Selasa, 02 Juni 2009

Siapa Yang Berubah Sejatinya?

Masih ingat kisah Bilal, seorang budak dari bangsa Habsy yang telah masuk Islam, dkeluarkan oleh majikannya - Umayah bin Khalaf - pada siang hari yang terik, dia ditelentangkan di padang pasir Makkah yang membara, lalu ditindihkan di atas dadanya sebongkah batu batu besar? “Sungguh engkau akan tetap seperti ini sampai engkau mati atau sampai engkau mengingkari Muhammad dan menyembah tuhan Latta dan Uzza” Kata Umayah. Bilal hanya mampu berkata, “Ahad, Ahad…” Begitu seterusnya.

Atau kisah Abu Dzar, sesaat setelah menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah dia mengucapkan, “Demi Dzat yang diriku berada di dalam kekuasaannya, aku benar-benar akan berteriak di tengah-tengah mereka”. Lalu dia pun pergi ke depan ka’bah dan berteriak lantang, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Maka tak ayal kaum kafir Quraisy beramai-ramai mengepungnya dan memukulinya hingga babak belur. Padahal Rasulullah sebelumnya sungguh telah melarangnya. Bahkan esok harinya diulanginya lagi perbuatan itu.

Atau beberapa puluh tahun yang lalu, kisah dua orang anak umuran SMA yang berangkat ke sekolahnya dengan mengendarai sepeda hampir 20KM setiap hari, setiap mendahului pengendara sepeda lain sesama pelajar yang terlihat ciri-ciri muslimnya, tidak terlewatkan kecuali mereka ucapkan salam kepadanya. Meskipun mereka tidak mengenalnya sama sekali. Bahkan di kampungnya mereka sempat membikin heboh dengan melakukan takbir dengan pengeras suara di masjid, pada hari kedua hari raya idul fitri!

Barangkali kita akan fasih mengatakan, itulah yang dinamakan militansi. Tetapi yang terjadi kemudian untuk saat ini, tidak sedikit kita kemudian menemukan nada-nada pesismis yang mengatakan, “ah, militansi itu hanya milik para asabiqunal awwalun” atau ”militansi itu biasanya terasa kental ketika jumlah kader dakwah itu masih sedikit”. Atau bahkan mungkin ada yang berpikir, “militansi itu sekarang seperti mutiara yang mahal. Sulit untuk ditemukan kembali.”

Seorang ustadz saya pernah mengatakan, “akhi, kita tidak bisa mengharapkan militansi kader kita seperti dulu.” Tapi beliau tidak sedang pesimis, saya menangkapnya ini sebagai peringatan. Kenapa beliau ungkapkan hal itu di hadapan kami? Tak lain agar kami segera bisa berbenah kembali. Ada mimpi-mimpi besar yang harus kita semai bersama tentunya. Bahwa suatu saat nanti, kita - umat islam ini - harus menjadi guru bagi alam semesta ini (ustadziatul alam). Dan jika kita tidak ikut mendekap mimpi-mimpi itu dengan kerja-kerja kita, tentu akan rugilah kita semua.

Maka membungkus mimpi-mimpi itu dengan baju militansi merupakan keniscayaan. Agar mimpi-mimpi itu senantiasa terwariskan ke generasi-generasi setelah kita. Karena kita sadar dan kita tahu, bahwa mimpi-mimpi itu membutuhkan masa yang panjang. Tidak cukup hanya satu generasi untuk mewujudkannya.

Baju militansi setidaknya membutuhkan kombinasi tiga warna dalam diri kita. Yang pertama adalah warnailah dengan izzah. Yaitu keyakinan dan kebanggaan akan fikrah islam yang kita miliki. Saya ingat, ketika seorang ustadz pernah bercerita. Waktu itu ia diminta untuk mengisi acara di lemhanas, dia bukan siapa-siapa. Tidak ada pangkat atau jabatan yang tersemat kepadanya. Bagi kita, mungkin kita pun akan minder ketika harus presentasi di depan pejabat-pejabat itu. Tapi kata beliau, ”yang saya bentuk dalam benak saya kemudian adalah pikiran bahwa saya mempunyai fikrah islam yang tidak mereka punya. Dan inilah kelebihan saya yang tidak mereka punyai. Jadi kenapa saya harus takut?”

Yang kedua adalah warnailah baju militansi kita dengan hamasah. Semangat menggelora untuk mengamalkan Islam dan menyerukannya kepada orang lain. Inilah yang terjadi pada Abu Dzar al Ghifari ketika memaklumatkan keislamannya di hadapan kaum kafir quraisy. Meski ia sebenarnya sadar dengan akibatnya tetapi karena adanya semangat yang menggelora itu, maka ia pun melakukannya.

Dan warna yang ketiga adalah ghirah. Apa itu ghirah? Kecemburuan dan semangat pembelaan terhadap Islam. Seorang Abu Bakar yang sejatinya hatinya teramat sangat lembut, ketika mendengar ada kabilah-kabilah yang menolak untuk membayar zakat sepeninggal Rasulullah, tiba-tiba berketetapan untuk memerangi mereka. Bahkan seorang Umar yang berperangai keras pun awalnya tidak setuju dengan keputusan Abu Bakar itu. Akan tetapi demi menegakkan sendi-sendi agama, Abu Bakar tetap bersikukuh sehingga diperangilah para pembangkang tersebut dan akhirnya terpadamlah api fitnah.

Kombinasi ketiga warna itulah - izzah, hamasah dan ghirah - yang perlu kita bentuk dalam diri kita semua, sehingga pandangan-pandangan dan pikiran-pikiran bahwa militansi itu telah hilang dari diri umat ini tidak menjadi kenyataan. Bahwa sesungguhnya, kapan pun dan dimana pun, militansi itu akan tetap ada dan akan tetap melekat dalam diri kader-kader dakwah ini. Meski mereka barangkali bukan gerbong generasi awal. Meski jumlah kader semakin melimpah dan tersebar merata. Meski kemudahan-kemudahan semakin terbuka lebar. Meski keberlimpahan duniawi bahkan semakin menggoda.

Ya. Semoga Allah mengokohkan langkah-langkah kita semua, agar tetap istiqomah di atas jalan dakwah ini.


@Pancoran :22:45wib 01/06/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar