Senin, 08 September 2008

Mengusahakan Takdir Terbaik

Mengusahakan Takdir Terbaik

Sesungguhnya Allah menguji kita pada titik terlemah diri kita. Saya selalu mencoba mendalami kalimat ini. Bukan untuk mencari pembuktian bahwa Allah telah menguji saya pada titik terlemah diri saya. Tapi lebih kepada pencarian dimana titik terlemah diri saya itu, sehingga saya bisa selalu bersiap untuk datangnya ujian-ujian Allah.

Beberapa minggu yang lalu saya dan sahabat-sahabat baik saya saling bercerita dalam sebuah forum. Tepatnya di suatu sore selepas jam kantor, sambil menunggu berhentinya guyuran hujan dari langit yang merupakan pertanda rahmat Allah sedang tercurah sore itu, hingga waktu sholat maghrib menjelang. Semua mengalir dengan begitu saja. Seakan kejadian setahun sebelumnya kembali terpampang di hadapan kami.

Yang pasti, saya dan sahabat-sahabat saya tidak sedang berkeluh kesah. Cerita itu apa adanya. Cerita itu hanya bagian episode yang kebetulan ingin kami tampilkan di awal episode cerita-cerita kami. Saya malam harinya menyelesaikan cerita-cerita mereka, merangkumnya menjadi sebuah alur cerita yang saling terkait. Inilah salah satu saksi bisu kenangan kebersamaan kami.

Cerita itu apa adanya. Semua berawal dari keprihatinan kami. Apa pun, kami juga hanyalah bagian dari manusia yang juga tak pernah lepas dari sisi-sisi kemanusian kami. Ada idealita yang dulu terbayang indah. Tapi realita kemudian membuat sebagian asa kami terhimpit. Asa itu tetap ada, tidak hilang, hanya ia terhimpit oleh paradoks-paradoks yang begitu tampak nyata di hadapan kami.

Kami tidak lagi bisa bersuara. Hanya sudut-sudut hati kami yang saling berbicara. Dan semua itu bertemu pada satu frase kata. Frase kata yang mewakili satu bagian hidup yang terasa berangsur hilang dalam hati kami. Yah, frase itu bernama 'kehangatan keluarga'. Semenjak kami terjauhkan dari keluarga, suasana itu begitu makin terasa asing.

Kami selalu mencoba untuk selalu berarti bagi sekitar kami, karena dakwah nabi kami mengajarkan kami bahwa yang terbaik di antara manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain. Khairukum anfa'uhum linnaas. Dalam sudut-sudut sepi kami di sini pun, kami selalu diajari untuk memikirkan orang lain. Ya, pikiran kami tidak saja terfokus kepada pekerjaan kami dan keluarga kami, tapi juga kepada sesuatu yang lebih luas dan besar dari pada itu. Sehingga terlalu naif jika kami harus berkeluh kesah apalagi menangis di tengah hal-hal seperti itu.

Cerita itu apa adanya. Sekali lagi bukan keluh kesah. Karena saluran untuk menyampaikan aspirasi itu terasa buntu. Kami berpandangan bahwa harus ada yang mengambil cara yang pahit sekalipun, jika memang itu bisa membuat sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Jika pampangan-pampangan kebijakan para pimpinan telah jelas dan terarah, transparan dan konsisten, maka kami pun yakin di tataran bawah ini akan rela untuk melakukan yang terbaik bagi institusi ini.

Ya, titik itu bernama keluarga. Saya merasa bahwa di titik inilah salah satu titik terlemah diri saya, dari titik-titik lemah yang lain. Entah bagi sahabat-sahabat terbaik saya. Tetapi setidaknya, kami bisa saling beresonansi dalam tulisan-tulisan kami tersebut. Karena dalam keyakinan kami, visi kami dalam berkeluarga adalah sebagaimana termaktub dalam salah satu ayat qur'an. Quu anfusakum wa ahlikum naara. Yaitu menjaga diri kami dan keluarga kami dari api neraka. Sehingga, bagaimana kami bisa optimal melakukan tugas itu, jika keberadaan kami saling berjauhan?

Kami yakin, Dzat yang Maha Tahu tentu telah punya skenario untuk itu semua. Tetapi mengusahakan takdir yang terbaik buat diri dan keluarga adalah diperintahkan. Dibalik rasa syukur dan sabar kami, kami mencoba untuk membuat sebuah ikhtiar meraih takdir terbaik untuk kami dan keluarga kami terebut. Semoga Allah yang Maha Mendengar, merahmati dan meridhoi usaha kami. Dan kami akan selalu ikhlas menerima segala ketentuan-Nya.

Ishbir ya akhi... Wa Allahu ma'akum ainama kuntum...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar