Persis seperti hari kemarin aku menjejakkan diri di kantor
ini. 07.30. Sepanjang perjalanan tadi memoriku berputar. Seperti kaset yang memutar
kembali, mengalirkan cerita-cerita lama yang tiba-tiba bermunculan seperti
tunas-tunas yang tumbuh di musim hujan.
Aku masih ingat. Aku masih ingat betul dialog dua anak kecil
yang sangat-sangat naïf dan lucu, kira-kira 33th yang lalu. “Kamu ikut sakit
gak kalau aku tertusuk duri?” tanyanya. Aku (kecil) menjawab singkat, “Iya.”
“Aku juga ikut sakit kalau kamu tertusuk duri.” Lanjutnya. Di depan rumahku dulu
ada pohon jeruk yang menjulang tinggi. Rindang. Oleh orang tuaku, di bagian
pangkal cabang batang yang kokoh diikatkannya tali menjuntai, yang difungsikan
sebagai mainan ayunan bagi anak-anak kecil seusia kami waktu itu.
Aku masih ingat. Aku masih ingat betul ketika nenekku (dari ibu) yang sekarang usianya hampir 98 th dengan agak terisak, memelukku sambil menggenggamkan selembar uang ke tanganku. Dua puluh tahun lalu saat aku berpamitan hendak kuliah ke Jakarta. “Kamu nanti di sana sendiri, sing ati-ati yo le.” Setahun kemudian ketika liburan dan aku berkunjung ke beliau, beliau sambil tergelak dengan mata berkaca berkata, “Ri, dulu itu aku salah kasih kamu uang. Harusnya 5 ribu kok yang keambil 500.” Aku membesarkan hatinya, “Ora popo, Yung.”
Aku masih ingat. Aku masih ingat betul ketika aku pertama
kali berkenalan dengan seorang yang
belum pernah sekalipun aku bertemu dengannya sebelumnya. Menjelang 17 tahun lalu. Sendirian. Aku berkesan dengan
bagaimana ia melafalkan kata, “InshaAllah..” Beda. Terasa aneh, tapi nyaman di
telinga. Kata itu terus bergema waktu itu, hingga berhari-hari. Seakan belum
pernah mendengar pelafalan kata itu sebelumnya. Bahkan sampai sekarang pun aku
masih seperti mendengar kalimat itu lagi jika ia, istriku, mengucapkannya kembali.
Aku masih ingat. Aku masih ingat betul, ketika 16 tahun lalu
bibiku setengah lirih berujar, “Kowe engko terus lali karo aku, Ri?” Waktu itu aku
meminta ijin untuk menikah. Sejak kecil aku tidur dengan beliau. Beliau tinggal
bersama nenek (dari bapak). Beliau janda beranak satu. Anak satu-satunya beliau
meninggal ketika aku masih kelas 3 SD. Aku ingat malam itu beliau meraung-raung,
“Aku engko terus melu sapa?” Sedih sekali. Bapakku sebagai adiknya menenangkan.
Anak beliau tersebut meninggal ketika masih STM wkt itu.
Sejak itu pun, tidurku masih terus menemani beliau dan nenek
hingga SMP, ketika beliau menikah lagi dengan seorang duda dari desa sebelah. Selama
SMA setelah pulang sekolah pun, aku masih sering bermain ke rumah beliau. Aku
menjadi keponakan kesayangannya. Saat aku SMA, suaminya meninggal dunia. Maka
ketika kuliah, kemudian lulus dan aku memutuskan untuk menikah, beliau keluar
ucapan itu. Mungkin terasa nggrantes, mungkin. Beliau meninggal tahun 2004 an
karena kanker darah. Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihi wa’fuanha.
Aku masih ingat. Aku masih ingat betul ketika tujuh tahun
yang lalu seorang sahabat saya di Jakarta, sebut saja Mbak Etha, sambil melotot
dari meja kerjanya ia setengah berteriak, “Maskeeeer, beneran kamu leo. Gak banget
deh. Kamu leo yang murtad. Gak ada gaharnya sama sekali.” Aku hanya tersenyum
mendengar ocehannya. Ia memang zodiac maniac. Terkadang dia suka ramal meramal
melalui garis tangan teman-temannya. Dulu aku pernah dipinjaminya sebuah buku,
The Secret karya Rhonda Byrne. Cukup menghibur.
Akan selalu ada kepingan-kepingan puzzle masa lalu yang
mungkin terekam dalam memori kita. Ada kenangan indah dan manis, ada juga yang buruk.
Ada cerita tentang dendam, ada juga tentang kasih sayang. Ada memori yang
mengharu biru, di sisi lain ada juga yang gegap gempita menggembirakan. Ada yang
berwarna-warni bak pelangi, tapi tak sedikit yang abu-abu dan kelam. Maka pilihan
kita adalah kepingan puzzle manakah yang akan kita pahat kuat dalam jiwa kita. Pahatan-pahatan
itu lah yang nanti akan mewarnai kehidupan kita ke depan.
Jika pahatan-pahatan kenangan indah dan manis, cerita tentang
kasih sayang, memori yang menghidupkan jiwa, dan warna-warna pelangi yang lebih
banyak kita pahat kuat, maka yakinlah kehidupannya akan terasa lapang dan
menentramkan. Perbanyaklah pahatan-pahatan itu. Bukan kita tidak membutuhkan pahatan-pahatan
yang buruk dan mengharu biru. Bukan pula kita mengabaikan cerita-cerita yang
kelam dan membawa dendam. Mungkin perlu, tapi jangan banyak dan jangan pahat
terlalu erat. Biarkan waktu menghapusnya perlahan.
Sungguh, pahatan-pahatan tentang dendam, tentang hal-hal
buruk dan juga hal-hal yang kelam akan meredupkan dan membebani jiwa. Membuat masa
depan terasa berat karena sarat beban. Maka teman, pilih yang manakah engkau?
@keterpekuran diri yk 06/01/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar