Senin, 02 Februari 2009

Mudah Marah, Memangnya Enak ?

Pertengahan bulan ini, istri saya mendapatkan tugas dari kantornya untuk mengikuti pendidikan dan latihan audit investigasi selama tiga minggu. Lokasi diklat kebetulan dekat dengan kantor saya, daerah seputar perempatan kuningan, tepatnya di gedung diklat bulog. Seperti biasa, bapak mertua saya akhirnya yang menemani anak-anak di Jogja, bersama dengan adik dan seorang khadimat saya.

Pada minggu pertama diklat, akhir pekan saya berdua istri pulang ke Jogja. Ada tanggal merah di hari senin. Sebetulnya untuk urusan pertiketan, saya biasa mempersiapkannya (baca : memesannya) sebulan atau beberapa minggu sebelumnya, apalagi ada tanggal merah di hari seninnya. Alamat kereta akan ramai! Sehingga untuk tanggal itu pun sejatinya saya sudah pegang tiket jauh-jauh hari sebelum ada agenda istri diklat di Jakarta. Tiket dua tempat duduk bersama sahabat saya.

Alhasil, saya harus mengusahakan lagi tiket satu tempat duduk lagi, untuk istri saya. Lewat pemesanan melalui call center saya dapatkan informasi bahwa tiket pada hari pemberangkatan tersebut telah habis. Kawan, berdasarkan pengalaman dan hampir-hampir ini sudah menjadi sebuah rahasia umum, di tangan ‘agen gelap’ tiket yang beroperasi di sekitar stasiun, kamu masih bisa mendapatkan tiket yang katanya ‘telah habis dipesan’ tersebut.

Saya sebenarnya sangat menghindari usaha ini. Jika saya melakukannya, berarti saya mendukung dan menumbuhsuburkan praktek-praktek yang tidak sehat ini. Percaloan. Akan tetapi, ada hal lain yang juga harus saya pastikan bahwa istri saya harus juga mendapatkan tiket. Akhirnya saya menyerah. Ini adalah kali kedua saya harus ‘meminta bantuan’ pada para agen gelap ini.

Singkat cerita, saya akhirnya mendapatkan satu tiket untuk satu tempat duduk dari seorang agen. Tentu saja dengan harga yang melambung. Jika harga resmi yang tertera di tiket adalah 350 ribu, maka dari tangannya saya harus merogoh uang lebih dari 400 ribu. Pengin marah? Pasti. Tapi saya hanya bisa mengutuk dalam hati saya.

Ketika hari pemberangkatan, saya dapati tempat duduk yang saya tempati ternyata pengatur sandaran kursinya sudah tidak berfungsi dengan baik (kawan, baca saja : rusak). Bahkan tombol pengaturnya sudah jebol. Alhasil sandaran tempat duduk tidak bisa diatur dengan sempurna. Padahal saya sudah (rela) bayar mahal bukan? Ah, sudahlah. Saya berusaha merasa nyaman saja. Saya lanjutkan ceritanya ya, masih panjang kok.

Awalnya kereta berangkat tepat waktu dari stasiun gambir, pukul 20.00. Satu hal yang menggembirakan tentunya. Tapi kira-kira baru sekitar daerah cikampek atau lewat sedikit, tiba-tiba kereta berhenti. Cukup lama. Saya sudah berpikir, pasti ada masalah. Ternyata dugaan saya benar, lokomotif mengalami kerusakan. Bukan kali ini saja saya mendapati pengumuman seperti ini, mengingat hampir tiap pekan selama 2 tahun ini saya berkereta Jakarta-Jogja pulang pergi. Lagi-lagi mau marah? Saya hanya bisa menghela nafas sambil mencoba mengeluarkan senyum.

Setibanya di Jogja saya dan istri mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Istri ada kajian, mengisi kajian, syura jama’i di darush-shalihat dan juga spreading. Saya sendiri antar jemput anak kami yang pertama, mencukur rambut, kerja bakti membersihkan masjid, dan selebihnya di rumah menemani anak-anak. Baru ahad siang kami bisa mengadakan acara bersama, family gathering dengan beberapa keluarga teman kantor istri di jambon resto, sebuah rumah makan sederhana yang jaraknya kurang lebih 3 km dari rumah kami. Akhir pekan yang menyenangkan sekaligus melelahkan.

Ahad malamnya kembali kami harus ke Jakarta. Dari sore cuaca terus-terusan hujan, kami akhirnya meminta bantuan seorang teman sekaligus tetangga kami untuk mengantar ke stasiun. Anak-anak semua ikut mengantar. Juga bapak (mertua) saya. Sampai stasiun ternyata kereta telah tersedia di jalur selatan stasiun tugu. Saya dan istripun setelah sempat membeli sebungkus nasi, bergegas masuk ke gerbong dan mencari tempat duduk kami. Tepat pukul 20.00 kereta berangkat dari stasiun tugu.

Biasanya, kereta yang saya tumpangi ini sampai di Stasiun Jatinegara sebelum pukul 05.00 pagi. Bahkan jam kedatangan yang tertera di tiket adalah pukul 04.16, itu pun sudah sampai stasiun gambir. Berarti tiba di stasiun jatinegara mestinya di kisaran pukul 04-an. Tapi pagi itu kereta baru masuk stasiun jatinegara pukul 05.45, hari sudah terang. Mau marah? Entahlah, tidak ada yang harus disalahkan. Di luar, guyuran hujan masih menyisakan gerimis.

