Senin, 02 Februari 2015

Ayahku

"Ass. Dik, wingi bapak arep tak prisakne ra gelem, tapi arep maghrib simbok ngulon jare gelem. Rencanane mengko arep tak priksakne disik." Kemarin kakak perempuan pertamaku mengabariku. Rencana untuk merayu bapak agar operasi ternyata belum berhasil. Cukup lama kami harus melobi beliau.

Ada benjolan, entah apa, di paha beliau yang menyebabkan beberapa syaraf ke kaki mungkin terjepit sehingga menyebabkan rasa sakit jika berjalan dalam jarak tertentu, atau saat mengangkat beban. Kami sudah menyarankan untuk banyak istirahat, namun tak pernah diindahkannya. Kata simbok, "bapakmu memang atos."

Tadi kakakku berkirim kabar lagi, "Dik, bapak njaluke suk minggu langsung operasi. Aku engko tak janjian karo paryanto disik."  Paryanto kalau tidak salah adalah dokter yang akan mengoperasi bapak nanti. Memang operasi minor, tapi mungkin karena orang tua dan pola pikir desa, menghadapi kata operasi yang terbayang adalah kengerian.

Aku minta kakakku untuk mengatur waktu dan skedulnya. Aku katakan aku yang akan mengantarnya. Aku akan pulang ahad pagi insyaAllah. Aku ingat dulu ketika beliau sedang di Bekasi, berkunjung ke rumah kakak perempuan ketigaku kemudian prostatnya kambuh, saat harus dioperasi beliau minta di Jogja, "Ben cedak anak lanang."

Di grup wa, aku, kakak perempuan ketigaku, dan ketiga adik laki-lakiku menyusun dan merencanakan hal-hal hingga pasca operasi nanti. Ada 7 sapi yang dipelihara bapak di rumah. Maka termasuk urusan teknis dan operasional pemeliharaannya, utamanya pakan, harus kami perhitungkan selama masa pemulihan pasca operasi nanti

Bapakku memang pendiam. Lebih banyak pendiam. Tapi aku salut dengan semua kesungguhannya. Dulu ia pedagang hebat. Waktu aku kecil, toko di rumah kami adalah toko terbesar di desa kami. Di tahun 80 awal, bapak bisa membeli sepeda motor baru. Barang yang masih amat langka di desa. Kehidupan ekonomi kami sangat bagus.

Hingga akhirnya setelah ditipu oleh saudara bapak, saudara jauh sebetulnya, maka modal bapak habis. Dan jatuh bangkrut. Kehidupan kami bergantung kepada bertani. Maka mencangkul, mencari rumput, menanam lombok, menyirami tembakau, memanen jagung, adalah hal yang biasa bagiku. Aku dibesarkan di masa prihatin itu.

Aku bersyukur dibesarkan di masa itu. Aku tahu makna perjuangan. Ketika kakak perempuan pertamaku kuliah di jogja, semua dana terfokus ke dia. Adik-adiknya harus langganan menjadi penunggak spp di sekolah. Di rentang smp hingga sma ku lah masa kesempitan itu. Bapak bahkan harus merantau berjualan hingga kota Kudus.

Maka mengingat masa-masa itu, selalu semakin menumbuhkan rasa kecintaanku kepada kedua orang tuaku. Mereka memang hanya orang-orang desa yang sederhana. Sangat sederhana. Pernah melewati masa keemasan kehidupan, sekaligus juga mencecap rasa berada di bawah titik nadir. Demi mendidik ketujuh anaknya.

Ketujuh anak beliau bisa menyelesaikan sekolah bahkan hingga jenjang sarjana, kecuali kakak perempuan keduaku yang akhirnya hanya bisa sampai di bangku sma. "Kowe kabeh kudu pinter, wong tuwamu bodho ora papa." Begitu tekad mereka saat kami begitu tertatih-tatih menyelesaikan tahapan-tahapan sekolah kami.

Sungguh nikmat tuhan manakah yang layak kami dustakan? Maka di masa tua beliau saat inilah saatnya kami harus membalas apa yang telah mereka berdua perjuangkan di masa lalu. Memang tidak akan pernah terbalas tuntas. Tidak akan pernah terbayar lunas. Setidaknya, mereka berdua menyadari bahwa kami akan selalu ada untuk mereka.

Maka di sudut-sudut sepi doa yang kupanjatkan, aku selalu memohon ampunan untuk mereka dan agar Allah menjaganya dengan penjagaan yang paling baik, serta mengasihi keduanya sebagaimana mereka mengasihi kami di waktu kecil dahulu. Rintik hujan di luar, seolah menghantar rindu mereka yang terkirim untukku.

@sudut sepi getas, 30Jan2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar