"Ass.
Dik, wingi bapak arep tak prisakne ra gelem, tapi arep maghrib simbok ngulon
jare gelem. Rencanane mengko arep tak priksakne disik." Kemarin kakak
perempuan pertamaku mengabariku. Rencana untuk merayu bapak agar operasi
ternyata belum berhasil. Cukup lama kami harus melobi beliau.
Ada
benjolan, entah apa, di paha beliau yang menyebabkan beberapa syaraf ke kaki
mungkin terjepit sehingga menyebabkan rasa sakit jika berjalan dalam jarak
tertentu, atau saat mengangkat beban. Kami sudah menyarankan untuk banyak
istirahat, namun tak pernah diindahkannya. Kata simbok, "bapakmu memang
atos."
Tadi
kakakku berkirim kabar lagi, "Dik, bapak njaluke suk minggu langsung
operasi. Aku engko tak janjian karo paryanto disik." Paryanto kalau tidak salah adalah dokter yang
akan mengoperasi bapak nanti. Memang operasi minor, tapi mungkin karena orang
tua dan pola pikir desa, menghadapi kata operasi yang terbayang adalah
kengerian.
Aku
minta kakakku untuk mengatur waktu dan skedulnya. Aku katakan aku yang akan mengantarnya.
Aku akan pulang ahad pagi insyaAllah. Aku ingat dulu ketika beliau sedang di
Bekasi, berkunjung ke rumah kakak perempuan ketigaku kemudian prostatnya
kambuh, saat harus dioperasi beliau minta di Jogja, "Ben cedak anak
lanang."
Di
grup wa, aku, kakak perempuan ketigaku, dan ketiga adik laki-lakiku menyusun
dan merencanakan hal-hal hingga pasca operasi nanti. Ada 7 sapi yang dipelihara
bapak di rumah. Maka termasuk urusan teknis dan operasional pemeliharaannya,
utamanya pakan, harus kami perhitungkan selama masa pemulihan pasca operasi
nanti
Bapakku
memang pendiam. Lebih banyak pendiam. Tapi aku salut dengan semua
kesungguhannya. Dulu ia pedagang hebat. Waktu aku kecil, toko di rumah kami
adalah toko terbesar di desa kami. Di tahun 80 awal, bapak bisa membeli sepeda
motor baru. Barang yang masih amat langka di desa. Kehidupan ekonomi kami
sangat bagus.
Hingga
akhirnya setelah ditipu oleh saudara bapak, saudara jauh sebetulnya, maka modal
bapak habis. Dan jatuh bangkrut. Kehidupan kami bergantung kepada bertani. Maka
mencangkul, mencari rumput, menanam lombok, menyirami tembakau, memanen jagung,
adalah hal yang biasa bagiku. Aku dibesarkan di masa prihatin itu.
Aku
bersyukur dibesarkan di masa itu. Aku tahu makna perjuangan. Ketika kakak
perempuan pertamaku kuliah di jogja, semua dana terfokus ke dia. Adik-adiknya
harus langganan menjadi penunggak spp di sekolah. Di rentang smp hingga sma ku
lah masa kesempitan itu. Bapak bahkan harus merantau berjualan hingga kota
Kudus.
Maka
mengingat masa-masa itu, selalu semakin menumbuhkan rasa kecintaanku kepada
kedua orang tuaku. Mereka memang hanya orang-orang desa yang sederhana. Sangat
sederhana. Pernah melewati masa keemasan kehidupan, sekaligus juga mencecap
rasa berada di bawah titik nadir. Demi mendidik ketujuh anaknya.
Ketujuh
anak beliau bisa menyelesaikan sekolah bahkan hingga jenjang sarjana, kecuali
kakak perempuan keduaku yang akhirnya hanya bisa sampai di bangku sma.
"Kowe kabeh kudu pinter, wong tuwamu bodho ora papa." Begitu tekad
mereka saat kami begitu tertatih-tatih menyelesaikan tahapan-tahapan sekolah
kami.
Sungguh
nikmat tuhan manakah yang layak kami dustakan? Maka di masa tua beliau saat
inilah saatnya kami harus membalas apa yang telah mereka berdua perjuangkan di
masa lalu. Memang tidak akan pernah terbalas tuntas. Tidak akan pernah terbayar
lunas. Setidaknya, mereka berdua menyadari bahwa kami akan selalu ada untuk
mereka.
Maka
di sudut-sudut sepi doa yang kupanjatkan, aku selalu memohon ampunan untuk
mereka dan agar Allah menjaganya dengan penjagaan yang paling baik, serta
mengasihi keduanya sebagaimana mereka mengasihi kami di waktu kecil dahulu.
Rintik hujan di luar, seolah menghantar rindu mereka yang terkirim untukku.
@sudut
sepi getas, 30Jan2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar