Selasa, 13 Januari 2009

Pena hidup yang terus mengalir

Sebuah jejak awal...

Terlahir menjadi anak keempat setelah ketiga kakak sebelumnya perempuan semua, menjadikan aku anak kesayangan orang tua dan kakak-kakakku. Setidaknya itu yang aku rasakan. Sewaktu masa kecilku, orang tua termasuk kalangan berada. Pedagang pertama yang ada di desa kami, toko kami lumayan besar. Di tambah darah yang mengalir melalui mbah buyut kami yang seorang demang, sebutan jabatan masa lalu, membuat keberadaan keluarga kami cukup dihormati.

Masa kecilku, aku biasa menghabiskan kue bolu yang besarnya selingkar kepala orang dewasa. Sendirian saja. Begitu cerita orang tuaku. Tapi boleh dibilang orang tuaku over protektif sehingga pergaulan masa kecilku tidaklah luas. Hanya ada 2 teman yang aku ingat. Keduanya tetangga kiri dan kananku, selebihnya aku tidak kenal.

Hingga akhirnya orang tuaku ditipu oleh kerabat dekat. Kejadian ini terjadi di awal tahun 1980an. Saat itu aku telah mempunyai adik berumur 2 tahunan. Motor Yamaha L2 Super yang baru kami beli beberapa bulan, tiba-tiba dijual oleh pak likku. Angsuran bank yang dititipkan ke kerabat jauh yang menjadi pegawai di bank tersebut, tak pernah sampai sehingga tiba-tiba orang tua mendapat tagihan yang luar biasa besar. Akhirnya toko kami bangkrut untuk menutup hutang-hutang.

Sejak itu orang tuaku menekuni ladang warisan dari kakekku. Menjadi petani tulen, tak lagi mempunyai modal untuk menjadi pedagang. Hingga kemudian lahir adikku yang kedua. Saat itu kakak pertamaku sudah duduk di bangku SMA, kakak kedua SMP, kakak ketiga dan aku masih duduk di SD. Jarak sekolah antar kami masing-masing 2 atau 3 kelas. Kedua adikku yang masih kecil, belum sekolah

Kehidupan saat itu mulai terasa berat bagi orang tua. Mengandalkan dari pertanian yang panen setahun 2 atau 3 kali, jelas tidak bisa menutup biaya sekolah kami. Apalagi beberapa tahun berikutnya kakak pertamaku mulai kuliah, praktis biaya yang keluar untuk sekolah makin besar. Orang tuaku bersikeras kami semua harus sekolah, agar tidak bodoh dan mudah tertipu seperti mereka. Akhirnya ayahku memulai profesi baru, merantau berjualan es. Aku ingat, perantauan beliau pertama adalah kota Jogja, kota yang sekarang menjadi tempat tinggalku.

Biaya hampir semua tersedot ke kakak kami yang pertama yang sedang kuliah sehingga kami yang duduk di bangku sekolah bawahnya hampir selalu nunggak SPP. Ayah makin jarang pulang, untuk memenuhi kebutuhan kami. Kadang 2 bulan penuh sama sekali tidak pulang. Ketika kakak pertama kami kuliah di tahun ketiga, kakak kedua dan ketiga aku duduk di bangku SMA, aku di bangku SMP dan kedua adikku di bangku SD. Tahun-tahun ini luar biasa berat bagi kami. Enam anak sekolah semua. Ayah aku akhirnya merantau ke Kudus, untuk mencari penghasilan yang lebih baik, Tetap berjualan es. Ibu dibantu kami anak-anaknya, mengurus ladang yang di sela-sela sekolah kami.

Track record sebagai penunggak spp...

Selama 3 tahun di SMP, tanggal 10 tiap bulannya hampir selalu aku menjadi langganan untuk menghadap bendahara sekolah, setelah sebelumnya dalam upacara bendera atau senam pagi daftar nama-nama murid penunggak spp (yang besarnya Rp. 6.000) diumumkan melalui pengeras suara, termasuk aku. Dan aku selalu telah siap dengan sebuah surat tulisanku sendiri dengan tanda tangan orang tua yang aku palsukan, menyatakan kesanggupan untuk membayar spp dalam waktu tertentu. Kami membayar spp biasanya menunggu ayah pulang, atau kiriman dari beliau jika beliau tidak pulang bulan tersebut. Alhamdulillah setidaknya ini bisa menetralisir record buruk aku sebagai langganan penunggak spp.

Kakak kedua selepas SMA memilih tidak melanjutkan kuliah, kemudian mencoba merantau ke Bandung. Ada saudara kami dari bude yang banyak menetap di Bandung. Kakakku sementara menumpang di sana. Keadaan kami belum banyak berubah. Ketika aku masuk SMA, bisa dibilang kondisi ekonomi kami makin berat. Status sebagai penunggak spp tetap aku pertahankan. Padahal waktu SMA aku telah mengajukan pembebasan spp sehingga hanya membayar biaya operasional yang besarnya Rp. 9.000 waktu itu. Ternyata itupun aku harus selalu menunggak. Demikian pula kakak dan kedua adikku.

Ketika aku naik ke kelas 2 SMA, kakak ketiga yang lulus SMEA juga memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Dia pun kemudian mencoba merantau ke Bekasi, alhamdulillah langsung mendapatkan pekerjaan di sebuah PT. Kakak pertamaku hampir menjelang selesai kuliah. Akhirnya ayah aku mulai tidak merantau lagi. Kembali menjalani hari-hari sebagai petani. Tapi masalah keuangan tetap belum terselesaikan. Tidak jarang jika pagi kami hanya sarapan nasi dengan garam. Aku berangkat sekolah yang jauhnya hampir 20KM dengan mengendarai sepeda warisan kakakku. Sering aku menambal sendiri ban jika kebetulan bocor.

Tragedi ban sepeda pecah....

Ada cerita yang sampai sekarang masih aku ingat. Waktu itu aku pulang sekolah. Ban luar sepeda aku sudah lama pecah di sana-sini. Sehingga ban dalam menonjol di sana-sini juga. Kami tidak punya uang untuk membeli ban baru. Hingga akhirnya pada satu hari saat pulang sekolah, ”Dorrr...”, ban sepedaku meletus. Aku menuntunnya mencari penambal ban terdekat. “Dek, ini bannya harus dipotong dulu terus disambung. Tidak bisa lagi ditambal.” Begitu katanya. ‘Iya, pak. Disambung saja tidak apa-apa.” Kataku pasrah.

Waktu itu ongkos tambal ban Rp. 300. Jika harus menyambung ban, ongkosnya Rp. 500. Dalam sepekan, ibu aku memberi uang jajan hanya sekali yaitu ketika ada pelajaran olah raga. Uang jajanku kisarannya antara Rp. 300- 500. Hari itu ada pelajaran olah raga, dan paginya ibuku memberi Rp. 500,- untuk uang jajan. Ternyata di kantongku hanya tertinggal Rp. 200.

Begitu selesai, aku langsung memberanikan diri mendekati bapak penambal ban. ”Pak, mohon maaf, saya cuma punya uang Rp. 200.” Wajah saya mungkin begitu kelihatan kusut. Sangat memelas barang kali. ”Ya sudah dik, seadanya saja. Tidak apa-apa.” jawabnya. Berkali-kali aku ucapkan terima kasih kepada bapak tadi, sambil bergegas melanjutkan perjalanan pulang.

(masih panjang sambungannya... ditunggu saja)

3 komentar:

  1. Trenyuh aku.... kondisi ini tidak jauh berbeda dengan bapakku...cuma bedanya bapakku adalah seorang guru, jadi untuk spp nggak nunggak, tapi untuk yang lain lain nggak jauh beda. Tiap awal bulan bapakku selalu pusing karena gajinya selalu minus untuk cicilan. Kalau sudah gitu bapak saya terus metik kelapa sebagai penunjang .....

    BalasHapus
  2. Weleh.. aku gak bermaksud membuat trenyuh orang lho mas. Ini cuma ingin saya jadikan semacam 'jejak langkah' yang pernah saya buat, tentang hidup saya. matur nuwun.

    ~masker~

    BalasHapus
  3. Weleh.. aku gak bermaksud membuat trenyuh orang lho mas. Ini cuma ingin saya jadikan semacam 'jejak langkah' yang pernah saya buat, tentang hidup saya. matur nuwun.

    ~masker~

    BalasHapus