kita yang dicurigai oleh pasangan kita. Wajar mereka sulit menghilangkan trauma. Itu akibat tingkah laku kita juga. Sekali lancung ujian, ia akan menimbulkan trauma berkepanjangan. Jangan cengeng.

”Sebenarnya siapa perempuan yang kamu cemburui, Can?”, sebuah pertanyaan meluncur dari bibirku pada istri ajaibku. Jawabannya mencengangkan.

3 komentar:

  1. saya terus senyum-senyum baca bab ini mas ker..

    BalasHapus
  2. Hehehe... saya membacanya berulang-ulang. Kalo dalam bahasa mas eko, saya awalnya sedikit melawan tulisan itu. Tapi akhirnya menyerah dan mengakui tulisan itu.

    ~masker~

    BalasHapus
  3. Jadi jawabannya siapa pak?
    (penasarandotcom)

    BalasHapus