Bergegas kami mencari taksi, ternyata sudah jarang. Pasti penumpang tiga kereta di depan saya yang menghabiskan, begitu pikir saya. Ya, sesuai jadwal, di depan kereta yang saya tumpangi, secara berurutan senja jogja – senja solo – argo lawu, telah lebih dulu tiba di stasiun ini. Dalam benak saya saat itu, yang terpikir adalah bahwa saya harus segera sampai kost, kemudian mandi dan selanjutnya berangkat ke kantor. Jangan sampai kami terjebak kemacetan lalu lintas. Benar-benar pagi yang crowded. Fyuuuh…

Akhirnya ada sebuah taksi yang kosong. Saya dan istri bergegas naik. Saya berikan kepada sopir uang untuk parkir (baca : punguntan liar) yang dilakukan oleh ‘penguasa’ di stasiun jatinegara. Ternyata sopir taksi tidak mau memakai argo. Sambil berjalan saya bernegosiasi tarif. Sempat terkaget ketika sopir taksi mengatakan tarif yang diminta, tiba-tiba kemarahan saya tersentak. Saya katakan tarif yang biasa saya dapat di tiap pekannya kepadanya, bahkan saya kemudian sempat berteriak agar menurunkan kami saja jika dia tidak sepakat.

Sempat ragu sejenak, akhirnya sopir taksi mengalah. Saya baru menyadari beberapa saat kemudian bahwa tarif yang saya ajukan itu adalah sebenarnya tarif berdasar argo (plus pungutan liar tadi). Biasanya jika bertiga dengan teman-teman saya satu kost, kami akan langsung sepakat dengan tarif yang kedua yang diajukan oleh sopir taksi tadi.

Istri saya cemberut luar biasa. Di sisi lain tidak enak dengan sopir taksi tadi. Di sisi lain (mungkin) shock dengan sikap saya barusan. Hehehehe… saya sendiri tak habis merenung, kenapa tiba-tiba saya bisa sekonyol itu? Kenapa tiba-tiba akumulasi kemarahan itu seakan mendapatkan pintu keluarnya. Ah, sebenarnya saya ingin minta maaf kepada sopir taksi tadi, tapi pagi itu sulit sekali terucap.

Satu hal yang kemudian bisa saya lakukan, meski sopir tadi akhirnya sepakat dengan tarif yang saya minta, saya membayarnya dengan tarif yang ia tawarkan. Sambil tak lupa saya ucapkan terima kasih dengan suara selembut mungkin. Benar-benar pagi yang melelahkan.

Kawan, sungguh, saya merasakan bahwa kemarahan (yang tidak pada tempatnya) itu akan membuat suasana tidak nyaman. Tidak saja bagi diri orang lain, tapi bahkan bagi diri yang sedang meluapkan amarahnya itu sendiri. Dengan kamu marah apakah kemudian akan terasa lega hatimu? Sejenak mungkin iya. Tapi setelah itu, yakinlah pasti akan muncul penyesalan yang begitu menyesakkan dadamu.

Terkadang kita memang terlalu murah untuk mengobral amarah. Ya, terlalu murah. Hal-hal kecil dan sepele sering membangkitkan amarah kita. Terkadang atas nama ego. Di kali lain atas nama pembenaran sikap-sikap kita. Entah itu kemarahan kepada pasangan kita, kepada anak-anak kita, kepada saudara atau bahkan kepada orang tua kita.

Orang yang murah untuk marah, dia akan kesulitan untuk bisa ramah. Kemarahan dan keramahan memang sesuatu yang bertolak belakang. Pernahkah kamu melihat orang yang marah bisa bersikap ramah? Tentu tidak. Oleh karena itu, inilah yang menunjukkan betapa mahal nilai sebuah kesabaran.

Bahkan Allah menyuruh kita untuk bersabar, sekaligus meneguhkan kesabaran itu, “Ya ayyuhalladzina aamanu ishbiru washabiru warabithu wattaqullaha la’alakum tuflikhun. Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkan kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah maka kalian akan beruntung. Begitu kata Allah.

Dan ingatlah pula bahwa kesabaran itu akan membimbing kita kepada pertolongan. Dalam firman Allah yang lain Allah telah memaklumatkan : “Wasta’inu bish-shabri wash-sholat.” Dan mohon pertolonganlah dengan cara sabar dan sholat. Dengan kata lain, orang yang sabar – orang yang tidak murah untuk marah – maka ia akan dekat dengan pertolongan-pertolongan.

Pun, salah satu kriteria hamba yang akan diberikan imbalan ampunan dan surga adalah : “wal kadzimiinal ghaidza wal ‘aafiina ‘aninnas” yaitu bagi hambanya yang bisa menahan amarahnya dan senantiasa memaafkan manusia (QS Ali Imran : 133-136). Kawan, semoga Allah mengaruniakan kesabaran kepada kita semua, sehingga kita tidak diperbudak oleh kemarahan-kemarahan kita yang tidak pada tempatnya.

Allahu a’lam bish-shawab.

Pancoran, 31/01/2009

2 komentar:

  1. biar ada komen, biasanya itu marah sangat bahaya terutama bagi orang yang suka memendam kemarahan, begitu meledak langsung bahaya

    BalasHapus
  2. Setujreng mas...

    ~masker~

    BalasHapus