Selasa, 01 Desember 2009

Perbanyak saat-saat indah dalam kenangan mereka

Selepas Sholat Isya’ di masjid dekat kost, sesampai di kamar kulihat ada 2 panggilan tak terjawab di hp fleksiku. Begitu juga di hp simpatiku. “Ini pasti ada yang penting.” Pikirku. Kutelepon balik nomor itu. Sesaat nada telepon diangkat, segera kuucapkan salam. Seseorang menjawab salamku dengan nada tertahan. Terisak. Otakku langsung bekerja untuk mengidentifikasi pemilik suara ini. “Hallo, siapa ini? Zahra ya?” tanyaku. “Iya..” jawabnya setengah terisak. Ah, gadis kecilku rupanya. Ada apa gerangan dia sampai meneleponku 4 kali? ‘Ada apa sayang? Umi kemana?” aku mulai menelisiknya. “Gak apa-apa. Umi lagi ke masjid, pengajian.” Jawabnya masih dengan suara tertahan.

Aku paling tahu sifat gadis kecilku ini. “Tadi yang nelepon abi sampai 4 kali siapa?” desakku. “Aku.” Jawabnya singkat. “Jadi ada apa sayang? Kok menangis” tanyaku lagi. “Tidak ada apa-apa.” Lagi-lagi dia tidak menjawab. Tapi nada suaranya makin tergugu. Ah, anak kecil ini makin membuatku penasaran. Walau kadang sifat cengengnya ini membuatku sering kali kelabakan, tapi kali ini aku harus menenangkannya.

“Mas Ammar kemana?” tanyaku. “Ikut umi ke masjid” “Dik Ghifar?” tanyaku lagi. “Ikut umi juga.” “Terus Zahra di rumah sama mbah? Ngapain kok gak ikut umi?” desakku. “Iya. Lagi ngerjain PR.” Hmm.. Jawaban terakhir inilah yang kemudian menjadi kunci bagiku untuk menelisik kenapa gadis kecilku ini menangis. Aku segera tahu, pasti ada persoalan dengan PR nya. Yang aku hafal, jika ada kaitannya dengan pelajaran bahasa arab atau matematika, dia lebih suka bertanya kepadaku.

“Ada kesulitan? Apa yang tidak bisa, coba tanyakan ke abi, sayang.” Bujukku setengah merayu. Setelah itu, suaranya kudengar berangsur tenang. Tak ada lagi isak tertahan. Hingga akhirnya bisa aku dengarkan suaranya benar-benar jernih dan renyah kembali, seperti biasanya. “Jadi 975 dibagi 25 berapa, bi?” tanyanya. “Kamu masih ingat diagramnya tho? Mula-mula 97 dibagi 25 dulu, didapat angka 3. Terus 3 kali 25 ada 75 kan? Nah 97 tadi dikurangin 75, hasilnya 22. Terus angka 5 dari 975 tadi diturunkan, dapat angka 225. 225 dibagi 25 ada 9 tho? 9 kali 25 sama dengan 225. 225 dikurangin 225 sama dengan 0. Selesai deh. Jadi 975 dibagi 25 ada 39.” Aku jelaskan satu soal itu.

Alhamdulillah, Allah karuniai aku anak yang cerdas. Cukup satu itu aku jelaskan dan ingatkan kembali, soal-soal yang lainnya yang senada sudah bisa dia kerjakan sendiri. Dia juga sampaikan satu pertanyaan tentang pelajaran PKn, “Dah bi itu aja, ntar yang lainnya tak tanya mbah aja.” Katanya. Aku rasa dia hanya butuh perhatian. Di saat mengerjakan PR-nya, biasanya dia didampingi uminya. Tapi tadi uminya harus ke masjid karena ada pengajian rutin ibu-ibu. Sehingga sedikit kesulitan tadi telah membuatnya galau. Saat meneleponku berkali-kali dan terus-terusan missed call, makin membuatnya galau dan kemudian menangis.

Ini hanya cerita lain tentang tabiat gadis kecilku itu, di luar kegemarannya dalam membaca. “Dia paling mirip denganmu.” Kata istriku jika mengomentari sifat-sifat dan tabiat yang dia punyai. Ya, ketiga anak kami memang membawa sifat, tabiat dan karakter yang saling berlainan. Masing-masing membutuhkan sentuhan yang berlainan. Ada saatnya sifat-sifat mereka itu saling bertemu, tapi di lain waktu karakter dan tabiat itu seolah tak bisa disatukan. Hingga rumah kami laksana kapal pecah. Benar-benar berantakan.

Dunia anak memang dunia warna-warni. Inilah saat tepat memberikan mereka warna sesuai yang kita inginkan. Ketika kita terlewat dalam memaksimalkan peran kita dalam fase ini, maka bersiap-siaplah untuk menyesal. Fase ini tak mungkin bisa kita ulangi lagi, sebagaimana waktu dan umur kita jika telah berlalu maka dia hanya bisa kita kenang atau kita ratapi. Tak akan pernah bisa kita putar ulang kembali.

“Bi, gendong. Aku ngantuk” pinta si bungsu saat kami selesai dari pengajian idul adha malam itu. ‘Ntar kalo abi makin peyok gimana?” tanyaku. “Tapi aku ngantuk.” Akhirnya aku tak kuasa menolak permintaanya. Kapan lagi aku bisa menggendongnya, saat-saat seperti ini akan cepat berlalu, hingga tahu-tahu dia sudah besar nanti. Dan tentunya, aku makin tak akan mampu menggendongnya. Begitu yang aku pikirkan. Hingga setelah kira-kira setengah perjalanan sampai rumah, dia aku turunkan, “Dah ya, punggung abi dah mulai sakit.”

Perbanyak saat-saat indah dalam hidup mereka, anak-anak kita. Penuhi memori mereka dengan kenangan-kenangan indah, itu akan sangat membantunya saat mereka besar nanti. Aku yakin itu. “Mi, tadi malam abi nggendong ghifar.” Anak gadisku mengadukanku tentang kejadian itu. Istriku hanya bisa memandangku tak mengerti, seperti biasa ia tahu, aku selalu melanggar pantangan itu. “Lha dia ngantuk. Kasihan. Mumpung masih kecil.” Begitu pembelaanku.

Suatu saat, punggungku kambuh. Akhir pekanku bersama keluarga tidak maksimal. Biasanya hari sabtu aku antar jemput anak sekolah, dan ahadnya mengantar mereka les renang. Tapi itu tidak bisa aku lakukan. Hampir 2 hari itu aku hanya istirahat di rumah. Menjelang keberangkatanku kembali ke ibukota, saat kami makan bersama, istriku berpesan : “Baik-baik ya, jaga kesehatan.” “Iya, abi gak boleh sakit. Nanti gak bisa main sama anak-anak kalo sakit.” Sambung sulungku sambil makan. Deg! Aku dan istriku saling menatap. Haru.

Begitulah. Yang aku yakini, masa-masa kecil mereka sebentar lagi akan berlalu. Mereka akan cepat menjelma menjadi manusia dewasa. Oleh karena itu, aku tak boleh melewatkan saat-saat ini. Inilah masa-masa mereka masih sangat membutuhkan kami, orang tuanya. Bukan berarti setelah dewasa mereka tidak akan membutuhkan kami. Tapi aku yakin masa-masa itu akan menjadi masa yang rumit bagi mereka. Justru mereka akan makin membutuhkan kami. padahal dekat tidaknya mereka nanti dengan kami, harus kami bangun sedari mereka kecil inilah.

Kawan, semoga jauhnya jarak kita dengan anak-anak kita tak membuat mereka merasa jauh dari kita, orang tuanya. Semoga sedikit dan terbatasnya kedekatan fisik kita dengan mereka, justru membangun dan makin mempererat kedekatan psikis kita dengan mereka. Hanya kepada Allah lah, Sang Penjaga Hidup kita, kita memohon bimbingan dan arahannya agar bisa membesarkan dan mendidik anak-anak kita dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah senantisa memudahkan dan menyederhanakan segala urusan kita.

Pancoran, 30/11/2009 23.40

3 komentar:

  1. Saya bisa merasakan, sebab yang saya rasakan juga sama. Apalagi kalau anak saya 7 lebih sedih lagi. Kasihan istri saya, kasihan anak2 saya. Saya nggak bisa berbuat apa2

    Senin pagi jam 7 (baru datangh di kos) anak no 6 telp: Abi pulangnya kapan????
    Jawab saya : besok besoknya besoknya lagi besoknya lagi besoknya lagi

    BalasHapus
  2. Ya Alloh, jadi inget masa-masa indah saya bersama almarhum ayah saya....hiks...

    nice story pak...

    BalasHapus
  3. Mas Sugeng : Hehe.. betul mas. Aku tambah bisa membayangkan, kenapa pekan kemaren tidak pulang.. (alasan : biar ngirit ! hehe)
    Luthfi : Begitulah. Untuk alm bapak antum : Allahu yarham.. amin.

    BalasHapus