Kamis, 18 September 2014

Travelling : Masa Pendidikan Dasar dan Menengah (1)

Saya bukan tipe orang yang suka travelling. Jika ada kuesioner atau test kepribadian, hampir pasti saya akan menuliskan atau memilih pekerjaan yang berada di dalam ruangan, bukan kerja-kerja yang menuntut kita banyak di lapangan.

Namun tidak semua pilihan kita selalu sejalan dengan fakta pekerjaan kita. Ada pos-pos yang terkadang kita 'dipaksa' di sana dan konsekuensinya kita harus banyak melakukan perjalanan dan pekerjaan-pekerjaan luar ruangan, yang jelas-jelas bukan jiwa kita.

Saya terlahir di sebuah kota kecil di Jawa Tengah: Klaten. Desa tempat kelahiran saya bahkan masih 15 kilometer lagi dari pusat kota, desa yang berada di antara-antara bukit-bukit yang menggersang jika musim kemarau.
Ketika SMP saya sudah 'dibiasakan' dengan perjalanan, meski setelah dewasa saya sadari itu bukan jiwa saya. Sekolah saya kurang lebih 10 kilometer di kecamatan sebelah. Untuk kondisi di tahun 1988-1991, jelas ini merupakan tantangan tersendiri.

Bermodal sepeda mini kecil second pemberian ayah saya, tiap pagi buta saya berdua dengan karib saya (Triyono, dia sekarang berkarir di PT LG Cikarang) melintas jalan tanah berbatu yang sebagian jika musim hujan tanahnya lengket sehingga mengganggu kerja putaran roda sepeda kami.

Selepas SMP saya melanjutkan petualangan bersepeda tersebut semasa SMA di kabuaten. Jarak yang kami tempuh semakin jauh, nyaris 20 kilometer. Kali ini saya berdua dengan karib yang lain (Widayanto, sekarang berkarir di kantor pajak di wilayah Jakarta).

Sama seperti waktu SMP, hampir separuh perjalanan kami di atas jalanan tanah berbatu. Belum ada aspal. Biasanya pukul 05.15 kami sudah berangkat dari rumah. Kami berangkat saat udara masih dingin, dan pulang sekolah saat udara sedang panas-panasnya, pukul 12.45.

Pada periode tersebut, saat-saat paling krusial kami adalah ketika musim penghujan. Bisa dibayangkan ketika pagi-pagi buta hujan lebat, sementara kami harus bersepeda kurang lebih satu jam, membutuhkan kemauan dan tekad yang kuat.

Pernah suatu saat di kelas 3 SMA, sore itu selepas pelajaran tambahan hujan lebat turun. Lama. Beruntung saya membawa ponco. Bekal wajib pagi pesepeda di musim hujan. Hujan benar-benar lebat dan lama. Sementara sore mulai terasa gelap.

Setelah menunggu beberapa saat tak juga mereda, maka saya putuskan pulang. Pelan saya kayuh sepeda menembus pekatnya hujan di senja yang gelapnya sudah mulai memeluk itu. Saya lupa di bulan apa itu, mungkin Januari karena hujan hampir turun sehari-hari. Dan tak jarang seharian!

Di tengah perjalanan yang sepi, di jarak pandang yang terbatas itu saya sekilas seperti melihat bayangan orang bersepeda agak tergesa ke arah yang berlawanan. Saya abaikan karena pikiran saya adalah bagaimana agar segera sampai rumah. Dingin sudah begitu mendera tubuh saya.

Sesampai di rumah simbok saya bertanya: "Kowe ora ketemu bapakmu? Iki mau disusul lho, soale wis surup." Wah, berarti sosok yang berpapasan dan sepertinya saya kenal di tengah perjalanan pulang tadi adalah sosok bapak saya? 

Selepas Maghrib bapak saya baru sampai rumah kembali. Rupanya orang tua saya kawatir karena hujan begitu lebat dan lama, maka mereka memutuskan untuk menjemput saya ke sekolah. Alhasil karena pekatnya hujan, kami justru hanya berpapasan di tengah jalan tanpa saling mengenali.

Tak ada moda komunikasi yang memadai waktu itu. Tidak seperti sekarang yang hampir tiap anak SMA sudah memegang handphone. Modal kami hanya kebiasaan dan feeling. Biasanya jam segini sudah pulang kok ini belum pulang, feeling akan mengirim pesan: jangan-jangan ada apa-apa di jalan.

Maka pelajaran perjalanan pada masa-masa ini adalah membentuk mental kami akan pentingnya selalu teguh menepati waktu. Jika kita berjanji mengadakan pertemuan di suatu tempat, patokan kita hanya dua: dimana dan kapan. Karena setelah itu tak ada variabel lain untuk mengontrol.

Karenanya generasi yang mengalami masa tersebut, biasanya cenderung akan sangat menghargai waktu dan perjanjian. Mungkin mereka kadang cenderung kaku terhadap waktu, karena memang begitulah pengalaman yang membentuk mereka dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar