Rabu, 07 September 2011

Puasa, Takwa, dan Syawal

Puasa, Takwa, dan Syawal

Sudah kita ketahui bahwa ibadah puasa ramadhan untuk membentuk pribadi yang bertakwa, lalu bagaimana kah ciri pribadi yang bertakwa itu selepas bulan ramadhan bisa kita lihat? Maka mari kita lihat QS Ali Imran : 133-135 :

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”


Salah ciri satu orang yang bertakwa di atas, sbg hasil dari tarbiyah ramadan selama sebulan adalah wa afina ‘aninnaas yaitu memaafkan kesalahan orang. Maka untuk mensyiarkan karakter inilah maka terciptalah tradisi halal bi halal yang ada di negara ini. Yang pada intinya adalah untuk saling mengikhlaskan segala keselahan di antara sesama.

Halal bi hala tidak akan lengkap kalo kita tidak membahas tentang silaturahim yang kemudian identik dengan mudik. Banyak di antara kita rela untuk membayar tiket mahal, melewati perjalanan yang panjang dan bermacet ria, demi satu hal yang bernama silaturahim tadi. Maka perlu kita lihat juga, beberapa hadits nabi yang mengabarkan kepada kita tentang pentingnya silaturahim.

1. Orang yang memutus silaturahim tidak akan masuk surga

Hadis riwayat Jubair bin Muth`im ra.:
Dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan. (Shahih Muslim No.4636)

2. Silaturahim akan memudahkan rejeki

Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang merasa senang bila dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturahmi). (Shahih Muslim No.4638)

3. Silaturahim akan memanjangkan umur

Selain hadits di atas (point 2), Keutamaan inipun dikuatkan dengan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang berbunyi :

صِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيْدُ الْعُمُرَ

Artinya: “Silaturahim bisa menambah umur.” [Dikeluarkan oleh Al Qadha’i dalam Musnad Asy Syihab dan dihasankan oleh Al Munawi dalam Faidhul Qadir (4/192) dan Al Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami' no. 3776]

Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan (atau dipanjangkan umurnya) di sini, yaitu tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.

Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak). Inilah makna firman Allah Ta’ala :

يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ

Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS Ar Ra’d:39).

Sehingga seolah-olah di mata manusia, umurnya yang bertambah shg menjadi 100 tahun.

Dan yang ketiga. Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan dipuji. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam. [Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/114)]

Terakhir, sebagai hiburan marilah kita belajar tentang makna ikhlas. Bagaimana seharusnya sikap kita yang harus kita bangun dalam mengikhlaskan segala kesalahan orang lain kepada kita. Ustadz Mujab Mahalli, seorang kyai di bilangan Krapyak Yogyakarta, dalam sebuah bukunya menceritakan tentang contoh sebuah keikhlasan.

Tersebutlah seorang kyai yang mempunyai dua orang santri yang telah lulus dari pondoknya. Kebetulan keduanya bersaudara dan tinggal berdekatan. Sebut saja namanya Karyo dan Kardi. Setelah sekian bulan lamanya mereka tidak bertemu kyai mereka, ada kerinduan dalam diri mereka.

Karyo mengutarakan hal itu kepada istrinya, ”Aku kok kangen sama pak kyai ya, Bune. Bagaimana kalo kita sowan beliau?” ”Ya bagus tho Pakne, saya setuju itu.” jawab istrinya. ”Kita bawa oleh-oleh ya buat beliau, kita punya apa?” tanya Karyo. Mereka hanya seorang petani desa dengan ladang yang tidak begitu luas. ”Ya, cuma ketela di belakang rumah itu, Pakne.” kata istrinya. ”Ya sudah, tujuan kita kan silaturahmi. InsyaAllah beliau berkenan.” kata Karyo mantab.

Singkat cerita, mereka berdua akhirnya sampai di rumah kyai mereka. Kyai dan santri itu banyak berbincang sambil melepas kerinduan mereka. Ketika hari menjelang sore, Karyo dan istrinya berpamitan. ”Tunggu sebentar ya.” kata sang kyai sambil ke ruang dalam mengajak istrinya. ”Nyai, apa yang kita punyai untuk oleh-oleh si Karyo?” tanya kyai kepada istrinya. ”Cuma seekor kambing di belakang itu, kyai.” jawabnya. ”Yo wis, kita bawakan untuk si karyo ya.” kata kyai. Karyo pulang ke desanya sambil menuntun seekor kambing, pemberian sang kyai

Sampai di rumah, demi melihat Karyo menuntun seekor kambing, Kardi bertanya kepadanya, ”Lah, dari mana kamu yo? Kok pulang-pulang membawa seekor kambing?” ”Dari rumah kyai.” jawab karyo singkat. ”Memang kamu bawa oleh-oleh apa tadi?” tanya kardi penasaran. ”Cuma bawa ketela pohon saja.” kata Karyo.

Tiba-tiba pikiran Kardi berhitung matematis. Jika Karyo saja sowan kyai membawa ketela diberi seekor kambing, kalo bawa seekor kambing pasti dapatnya paling tidak seekor sapi.Begitu pikiran dalam benaknya.

Hari berikutnya, segera Kardi mengajak istrinya sowan ke sang kyai. Tidak lupa dia menuntun seekor kambing buat oleh-oleh gurunya itu. Sesampai di rumah kyai, mereka disambut gembira sang kyai. Sama seperti Karyo, mereka berbincang banyak hal sambil melepas kerinduan mereka. Ketika hari beranjak sore, Kardi berpamitan. ”Tunggu sebentar ya.” kata sang kyai. Kyai dan nyai kemudian masuk ke ruang dalam. ”Nyai, kita punya apa buat oleh-oleh si Kardi?” tanya kyai. ”Tinggal ketela yang di dapur itu, kyai. Pemberian Karyo kemaren.” jawab nyai. ”Ya sudah, bawakan buat si Kardi ya.” kata kyai. Akhirnya Kardi pulang dengan hati dongkol karena hanya memperoleh sekarung ketela. Ia tidak mendapatkan oleh-oleh seperti yang dia bayangkan sebelumnya.

Inilah gambaran sederhana dari makna ikhlash. Bahwa keikhlasan itu akan membawa kita kepada sesuatu yang lebih baik. Ketika ada sedikit saja motif yang melenceng dari hati kita, maka kita akan dapati sesuatu yang tidak sesuai dengan maksud sesungguhnya.

@lt 19 jakarta, 7/9/2011 13.25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar