Kamis, 11 Juni 2009

Sedikit Kekawatiran Seorang Ayah.

Senin siang beberapa hari yang lalu, istri mengabarkan jika gadis kecilku mendadak badannya panas siang itu. “Lah, piye tho yang? Tadi malam tidur di lantai po?” Tanyaku ke istri. Ini lagi musim ujian semesteran, tentu melewati ujian sekolah dengan kondisi tubuh tidak sehat amat tidak mengenakkannya.

“Iya, tadi malam kan hujan deras. Karena awalnya udara terasa panas, Zahra tidur di lantai.” jelas istriku. Akhirnya sore itu, istri mengantarkannya untuk berobat ke dokter. Alhasil, setiap saat aku mencoba memantau perkembangannya.

”Gimana dek, masih panas badanmu?” tanyaku pada gadis kecilku saat aku menelponnya.

”Gak tahu bi. Mas Ammar coba raba keningku, masih panas gak.” Dari jauh saya dengar suara kakaknya Ammar mengatakan ’Masih!’. ”Masih bi, sama buat makan dan menelan ludah tenggorokanku terasa sakit je bi”

”Ya sudah, untuk mengurangi rasa sakit tenggorokanmu, minta tolong Om Agus belikan permen hexos ya. Jangan lupa minum obatnya. Habis belajar langsung tidur.” Pesanku. Aku memang agak rewel jika mengurusi masalah kesehatan. Apalagi jika berhubungan dengan obat, harus disiplin.

Rabu sore kemaren, waktu kutelepon dia dan kutanyakan, ”Masih panas dek?”. ”Masih bi.” jawabnya. Lah, bukankah ini sudah hari ketiga. Pasti ada yang tidak beres, atau setidaknya tidak tertib, atau bahkan tidak disiplin, pikir saya. ”Kamu tadi mandi pake air anget apa air dingin?” tanyaku. ”Pakai air dingin, bi” jawabnya.

”Duh, kamu ini kan lagi sakit ndhuk. Mandinya pake air anget dulu. Umi belum pulang tho? Bilang sama budhe besok ya kalo mandi, minta tolong dimasakkan air dulu.” Budhe adalah yang membantu kami dan menemani anak-anak kami jika kami tinggal pergi bekerja. Beliau tetangga kami meski berbeda dusun.

Selepas Maghrib istriku telepon. Mengabarkan bahwa dia sore tadi kelupaan menitipkan pesan ke budhe agar Zahra mandinya dengan air hangat. Padahal sungguh, aku tidak memintanya menjelaskan tentang itu. Sepertinya dia tahu dan ada kekawatiran, bahwa hal ini harus dijelaskan. Bahwa duhu badan Zahra yang kembali panas tentu akan menggelisahkanku di sini.

Dia memang paling tahu tentang perasaanku, jika berhubungan dengan anak perempuanku. Bukan aku membedakan antara anak perempuanku dengan kedua anak laki-lakiku. Bukan. Semua aku perhatikan dengan serius karena semuanya adalah amanah yang harus kami jaga. Tapi untuk anak perempuanku ini, memang aku merasa harus lebih menjaganya. Entahlah. Mungkin saya memang juga belum bisa berbuat adil.

11/06/2009

2 komentar:

  1. Wis ndang pesen tiket cuti...
    kabuuur
    mulih

    BalasHapus
  2. Siap bos.. aku cuti sekitar pilpre insyaAllah mas.

    Masker

    BalasHapus