Ketika
SD kelas enam, kami diberi tugas untuk menuliskan karangan tentang cita-cita
kami. Kelompok belajarku yang terdiri 4 orang, aku, Wid, Tri dan Tejo malam
harinya segera menggelar rapat paripurna untuk merumuskan tugas itu. Malam itu
rumahku dipakai rapat sebuah organisasi pemuda di desaku, dimana kakak
perempuan pertamaku sebagai ketua di organisasi itu. Aku dan kelompok
belajarku, belajar di bilik rumahku yang lain. Dengan penerangan seadanya.
Salah
seorang pengurus organisasi itu, sebut saja Mas Gepeng, ikut nimbrung di rapat
paripurna kami. Ia kuliah di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) seingatku. Tanpa
kami minta, maka kemudian ia diktekan untuk kami kalimat demi kalimat.
Cita-citaku, itu judul karangannya. Kalimat pembukanya aku masih ingat, tidak
lazim untuk seusia kami. “Sebagai seorang manusia…” Karena, biasanya anak-anak
ketika membuat karangan, dimulai dengan kalimat, “Pada suatu hari…” Hee..
Kami
menulis sama, tinggal mengganti point cita-cita sesuai dengan imaginasi kami
masing-masing. Aku lupa dengan cita-cita ketiga temanku, tapi di karanganku
waktu itu aku mantab menulis: Guru Matematika. Hingga SMP aku masih bertahan dengan
cita-cita itu. Di SMA kelas 1 pelajaran BP mengharuskan kami mengeja cita-cita
kami dan mencantumkan tokoh idola, aku revisi cita-citaku: Dosen Matematika!
Dan foto Albert Enstein menempel dengan gagahnya di buku BP ku.
“Bi, Om Yuli (Adikku) itu Perikanan ya? Mbak
Diah (anak perempuan pertama kakak pertempuan pertamaku) itu Pertanian ya? Kalo
om Nawan (adikku)?” Tanya sulungku saat aku antar membeli mie ayam untuk
dia dan adiknya tadi malam.
“Yup, Om Nawan Kesehatan Hewan” Jawabku.
Ada
beberapa dialog kami sambil menunggu mie ayam matang. Tentang SNMPTN jalur
undangan, tentang SBMPTN, tentang STAN dan juga tentang penerimaan PNS dari
alumni PTN disandingkan dengan dari alumni STAN. Yang membuat aku mulai
berpikir tentang orientasi sulungku adalah ketika ia banyak bertanya tentang
Akuntansi.
“Akuntansi UI bagus ya bi?”
“Bagus, sangat bagus. Unair juga bagus.
Unpad juga.”
“Kalau Akuntansi UGM?”
“Bagus juga, cuma menurutku masih dibawah
UI.”
Dulu
ketika minat penjurusan IPA atau IPS, meskipun ia cenderung ke IPS ia meminta
persetujuan dan pertimbanganku. Aku jelaskan bahwa jika memilih IPA itu apa
lebih dan kurangnya, dan memilih IPS itu apa lebih dan kurangnya. Dan aku
memberikan gambaran riil dari pengalamanku. Bahwa seorang dengan background IPA
biasanya lebih bisa survive dan bisa beradaptasi secara baik meskipun akhirnya
ia harus banting setir di dunia IPS. Jika sebaliknya, mungkin berat.
Akhirnya
sulungku memang memilih masuk ke jalur IPA. Namun di jalur lintas minat, ia
tetap mengambil Akuntansi sebagai mata pelajaran pilihannya.
“Laki-laki harus kuat logikanya. Maka engkau
harus dididik di dunia yang menguatkan logikamu, nak.” Gumamku.
Sebagai
orang tua, mungkin aku punya obsesi. Mungkin aku ingin ia melanjutkan salah
satu dari dua obsesiku yang telah melenceng jauh dari cita-cita semula sebagai
seorang dosen. Di UMPTN aku mantab mencantumkan 2 pilihan. Teknik Elektro UGM
dan Teknik Elektro ITS. Di ujian STAN mantab aku tulis Akuntansi. Tahun 1994
pengumuman UMPTN bersamaan dalam satu hari. Pagi itu di koran aku menemukan
namaku nebeng di Teknik Elektro ITS, siangnya aku menemukannya di STAN.
Dalam
hati kecil, mungkin aku ingin sulungku masuk kedokteran atau teknik misal. Tapi
bukankah nanti yang menjalani dunianya bukan kita? Maka aku hanya bisa berdamai
dengan kembali ke prinsip dasarku, “Laki-laki
harus kuat logikanya, nak.” Maka aku lebih tenang jika sulungku dididik di
dunia eksakta. Akalnya harus kuat. Kemampuan logikanya harus mengakar. Meskipun
nantinya di perkuliahan dan dunia kerja berkecimpung di dunia non eksakta.
“Jadi milih apa, le?” tanyaku waktu itu.
“IPA, bi.” Jawabnya.
Baik,
pilihan telah sulungku tetapkan. Aku hanya bisa mengawalnya. Maka kalimat
penegasanku adalah “Aku hanya ingin
memastikan kemampuan logikamu harus kuat. Setelah itu, engkau akan melirik
Akuntansi atau yang lain meski bukan
eksakta, itu urusan mudah bagimu, nak.” Hidup ini akan terus
mengalir. Menjadi saksi langkah-langkah yang telah kita torehkan di setiap
penggalan waktunya. Semoga kita selalu dimudahkan.
@Yogya,
29Januari2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar