Selasa, 01 Desember 2009

Ukhuwah yang Serasa Hilang

Sekilas, aku melihat cairan bening menggenang di sudut mata beliau. Dengan sedikit tercekat beliau berkata, “Akhi, saya akan bicara jujur kepada kalian. Tidak akan saya tutupi.” Kami mengira apa yang akan beliau katakan adalah bagian taushiyah untuk kami. Ya, kami malam itu sedang melakukan program silaturahim tokoh. Kami silaturahim ke salah seorang guru kami di sana. Program ini bahkan telah kami rancang sejak dua pekan sebelumnya.

Beliau melanjutkan, “Tadi siang adalah hari yang unik. Dan saya yakin ini atas skenario Allah juga, antum malam ini datang ke rumah kami. Padahal siang tadi saya dan istri merencanakan bepergian. Saya bilang ke umminya, ‘Mi, ayo kita pergi. Kemana enaknya menurutmu?’ Istri saya menjawab, ‘Silaturahim’. Saya tanya lagi, jawabnya tetap sama, ‘Silaturahim. Pokoknya silaturahim.’”

Kami belum bisa menebak ke arah mana beliau akan bercerita. Karena sebelumnya kami membahas tentang makanan ahli surga. Tentang kehidupan para ahli surga. Beliau tadi menjelaskan tafsir lain beliau tentang sifat dan makanan ahli surga. Tentang penafsiran mengapa ahli surga nanti bisa melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Ah, sesuatu yang baru, yang sangat mencerahkan pemahaman kami tentunya.

“Padahal awalnya maksud saya hendak mengajak istri makan di luar.” Beliau menghela nafas sejenak. “Mendengar jawaban istri saya itu, lalu saya katakan, ‘Mi, kita tak punya saudara lagi di kota ini. Ikhwah ini, dia bukan saudara kita lagi. Ikhwah itu, ah dia juga bukan saudara kita lagi. Atau ikhwah yang di sana, rasanya dia bukan saudara kita juga. Rasanya, tak ada ikhwah lagi yang mau menjadi saudara kita di kota ini.’ Suara beliau sedikit bergetar. Kami pun tak kalah bergetar. Kami semua tersentak mendengar penuturan ustadz tadi.

Masih dengan nada sedikit parau beliau berkata, “Maka istri saya kemudian menangis. Saya pun menangis. Begitulah, siang tadi akhirnya kami menangis berdua. Rupanya Allah hendak menjawab galau kami dengan kedatangan antum semua. Allah ingin menunjukkan bahwa masih ada saudara kami di kota ini. Jazakumullah atas kehadiran antum semua malam ini.” Suasana hening dan haru tiba-tiba menyeruak di dada-dada kami. Kami semua tertunduk, terpekur, merenungkan sebuah kata yang bagi kami kini serasa di awang-awang. Kata itu adalah ukhuwah.

Kawan, ini memang hanya cerita kecil tentang sebuah episode di desa agak terpencil, di daerah dekat kaki gunung merapi sana. Episode sepi. Di tempat yang sungguh-sungguh sepi. Tentang seorang yang merasa kesepian di saat dakwah ini justru tengah memasuki hingar bingar keramaian. Sebuah paradoks yang menyentuh hati kami. Dalam perjalanan pulang dari rumah beliau, kami berenam saling introspeksi. Dua dari tiga nama yang beliau sebutkan, ada di antara kami.

Muara kami bertemu pada satu kata tadi, ukhuwah. Entahlah, barangkali salah satu wasilah menjaga ukhuwah yang asasi yang sering kita tinggalkan itu adalah bernama silaturahim. Lidah kita fasih mengucapkannya. Tangan kita lancar menuliskan keutamaan-keutamaannya. Tapi seringkali langkah kita tertahan oleh kesibukan, kepenatan, kesempitan waktu atau pun dalih-dalih yang lain.

Siapa yang pernah menyangka, seorang ustadz seperti beliau sampai pada kesimpulan seperti itu : tak ada lagi saudara kami di kota ini! Kesibukan beliau memang praktis agak menurun sejak tidak menjadi aleg. Pesantren yang dulu beliau kelola sebelumnya dan cukup dikenal di daerahnya kini tidak berkembang. Kini fisik beliau pun diuji dengan penyakit gula dan jantung. Aduhai, pertemuan-pertemuan kami selama ini memang hanya saat-saat formal saja, di tempat-tempat kajian, di jalan, di kantor dakwah, atau di tempat dan even yang senada. Dan kawan, itu tidak cukup. Untuk memaknai sebuah ukhuwah, semua itu tidak cukup!

Karenanya, salah satu syiar yaumiyan yang ada dalam panduan aktifitas harian kita ada yang namanya aktifitas silaturahim. Benar-benar silaturahim. Benar-benar kunjungan atas nama silaturahim. Bukan karena ada kewajiban kita mengembalikan buku yang pernah kita pinjam misal. Bukan pula karena keterpaksaan kita karena hendak meminta suatu pertolongan. Atau kepentingan-kepentingan yang lain. Karena dengan berkunjung, dengan silaturahim, kita bisa menguak hal-hal yang seringkali tidak tersampaikan dalam saat-saat formal tadi.

Banyak keutamaan dari silaturahim ini. Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda: “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menyambung silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi)

Ternyata, silaturrahim membawa keberkahan dalam rezeki dan umur seseorang yang suka menyambungnya. Ibnu Umar r.a berkata: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturrahim, akan dipanjangkan umurnya, diperluas rezekinya, dan dicintai oleh keluarganya.” (H.R. Bukhari)

Orang yang suka menyambung silaturrahim akan mendapatkan keberkahan dalam rezeki dan bertambah umurnya. Rahmat Allah akan senantiasa tercurah kepadanya di dunia dan di akhirat. Ia akan dicintai oleh manusia dan dihormati. Sebaliknya, orang yang suka memutuskan tali silaturrahim akan mendapatkan kesengsaraan, bencana, dan kebencian dari Allah dan manusia. Di akhirat nanti, ia akan dijauhkan dari surga.

Cukuplah bagi orang yang memutuskan tali silaturrahim merasakan kesengsaraan dan bencana apabila mendengar sabda Rasulullah Saw: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi).

Semoga kita dimudahkan untuk memperbanyak silaturahim, sehingga cerita-cerita haru seperti episode di awal tulisan ini tak banyak terjadi di sekitar kita. Di komunitas yang sangat-sangat menjaga makna ukhuwah ini.

Finished at menara jamsostek, 24/11/2009 14:40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar