“Pak, masa sih sarang P*S dipakai untuk acara P*B. Hebaaat
sekaliii..” Sekilas aku perhatikan wajahnya di seberang sana tampak masgul. Ia mengirimkan
sms saat rapat yang aku pimpin itu. “Tidak apa-apa, Pak. Sy ingin menunjukkan bahwa
masjid ini terbuka untuk semua golongan.” Aku jawab sms nya, mencoba
menenangkannya. Aku memang sedang merencanakan sebuah kegiatan yang sangat NU,
pengajian akbar dengan mengundang seorang Habaib. Aku tantang anak-anak IKRAM,
organisasi remaja masjid, untuk menghandle acara itu. Dan mereka sanggup.
Ia sosok yang sederhana. Aku panggil ia, Pak Moh. Rambutnya telah
memutih. Di masa mudanya, ia dikenal akrab dengan dunia malam. Tapi yang aku
tahu, ia insyaf di masa tuanya. Aku ingat ketika yayasan kami memutuskan
mendirikan masjid, dan juga sekolah di dekat lingkungan tempat tinggal kami, ia
mengajukan diri agar bisa membantu di sana. Maka kemudian ia menjadi muadzin
sekaligus penjaga sekolah. Sampai kemudian periode ketiga ketakmiran aku pegang,
ia tetap menjadi muadzin setia kami. Suaranya yang lantang dan merdu menggaung
setiap waktu adzan berkumandang.
Beliau sering aku ajak bersama dalam beberapa acara. Dulu
saat melayat ke Bantul di awal aku tinggal di desa ini, ia aku ajak semobil. Saat
mengantar rombongan pengantin ke purworejo, ia duduk di samping kemudi yang aku
sopiri. Saat aku kebetulan akan ke Klaten dan bertemu di jalan ia hendak
bepergian ke arah solo, aku ajak semobil sampai di Klaten. Saat menengok pengungsi
merapi di daerah Tempel, beliau lebih memilih semobil denganku. Dan terakhir,
beberapa hari sebelum kepergiannya, ia aku ajak menengok seorang jamaah yang
opname di RSA UGM.
Aku masih ingat, hari itu hari Rabu (18/09/2013),
ketika suara adzannya aku dengar berkumandang memanggil untuk sholat Isya,
bergegas aku mengambil air wudhu dan segera berjalan kaki ke masjid bersama
ragilku. Aku sengaja berjalan kaki karena selepas Isya, aku berencana menengok
salah seorang sesepuh yang beberapa hari tidak nampak di masjid. Aku pun juga mempersiapkan
diri dengan membawa HP, yang rencananya akan aku gunakan untuk menghubungi
beberapa teman takmir, siapa tahu bisa ikut bergabung dalam silaturahim itu.
Sesampai di masjid aku lihat sudah ada
2 jamaah bapak-bapak yang sedang menunaikan sholat sunnah. Di baris kedua dan
ketiga, di sisi sebelah kiri. Mereka itu Pak Suhar dan Mbah Nar. Aku lihat
muadzin kami, sedang dalam posisi sujud di depan mimbar. Agak aneh sujudnya,
tapi entah, aku berusaha memunculkan pikiran bahwa itu posisi sujud yang wajar.
Aku tepuk pelan punggungnya, sambil memanggilnya pelan, “Pak Moh…” lalu aku
lanjutkan sholat sunnah di samping kirinya. Dalam sholatku aku menelisik, aku
merasa semakin ada yang janggal, maka aku percepat sholatku.
Selepas sholat aku sempatkan menoleh ke belakang, sudah ada
3 jamaah bapak-bapak rupanya, bertambah satu orang yaitu Pak Slamet. Dengan satu
isyarat, aku bertanya ke mereka perihal muadzin kami itu, dan mereka hanya mengangkat
bahu tanda tidak tahu. Maka aku tepuk kembali punggungnya sambil menyapanya
agak keras. Tidak ada respon. Maka aku berpindah posisi ke kanan beliau, maka
seketika aku merasa lemas. Tampak olehku wajahnya yang menoleh ke kanan,
setengah pipi menempel di lantai, dan mata beliau membuka. Wajahnya pucat pasi.
“Ya Allah…” seketika aku angkat tubuhnya, aku dudukkan. Aku
meminta bapak-bapak tadi untuk merebahkannya ke arah utara. Spontan aku mencari
nadinya di pergelangan tangan dan lehernya. Tidak kutemukan. Kami panggil nama
beliau, tidak ada respon. Aku mencoba mengusap wajahnya sambil menutupkan kedua
matanya yang terbuka. Aku tidak ada pengalaman menangani kejadian seperti ini. Aku
telepon seseorang yang orang tuanya seorang bidan, ternyata sedang jaga malam. Maka
salah seorang jamaah bergegas menjemput seorang bidan lagi yang lain di desa
kami.
Aku hubungi kepala dukuh kami, mengabarkan ada kejadian
tersebut di masjid dan mengharap agar beliau segera ke masjid. Alhamdulillah, beliau
sedang ada di rumah. Maka setiba bu bidan di masjid, segera diperiksanya semua nadi,
bola mata, dan juga denyut jantung. Pak dukuh yang tergopoh-gopoh datang
langsung ikut memeriksa. Ibu bidan itu mengangkat tangan, tanda tidak menemukan
tanda-tanda kehidupan. Aku pandang pak dukuh, ia menganggukkan kepala setuju
dengan keadaan itu. Aku lupa, istri beliau belum diberi tahu. Maka aku pinjam
sepeda untuk menjemputnya.
Sesampai di rumahnya, aku kabarkan agar istri beliau segera
ke masjid. Sesegera mungkin, meski dengan pakaian yang ada saat itu. Maka
masjid malam itu mendadak menjadi ramai. Ada sebagian jamaah yang mengusulkan untuk
membawanya ke rumah sakit. Aku, Pak Dukuh, Bu Bidan dan dengan persetujuan
beberapa jamaah lain, memutuskan untuk segera membawa beliau ke rumah dan mengurus
jenazahnya. Kami sampaikan keadaan itu ke istri beliau dan ia menerima. Dengan bantuan
satu mobil bak terbuka, kami angkat beliau dan membawanya pulang ke rumahnya.
Maka malam itu menjadi malam yang panjang bagiku. Aku tahu
itu akibat serangan jantung. Aku pun pernah dan sering membaca bagaimana penanganan
terhadap orang yang tiba-tiba terserang jantung. Tiba-tiba aku merasa amat
bersalah, ada banyak andai di kepalaku. Seandainya tadi aku tidak sholat sunnah
dulu, seandainya tadi aku segera memberikan pertolongan pertama dengan memacu
jantungnya, seandainya tadi langsung segera aku bawa ke rumah sakit, dan
berbagai andai-andai yang lainnya. Aku tidak bisa tidur hingga menjelang fajar
datang.
Beberapa hari, minggu, hingga hitungan bulan pikiran itu terus
menghantuiku. Terlepas dari kesadaran bahwa semua itu adalah telah menjadi
kehendak-Nya. Terlepas dari kenyataan bahwa Allah telah memanggilnya dengan
cara yang indah dan di tempat yang suci. Tapi keadaan diriku yang menemukannya
pertama kali dan tidak banyak yang bisa aku lakukan, itu memunculkan sedikit
rasa bersalah tersendiri dalam hatiku. Hingga kemudian satu kejadian lain yang
sedikit bersinggungan, seolah menjadi jawaban atas kegundahanku selama itu.
Seorang sahabat masa kecilnya, sering bercanda tentang
kematian. Bahkan sejak kematian Pak Moh tersebut. “Pak Keri, aku sing merokok
berat malah belum mati tuh, padahal si
Moh itu kan sudah lama berhenti merokok, eh mati duluan.” Katanya suatu ketika.
“Kematian itu jalan yang terindah, itu ada di kitabnya orang Kristen.” Katanya di
waktu yang lain. Ia memang lama hidup di lingkungan non muslim, baru belakangan
setelah kembali ke desa kami ini, ia mendadak menjadi religius dan rajin
menjalankan sholat ke masjid. Aku catat itu dalam ingatanku.
Di suatu hari ahad pagi, ia bertanya kepadaku ketika aku
sedang mengelap mobilku, “Pak Keri, gak ada pengajian tho? Kok gak kedengeran
dari rumah.” Aku mencoba menjelaskan bahwa kemungkinan panitia mengatur speaker
suara dalam, bukan suara speaker atas sehingga tidak terdengar sampai rumah. “Wah,
sudah niat pengajian buat sangu mati je. Tak kira libur tidak ada pengajian.” Aku
cuma tersernyum mendengar gurauan-gurauan yang sering menyinggung tentang
kematian itu. Tapi aku suka semangatnya.
Aku sangat mendukungnya untuk itu.
Tiba-tiba dua hari setelah itu kalo tidak salah, aku agak
lupa harinya, ketika di kantor adikku yang sedang di Yogya mengabariku via sms,
bahwa ada tetangga depan rumah yang meninggal. Pagi itu ia mengeluh masuk
angin, minta dikerok, kemudian pingsan. Sempat dibawa ke RSA UGM, setelah
sempat siuman beberapa saat, kemudian tidak sadar lagi dan akhirnya nyawanya
tidak tertolong. Kabar yang aku tahu bahwa serangan jantung juga lah yang telah
mendatanginya. Aku sejenak terpekur. Kembali teringat dengan fragmen kejadian 3
atau 4 bulan sebelumnya.
Kejadian itu seolah menjadi salah satu jawab atas sebersit rasa
kebersalahanku yang muncul selama ini. Aku menjadi lebih bisa menerima
keadaanku. Bahwa begitulah takdir ketika telah berbicara. Kematian tidak ada
hubungannya dengan usaha kita menghadang kedatangannya. Meskipun kita telah
berusaha mengupayakannya dengan berbagai hal, namun jika ia memang sudah
waktunya, maka tidak akan ada yang bisa mengundurkannya, meski hanya sesaat. Pelajaran
dari dua orang yang bersahabat itu, sungguh telah kembali membukakan mataku
akan hal tersebut.
@yogya, cerita yang berserak 20januari2015
Terimakasih mas Keri...
BalasHapus