Jumat, 19 September 2014

Kenangan: Dolanan Tradisional

Masih ingat dengan aneka dolanan di samping? Kalau anda ingat, berarti bisa ditebak anda terlahir pada generasi tahun berapa an. Ini adalah dolanan dan mainan anak-anak di era sampai tahun 80 an. Setelah itu? Boleh dibilang lenyap.

Saya masih ingat untuk mainan nomor 1. Itu adalah mainan senapan anak-anak yang bahannya terbuat dari batang bambu yang masih kecil. Dulu di halaman rumah kami masih sangat mudah dijumpai pohon bambu. Menjuntai-juntai, yang jika malam tiba, daun-daun yang ditiup angin menimbulkan bunyi yang riuh.

Ambil satu ruas yang kira-kira diameter lubangnya setengah centimeter. Panjang cukup sekitar 20cm. Lalu buatlah batang untuk pendorong pelurunya dari bilah bambu yang dihaluskan. Sepanjang "laras" senapan dikurangi 2cm an, dengan dilebihkan sedikit sebagai pegangan.

Pelurunya? Di bukit sebelah desa tempat kami tinggal dulu, ada sejenis pohon perdu dengan nama "rempenen". Ia banyak tumbuh di lereng-lerengnya. Dari bunganya kemudian tumbuh biji-biji sebesar gotri. Kami biasa ke bukit itu selepas sekolah untuk berburu biji rempenen tersebut. Cukup menantang. Mendaki lereng-lereng bukit yang berjarak sekitar 3KM dari rumah kami tinggal, merupakan kenangan tersendiri.

Untuk mendapatkannya pun biasanya kami harus saling berebut. Mengasyikkan. Setelah cukup, kami kembali ke desa untuk persiapan permainan: perang-perangan. Maka senjata berupa senapan dengan peluru biji rempenan itulah perangkat utamanya. Biasanya kami membagi menjadi 2 kelompok untuk saling perang. Halaman rumah yang banyak pepohonan, atau lereng tanggul sungai menjadi medan favorit.

Caranya pun mudah, biji rempenen yang seukuran lubang laras senapan itu tinggal dimasukkan, dorong dengan batang pendorongnya sampai kira-kira 2cm menjelang ujung laras senapan. Lalu ambil lagi satu butir dan dorong lagi. Maka: Dor! dengan sedikait letupan, peluru pertama akan terpental, menerjang menuju sasaran yang kita bidik.

Dengan berlagak seperti tentara, merayap, merunduk, berlindung dibalik semak dan pepohonan, kami saling serang. Saling mengintip, menembak. Sesekali harus meloncat untuk menghindari peluru. Mengasyikkan bukan? Yang merasa telah terkena peluru harus pura-pura mati. Demikian seterusnya sampai pasukan yang satu mengalahkan kelompok pasukan lainnya.

Ada banyak pelajaran dari permainan ini yang bisa kami dapatkan dulu. Yang pertama kreativitas dan inovasi. Kami terbiasa membuat sendiri mainan tersebut. Berpikir sendiri bagaimana agar senapan tersebut bisa melesakkan peluru adalah salah satu proses pembelajaran yang mahal. Proses pembuatan senapan tersebut selalu membutuhkan kehati-hatian dan ketelitian.

Salah memilih batang bambu bisa membuat laras senapan tidak mempunyai daya dorong yang cukup untuk melesakkan peluru. Atau sering tangan kami harus 'kebeler' oleh tajamnya kulit bambu yang terkelupas saat menghaluskannya. Artinya semua ukuran dan detil harus kami perhatikan, dan ternyata di usia SD kami, tanpa bimbingan orang tua dan hanya berbekal saling jiplak, kami bisa merakitnya sendiri.

Ada juga pelajaran kebersamaan dan kejujuran dalam permainan ini. Ada heroisme di sana. Bagaimana antar teman harus saling menopang dan melindungi saat bermain perang-perangan, mengakui bahwa telah tertembak dengan berpura-pura mati, semua itu merupakan pembiasaan yang luar biasa berharga.Tapi seusai bermain yang biasanya petang menjelang maghrib, kami semua tertawa bahagia. Tidak ada lawan, semua menjadi kawan kembali.

Ahh.. kini mainan itu sepertinya sudah lenyap. Anak-anak sekarang tak lagi mengenal mainan ini. Rumpun pohon bambu telah habis ditebas. Pohon rempenen pun hampir pasti saya yakini sudah punah. Dan bukit yang dulu menjadi saksi adanya jenis mainan ini pun, hanya bisa terpekur diam, bernostalgia bahwa dulu di atas punggungnya pernah tumbuh sejenis tanaman yang legendaris itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar