Selasa, 03 Februari 2015

Tak Ada Judul

Perempuan tua yang kuhormati itu menggeser posisi duduknya lebih mendekat kepadaku. Aku duduk di kursi kayu, sementara Ia duduk di tepian bale-bale kayu di depanku. Maka kini Ia lekat memandangku. Kami berbincang di dapur. Aku menceritakan beberapa hal tentang keadaanku belakangan ini. Ia antusias mendengar. Pandanganku agak menerawang, mungkin itu yang membuatnya ingin mendengar lebih dekat.

Sore itu aku mengantar bapak melakukan operasi pengangkatan daging tumbuh yang berada di pahanya. Selama operasi berlangsung, aku menemani di sampingnya. Melihat secara langsung bagaimana pisau dan gunting bedah secara bergantian membelah kulitnya, memotong  dan menyayat serta mengangkat daging yang tumbuh liar di bawah jaringan kulit yang telah dibelah itu. Hingga kulit itu dijahit rapat kembali.

Bapak sedari awal memang tampak tidak mau dioperasi. Selalu mengulur dan menghindar jika ditawari opsi itu. Pada obrolan dengan perempuan tua yang juga ibuku itu, aku baru ingat, mungkin bapak trauma dengan operasi prostatnya dulu. Hampir setengah hari beliau di karantina di ruang operasi sambil menunggu giliran. Dan operasipun dilakukan dengan bius lokal. Maka bayangan buruk pengalaman operasi itu sangat membekas.

Jujur, saat berhadapan dengan petugas medis, aku paling takut melihat peralatan-peralatan medis. Takut membayangkan saat alat-alat itu menancap di tubuhku, menyayat kulitku, hiiiiihh.. Tapi pada kondisi lain, dimana aku bukan obyeknya, aku mungkin bisa dibilang sadis, hee. Saat anakku kukunya kiwir-kiwir hampir lepas karena bermain, aku ambil gunting dan aku potong. Mengalihkan perhatiannya dengan mengajaknya ngobrol.

Ketika kepala anak perempuanku dulu bocor terbentur kursi saat bermain dengan kakaknya, aku yang menggendongnya sambil menyaksikan dokter menjahit kepalanya. Saat anak perempuanku baru tersadar dari operasi biopsi, aku yang menjaganya saat masih meronta, berteriak, berontak di tengah ketidaksadarannya karena masih berada dalam pengaruh obat biusnya. Termasuk kemarin saat bapak dioperasi, aku ikut menyiapkan obat bius.

Ibuku kembali memperhatikan setiap perkataanku. Tadi kami memang duduk agak berjauhan. Ada jarak satu meteran antara kami. Tadi kami berbincang tentang proses operasi dan perniknya. Kini beliau mendekat. Sesekali berkomentar secukupnya. Tapi bagiku, bercerita tentang beberapa hal tersebut kepadamya dan beliau mendengarkannya, itu sudah cukup melegakanku. Memang tidak ada solusi riil, tapi aku tahu Ia akan selalu mendoakannku.

Aku ingat dulu ketika ulangan sekolah. Aku minta dibangunkan sebelum subuh berkumandang agar bisa belajar sebelum perjalanan ke sekolah yang memakan waktu satu jam itu. Tiba-tiba semua terbangun kesiangan. Aku masgul. Ibuku menenangkanku, “Sudah, ibu doakan lancar yo, le. Bisa ngerjakan semua soal yang diujikan.” Orang tua jaman dulu suka laku prihatin, berpuasa dengan niat agar anak-anaknya berhasil. Demikian juga dengan ibuku.

Maka saat aku pulang kembali ke kotaku malam itu, di tengah guyuran hujan sepanjang satu setengah jam perjalanan, sendirian, ditemani alunan musik radio mobil, aku banyak merenung. Semua cerita membayang. Ada banyak hal yang harus aku rancang bangun kembali dalam hidupku. Entah, masih berapa lama lagi waktu tersisa untukku, tapi ada banyak hal yang harus aku lakukan untuk memperbaharui dan memperbaiki hidupku.

Aku tidak boleh terlambat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar