Kamis, 12 Februari 2009

Selalu Mencoba Meringankan Selagi Kita Bisa

Ahad sore kemaren (8/2/2009) menjadi petang yang melelahkan bagi saya. Seakan saya berharap agar waktu berhenti sesaat saja. Karena selain saya harus berburu dengan waktu untuk mengejar kegiatan rutin tiap ahad sore yang telah menjadi ritual selama hampir 2 tahun ini, ada satu fragmen kejadian lagi yang membuat saya nervous bukan kepalang.

Waktu itu jam telah menunjukkan pukul 17.00, kurang lebih. Saya segera mandi. Dalam skedul di benak saya, setelah itu saya harus mempersiapkan tas dan segala sesuatu yang akan saya bawa ke Jakarta. Kemudian setelah menunaikan Sholat Maghrib, segera bersiap menunggu jemputan seorang kawan (sekaligus tetangga baik saya) untuk berangkat ke Stasiun Tugu. Tentu setelah sebelumnya berpamitan dengan anak-anak tersayang, dan juga wanita cantik yang paling saya cintai sedunia : istri saya. Cie cie ...!

Belum juga selesai saya mandi, istri saya mendadak mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi, ”Mas, cepetan. Ada yang minta tolong diantar ke rumah sakit. Si Yuli itu lho, mas”

Buru-buru saya selesaikan mandi saya. Dari ruang tamu yang terbuka, terlihat tetangga saya (Mas Joko) telah menunggu di depan jalan. Oh iya, yang sakit ini adalah keponakannya. Tanpa berpikir waktu dan lain-lain, segera saya mengambil kunci kontak dan menyalakan kendaraan di garasi. ”Handphone dan dompet sudah dibawa?” teriak istri saya. ”Sip!” jawab saya singkat.

Sesampai di rumahnya, segera saya menuju ke ruangan (yang dijadikan kamar tidur) tempat anak yang sakit tadi. Di sana rupanya sudah ada Mas Erwin (tetangga terdekat Mas Joko). Awalnya berdua mereka mencoba memapah anak yang sakit tadi menuju kendaraan. Tapi demi melihat sang anak yang mengeluh lemas dan memang saya lihat mukanya yang pucat, maka saya setengah berteriak, ”Sudah mas, kita angkat aja. Kasihan dia lemah sekali.” akhirnya, bertiga kami bopong anak yang tahun ini akan lulus SMK tersebut.

”Ke Puskesma saja mas.” kata Mas Joko. What? Kondisi anak selemah ini dan suhu badannya yang begitu tinggi mau dibawa ke puskesmas? ”Waduh, bagaimana kalau langsung ke rumah sakit saja ya? Biar segera dapat penanganan.” kata saya.

Dari arah depan saya, ibu anak tadi tergopoh-gopoh datang setelah dijemput adik iparnya. Tampak kepanikan di wajahnya. Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya kami putuskan untuk langsung membawanya ke RSUD terdekat. Setengah ngebut saya pacu kendaraan saya. Saya tak sempat lagi memikirkan keberangkatan saya ke Jakarta nanti. Yang ada dalam pikiran saya bagaimana anak tadi segera sampai di RS dan mendapatkan penanganan di sana.

Di RS kami langsung menuju ke Instalasi Rawar Darurat (IRD). Sementara sang ibu mengurus administrasi, saya menemani anak tadi ke ruang periksa di IRD. Perawat di sana cukup sigap menurut saya. Setelah ditanya-tanya mengenai riwayat sakitnya, ia mengukur suhu dan tekanan darah anak tadi. Tak lupa kemudian diambilnya sampel darahnya untuk diperiksa di laboratorium. Beberapa saat kemudian kami diminta menunggu hasil lab untuk mendengarkan diagnosa dokter dan memutuskan apakah anak tadi harus opname atau cukup rawat jalan.

Dari pembicaraan-pembicaraan tadi, dugaan kami semua adalah bahwa anak tadi mungkin sakit thypus. Setidaknya gejala thypus. Tidak ada pikiran bahwa ia akan terkena penyakit selain itu. Sama sekali tak terbayang.

Saya tiba-tiba ingat agenda rutin saya. Ya, jam 18.15 tiap ahad petang biasanya saya telah berangkat dari rumah menuju ke stasiun. Saat itu telah pukul 17.45. Saya mengirim sms ke istri saya akan kemungkinan mundurnya keberangkatan saya. Karena masih harus menunggu diagnosa dan keputusan dari dokter nanti.

”Saya dengar bapak mau tindakan? Kalau memang iya, tidak apa kami ditinggal saja. Nanti biar dijemput saudara yang lain.” kata ibu anak tadi saat dia diberitahu Mas Joko bahwa saya petang itu semestinya harus segera bertolak ke Jakarta.

”Oh, tidak apa-apa bu. Biar saya tunggu saja kepastiannya dulu. Paling sebentar lagi kok hasil lab nya kita dapatkan.” kata saya kepada ibu tadi.

Waktu terus berjalan. Hingga adzan maghrib terdengar berkumandang. Saya sebetulnya resah. Tapi dalam hati saya sudah bertekad, jika memang saya harus terlambat tidak terkejar jadwal kereta yang telah saya beli, saya akan naik kereta yang berikutnya atau berangkat esok paginya. Itu pilihan terburuknya.

Pukul 18.15. Istri saya menelepon. ”Gimana mas? Ada dimana sekarang? Nanti kereta jam berapa?” Duh. Bukankah tadi sudah saya sms masalah ini. Saya jelaskan jika saat ini masih menunggu hasil test lab. Dan tiket kereta yang saya beli adalah keberangkatan jam 19.00. Kami terus berdiskusi bagaimana cara saya bisa berangkat ke stasiun sementara yang di rumah sakit tetap terhandle.

Akhirnya sahabat yang biasa mengantar saya ke stasiun, Mas Samidi, menelepon saya. ”Pak, dimana sekarang? Gimana kalo bapak saya jemput saja sekarang terus langsung saya antar ke stasiun. Tas bapak saya bawakan sekarang sekalian, yang mau dibawa apa saja? Terus nanti biar kendaraan diambilkan Pak Sambas. Nanti saya antar dia ke rumah sakitnya untuk ambil kendaraan.” Yup. Akhirnya saya setujui skenario ini. Saya hanya minta agar membawakan tas saya yang ada di rumah.

Bersamaan dengan itu hasil test telah datang. ”Wah, demam berdarah ini. Lihat saja trombositnya Cuma 81. Harus opname ya.” kata dokter.

”Memang normalnya berapa dok, trombosit itu?” tanya saya.

”Ini, minimal 140.” jawabnya sambil menunjukkan range kadar normal trombosit pada orang yang sehat. Akhirnya kami sepakat dengan saran dokter tersebut. Anak tersebut harus diopname.

Pukul 18.35. Mas Samidi sudah sampai di depan RS. “Pak. Saya di depan gerbang RS.” Katanya di telepon. Setelah saya berpamitan dengan ibu anak tadi dan Mas Joko, dan sekaligus menitipkan kunci kendaraan saya kepada Mas Erwin, saya bergegas berangkat ke stasiun diantar Mas Samidi. “Santai aja mas, tidak usah ngebut. Jika tidak terkejar, nanti saya naik kereta yang berikutnya saja.” pesan saya kepadanya.

Saya kemudian mengirimkan sms kepada teman-teman rombongan saya, jika sampai jam keberangkatan kereta saya belum sampai stasiun maka saya tidak usah dihiraukan saja. Saya katakan saya masih jauh di Jalan Magelang. “Yo dicoba dulu dong.” Begitu jawab salah seorang sahabat saya. Dalam hati saya berdoa jika ini memang kebaikan, saya memohon kepada Allah agar masih bisa sampai tepat waktu di stasiun. Jika pun harus terlambat, saya akan sudah bersiap.

Kami terus melaju di jalanan menuju stasiun tugu. Sahabat saya sempat sms, “Sampai Lempuyangan.” Saya mencoba terus menenangkan hati dan pikiran. Sampai di depan stasiun sayup terdengar pengumunan. Saya tidak yakin apakah itu pengumuman kedatangan kereta ataukah keberangkatan kereta yang akan saya naiki malam ini.

Begitu memasuki halaman stasiun, saya perhatikan belum ada kereta. Dan makin jelas bahwa pengumuman tadi adalah pemberitahuan kedatangan kereta yang saya kejar waktunya ini. ”Alhamdulillah mas, kereta baru akan datang. Tidak terlambat kita.” pekik saya kepada Mas Samidi sembari menyalaminya dan mengucapkan terima kasih. ”Iya pak, sama-sama” jawabnya sambil melepas jaketnya untuk saya pinjam. Ya, istri saya lupa membawakan jaket untuk perjalanan saya malam ini.

Segera saya menemui sahabat-sahabat saya. Beberapa detik kemudian kereta memasuki stasiun tugu. Di dalam kereta setelah saling bersalaman dengan para laskar senja, sebutan rombongan kami, kami kemudian berbagi cerita.

Alhamdulillah. Saya tak henti-hentinya bersyukur atas kehebohan sore hingga malam hari ini. Sejenak ketika kereta mulai bergerak, tiba-tiba istri saya telepon. ”Ini Ghifar mau telepon bi, katanya tadi kok belum salaman dengan adek Ghifar, abi kok sudah berangkat ke Jakarta.” begitu istri saya mengawali pembicaraan sebelum handphone beralih ke anak bungsu saya itu.

Begitulah episode ahad sore yang bermakna tersebut. Saya mendapatkan pelajaran tentang makna berbagi dan saling meringankan. Pun tentang makna kepasrahan yang mendalam ketika kita dalam kondisi yang begitu sempit. Dan satu keyakinan saya yang makin mantap dalam hati saya, bahwa dengan terus mencoba memberi dan meringankan orang lain, sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan kita. Yakin bahwa pertolongan Allah itu amat dekat sekali. InsyaAllah.

Menara Jamsostek, Rabu 11/02/2009.

2 komentar:

  1. yang pasti setiap kebaikan pasti akan dihitung walaupun sekecil biji yaroh...

    BalasHapus
  2. Yupi mas. Memang begitulah hidup ini, yang bisa kita lakukan terulah menanam, jangan dulu berpikir bagaimana nanti hasilnya...

    ~masker~

    BalasHapus