“Le, aku ninggal bubur karo sayur neng kursi ya.” Dari ruang
tengah, suara seorang ibu-ibu yang sangat aku kenal terdengar dari terasku pagi
tadi. Pagi-pagi sekali. Aku sedang mempersiapkan ragilku untuk mandi. “Nggih,
nuwun nggih, bu.” Saya coba mengejarnya dengan membuka pintu secepatnya, tapi
sosoknya sudah di kejauhan. Maka aku tenteng ke dalam satu bungkusan keresek,
berisi sayur satu plastik dan bubur dua bungkus. Semua masih hangat.
Ini sudah yang kedua kali pemberian di pagi buta itu dalam
beberapa hari terakhir ini, dengan mengantarkannya ke teras rumahku. Pemberian
secara langsung dengan mencegatku sepulang sholat subuh aku bahkan lupa
menghitungnya sudah berapa kali. Kadang buah-buahan, di lain waktu lauk-pauk,
dan tak jarang sekedar jajanan atau makanan kecil. Anak dan menantu beliau
adalah Pembina yayasan tempat aku ikut sedikit berperan di sana dulu.
Dst.. Dst.. Dst.. (memberilah maka engkau akan mendapat
lebih)
Pagi ini aku kurang antisipasi. Aku berangkat pagi-pagi
seperti biasanya. Memang aku sudah memasukkan jas hujan ke dalam bagasi revo
sesaat yang lalu. Tapi aku tetap kurang antisipasi. Sesampai di jalanan aspal
luar desa kami, aku melihat rintik di genangan air di sawah pinggir jalan,
“Lah, gerimis ya dek?” kataku pada ragilku. “Iya, ayo cepetan dikit bi.
Biasanya di depan tidak hujan.” Pengalaman, memang hujan pagi kadang tidak
merata.
Tapi bagiku, pagi ini aku tetap kurang antisipasi. Biasanya
aku akan menatap ke langit. Jika mendung pagi tampak merata dan hendak runtuh,
maka aku akan berangkat menggunakan mobil. Tapi aku pagi ini lena. Maka aku
pacu cepat revoku menembus gerimis kecil, berharap di depan sana rintik makin
menipis. Di pagi hari, aku tidak biasa memacu revoku di angka rata-rata 60
km/jam secara konstan. Tapi pagi ini aku harus cepat sampai, sebelum langit
makin meruntuhkan airnya.
Aku selalu ingat pesan salah seorang kabid di Jakarta dulu,
selalulah “hope for the best, prepare for the worst”
Dst.. Dst.. Dst.. (sedialah payung sebelum air itu runtuh)
“Wa’alaikum salam akh. Kaifa haluka ya akhi?” Kulihat di wa
ku muncul satu pesan. Aku ingat tadi pagi aku mengirim pesan kepada beliau. Dan
baru tengah siang jawaban itu datang. Aku sangat memahami kesibukan beliau.
Bahkan andai pesanku tadi pagi tidak beliau jawab pun, aku mafhum. Tapi rupanya
beliau tetaplah pribadi bersahaja sebagaimana yang aku kenal dulu. Sosoknya
lembut. Dan beliau tetap menjawab sapaanku tersebut.
Suatu saat, di suatu jumat pagi, aku hendak melakukan
perjalanan Jakarta – Yogya melalui stasiun Gambir. Sekitar akhir tahun 2010
atau awal 2011. Sesaat menanti jadwal keberangkatan kereta sambil membaca koran
di ruang tunggu, tiba-tiba mata saya menangkap sosok yang sangat saya kenal di
seberang tempat aku duduk. Dua tahunan kira-kira beliau menjadi guru sekaligus
pembimbingku selama di Jakarta. Rentang tahun 2007 – 2009.
Maka aku hampiri beliau. “Assalamu’alaikum, tadz” sapaku.
Setelah memjawab salamku, kami sempat berpelukan sejenak.
“Eh, antum di Jakarta? Kost dimana sekarang?”
“Masih di Pengadegan, tadz. Kost yang lama.”
“Mau tinggal di komplek gak? Begini, rumah dinas Akh Dayat
kan diambil tapi tidak ditempati. Istri beliau kan kaya, rumahnya beberapa.
Beliau tinggal di tempat istrinya. Kalau antum mau, antum tinggal di sana
menjaga rumah tersebut. Sama Akh Doni. Dia sudah mulai tinggal di sana.”
“Ehm, berapa orang tadz?”
“Jangan banyak-banyak, berdua saja cukup. Saya diamanahi
beliau untuk mencarikan ikhwah untuk menunggu rumah dinas tersebut. Mungkin
beliau memakai hanya jika ada acara pekanan saja, itu pun tidak setiap pekan.”
“Baiklah, insyaAllah tadz.”
Maka setelah itu resmilah aku menjadi tetangga beliau di
komplek rumah dinas di bilangan kalibata itu. Rumah dinas yang beliau tempati
beda blok dengan rumah dinas yang aku tunggu. Di komplek ini, selama kurang
lebih satu setengah tahun, aku melihat sendiri dan berinteraksi dengan para
ustadz senayan yang selama ini hanya aku tahu dari media. Aku melihat dengan
kepala sendiri bagaimana keseharian mereka. Dan juga satu shaf dalam sholat
lima waktu kami.
Dst… dst… dst…
(pelajaran hidup satu setengah tahun di RJA Kalibata)
Pagi ini banyak ide berseliweran di kepalaku. Tiba-tiba satu
persatu muncul bak cendawan di musim penghujan. Satu hal kecil, telah memunculkan
memori-memori bawah sadarku ke permukaan kembali. Dan aku terbiasa menemukan
itu kala pagi hari menjemput. Sebelum mengawali aktifitas-aktifitas lainnya,
aku selalu mencoba mengikatnya menjadi sebuah tulisan. Setidaknya aku
mendapatkan pelajaran dari setiap kepingan episode tersebut.
Aku ingat di tahun 2002 atau 2003, ketika bersilaturahim ke
rumah kontrakan Ust Fauzil Adzim di daerah selatan pertigaan Janti, waktu itu
beliau masih mengontrak, yang karenanya setelah itu aku menjadi cukup dekat
dengan beliau sampai sekarang, beliau ceritakan ritme beliau dalam tulis
menulis. Beliau terbiasa tidur awal, terbangun dini hari, kemudian mengalirkan
ide-ide di kepalanya dalam bentuk tulisan di keheningan malam itu.
Lain lagi Pak Cah, kata beliau menulis itu bisa jam 01.00,
kadang jam 04.00, kadang jam 10.00, kadang jam 18.00, tidak jarang jam 22.00.
Intinya menulis bisa dilakukan setiap saat, karena ide dan lintasan di kepala
itu akan muncul setiap saat. Sebuah fragmen kejadian sederhana yang bagi orang
lain mungkin tidak ada nilainya apa-apa, tapi bagi seorang penulis semacam
beliau akan menjadi pemantik hikmah yang mengalir sempurna.
Di folderku, beberapa tulisan ada yang baru berisi satu paragraph, ada yang dua paragraph, bahkan beberapa hanya berisi
judul atau kata-kata kunci. Ada tulisan-tulisan yang butuh pengendapan,
biasanya ini berhubungan dengan peristiwa dan hikmah. Tapi ada juga
tulisan-tulisan yang bisa spontanitas, biasanya ia tentang emosi dan perasaan
kita. Maka setiap ide dan lintasan di kepalaku, aku mencobanya mengikatnya menjadi sebuah tulisan.
@maguwo, posted 16Januari2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar