Dengan sebuah nampan kecil yang telah dilapis beberapa helai
daun pisang, sebongkah nasi putih ditaruh di tengah-tengahnya. Di sekeliling
nasi itu ditata sayur gudangan lengkap dengan bumbunya. Ada sedikit taburan
kedelai yang telah digerus halus. Sebutir atau kadang dua butir telur rebus,
diletakkan di salah satu sisinya. Irisan kecil tempe dan tahu yang telah
digoreng kering serta sambal kentang menjadi pelengkap berikutnya.
Itu adalah nasi bancakan ala ibuku, seorang perempuan
sederhana yang telah melahirkan, membesarkan dan juga mendidikku dengan
cara-caranya yang sederhana. Di sore hari itu, Jumat Pahing, ibuku biasanya
sudah memanggil teman-teman sebayaku. Kami duduk mengitari nampan tersebut. Ibuku
dengan sigap membagi nasi dan gudangan itu ke pincukan-pincukan kecil. Butiran
telur yang ada dibagi sejumlah kami yang datang.
Maka sore itu kami bersama-sama melahap hidangan yang sangat
sederhana itu dengan riang. Itulah cara ibuku mensyukuri kelahiranku. Hari itu memang
wetonku. Dan tentu tidak setiap Jumat Pahing ibuku ‘bersedekah’ dengan caranya
itu. Hanya jika ada kelonggaran biaya dan waktu saja hal itu dilakukan. Dan
tentu juga hal tersebut dilakukan bergantian dengan weton kakak dan adikku yang
lain. Karena kami tujuh bersaudara. Keluarga besar.
Seorang sahabat SMP ku, saat aku menjemput ragilku yang
mengerjakan tugas di rumahnya malam itu, ia mengoleh-olehiku beberapa lembar
keset kain. “Tadi ada penjual keset
kemari, aku kasihan akh. Aku beli saja 100 ribu. Itu masih banyak, silakan
dibawa nanti dibagikan ke siapa saja juga boleh.” Itu caranya mensyukuri
rejeki yang ada padanya. Kelapangan rejeki yang ia dapatkan telah memudahkannya
untuk ringan berbagi.
Di lampu merah perempatan Pasar Demangan, ujung selatan Jalan
Gejayan siang hari, biasanya ada seorang nenek penjual koran. Sudah sepuh. Di
usia senjanya ia masih harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhannya. Jika aku kebetulan
lewat dan aku dapati dia berjualan di sana, aku sempatkan membeli satu koran,
apa saja, tanpa meminta kembalian kepadanya. Ini hanya cara kecilku mensyukuri
semua nikmat yang ada.
Di Pasar-pasar tradisional, kita bisa dengan mudah menemukan pemandangan nenek renta,
dengan barang jualan yang kadang ala kadarnya. Entah berapa ratus rupiah
keuntungan yang mereka ambil. Dan entah berapa banyak barang yang bisa mereka
jual tiap harinya. Aku pernah mengabadikan momen itu. Aku kais-kais dokumen di
folderku, aku masih dapatkan gambarnya, diambil 12 Agustus 2012 pukul 07.26.58,
dengan perangkat BB 8520. Hee…
Aku belum lama ini melihat di rumah orang tuaku ada cobekan
dan batu penghalus bumbu yang baru. Masih baru. Padahal aku lihat ibuku masih
mempunyai cobekan yang masih tampak bagus. “Tadi
ada bapak-bapak penjual cobekan ini. Hari sudah lepas dhuhur dan cuaca mendung.
Belum ada yang laku katanya. Jadi ibu beli dua barang ini. Nggo pelaris…”
begitu kira-kira ibuku menjelaskan barang itu kepadaku dan bapakku ketika kami
bertanya.
Kawan, banyak cara-cara sederhana yang bisa kita lakukan untuk
lebih mendalami kesyukuran kita. Dengan terus berbagi. Mungkin suatu saat
engkau akan bertemu seorang bapak penjual mainan tradisional, dari bambu dan
kayu, berupa gangsingan, kitiran dan sejenisnya. Memang mungkin engkau tidak
sedang butuh mainan itu, tapi tidak ada salahnya jika engkau rogoh kantongmu
sedikit, untuk memancing sebuncah senyum di wajahnya hari itu.
Maka jangan lelah untuk terus berbagi. Jangan pernah bosan
untuk mengekspresikan rasa syukur kita, meski dengan cara-cara yang sederhana
sekalipun.
@Yogya, 28Januari2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar