Jumat, 14 Desember 2012

Tetaplah Bertahan Dalam Barisan


Saya ingin mencoba menelisik, kenapa kita ditarbiyah dengan cara dan materi yang sama, dalam rentang waktu yang misal sama juga, tapi bisa memunculkan cara pandang dan penyikapan yang cukup berbeda terhadap suatu masalah yang muncul dalam perjalanan dakwah ini. Ini analisis saya berdasar pengalaman dan pengamatan saya pribadi. Semoga bisa menambah cara pandang kita dalam menyikapi dinamika dakwah. Setidaknya ini akan selalu menjadi pengingat untuk diri saya sendiri.

Suatu saat di rentang tahun 2009-2010, halaqoh kami ada perdebatan cukup hangat antara satu a’dho dengan guru kami, Ust. Amir Faishol Fath. Masalah yang sama, terkait dengan ikhwah kita yang mendapat amanah di dewan maupun walikota. Saya dan beberapa teman lain waktu itu hanya sebatas sebagai pengamat dan mencoba untuk mengambil pelajaran dari diskusi hangat itu. Satu hal yang selalu beliau ulang-ulang waktu itu, “Akhi, hisab kita nanti adalah hisab pribadi. Tidak ada hisab atas nama partai atau golongan. Antum tidak perlu menghabiskan terlalu banyak energi antum untuk menyoroti ‘kelakuan’ atau gaya hidup ikhwah lain. Lakukan yang terbaik dan terbenar yang antum yakini untuk jama’ah ini, selesai.”

Saya sering terpekur jika mengingat nasehat itu. “Antum tidak usah kawatir, hisab Allah tidak akan pernah meleset. Semua harta itu akan ada hisabnya dan semua akan mempertanggungjawabkan sendiri-sendiri. Saya menyaksikan sendiri bagaimana para ikhwah di DPP itu sering harus begadang bermalam-malam untuk menyusun panduan bagi jamaah dakwah ini. Kadang ada yang sampai tertidur di bawah meja. Mereka korbankan waktu mereka untuk keluarga mereka, bahkan waktu istirahat mereka sendiri.”

Kami waktu itu hanya bisa tertunduk, menginstrospeksi diri kami sendiri yang sesungguhnya jika dihitung-hitung, mungkin belum banyak yang kami berikan untuk dakwah ini. “Tapi antum juga tidak sepenuhnya salah, antum bisa memberinya masukan secara langsung kepada beliau-beliau yang antum anggap ‘bermasalah’ menurut antum. Bisa melalui surat,  bisa melalui email, atau apa pun yang antum anggap baik. Itu akan jauh lebih baik dan secara tidak langsung antum menjaga kehormatan saudara antum” Ini bagian lain yang beliau sampaikan, memang tidak persis tapi semangatnya setidaknya seperti yang saya tulis.

Ikhwati fillah… saya pun sangat memahami fenomena yang ada karena memang interaksi kita dengan para mas’ul dakwah ini, jaulah-jaulah yang kita lakukan dan juga jam terbang kita lah yang telah membentuk cara pandang tersebut. Point yang ingin saya sampaikan, bahwa rentang waktu pengalaman dan daya jelajah kita dalam dakwah ini, akan sangat mempengaruhi cara kita mempersepsikan sebuah masalah dalam dakwah ini. Sepanjang pengamatan saya, seperti kalau kita membaca tulisan Pak Cah tentang doa robithoh yang menggambarkan perkembangan dakwah dari waktu ke waktu yang beliau rekam, keyakinan kepada dakwah inilah sesungguhnya yang menjadikan kita kuat untuk terus beramal di dalamnya.

Akhi, hisab kita nanti adalah hisab pribadi. Tidak ada hisab atas nama partai atau golongan. Antum tidak perlu menghabiskan terlalu banyak energi antum untuk menyoroti ‘kelakuan’ atau gaya hidup ikhwah lain. Lakukan yang terbaik dan terbenar yang antum yakini untuk jama’ah ini, selesai.” Ini bukan berarti kita tidak peduli dengan ‘terpelesetnya’ saudara kita, tapi bagi saya nasehat terbaik adalah nasehat yang disampaikan secara langsung, dengan media apa pun. Mencari nomor HP ikhwah kita yang menjadi pejabat publik, menurut saya bukan hal yang sulit lagi. Dan menurut saya, melalui SMS bukan berarti kita tidak menghormati beliau-beliau.

Kalau saya pribadi justru itu bentuk penghormatan karena bisa jadi telepon kita  mengganggu kesibukan beliau-beliau. SMS bahkan bisa dibaca berulang, bahkan bisa diforward ke saluran yang lebih sesuai (misal sewaktu saya mencoba memforwardkan suatu hal ke Ust Dayat, maka beliau sampaikan hal tersebut akan beliau forward ke komisi terkait). Mungkin yang saya sampaikan sesuatu yang sepele untuk ‘kapasitas’ beliau, tapi karena cinta saya kepada jamaah inilah maka saya berani untuk menyampaikannya, dan saya yakin karena cinta beliau kepada jamaah ini pulalah beliau bersedia memforwardnya. Ini hanya satu contoh.

Ketika istri saya suatu saat merasa keki dengan perilaku Ust Fahri H beberapa waktu dulu, maka saya berikan no HP beliau. Saya katakan, “Sampaikan uneg-unegmu saja secara langsung, itu lebih menentramkan daripada diomongin di depanku dan aku pun tidak bisa memberikan solusi yang menentramkan untukmu.” Dan ternyata SMS-SMS nya pun dijawab meski kadang delay karena mungkin kesibukan beliau.

Kalaupun misal SMS kita tidak berbalas, paling tidak kita yakinkan bahwa suara kita telah sampai kepadanya. Pernah suatu waktu istri ingin memberi masukan terkait pemeriksaan BPK yang menurut istri ini bagus kalau aleg kita menguasai, maka saya fasilitasi utk menghubungi salah satu anggota DPRD Propinsi. Ternyata responnya cukup lama, istri sudah kadung mutasi ke BPK Sulsel. Dan ketika saya berjumpa beliau ini dalam forum buka bersama ramadhan kemaren, beliau menyampaikan ke saya bahwa istri saya pernah SMS tentang pemeriksaan BPK. Intinya, berarti pesan itu sesungguhnya sampai kepada beliau.

Terakhir, bahwa peran kita dalam dakwah ini harus kita optimalkan sesuai dengan kapling yang kita ambil atau yang diamanahkan di pundak kita. Semakin kita menyibukkan diri dengan peran kita, saya yakin bahkan rasa-rasanya waktu kita seakan tidak pernah bisa mencukupinya. Kewajiban kita benar-benar akan terasa lebih banyak dari waktu yang tersedia. Kl kata Ust Zuber waktu bahas poligami suatu saat dalam pertemuan tarbawi, “Orang yang pikirannya poligami terus, biasanya tidak produktif waktunya. Karena kalau kita terus intens dalam banyaknya aktifitas dakwah ini, tidak sempat akh mikirin masalah itu.” Hehe.. itu bahasa joke beliau saat mengimbangi teman-teman saya jika guyonannya mulai ke arah sana. Kabuuurrrr……

(mendokumentasikan tulisan yang berserak, sekaligus membangun azzam utk mulai  menulis lagi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar