Sore
itu aku mengantar bapak melakukan operasi pengangkatan daging tumbuh yang
berada di pahanya. Selama operasi berlangsung, aku menemani di sampingnya.
Melihat secara langsung bagaimana pisau dan gunting bedah secara bergantian
membelah kulitnya, memotong dan menyayat
serta mengangkat daging yang tumbuh liar di bawah jaringan kulit yang telah
dibelah itu. Hingga kulit itu dijahit rapat kembali.
Bapak
sedari awal memang tampak tidak mau dioperasi. Selalu mengulur dan menghindar
jika ditawari opsi itu. Pada obrolan dengan perempuan tua yang juga ibuku itu,
aku baru ingat, mungkin bapak trauma dengan operasi prostatnya dulu. Hampir
setengah hari beliau di karantina di ruang operasi sambil menunggu giliran. Dan
operasipun dilakukan dengan bius lokal. Maka bayangan buruk pengalaman operasi
itu sangat membekas.
Jujur,
saat berhadapan dengan petugas medis, aku paling takut melihat
peralatan-peralatan medis. Takut membayangkan saat alat-alat itu menancap di
tubuhku, menyayat kulitku, hiiiiihh.. Tapi pada kondisi lain, dimana aku bukan
obyeknya, aku mungkin bisa dibilang sadis, hee. Saat anakku kukunya kiwir-kiwir
hampir lepas karena bermain, aku ambil gunting dan aku potong. Mengalihkan
perhatiannya dengan mengajaknya ngobrol.
Ketika
kepala anak perempuanku dulu bocor terbentur kursi saat bermain dengan
kakaknya, aku yang menggendongnya sambil menyaksikan dokter menjahit kepalanya.
Saat anak perempuanku baru tersadar dari operasi biopsi, aku yang menjaganya
saat masih meronta, berteriak, berontak di tengah ketidaksadarannya karena
masih berada dalam pengaruh obat biusnya. Termasuk kemarin saat bapak dioperasi,
aku ikut menyiapkan obat bius.
Ibuku
kembali memperhatikan setiap perkataanku. Tadi kami memang duduk agak
berjauhan. Ada jarak satu meteran antara kami. Tadi kami berbincang tentang
proses operasi dan perniknya. Kini beliau mendekat. Sesekali berkomentar
secukupnya. Tapi bagiku, bercerita tentang beberapa hal tersebut kepadamya dan
beliau mendengarkannya, itu sudah cukup melegakanku. Memang tidak ada solusi
riil, tapi aku tahu Ia akan selalu mendoakannku.
Aku
ingat dulu ketika ulangan sekolah. Aku minta dibangunkan sebelum subuh
berkumandang agar bisa belajar sebelum perjalanan ke sekolah yang memakan waktu
satu jam itu. Tiba-tiba semua terbangun kesiangan. Aku masgul. Ibuku
menenangkanku, “Sudah, ibu doakan lancar yo, le. Bisa ngerjakan semua soal yang
diujikan.” Orang tua jaman dulu suka laku prihatin, berpuasa dengan niat agar
anak-anaknya berhasil. Demikian juga dengan ibuku.
Maka
saat aku pulang kembali ke kotaku malam itu, di tengah guyuran hujan sepanjang
satu setengah jam perjalanan, sendirian, ditemani alunan musik radio mobil, aku
banyak merenung. Semua cerita membayang. Ada banyak hal yang harus aku rancang
bangun kembali dalam hidupku. Entah, masih berapa lama lagi waktu tersisa
untukku, tapi ada banyak hal yang harus aku lakukan untuk memperbaharui dan
memperbaiki hidupku.
Aku
tidak boleh terlambat…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar